Kekristenan pada periode Pranikea
Bagian dari seri tentang |
Kekristenan |
---|
![]() |
![]() |

Kekristenan pada periode Pranikea adalah kurun waktu di dalam sejarah Kekristenan sebelum diselenggarakannya Konsili Nikea I. Artikel ini mengulik periode sesudah Zaman Apostolik abad pertama, sekitar tahun 100 Masehi, sampai dengan penyelenggaraan Konsili Nikea tahun 325 Masehi.
Pada abad ke-2 dan ke-3 Tarikh Masehi, terjadi perpisahan sengit Kekristenan dari akarnya yang semula. Ada penolakan terang-terangan terhadap agama Yahudi yang termutakhir kala itu dan terhadap budaya Yahudi jelang akhir abad ke-2, seiring kian maraknya sastra adversus Iudaeos. Pada abad ke-4 dan ke-5, Kekristenan mengalami tekanan dari pemerintah Kekaisaran Romawi dan mengembangkan tatanan keuskupan yang kukuh dan berdaya pemersatu. Banyak corak Kekristenan pada kurun waktu ini tidak selaras dengan kategorisasi yang ketat, sebab beragam bentuk Kekristenan berinteraksi dengan gaya dan cara-cara yang kompleks.[1] Salah satu corak adalah purwaortodoksi, corak Kekristenan yang menjadi Gereja Raya internasional, dan pada kurun waktu ini dibela oleh para Bapa Apostolik. Inilah tradisi Kekristenan Paulin, tradisi Kekristenan yang menitikberatkan wafat Yesus sebagai karya penyelamatan umat manusia, dan menyifatkan Yesus sebagai Allah yang turun ke bumi. Aliran besar lainnya adalah Kekristenan Gnostik, yang menitikberatkan hikmat Yesus sebagai karya penyelamatan umat manusia, dan menyifatkan Yesus sebagai insan yang terilahikan melalui pengetahuan.[2]
Jika jemat Kristen Yahudi berpusat di Yerusalem pada abad pertama, umat Kristen dari bangsa-bangsa lain justru terdesentralisasi pada abad ke-2.[3] Pada periode inilah berbagai konsili Gereja purba tingkat lokal maupun tingkat daerah diselenggarakan. Tingkat penerimaan keputusan-keputusan yang dikeluarkan konsili-konsili tersebut berbeda-beda dari satu kelompok Kristen ke kelompok Kristen lain. Tokoh-tokoh besar abad ke-2 yang kemudian hari disifatkan sebagai ahli bidat oleh purwaortodoksi yang sedang berkembang adalah Marsion, Valentinus, dan Montanus.
Sekalipun pemakaian istilah Kristen dapat dibuktikan oleh Kisah Para Rasul (tahun 80–90 Masehi), jejak tertua pemakaian istilah Kekristenan (bahasa Yunani: Χριστιανισμός, Kristianismos) terdapat di dalam surat Ignasius dari Antiokhia yang ditulis sekitar tahun 107 Masehi.[4][5]
Keyakinan
Eskatologi
Pandangan eskatologis yang paling menonjol pada periode Pranikea adalah Pramilenialisme, yaitu keyakinan akan pemerintahan kasatmata Kristus dalam kemuliaan di muka bumi bersama-sama dengan orang-orang kudus yang dibangkitkan sepanjang seribu tahun sebelum terjadinya kebangkitan dan penghakiman umum.[6] Yustinus Martir dan Ireneus adalah penganjur-penganjur Pramilenialisme yang paling lantang menyuarakannya. Yustinus Martir merasa dirinya sedang melanjutkan kepercayaan “Yahudi” tentang kerajaan temporer Mesias sebelum datangnya keadaan kekal.[7][8][9][10] Ireneus mengkhususkan parwa ke-5 dari risalahnya, Melawan Bidat-Bidat, untuk membela kebangkitan jasmani dan penghakiman kekal.[11]
Premilenialis perdana lainnya adalah Barnabas-semu,[12] Papias,[13] Metodius, Laktansius,[14] Komodianus[15] Teofilus, Tertulianus,[16] Melito,[17] Hipolitus dari Roma, dan Viktorinus dari Pettau.[18][19] Pada abad ke-3, timbul penentangan terhadap pramilennialisme yang kian hari kian membesar. Origenes adalah orang pertama yang terang-terangan menantang doktrin tersebut.[20] Dionisius dari Aleksandria bangkit melawan pramilenialisme ketika risalah khiliastis, Membantah Para Pengibarat, buah pena Nepos, seorang uskup di Mesir, menjadi populer di Aleksandria, sebagaimana diriwayatkan di dalam Sejarah Gerejawi anggitan Esebius.[21] Esebius menyifatkan Papias, tokoh pramilenialisme, sebagai "orang yang pendek akal" lantaran memahami Kitab Wahyu secara harfiah.[22]
Kehadiran nyata
Amalan
Paguyuban-paguyuban Kristen kemudian mengadopsi beberapa amalan Yahudi dan membuang amalan Yahudi selebihnya. Hanya Marsion yang mengusulkan supaya umat Kristen membuang saja semua amalan agama Yahudi, tetapi dia diekskomunikasi di Roma sekitar tahun 144 dan dibidatkan oleh golongan purwaortodoks yang kian besar.
Hari Tuhan
Menurut Bauckham, Gereja pascaapostolik memelihara beragam amalan yang berkaitan dengan Sabat.[23] Tampak jelas bahwa beberapa pihak di dalam Gereja purba juga menganggap penting ibadat pada Hari Tuhan, di samping memelihara hari Sabat setiap pekan. Di dalam Didakhe disebutkan bahwa "tetapi pada setiap Hari Tuhan berhimpunlah kamu sekalian, dan memecah-mecahkan roti, serta mengucapkan syukur."[24]
Baptis bayi
Baptis bayi diamalkan secara luas, setidaknya sudah diamalkan pada abad ke-3,[25] tetapi ada tidaknya amalan baptis bayi pada abad-abad permulaan Kekristenan masih diperdebatkan. Sebagian pihak yakin bahwa Gereja zaman apostolik mengamalkan baptis bayi, dengan berargumen bahwa pembaptisan seisi rumah yang diriwayatkan di dalam Kisah Para Rasul sudah barang tentu mencakup bayi-bayi yang ada di rumah tersebut.[26] Pihak-pihak lain yakin bahwa bayi tidak ikut dibaptis pada peristiwa pembaptisan seisi rumah, dengan menyitir ayat-ayat Alkitab yang menyebutkan bahwa seisi rumah yang dibaptis itu sudah percaya, sedangkan bayi belum memiliki kemampuan untuk percaya.[26] Ireneus, Uskup Lyon, mungkin saja secara tersirat telah menyinggung amalan membaptis bayi di dalam risalahnya pada abad ke-2.[27][28] Selain itu, Yustinus Martir menulis tentang pembaptisan di dalam Apologi Pertama (ditulis pada pertengahan abad ke-2), menyifatkannya sebagai suatu pilihan, dan menandingkannya dengan ketiadaan pilihan seseorang untuk terlahir ke dunia secara jasmaniah.[29] Meskipun demikian, Yustinus Martir tampaknya secara tersirat juga mengemukakan di bagian lain risalahnya bahwa orang-orang beriman adalah "murid-murid sedari kanak-kanak", yang mungkin mengindikasikan bahwa mereka dibaptis selagi masih kanak-kanak.
Risalah yang disebut Tradisi Apostolik mengatakan bahwa "Baprislah dahulu kanak-kanak, dan jikalau mereka sanggup berkata-kata mewakili diri sendiri, maka hendaklah itu yang mereka perbuat. Jikalau tidak demikian, hendaklah orang tua atau kerabat mereka yang berkata-kata mewakili mereka." Jika memang ditulis oleh Hipolitus dari Roma, maka Tradisi Apostolik dapat diperkirakan berasal dari sekitar tahun 215, tetapi belakangan ini para sarjana meyakini bahwa risalah ini adalah materi dari berbagai karya sastra berlainan yang ditulis dalam rentang waktu pertengahan abad ke-2 hingga abad ke-4,[30][31] yang kemudian dihimpun dan disepadukan sekitar tahun 375–400. Bukti-bukti abad ke-3 lebih jelas, karena baik Origenes (mengatakan bahwa baptis bayi "selaras dengan adat istiadat Gereja")[32] maupun Siprianus menganjurkan amalan membaptis bayi. Tertulianus mengenal amalan membaptis bayi (dan menyebutkan bahwa wali baptis akan berkata-kata mewakili kanak-kanak yang dibaptis), tetapi lantaran mengusung pandangan yang tidak lazim mengenai perkawinan, ia menggugat amalan tersebut dengan alasan bahwa pembaptisan seharusnya ditangguhkan sampai calon baptis sudah kawin.[33]
Penafsiran amalan-amalan baptis Gereja purba penting bagi kelompok-kelompok seperti kaum Baptis, kaum Anabaptis, dan Gereja Jemaat Kristus yang percaya bahwa baptis bayi merupakan suatu perkembangan yang terjadi pada kurun waktu akhir abad ke-2 sampai awal abad ke-3. Para sastrawan Kristen tersebut di atas, yang menulis pada abad ke-2 dan ke-3, mengindikasikan bahwa umat Kristen memang memelihara amalan seperti itu seawal-awalnya sejak abad ke-2.[34]
Sembahyang dan ibadat
Di dalam risalah Tradisi Apostolik, Hipolitus mewejangi umat Kristen supaya bersembahyang tujuh kali sehari, "saat bangun tidur, saat menyalakan lampu menjelang malam, saat tiba waktunya untuk tidur, saat tengah malam", juga pada "pukul tiga, pukul enam, dan pukul sembilan hari itu, lantaran merupakan waktu-waktu yang erat kaitannya dengan Sengsara Kristus."[35][36][37][38] Umat Kristen menghadiri dua liturgi pada Hari Tuhan, beribadat secara berjemaat dalam ibadat pagi dan ibadat malam, dengan tujuan untuk membaca Kitab Suci dan merayakan Ekaristi.[39] Sepanjang pekan, umat Kristen berhimpun di gereja setiap hari untuk menunaikan sembahyang pagi (kemudian hari disebut laudes) dan sembahyang malam (kemudian hari disebut vesper), di samping sembahyang sendiri-sendiri pada waktu-waktu sembahyang tetap lainnya.[40][41][42][43] Amalan bersembahyang pada tujuh waktu yang tetap ini dilaksanakan dengan sikap tubuh tiarap dan berdiri.[38] Berlandaskan risalah-risalah Santo Paulus, umat Kristen juga menggunakan sikap tubuh orans dalam persembahyangan.[44][45] Sebatang salib Kristen di tembok timur rumah tinggal digunakan untuk menandai arah sembahyang ke timur.[35]
Cium kudus
Terlembagakan di dalam Perjanjian Baru, di dalam Gereja purba, "saling beruluk salam 'damai sejahtera' secara lisan disertai ciuman tampaknya merupakan suatu inovasi Kristen, lantaran tidak ada contoh yang jelas di dalam kesusastraan pra-Kristen."[46] Dengan demikian cium kudus diamalkan sebagai ajaran Kristen, bukan sebagai amalan budaya.[46] Apolog Kristen purba, Tertulianus, mengemukakan di dalam risalahnya bahwa apabila hendak meninggalkan rumah, orang-orang Kristen sepatutnya menyampaikan cium kudus dan berucap "damai sejahtera atas rumah ini".[46] Di dalam Kekristenan purba, "cium kudus disampaikan berbarengan dengan ucapan berkat di akhir kebaktian-kebaktian ibadat" kendati tak lama kemudian "menjadi erat dikaitkan dengan Ekaristi" dan dengan demikian "waktu pelaksanaannya di dalam kebaktian ibadat pun berpindah ke perayaan Komuni."[46] Cium kudus dianggap sebagai salah satu unsur pokok dari persiapan untuk mengambil bagian dalam Ekaristi:[46]
Damai sejahtera, islah, dan persatuan merupakan inti sari hidup bergereja; tanpa semua itu komuni akan menjadi suatu kepura-puraan. Dilimpahi karunia oleh Roh dan ulung dalam doa, ungkapan liturgis mereka—yang mengarah kepada ekaristi—adalah cium kudus.[46]
Bagi umat Kristen purba, cium kudus "erat dikaitkan dengan damai sejahtera dan persatuan yang dianugerahkan Roh Kudus kepada jemaat."[46] Untuk mencegah penyelewengan cara beruluk salam ini, perempuan dan laki-laki diwajibkan duduk terpisah, dan cium damai sejahtera hanya diperbuat perempuan kepada perempuan dan laki-laki kepada laki-laki, dengan mulut tertutup.[46] Sehubungan dengan para katekumen, Tradisi Apostolik menetapkan bahwa "bilamana mereka sudah berdoa, mereka tidak boleh menyampaikan ciuman damai sejahtera lantaran ciuman mereka belum kudus" (18:3).[46] Dengan demikian cium kudus diistimewakan sebadai suatu ritual yang hanya sah diamalkan di kalangan orang Kristen yang sudah dibaptis, sementara para katekumen dan orang-orang non-Kristen tidak diberi salam dengan cara ini (18:4).[46]
Kerudung

Kekristenan pada periode Pranikea memelihara amalan berkerudung bagi kaum perempuan (sejak balig). Dengan mengacu kepada nas 1 korintus 11:2–1, apolog Kristen purba, Tertulianus, menegaskan bahwa "seperti itulah orang-orang Korintus sendiri memahami maksud perkataannya [Paulus]. Nyatanya sampai hari ini orang-orang Korintus memang masih mengerudungi perawan-perawan mereka. Apa yang diajarkan para rasul, dibenarkan murid-murid mereka."[47] Hipolitus dari Roma menjabarkan jenis kerudung yang dimaksudː "Dan hendaknya semua perempuan mengerudungi kepalanya dengan kain tebal, bukan dengan kerudung dari kain lenan tipis, sebab yang seperti itu bukanlah cara berkerudung yang sesungguhnya."[48]
Pembasuhan kaki
Apolof Kristen purba, Tertulianus, mencatat bahwa pembasuhan kaki merupakan bagian reguler dari ibadat Kristen pada periode Pranikea.[49] Pembasuhan kaki dilakukan dengan sebejana "air untuk kaki orang-orang kudus" dan sehelai "tuala lenan".[46] Lantaran diamanatkan di dalam nas Yohanes 13, para Bapa Gereja purba, Agustinus dari Hipo dan Yohanes Krisostomus, menandaskan bahwa pembasuhan kaki dilaksanakan dalam rangka meneladani Yesus, bahkan Origenes juga menganjurkan ritus ini.[49] Bapa Gereja purba, Klemens dari Aleksandria, mengaitkan-ngaitkan kasut baru yang dikenakan kepada si anak hilang dengan pembasuhan kaki, dengan mengatakan bahwa "kasut yang tak terbinasakan yang hanya pas dikenakan oleh orang-orang yang sudah dibasuh kakinya oleh Yesus, Guru dan Tuhan."[46] Oleh sebab itu di mata Gereja purba, pembasuhan kaki harus dikaitkan dengan pertobatan, mencakup pembersihan rohani oleh Yesus.[46]
Tanggal Paskah
Umat Kristen di kawasan timur Laut Tengah memiliki sejarah ketidaksamaan dan ketidaksepahaman dengan saudara-saudari seimannya di kawasan barat Laut Tengah semenjak abad ke-2. Salah satu ketidaksepahaman mula-mula yang paling penting adalah kontroversi Kuartodesimanisme. Sampai akhir abad ke-2, ada perbedaan dalam penetapan tanggal perayaan Paskah di Gereja Barat dan di Gereja Asia Kecil. Jemaat-jemaat Kristen di Asia Kecil merayakan Paskah setiap tanggal 14 bulan Nisan menurut penanggalan Yahudi, yakni sehari sebelum Paskah Yahudi, tanpa peduli harinya, lantaran Injil Yohanes menyebutkan bahwa peristiwa penyaliban terjadi sehari sebelum Paskah Yahudi. Umat Latin menjuluki mereka Quartadecimani, yang secara harfiah berarti kaum caturdasa. Pada masa itu, umat Kristen Barat merayakan paskah pada hari Minggu sesudah tanggal 14 Nisan.
Viktor, Uskup Roma, berusaha membidatkan amalan merayakan Paskah setiap tanggal 14 Nisan dab mengekskomunikasi semua orang yang mengamalkannya.[50] Sehubungan dengan hal ini, Ireneus dan Polikrates dari Efesus menyurati Viktor. Ireneus mengingatkan Viktor akan sikap pendahulunya yang lebih toleran, sementara Polikrates dengan penuh empati membela amalan umat Kristen Asia itu. "Ekskomunikasi" yang dijatuhkan Viktor ke atas umat Kristen Asia tampaknya dibatalkan, dan kedua belah pihak kembali rukun berkat campur tangan Ireneus dan uskup-uskup lain, termasuk Tertulianus. Baik Tertulianus maupun Ireneus adalah murid Polikarpus, Uskup Smirna yang dulu berguru kepada Rasul Yohanes dan menjadi "pendengar" ajaran rasul-rasul lain, menurut pengakuan tertulis Polikarpus sendiri.
Kemudian hari Esebius mengklaim bahwa sinode-sinode dan konferensi-konferensi para uskup digelar, dan menghasilkan keputusan "tanpa ada suara tidak setuju" yang mendukung perayaan Paskah pada hari Minggu. Kaidah yang seragam dalam menetapkan tanggal Paskah baru dibahas secara resmi pada tahun 325 dalam Konsili Nikea I. Dewasa ini, tanggal Paskah Kristen Barat masih berbeda dari tanggal Paskah Kristen Timur, tetapi perbedaan ini timbul lantaran Gereja Barat mengadopsi penanggalan Gregorian menggantikan penanggalan Yulian.
Rahbaniyat
Rahbaniyat Kristen yang terlembaga tampaknya muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-3 di padang gurun Mesir sebagai semacam kesyahidan dalam keadaan bernyawa. Antonius Agung (tahun 251-356) adalah orang pertama yang secara khusus meninggalkan dunia ramai dan hidup di padang gurung sebagai rahib. Antonius hidup berkhalwat di padang gurun, dan lambat laut diikuti orang-orang lain. Para pengikut Antonius hidup berkhalwat tidak jauh darinya, tetapi belum membentuk paguyuban yang sesungguhnya.
Keberagaman dan purwaortodoksi
Perkembangan doktrin, pendirian ortodoksi, dan hubungan di antara beragam opini merupakan suatu pokok perdebatan akademik yang berkelanjutan. Semenjak Syahadat Nikea hadir mengungkap hakikat Gereja, perdebatan-perdebatan terdahulu sudah lama dianggap sebagai pendirian ortodoks terpadu melawan segolongan kecil ahli bidat. Bertolak dari berbagai perbedaan di antara umat Kristen Yahudi, umat Kristen Paulin, serta kelompok-kelompok lain semisal kaum Gnostik dan kaum Marsionis, Walter Bauer berpendapat bahwa Kekristenan purba terfragmentasi, dengan adanya beragam tafsir yang saling bersaing, dan hanya satu di antaranya yang pada akhirnya tampil mendominasi.[51] Meskipun tesis asli Walter Bauer menuai kecaman, Elaine Pagels dan Bart Ehrman justru lebih jauh lagi membeberkan dengan rinci keberadaan aneka ragam Kekristenan pada abad-abad pertama. Dalam pandangan mereka, Kekristenan purba terfragmentasi menjadi ortodoksi-ortodoksi sezaman yang saling bersaing.[52][53]
Eamon Duffy mengemukakan bahwa agama Kristen di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi berada "dalam keadaan situasi gejolak kreatif kekerasan" pada abad ke-2. Ortodoksi, atau purwaortodoksi, hadir bersama-sama dengan bentuk-bentuk Kekristenan yang tidak lama lagi akan mereka cap sebagai "bidat" yang menyimpang. Eamon Duffy menganggap ortodoks dan tanortodoks adakalanya sukar dibedakan pada periode ini, dan sekadar mengatakan bahwa Kekristenan purba di Roma memiliki banyak ragam sempalan Kristen yang saling bersaing.[54]
Beberapa sarjana ortodoks mengetengahkan argumen melawan pemusatan perhatian kepada heterodoksi yang kian meningkat. Pergeseran menjauh dari mempresumsikan kebenaran atau dominansi ortodoksi dipandang netral, tetapi mengkritik analisis historis yang mengasumsikan sempalan-sempalan heterodoks lebih superior daripada pergerakan ortodoks.[55]
Pertumbuhkembangan agama Kristen
Rodney Stark memperkirakan bahwa jumlah umat Kristen mengalami pertumbuhan sekitar 40% per dasawarsa pada abad pertama dan kedua.[56]
Purwaortodoksi

Agama Kristen tampil beda sendiri di antara agama-agama yang dianut bangsa Romawi lantaran menjabarkan keyakinan-keyakinannya secara jelas dan terdefinisi.[57] Proses penentuan ortodoksi (keimanan yang benar) bermula dengan ditulisnya Perjanjian Baru dan berlanjut sepanjang periode tujuh konsili oikumene terdahulu. Ajaran-ajaran yang ortodoks adalah ajaran-ajaran yang diklaim memiliki isnad tulen Tradisi Suci. Semua ajaran lain dipandang sebagai fikrah menyimpang yang adakalanya dibidatkan.
Serangan-serangan perdana terhadap ajaran-ajaran yang dituding bidat merupakan inti risalah Petunjuk Melawan Para Ahli Bidat (terdiri atas 44 bab) yang ditulis Tertulianus di Roma, dan risalah Melawan Bidat-Bidat (terdiri atas 5 jilid) yang ditulis Ireneus di Lugdunum (sekarang Lyon) sekitar tahun 180, sepulang kunjungan ke Roma. Surat-surat Ignasius dari Antiokhia dan Polikarpus dari Smirna, yang ditujukan kepada Gereja-Gereja di berbagai tempat, memuat peringatan untuk mewaspadai guru-guru palsu, dan seperti yang dilakukan para sastrawan lain, Surat Barnabas memuat peringatan untuk menjauhi tindakan mencampuradukkan agama Yahudi dengan agama Kristen. Konsili Nikea yang pertama diselenggarakan oleh Kaisar Konstantinus di Nikea pada tahun 325 untuk merespons kontroversi-kontroversi polemis seputar sifat Tritunggal yang meresahkan umat Kristen sebagai akibat dari pernyataan-pernyataan Arius yang mendustakan sifat kekal Kristus sebagaimana terjabar di dalam Injil Yohanes.
Pengembangan hierarki Gereja

Di dalam Gereja pasca-Apostolik, uskup-uskup tampil sebagai para penilik populasi Kristen perkotaan, dan sedikit demi sedikit terbina suatu hierarki rohaniwan yang berunsurkan episkopos (penilik, uskup), para presbiter (penatua), dan para diakon (pelayan).
Suatu hierarki di lingkungan Kristen Paulin tampaknya sudah terbina pada akhir abad pertama dan awal abad ke-2.[58] (lih. Surat-surat pastoral, sekitar tahun 90–140[58]) Robert Williams berpendapat bahwa "asal-usul dan awal perkembangan tatanan keuskupan dan keekauskupan serta konsep gerejawi tentang suksesi (apostolik) erat kaitannya dengan situasi-situasi krisis di dalam Gereja purba."[59] Meskipun Klemens dan para penulis Perjanjian Baru menggunakan istilah penilik dan penatua sebagai istilah-istilah yang dapat saling menggantikan, tatanan keuskupan menjadi kian jelas terlihat pada abad ke-2.
Roger Haight berpendapat bahwa perkembangan eklesiologi dalam wujud "Katolik Perdana" adalah salah satu respons terhadap permasalahan kesatuan Gereja. Dengan demikian, solusi bagi perpecahan akibat ajaran heterodoks saat itu adalah mengembangkan "struktur-struktur pelayanan yang ketat dan lebih terstandar. Salah satu di antara struktur-struktur tersebut adalah format kepemimpinan Gereja tiga serangkai yang terdiri atas episkopoi (para penilik); presbiteroi (para penatua),[60] seperti yang terdapat di dalam komunitas-komunitas Yahudi; dan diakonoi (para pelayan). Para presbiter ditahbiskan dan membantu uskup; dengan menyebarnya agama Kristen, khususnya di daerah-daerah pedesaan, para presbiter melaksanakan lebih banyak tanggung jawab dan menjelma menjadi imam-imam. para diakon juga menjalankan tugas-tuga tertentu, misalnya menyantuni fakir miskin dan merawat orang sakit.
Sebagian besar ikhtiar resmi menata struktur gerejawi dilakukan oleh para uskup. Tradisi menjernihkan kekeruhan ini dapat dipandang ditetapkan oleh para Bapa Apostolik, yang pada hakikatnya adalah uskup-uskup.
Catholic Encyclopedia menyebutkan bahwa kendati ada kelangkaan bukti dari abad ke-2, keperdanaan Gereja Roma ditegaskan di dalam risalah Ireneus, Melawan Bidat-Bidat (sekitar tahun 189).[61] Menanggapi ajaran Gnostik abad ke-2, Ireneus mencipta dokumen pertama yang membabarkan suksesi apostolik,[62] termasuk menyebutkan para pengganti langsung Petrus dan Paulus, yaitu Linus, Anakletus, Klemens, Evaristus, Aleksander, dan Sikstus.[63] Gereja Katolik menganggap orang-orang tersebut sebagai paus-paus terdahulu, yang dapat diklaim paus-paus terkemudian sebagai asal-usul dari kewenangan mereka.[64] Di dalam suksesi apostolik, uskup menjadi pengganti dari uskup sebelum di dalam alur suksesi yang dapat dirunut mundur sampai kepada para rasul. Sepanjang abad ke-2, struktur organisasi semacam ini mendunia dan terus dipakai oleh Gereja Katolik, Gereja Ortodoks, dan gereja Anglikan (gereja-gereja Anglikan Protestan),[65] maupun oleh sejumlah denominasi Protestan.[66]
Pusat-pusat penting Gereja
Yerusalem merupakan pusat penting Gereja hingga tahun 135.[67] Kota ini dimuliakan sebagai tempat Yesus wafat dan dilaporkan bangkit dari kematian,[68] serta merupakan pusat Zaman Apostolik, tetapi terpuruk ketika Perang-Perang Yahudi–Romawi berkecamuk (tahun 66-135). Konsili Nikea yang pertama mengakui dan mengukuhkan tradisi yang menjadikan Yerusalem terus diberi "kehormatan khusus", tetapi tarafnya tidak ditingkatkan, sekadar menjadi takhta metropolit di dalam provinsinya sendiri pun tidak, sehingga Yerusalem tidak memiliki yurisdiksi ekstraprovinsial seperti Roma dan takhta-takhta lain yang disebutkan atas.[69]
Konstantinopel baru menonjol selepas periode Kristen Purba, lantaran baru berdiri secara resmi pada tahun 330, lima tahun sesudah Konsili Nikea I, kendati pendahulunya, yakni kota Bizantium yang lebih kecil, merupakan salah satu pusat perdana Kekristenan lebih lantaran kedekatannya dengan Anatolia.
Menurut tradisi Ortodoks, paguyuban Kristen maupun takhta kebatrikannya diasaskan oleh Santo Petrus dan diserahkan kepada Santo Ignasius di Anatolia, daerah yang dewasa ini termasuk wilayah negara Turki.
Roma dan jabatan paus
Ireneus dari Lyon pada abad ke-2 percaya bahwa Petrus dan Paulus adalah para pendiri Gereja di Roma, yang mengangkat Linus sebagai uskup penerus.[70]
Empat batrik Timur mengukuhkan keterangan tentang karya pelayanan dan wafat Santo Petrus di Roma, maupun suksesi apostolik uskup-uskup Roma. Meskipun demikian, mereka memahaminya sebagai tanda kehormatan alih-alih sebagai kewenangan yang melingkupi urusan keyakinan dan amalan, sebab batrik-batrik tersebut tetap menganggap diri mereka sendiri sebagai kewenangan tertinggi di wilayah masing-masing, contohnya para uskup metropolit dan pentarki, tetapi masih mengikuti tuntunan menyeluruh Uskup Roma. Batrik-batrik lain memang berpaling ke Roma bila hendak mendapatkan dukungan dalam menuntaskan silang sengketa, tetapi mereka juga bersurat minta dukungan kepada batrik-batrik lain yang berpengaruh dengan cara yang sama. Menurut Bernhard Schimmelpfennig, di luar dari segelintir kekecualian yang mencolok, kumpulan peninggalan karya sastra dari kurun waktu ini, bahkan selambat-lambatnya sampai abad ke-5 dan ke-6, pada umumnya menampakkan lingkup yang terbatas dari kewenangan uskup-uskup Roma tetapi tetap saja mengakui kewenangan tersebut.[71]
William Kling mengemukakan bahwa pada akhir abad ke-2, Roma merupakan pusat perdana agama Kristen yang penting, jika tidak bisa dikatakan satu-satunya, tetapi tidak memiliki klaim keperdanaan yang meyakinkan. Nas pembukti keperdanaan Petrus secara historis pertama kali mencuat di dalam pertengkaran Siprianus dari Kartago dengan Paus Stefanus. Seorang uskup dari Kaisarea bernama Firmilianus memihak Siprianus dalam pertengkaran tersebut, geram melihat "kesombongan yang menghinakan" dari Stefanus dan mengklaim memiliki kewenangan yang berlandaskan Takhta Petrus. Argumen Siprianus tidak terpatahkan, manakala Paus Stefanus mengklaim adanya penolakan tatap muka.[72]
Siprianus menegaskan bahwa para uskup memegang kunci pintu pengampunan dosa, lantaran semua uskup adalah pengganti Santo Petrus. Kemudian hari Hieronimus mengangkat argumen tersebut untuk membela keperdanaan Uskup Roma pada abad ke-5, suatu pendirian yang diadopsi oleh Paus Leo I.[73]
Menjelang akhir kurun waktu sejarah Gereja purba, Gereja di wilayah Kekaisaran Romawi sudah memiliki ratusan uskup, beberapa di antaranya (Uskup Roma, Uskup Aleksandria, Uskup Antiokhia, dan para uskup "provinsi-provinsi lain") memiliki semacam yurisdiksi atas uskup-uskup lain.[74]
Perkembangan kanon Kristen

Pustaka-pustaka kanon Perjanjian Baru, yang mencakup Injil-Injil kanonik, Kisah Para Rasul, surat-surat para Rasul, dan Wahyu ditulis sebelum tahun 120 Masehi,[75] tetapi belum ditetapkan sebagai "kanon" oleh golongan arus utama yang ortodoks sampai dengan abad ke-4.
Karya-karya sastra yang dinisbatkan kepada para rasul beredar di dalam paguyuban-paguyuban Kristen yang terbentuk paling awal. Surat-surat Paulus beredar dalam format bunga rampai pada akhir abad pertama Tarikh Masehi. Karya sastra tertua yang menyinggung keberadaan Injil-Injil adalah Apologi Pertama (dari sekitar tahun 155), risalah Yustinus Martir yang menyebut-nyebut keberadaan "kenang-kenangan para rasul" yang oleh umat Kristen disebut "injil-injil" dan dianggap sejajar dengan Perjanjian Lama.[76] Sebuah kanon empat injil (Tetramorfos) dicuatkan oleh Ireneus, yang secara langsung merujuk kepadanya.[77]
Silang sengketa seputar Kitab Suci masih berlangsung pada pertengahan abad ke-2, berbarengan dengan peningkatan pesat jumlah susastra suci baru, baik Yahudi maupun Kristen. Perdebatan seputar amalan dan keyakinan lambat laun menjadi bergantung pada penggunaan susastra suci di luar dari apa yang disebut Melito sebagai Perjanjian Lama, manakala kanon Perjanjian Baru dikembangkan. Demikian pula pada abad ke-3, terjadi pergeseran dari pewahyuan langsung sebagai sumber kewenangan, terutama untuk melawan kaum Montanis. Istilah "Kitab Suci" pus masih luas maknanya, dan biasanya berarti Septuaginta di kalangan penutur bahasa Yunani, Targum di kalangan penutur bahasa Arami, atau terjemahan Vetus Latina di Kartago. Di luar dari Taurat (Kitab Hukum Musa) dan beberapa susastra nubuat perdana (Kitab Nabi-Nabi), belum ada kesepakatan mengenai kanon, tetapi masalah ini mula-mula memang tidak banyak diperdebatkan.
Beberapa pihak berteori bahwa perpisahan Kekristenan purba dari agama Yahudi pada pertengahan abad ke-2 pada akhirnya bermuara pada penetapan sebuah kanon Yahudi oleh gerakan rabani yang tengah naik daun,[78] kendati sampai hari ini pun belum ada konsensus di kalangan sarjana tentang kapan kanon Yahudi tersebut ditetapkan. Sebagai contoh, sebagian sarjana mengemukakan bahwa kanon Yahudi sudah ditetapkan sebelumnya oleh kulawangsa Hasmonaim (tahun 140–137 Pramasehi).[79] Tidak ada bukti langsung tentang kapan umat Kristen mulai menerima keberadaan susastra-susastra suci mereka sendiri untuk dipakai bersama-sama dengan Septuaginta. Sampai abad ke-2 pun umat Kristen masih cenderung berpegang kepada tradisi lisan sebagaimana dengan jelas ditunjukkan oleh para sastrawan dari masa itu, misalnya Papias.[78]
Daftar tertua karya sastra untuk kanon Perjanjian Baru adalah fragmen Muratori, yang diperkirakan berasal dari sekitar tahun 170. Daftar ini menunjukkan bahwa pada tahun 200 ada satu bunga rampai sastra Kristen yang kurang lebih sama dengan kedua puluh tujuh pustaka Perjanjian Baru, yang mencakup keempat Injil.[80]
Pada permulaan dasawarsa 200-an, Origenes dari Aleksandria mungkin sudah menggunakan 27 pustaka yang tersenarai di dalam kanon Perjanjian Baru saat ini, sekalipun masih ada silang pendapat seputar kelaikan Surat Kepada Orang Ibrani, Surat Yakobus, Surat Petrus II, Surat Yohanes II, Surat Yohanes III, dan Wahyu Kepada Yohanes,[81] yang disifatkan sebagai Antilegomena (meneladani Esebius).
Karya-karya tulis ortodoks perdana – para Bapa Gereja
Sejak akhir abad ke-4, gelar "Bapa Gereja" sudah digunakan untuk menyebut suatu kelompok yang kurang lebih jelas didefinisikan, beranggotakan sastrawan-sastrawan Kristen yang berpegang kepada fatwa dari pihak berwenang dalam perkara-perkara doktrinal. Mereka adalah para teolog dan sastrawan perdana yang berpengaruh di dalam Gereja purba, yang kuat pengaruhnya terhadap perkembangan purwaortodoksi. Karya sastra yang mereka hasilkan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sastra teologis dan sastra "apologetis". Karya sastra apologetis ditulis dengan tujuan untuk membela iman dengan menggunakan nalar demi mematahkan argumen-argumen yang membantah kebenaran agama Kristen.[82]
Para apolog
Dalam rangka menanggapi kritik yang dilontarkan filsuf-filsuf Yunani dan menghadapi aniaya, para apolog menulis risalah-risalah untuk membenarkan dan membela doktrin Kristen. Karya-karya tulis Yustinus Martir merupakan "apologi-apologi" Kristen tertua dengan isi lumayan panjang yang berhasil sintas.
Para Bapa Apostolik
Para Bapa Gereja terdahulu (dua generasi dari Dua Belas Rasul Kristus) biasanya disebut Bapa Apostolik sebab konon kabarnya mengenal dan berguru secara langsung kepada para rasul. Para Bapa Apostolik abad ke-2 yang penting adalah Paus Klemens I (wafat tahun 99), Ignasius dari Antiokhia (sekitar tahun 35 – sekitar tahun 110), dan Polikarpus dari Smirna (sekitar tahun 69 – sekitar tahun 155). Selain itu, risalah Gembala Hermas biasanya dimasukkan ke dalam kumpulan karya tulis para Bapa Apostolik, sekalipun penulisnya tidak diketahui.[83]
Ignasius dari Antiokhia (dikenal pula dengan nama lain Teoforus) adalah uskup atau Batrik Antiokhia ke-3, dan merupakan salah seorang murid Rasul Yohanes. Dalam perjalanannya menjemput maut sebagai martir di Roma, Ignasius menulis serangkaian surat yang telah terlestarikan sebagai contoh teologi umat Kristen terdahulu. Topik-topik penting yang dicuatkan di dalam surat-surat tersebut adalah eklesiologi, sakramen-sakramen, peran uskup, dan Sabat Alkitabiah.[84] Ia adalah orang kedua sesudah Klemens yang menyinggung keberadaan surat-surat Paulus.[85]
Polikarpus dari Smirna adalah Uskup Smirna (sekarang İzmir, Turki). Ia tercatat sebagai murid Yohanes. Diduga Yohanes yang menjadi guru Polikarpus adalah Yohanes bin Zebedeus, tokoh yang sudah turun-temurun dianggap sebagai penulis Injil yang keempat, atau Yohanes Presbiter.[86] Mengikuti jejak Esebius, para penganjur pandangan tradisional bersikeras bahwa tautan apostolik Papius keterhubungannya dengan Yohanes Penginjil, dan bahwa Yohanes tersebut adalah penulis Injil Yohanes, yakni orang yang satu dan sama dengan Rasul Yohanes. Sekitar tahun 156, Polikarpus berusaha walaupun gagal untuk membujuk Anicetus, Uskup Roma, supaya umat Kristen di Barat merayakan Paskah setiap tanggal 14 bulan Nisan, sama seperti umat Kristen di Timur. Ia menolak anjuran paus supaya umat Kristen di Timur menggunakan penanggalan Barat. Pada tahun 155, warga Smirna menuntut supaya Polikarpus dihukum mati, dan ia pun akhirnya gugur sebagai martir. Menurut legenda, api unggun yang dinyalakan untuk menewaskannya enggan membakar raganya, oleh karena itu ia dibunuh dengan cara ditikam; darah mengalir dengan sangat deras dari jasadnya sampai-sampai memadamkan nyala api unggun itu.[85]
Gembala Hermas populer di lingkungan Gereja purba, dihargai sebagai pustaka yang tinggi nilainya oleh banyak orang Kristen, dan dipandang sebagai bagian dari Kitab Suci oleh beberapa Bapa Gereja terdahulu.[87] Karya sastra ini ditulis dalam bahasa Yunani di Roma. Gembala Hermas sangat dihormati pada abad ke-2 dan ke-3.[88] Gembala Hermas dikutip layaknya Kitab Suci oleh Ireneus dan Tertulianus, menjadi salah satu pustaka Perjanjian Baru di dalam Codex Sinaiticus, serta tersenarai di antara Kisah para Rasul dan Kisah Paulus di dalam daftar stikhometris Codex Claromontanus. Meskipun demikian, orang-orang Kristen purba yang lain menganggapnya apokrif.
Para Bapa Yunani
Bapa Gereja yang menghasilkan karya sastra dalam bahasa Yunani disebut Bapa (Gereja) Yunani. Bapa Yunani ternama dari abad ke-2 (selain para Bapa Apostolik) antara lain adalah Ireneus dari Lyon dan Klemens dari Aleksandria.
Ireneus dari Lyon (sekitar tahun 130–sekitar tahun 202) adalah Uskup Lugdunum di Galia (sekarang Lyon, Prancis). Risalah-risalahnya turut mereka bentuk teologi Kristen pada awal pertumbuhkembangannya. Ireneus dihormati sebagai orang kudus di Gereja Ortodoks Timur maupun di Gereja Katolik. Ia adalah salah seorang apolog perdana yang terpandang. Ia juga murid Polikarpus, yang konon adalah murid Yohanes Penginjil. Risalahnya yang paling terkenal, Melawan Bidat-Bidat (ditulis sekitar tahun 180), menyenarai bidat-bidat dan menyerangnya satu demi satu. Ireneus mengemukakan di dalam risalahnya bahwa satu-satunya cara umat Kristen untuk mempertahankan kesatuan adalah dengan rendah hati menerima satu kewibawaan doktrinal, yaitu konsili-konsili para uskup.[85] Ireneus adalah orang pertama yang mengusulkan supaya keempat injil diterima menjadi bagian dari Kitab Suci.
Klemens dari Aleksandria (sekitar tahun 150–sekitar tahun 215) adalah salah seorang teolog Kristen. Ia mengepalai Perguruan Katekese Aleksandria yang terkenal itu, dan mengenal karya-karya sastra pagan dengan baik.[85] Klemens lebih terkenal sebagai guru Origenes. Klemenslah menggunakan istilah "gnostik" untuk menyifatkan orang-orang Kristen yang sudah sampai kepada ajaran Logos yang lebih mendalam.[89] Ia memadukan tradisi-tradisi filsafat Yunani dengan doktrin Kristen, dan mengembangkan Platonisme Kristen.[85] Ia berdalil bahwa tujuan hidup Kristen adalah pengilahian, yang diidentifikasi sebagai manunggal dengan Allah seperti yang dipahami di dalam Platonisme maupun menjadi serupa dengan Allah seperti yang diajarkan di dalam Kitab Suci.[89]
Menurut tradisi, Origenes (tahun 184–253) adalah orang asli Mesir[90] yang mengajar di Aleksandria, menghidupkan kembali perguruan katekese tempat Klemens pernah mengajar. Dengan penguasaan bahasa Ibrani yang dimilikinya, ia menghasilkan edisi Septuaginta yang sudah dikoreksi,[85] dan menulis ulasan semua pustaka yang ada di dalam Kitab Suci.[85] Di dalam risalah Peri Arkhon (Perihal Asas-Asas), ia bentangkan penjelasan falsafi doktrin Kristen yang pertama.[85] Ia menafsirkan Kitab Suci secara alegoris, yang memperlihatkan jejak-jejak pengaruh filsafat Stoa, Neopitagoras, dan Platon.[85] Sama seperti Plotinus, ia berdalil di dalam risalahnya bahwa jiwa berpindah melewati beberapa tahap berturut-turut sebelum terlahir sebagai insan, dan sesudah kematian pada akhirnya jiwa sampai kepada Allah.[85] Ia membayangkan bahwa roh-roh jahat sekalipun pada akhirnya akan kembali manunggal dengan Allah. Bagi Origenes, Allah bukanlah Yahweh melainkan Asas Pertama, dan Kristus Sang Logos tunduk di bawah Dia.[85] Pandangan-pandangannya tentang struktur hierarkis di dalam Tritunggal, kefanaan materi, "keprawujudan muluk jiwa-jiwa," dan "pemulihan dahsyat yang menyusul kemudian" dianatema pada abad ke-6.[91][92] Mulanya Batrik Aleksandria mendukung Origenes, tetapi belakangan mendepaknya lantaran ditahbiskan tanpa izin sang batrik. Ia pindah ke Kaisarea Maritima dan tutup usia di kota itu[93] sesudah mengalami penyiksaan ketika timbul aniaya terhadap umat Kristen.
Hipolitus dari Roma (sekitar tahun 170–235 AD) adalah salah seorang sastrawan Kristen purba yang paling rajin berkarya. Hipolitus lahir pada rentang waktu separuh akhir abad ke-2, kemungkinan besar di Roma. Di karya tulisnya, Selaksa Pustaka (kodeks 121), Fotius menyebutkan bahwa Hipolitus adalah murid Polikarpus, dan konteks kalimatnya menyiratkan bahwa Fotius menduga seperti itulah Hipolitus menggelari diri sendiri. Meskipun demikian, keterangan tersebut diragukan kebenarannya.[94] Hipolitus sempat bersengketa dengan paus-paus yang silih berganti menjabat pada masa hidupnya, dan untuk sementara waktu memimpin sebuah kelompok sempalan. Itulah sebabnya kadang-kadang ia dianggap sebagai antipaus yang pertama. Meskipun demikian, ia tutup usia pada tahun 235 atau 236 sesudah kembali ke pangkuan Gereja, bahkan mati syahid.[95]
Para Bapa Latin
Bapa Gereja yang menghasilkan karya sastra dalam bahasa Latin disebut Bapa (Gereja) Latin.
Tertulianus (sekitar tahun 155–sekitar tahun 240), yang masuk Kristen sebelum tahun 197, adalah sastrawan yang rajin menghasilkan karya-karya sastra apologetis, teologis, kontroversial, maupun zuhud.[96] Ia menulis tiga pustaka dalam bahasa Yunani, dan merupakan sastrawan besar pertama dari lingkungan Kristen Latin, sehingga kadang-kadang disebut sebagai "Bapanya Gereja Latin".[97] Sudah jelas Tertulianus adalah seorang pengacara di Roma[98] dan diduga anak seorang centurio, kepala pasukan seratus.[95][99] Konon Tertulianuslah yang memperkenalkan istilah Latin "trinitas" untuk menyifatkan Allah (Tritunggal) ke dalam perbendarahaan istilah Kristen.[100] (tetapi Teofilus dari Antiokhia sebelumnya sudah menulis tentang "ketritunggalan Allah, Sabda-Nya, dan Hikmat-Nya", yang serupa tapi tak sama dengan pilihan dan tata kata Trinitas),[101] dan kemungkinan besar juga rumusan kalimat "Tiga Oknum Sehakikat" yang dalam bahasa Latin berbunyi "tres Personae una Substantia" (dari kalimat Yunani Koine "treis Hipostases Homoousios"), serta istilah "vetus testamentum" (Perjanjian Lama) dan "novum testamentum" (Perjanjian Baru). Lewat risalahnya, Apologeticus, Tertulianus menjadi sastrawan Latin pertama yang mendapuk Kekristenan sebagai "vera religio" (agama yang benar), dan secara sistematis mendepak agama asli maupun aneka bentuk pemujaan lain yang berterima luas di Kekaisaran Romawi pada kurun waktu klasik ke tataran "takhayul" belaka. Tertulianus mencerca doktrin-doktrin Kristen yang ia cap bidat, tetapi kebanyakan orang menduga bahwa kemudian hari ia bergabung dengan kaum Montanis, sempalan bidat yang sehaluan dengan wataknya yang tidak kenal ampun dalam urusan peraturan.[96]
Siprianus (tahun 200-258) adalah Uskup Kartago sekaligus salah seorang sastrawan Kristen purba yang penting. Kemungkinan besar ia lahir pada awal abad ke-3 di Afrika Utara, barangkali di Kartago, kota tempat ia mendapatkan pendidikan klasik bermutu tinggi. Sesudah masuk Kristen, ia ditahbiskan menjadi uskup pada tahun 249, dan akhirnya mati syahid di Kartago.
Sikap terhadap kaum wanita
Sikap para Bapa Gereja terhadap kaum wanita sejalan dengan aturan-aturan hukum Yahudi terkait peranan wanita di dalam ibadat, kendati Gereja purba memperbolehkan kaum wanita untuk turut menghadiri ibadat, sesuatu yang tidak dibenarkan di sinagoge (di mana kaum wanita hanya diizinkan masuk sampai ke pelataran luar). Surat Paulus yang Pertama kepada Timotius, yang diragukan sebagai karya tulis Paulus, mengajarkan bahwa kaum wanita harus berdiam diri selama ibadat publik berlangsung, dan tidak dibenarkan mengajar maupun memimpin kaum pria.[102] Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus mengimbau kaum wanita supaya menundukkan diri kepada suaminya, sekalipun para suami pun diimbau supaya menundukkan diri kepada istrinya (saling menundukkan diri).[103]
Elizabeth A. Clark mengemukakan bahwa para Bapa Gereja memandang wanita sebagai "karunia Allah bagi pria" sekaligus sebagai "kutukan bagi dunia", baik sebagai insan yang "lemah akal lagi lemah budi" maupun sebagai insan yang "tidak kenal gentar, gemilang berkiprah di ranah ilmu".[104]
Penganiayaan dan legalisasi
Tidak ada penganiayaan umat Kristen di tingkat negara sampai dengan masa pemerintahan Kaisar Desius pada abad ke-3.[web 1] Tatkala Kekaisaran Romawi dilanda Kemelut Abad Ketiga, Kaisar Desius mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk memulihkan stabilitas dan kesatuan negara, antara lain dengan mewajibkan warga negara untuk membuktikan kesetiaan melalui upacara-upacara keagamaan yang erat kaitannya dengan adat menuhankan kaisar. Pada tahun 212, kewarganegaraan sejagat dianugerahkan kepada semua orang merdeka-dari-lahir yang berdiam di wilayah Kekaisaran Romawi, dan dengan terbitnya maklumat Kaisar Desius untuk menegakkan keseragaman beragama pada tahun 250, warga negara yang beragama Kristen pun menghadapi suatu konflik yang tak teratasi: setiap warga negara yang menolak ikut serta dalam supplicatio yang diselenggarakan negara diancam dengan hukuman mati.[105] Meskipun hanya berjalan setahun,[106] Aniaya Desius merupakan penyimpangan tajam dari kebijakan negara sebelumnya yang menganjurkan supaya orang Kristen tidak diburu dan dihadapkan ke meja hijau sebagai orang yang pada dasarnya memang memiliki sifat khianat.[107] Bahkan pada masa pemerintahan Kaisar Desius, orang-orang Kristen yang ortodoks hanya boleh ditahan lantaran menolak ikut serta dalam ibadat kenegaraan, dan tidak dilarang berkumpul untuk beribadat. Umat Gnostik tampaknya tidak ikut dianiaya.[108]
Kekristenan tumbuh subur sepanjang empat dasawarsa yang disebut "Kala Rahayu Alit Gereja", mulai dari masa pemerintahan Kaisar Galienus (tahun 253–268), yang menerbitkan maklumat toleransi resmi yang pertama terhadap Kekristenan.[109] Masa hidup berdampingan secara damai ini berakhir ketika Kaisar Dioklesianus melancarkan Aniaya "Besar" yang sekaligus menjadi aniaya terakhir terhadap umat Kristen pada tahun 303.
Maklumat Serdika yang dikeluarkan oleh Kaisar Galerius pada tahun 311, secara resmi mengakhiri Aniaya Dioklesianus terhadap Kekristenan di Timur. Dengan terbitnya Maklumat Milan tahun 313, yang menjadi sarana Kaisar Konstantinus Agung dan Kaisar Lisinius untuk melegalkan agama Kristen, tamatlah riwayat penganiayaan umat Kristen oleh negara Kekaisaran Romawi.[web 2]
Penyebaran agama Kristen

Kekristenan menyebar ke tengah bangsa-bangsa penutur bahasa Arami di sepanjang pesisir Laut Tengah, dan menyebar pula ke daerah-daerah pedalaman Kekaisaran Romawi,[110] bahkan sampai ke wilayah Kemaharajaan Partia dan kemudian hari ke wilayah Kemaharajaan Sasani, termasuk ke kawasan Mesopotamia, yang silih berganti dikuasai pada taraf yang bervariasi oleh kedua kemaharajaan itu. Pada tahun 301 Masehi, Kerajaan Armenia menjadi negara pertama yang menjadikan Kekristenan sebagai agama negara, sesudah wangsa Arsak cabang Armenia memeluk agama Kristen. Menurut beberapa perkiraan, lantaran Kekristenan menjadi agama dominan di beberapa pusat perkotaan, 10% dari populasi Romawi pada tahun 300 memeluk agama Kristen.[111] Menurut Rodney Stark, Kekristenan selanjutnya tumbuh pesat pada abad ke-4, dengan rata-rata pertumbuhan 40% per dasawarsa (atau 3,42% per tahun); 56,5% dari populasi Romawi pada tahun 350 memeluk agama Kristen.[112]
Pada separuh akhir abad ke-2, Kekristenan sudah menyebar ke seluruh pelosok Media, Persia, Partia, dan Baktria. Dua puluh orang uskup dan sekian banyak presbiter yang berkarya pada masa itu lebih merupakan misionaris-misionaris kelana, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti yang dulu dilakukan Paulus, sembari menafkahi diri dengan berdagang atau menjadi pengrajin.
Berbagai macam teori sudah dikemukakan untuk menjelaskan bagaimana Kekristenan berhasil menyebar luas sebelum terbitnya Maklumat Milan tahun 313. Di dalam buku The Rise of Christianity, Rodney Stark mengemukakan bahwa Kekristenan mampu menggeser paganisme terutama karena Kekristenan meningkatkan kehidupan para pemeluknya dalam berbagai macam segi.[113] Dag Øistein Endsjø berpendapat bahwa Kekristenan dibantu oleh janji kebangkitan orang mati sejagat pada akhir zaman di dalam ajarannya, yang sejalan dengan kepercayaan turun-temurun orang Yunani bahwa amerta sejati bergantung kepada sintasnya raga.[114] Menurut Will Durant, Gereja mampu mengungguli paganisme karena menawaran doktrin yang jauh lebih menarik, dan karena para pemuka agama Kristen mewacanakan kebutuhan-kebutuhan insani dengan lebih baik daripada saingan-saingan mereka.[115]
Menurut Bart D. Ehrman, pesatnya penyebaran agama Kristen disebabkan oleh lima faktor: (1) janji keselamatan dan kehidupan kekal bagi semua orang merupakan alternatif memikat bagi agama-agama yang dianut bangsa Romawi; (2) kisah-kisah mukjizat dan kesembuhan dari sakit-penyakit konon membuktikan bahwa Allah Kristen yang esa lebih berkuasa daripada sekian banyak dewa-dewi Romawi; (3) Kekristenan bermula sebagai suatu gerakan akar rumput yang menawarkan harapan akan masa depan yang lebih baik di akhirat kepada masyarakat kalangan bawah; (4) Kekristenan menjauhkan para pengikutnya dari agama-agama lain karena orang-orang yang masuk Kristen dianjurkan untuk tidak lagi beribadat kepada ilah-ilah lain, anjuran yang tidak lazim pada Abad Kuno, manakala memuja banyak ilah merupakan hal yang lumrah dilakukan orang; (5) di dunia Romawi, membuat seseorang masuk Kristen sering kali berarti membuat seisi rumahnya masuk Kristen—jika kepala rumah tangga masuk Kristen, maka dia menentukan agama apa yang akan dianut istri, anak-anak, maupun hamba sahayanya.[116][117]
Baca juga
- Aniaya terhadap umat Kristen di Kekaisaran Romawi
- Ante-Nicene Fathers (buku)
- Daftar Bapa Gereja
- Daftar runut orang kudus abad ke-2 & ke-3
- Gereja Raya
- Kekristenan dan agama Yahudi
- Kristenisasi
- Lepasnya Kekristenan dari agama Yahudi
- Linimasa Gereja Katolik
- Linimasa Kekristenan - Periode Pranikea
- Pusat-pusat perdana agama Kristen
- Rahbaniyat Kristen
- Sejarah Gereja Katolik
- Sejarah Gereja Ortodoks Timur
- Sejarah Kekristenan
- Sejarah Ortodoks Oriental
- Sejarah perdebatan Kalvinis-Arminian
- Seni rupa dan arsitektur Kristen purba
- Syuhada Kristen
- Yahudi Helenistis
Keterangan
Rujukan
- ^ Siker (2000). hlmn. 232–234.
- ^ Kebhinekaan Kekristenan Purba
- ^ Langan, The Catholic Tradition (1998), hlmn. 55, 115
- ^ Walter Bauer, Greek-English Lexicon
- ^ Ignasius dari Antiokhia Surat kepada Jemaat di Magnesia 10, Surat kepada Jemaat di Roma (terjemahan Roberts-Donaldson, terjemahan Lightfoot, teks Yunani)
- ^ Schaff, Philip (1914) [1882]. History of the Christian Church. II: Ante-Nicene Christianity. Charles Scribner's Sons. hlm. 614.
- ^ Johannes Quasten, Patrology, Jld. 1 (Westminster, Maryland: Christian Classics, Inc.), 219. (Johannes Quasten adalah Profesor Sejarah Gereja Purba dan Arkeologi Kristen di Universitas Katolik Amerika) Selain itu menurut Encyclopedia of the Early Church “Yustinus (Dial. 80) mengamini gagasan kaum milenarian sebagai gagasan umat Kristen yang paripurna ortodoksinya, tetapi dia tidak menutup-nutupi fakta bahwa ada banyak pihak yang menentang gagasan tersebut.” M. Simonetti, “Millenarism,” 560.
- ^ "Dialogue with Trypho (Bab 31-47)". Newadvent.org. Diakses tanggal 24 Januari 2014.
- ^ Philippe Bobichon, Millénarisme et orthodoxie dans les écrits de Justin Martyr dalam: Mélanges sur la question millénariste de l’Antiquité à nos jours, M. Dumont (dir.) [Bibliothèque d'étude des mondes chrétiens, 11], Paris, 2018, hlmn. 61-82 online
- ^ Yustinus tidak pernah mencapai konsistensi dalam eskatologinya. Tampaknya dalam pengertian tertentu dia percaya bahwa Kerajaan Allah sudah wujud pada kala kini. Kepercayaan semacam itu merupakan salah satu aspek dari pascamilenialisme, amilenialisme, dan dispensasionalisme progresif. Di dalam risalahnya, Apologi Pertama, Yustinus meratapi kesalahpahaman orang Romawi terhadap pengharapan akhir zaman umat Kristen. Orang Romawi berasumsi bahwa bilamana umat Kristen mendambakan sebuah kerajaan, yang mereka dambakan adalah sebuah kerajaan insani. Yustinus meluruskan kesalahpahaman ini dengan mengatakan, “sebab jika kita mencari sebuah kerajaan insani, haruslah juga kita sangkal Kristus kita, supaya kita tidak dibantai, dan haruslah kita berusaha lolos dari pemeriksaan, supaya kita boleh mendapatkan apa yang kita harapkan.” (1 Apol. 11.1-2; bdk. juga Apol. 52; Dial. 45.4; 113.3-5; 139.5) Lih. argumen-argumen Charles Hill dalam Regnum Caelorum: Patterns of Millennial Thought in Early Christianity. Meskipun demikian, Philip Schaff, seorang amilenialis, mencermati bahwa “di dalam kedua apologinya, Yustinus mengajarkan pandangan yang lazim tentang kebangkitan dan penghakiman umum, serta tidak mengungkit-ungkit ihwal milenium, tetapi tidak mengenyahkannya.” Philip Schaff, History of the Christian Church, Jld. 2 (Peabody, MA: Hendrickson, n.d.) 383. Grand Rapids: Eerdmans, 2001.
- ^ Melawan Bidat-Bidat 5.32.
- ^ ”Di antara para Bapa Apostolik, Barnabaslah orang pertama dan satu-satunya orang yang terang-terangan mengajarkan pemerintahan pramilenial Kristus di muka bumi. Ia menganggap riwayat penciptaan yang termaktub di dalam Taurat sebagai kiasan dari enam kala karya pengejawantah jagat, masing-masing kala lamanya seribu tahun, ditambah satu sahasrawarsa istirahat, sebab ‘satu hari bagi Allah sama seperti seribu tahun bagi manusia.’ Sabat seribu tahun di muka bumi akan disusul oleh hari kedelapan yang kekal di jagat baru, yang dikiaskan dengan Hari Tuhan (disebut Barnabas sebagai ‘hari kedelapan’)" (akses Surat Barnabas di sini). Philip Schaff, History of the Christian Church, Jld. 2 (Peabody, MA: Hendrickson, n.d.) 382.
- ^ "Introductory Note to the Fragments of Papias". Ccel.org. 2005-07-13. Diakses tanggal 24 Januari 2014.
- ^ Insruct. adv. Gentium Deos, 43, 44.
- ^ Menurut Encyclopedia of the Early Church “Komodianus (pertengahan abad ke-3) mengangkat tema 7000 tahun, dan seribu tahun terakhir dari kurun waktu tersebut adalah sahasrawarsa yang dimaksud (Instr. II 35, 8 ff.).” M. Simonetti, “Millenarism,” 560.
- ^ Melawan Marsion, parwa 3 bab 25
- ^ Simonetti mengemukakan di dalam Encyclopedia of the Early Church bahwa “Kita tahu kalau Melito juga seorang milenarian" mengingat Hieronimus menyebutnya sebagai seorang khiliastes. M. Simonetti, “Millenarism,” 560.
- ^ Perlu diingat bahwa Viktorinus dari Pettau tidak sama dengan Marcus Piav(v)onius Victorinus sang Kaisar Galia
- ^ Di dalam karya tulisnya, Ulasan Kitab Wahyu, dan dari fragmen De Fabrica Mundi (Bagian dari ulasan Kitab Kejadian). Hieronimus mengidentifikasi Viktorinus sebagai seorang pramilenialis.
- ^ “Origenes (Perihal Asas-Asas. II, 2-3)) menolak tafsir harfiah Wahyu 20-21. Ia menafsirkannya secara alegoris, dan dengan demikian merenggut landasan Kitab Suci dari Milenarisme. Di Timur: Dionisius dari Aleksandria harus mati-matian membantah paguyuban-paguyuban Mesir yang menganut keyakinan-keyakinan milenarian (dalam Esebius HE VII, 24-25). M. Simonetti, “Millenarism” dalam Encyclopedia of the Early Church, Diterjemahkan oleh Adrian Walford, Jilid 1 (New York: Oxford University Press, 1992), 560. Tidak diragukan lagi bahwa Origenes menghormati tradisi apostolik dalam menafsir Kitab Suci. Origeneslah yang berkata "Non debemus credere nisi quemadmodum per successionem Ecclesiae Dei tradiderunt nobis" (Dalam Matt., ser. 46, Migne, XIII, 1667). Meskipun demikian, sebagaimana dikemukakan di dalam The Catholic Encyclopedia "Origenes dengan gampangnya beralih ke alegorisme untuk menjelaskan antilogi-antilogi atau antinomi-antinomi yang murni dan tampak jelas. Ia beranggapan bahwa riwayat-riwayat atau ketetapan-ketetapan tertentu yang termaktub di dalam Kitab Suci akan tampak tidak layak dikait-kaitkan dengan Allah jika dipahami secara harfiah, atau jika riwayat-riwayat atau ketetapan-ketetapan tersebut semata-mata dipahami secara harfiah. Ia membenarkan alegorisme berdasarkan kenyataan bahwa jika tidak demikian maka riwayat-riwayat atau asas-asas tertentu yang kini mansukh bakal tidak ada guna dan faedahnya bagi pembaca. Dalam pandangannya, kenyataan tersebut bertentangan dengan penyelenggaraan Yang Maha Pengilham dan kehormatan Susastra Suci."
- ^ "NPNF2-01. Eusebius Pamphilius: Church History, Life of Constantine, Oration in Praise of Constantine". Ccel.org. Diakses tanggal 24 Januari 2014.
- ^ Esebius, Historia Ecclesiastica. 3.39.13
- ^ R. J. Bauckham (1982). D. A. Carson, ed. "Sabbath and Sunday in the Post-Apostolic church". From Sabbath to Lord's Day. Zondervan: 252–98.
- ^ The Teaching of the Twelve Apostles to the Nations, known as The Didache. Legacy Icons. 2016. hlm. 12.
- ^ Cross, F. L., (penyunting). The Oxford Dictionary of the Christian Church. New York: Oxford University Press. 2005, artikel Infant Baptism
- ^ a b Richard Wagner, Christianity for Dummies (John Wiley & Sons 2011 ISBN 978-1-11806901-1)
- ^ "Dia (Yesus) datang untuk menyelamatkan semua orang melalui diri-Nya sendiri sebagai sarana—saya bilang semua orang, yang melalui terlahir kembali bagi Allah, dan kanak-kanak, bayi, bujang, teruna, dan pinisepuh" (Adversus Haereses, ii, 22, 4)
- ^ Paul King Jewett, Infant Baptism and the Covenant of Grace, (Eerdmans 1978), hlm. 127.
- ^ "Sebab saat kita lahir, kita tidak lahir atas sepengetahuan atau pilihan kita sendiri, dan kita dibesarkan di dalam kebiasaan buruk serta didikan fasik; supaya kita tidak terus menjadi anak-anak keterpaksaan dan ketidaktahuan, tetapi boleh menjadi anak-anak pilihan dan pengetahuan, dan di dalam air beroleh pengampunan atas dosa-dosa yang dulu diperbuat, dilisankan ke atas orang yang memilih untuk dilahirkan kembali, dan sudah bertobat dari dosa-dosanya, nama Allah Bapa dan Tuhan sarwa sekalian alam; Dia, yang menuntun ke tempat pembasuhan, orang yang akan dibasuh yang menyeru-Nya dengan nama ini saja.""The First Apology, Chapter 61". New Advent. Diakses tanggal 14 Desember 2013.
- ^ Bradshaw, Paul F. (2002). The Search for the Origins of Christian Worship. Oxford University Press. hlm. 78–80. ISBN 978-0-19-521732-2.
- ^ Bradshaw, Paul; Johnson, Maxwell E.; Philips, L. Edwards (2002). The Apostolic Tradition: A Commentary. Hermeneia. Minneapolis: Fortress Press. ISBN 978-0-8006-6046-8.
- ^ Khotbah-khotbah Tentang Kitab Imamat Diarsipkan 2011-02-18 di Wayback Machine. 8.3.11; Ulasan Tentang Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 5.9; dan Khotbah Tentang Injil Lukas 14.5
- ^ "Menunda pembaptisan itu lebih baik; tetapi utamanya jika calon baptisnya adalah anak-anak kecil. Sebab mengapa membaptis itu penting ... sampai-sampai para wali baptis pun harus pula didorong ke dalam bahaya? ... Untuk alasan yang sama haruslah pembaptisan orang yang belum kawin ditangguhkan—untuk dia dasar yang disiapkan adalah pencobaan, sebagaimana pembatisan tidak pernah ditangguhkan bagi orang yang sudah kawin atas dasar kedewasaan mereka, dan bagi duda dan janda atas dasar kebebasan mereka—sampai mereka kawin lagi, atau kian sempurna diteguhkan untuk hidup bertarak" (Ihwal Pembaptisan 18).
- ^ "Didakhe, merepresentasikan amalan yang mungkin setua permulaan abad ke-2, kemungkinan besar amalan yang dipelihara di Suriah, juga menandaskan bahwa benam adalah cara yang biasa, tetapi memperbolehkan cara mendiruskan air tiga kali ke atas kepala jikalau tidak tersedia cukup air untuk memungkinkan dilaksanakannya cara benam. Cara yang kedua mestilah merupakan cara yang kerap dipakai, lantaran sejalan dengan sebagian besar penggambaran-penggambaran perdana pembaptisan dalam seni rupa, di katakombe-katakombe Roma dan di sarkofagus-safkofagus dari abad ke-3 dan sesudahnya. Rumah pertemuan Kristen teridentifikasi tertua yang sudah diketahui saat ini, yaitu di Dura Europos, daerah Lembah Sungai Efrat, memiliki sebuah palung pembaptisan yang terlampau dangkal untuk membenamkan orang. Sudah jelas amalan lokal berbeda-beda, dan kepraktisan akan kerap mengatasi hasrat apapun yang mungkin dirasakan para pemimpin untuk membuat tindakan memimik metafora" (Margaret Mary Mitchell, Frances Margaret Young, K. Scott Bowie, Cambridge History of Christianity, Jld. 1, Origins to Constantine (Cambridge University Press 2006 ISBN 978-0-521-81239-9), hlmn. 160–161).
- ^ a b Danielou, Jean (2016). Origen (dalam bahasa Inggris). Wipf and Stock Publishers. hlm. 29. ISBN 978-1-4982-9023-4.
Peterson menyitir nas dari Kisah Hiparkhus dan Filoteus: "Di rumah Hiparkhus ada bilik khusus yang diperindah, dan sebatang salib tergambar di dinding timurnya. Di bilik itu, di hadapan gambar salib, mereka biasanya berdoa tujuh kali sehari ... dengan muka menghadap ke timur." Mudah untuk melihat arti penting nas ini jika anda membandingkannya dengan apa yang dikatakan Origenes. Kebiasaan menghadap ke arah matahari terbit saat berdoa sudah tergantigan oleh kebiasaan menghadap dinding timur. Hal ini kita dapati di dalam risalah Origenes. Dari nas yang lain dapat kita ketahui bahwa sebuah salib sudah digambar pada tembok sebagai penanda arah timur. Inilah asal-usul amalan menggantungkan krusifiks di tembok bilik-bilik pribadi di rumah-rumah orang Kristen. Dapat kita ketahui pula bahwa lambang-lambang dipasang pada sinagoga-sinagoga Yahudi sebagai penanda arah Yerusalem, lantaran umat Yahudi menghadap ke arah Yerusalem bilamana melinsankan doa-doa mereka. Persoalan cara menghadapkan muka yang benar saat berdoa senantiasa dianggap sangat penting di Timur.
- ^ Henry Chadwick (1993). The Early Church (dalam bahasa Inggris). Penguin. ISBN 978-1-101-16042-8.
Hipolitus, di dalam Tradisi Apostolik, mewejangi umat Kristen supaya bersembahyang tujuh kali sehari - saat bangun tidur, saat menyalakan lampu menjelang malam, saat tiba waktunya untuk tidur, saat tengah malam, dan apabila berada di rumah, juga pada pukul tiga, pukul enam, dan pukul sembilan hari itu, lantaran merupakan waktu-waktu yang erat kaitannya dengan Sengsara Kristus. Sembahyang pada pukul tiga, pukul enam, dan pukul sembilan juga disebutkan oleh Tertulianus, Siprianus, Klemens dari Aleksandria, maupun Origenes, dan mestilah sudah sangat luas diamalkan. Sembahyang-sembahyang tersebut lazimnya erat dikaitkan dengan pembacaan Alkitab secara pribadi dalam lingkup rumah tangga.
- ^ Weitzman, M. P. (7 July 2005). The Syriac Version of the Old Testament (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-01746-6.
Klemens dari Aleksandria mencatat bahwa "beberapa waktu yang tetap untuk bersembahyang, seperti pukul tiga, pukul enam, dan pukul sembilan" (Stromata 7:7). Tertulianus menganjurkan waktu-waktu tersebut, lantaran arti pentingnya (lih. di bawah) di dalam Perjanjian Baru, dan lantaran angka-angkanya mengingatkan orang kepada Tritunggal (De Oratione 25). Waktu-waktu tersebut memang muncul sebagai waktu-waktu yang ditetapkan untuk bersembahyang sejak hari-hari permulaan sejarah Gereja. Petrus bersembahyang pada pukul enam, yakni pada tengah hari (Kisah Para Rasul 10:9). Pukul sembilan disebut "waktu sembahyang" (Kisah Para Rasul 3:1). Ini adalah waktu ketika Kornelius bersembahyang saat masih berstatus "orang yang takut kepada Allah" di dalam lingkup komunitas Yahudi, yakni sebelum memeluk agama Kristen. Waktu ini juga adalah waktu Yesus berdoa untuk terakhir kalinya (Matius 27:46, Markus 15:34, Lukas 22:44–46).
- ^ a b Lössl, Josef (17 February 2010). The Early Church: History and Memory (dalam bahasa Inggris). A&C Black. hlm. 135. ISBN 978-0-567-16561-9.
Bukan hanya isi doa-doa sembahyang Kristen purba yang berakar pada tradisi Yahudi; struktur hariannya juga mula-mula mengikuti pola Yahudi, yaitu sembahyang pada saat fajar menyingsing, pada tengah hari, dan pada saat hari sudah senja. Kemudian hari (pada abad kedua), pola ini dipadukan dengan yang pola lain; yaitu pola sembahyang malam, tengah malam, dan pagi hari. Sebagai hasilnya, terciptalah 'sembahyang tujuh waktu', yang kemudian hari menjadi 'waktu-waktu sembahyang harian' rahbaniyat dan masih diperlakukan sebagai waktu-waktu sembahyang 'yang baku' di banyak gereja dewasa ini. Waktu-waktu tersebut kurang-lebih sama dengan pukul 12 tengah malam, pukul 6 pagi, pukul 9 pagi, pukul 12 tengah hari, pukul 3 sore, pukul 6 sore, dan pukul 9 malam. Sikap-sikap tubuh saat bersembahyang mencakup tiarap, berlutut, dan berdiri. ... Salib-salib yang terbuat dari batu atau kayu, atau tergambar pada dinding atau dalam benlukisan mosaiknya, were also in use, at first not directly as objections of veneration but in order to 'orientate' the direction of prayer (i.e. towards the east, Latin oriens).
- ^ Bradshaw, Paul F. (1 October 2008). Daily Prayer in the Early Church: A Study of the Origin and Early Development of the Divine Office (dalam bahasa English). Wipf and Stock Publishers. hlm. 42. ISBN 978-1-60608-105-1.
- ^ González, Justo L. (30 June 2020). Teach Us to Pray: The Lord's Prayer in the Early Church and Today (dalam bahasa English). Wm. B. Eerdmans Publishing. ISBN 978-1-4674-5958-7.
Kata-kata ini menyingkap kenyataan bahwa Hipolitus membicarakan persembahyangan yang dilangsungkan di rumah atau pada hari-hari kerja maupun persembahyangan dan waktu belajar yang dilangsungkan di tengah-tengah jemaat gereja. Sembahyang pada waktu bangun tidur, sembahyang pada pukul tiga, baik saat di rumah maupun saat tidak berada di rumah, dan sembahyang menjelang tidur pada malam hari kadang-kadang dilaksanakan seorang diri dan kadang-kadang dilaksanakan bersama-sama dengan orang-orang beriman lainnya yang tinggal seatap. Akan tetapi Hipolitus menyebutkan pertemuan-pertemuan lain yang disamping sembahyang juga memberi kesempatan bagi wejangan dan inspirasi. Dengan demikian, di sini kita lihat permulaan dari amalan mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk sembahyang sendiri maupun amalan mengkhususkan waktu-waktu lain untuk sembahyang berjemaat.
- ^ Bercot, David W. (28 December 2021). Dictionary of Early Christian Beliefs: A Reference Guide to More Than 700 Topics Discussed by the Early Church Fathers (dalam bahasa English). Tyndale House Publishers, Inc. ISBN 978-1-61970-168-7.
Sembahyang Pagi dan Sembahyang Malam adalah kebaktian liturgis yang diselenggarakan setiap hari di gereja lokal, yang sepanjang pelaksanaannya dinyanyikan mazmur-mazmur dan doa-doa dipersembahkan kepada Allah.
- ^ Beckwith, Roger T. (2005). Calendar, Chronology And Worship: Studies in Ancient Judaism And Early Christianity (dalam bahasa Inggris). Brill Academic Publishers. hlm. 193. ISBN 978-90-04-14603-7.
- ^ "Why an Evening Worship Service?" (dalam bahasa Inggris). Christ United Reformed Church. 8 December 2010. Diakses tanggal 6 Oktober 2020.
- ^ Couchman, Judith (5 March 2010). The Mystery of the Cross: Bringing Ancient Christian Images to Life (dalam bahasa English). InterVarsity Press. hlm. 85. ISBN 978-0-8308-7917-5.
Lantaran orang-orang Kristen perdana adalah orang-orang Yahudi, secara alamiah mereka mengangkat tangan saat berdoa, sama seperti gambar sosok-sosok orans yang berkerudung di katakombe-katakombe. Rasul Paulus menasihati umat Kristen perdana supaya "berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan" (1 Tim 2:8) dan sastra Gereja purba mengindikasikan penyebarluasan sikap berdoa semacam ini. Pada abad pertama hingga abad ketiga, Markus Minusius Feliks, Klemens dari Roma, Klemens dari Aleksandria, dan Tertulianus menasihati orang-orang Kristen untuk mengangkat tangan selagi berdoa, atau setidaknya menyebutkan amalan tersebut.
- ^ Wainwright, Geoffrey (1997). For Our Salvation: Two Approaches to the Work of Christ (dalam bahasa English). Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 76. ISBN 978-0-8028-0846-2.
Ketakwaan menampakkan dirinya dalam tindakan menandai diri secara informal dengan tanda salib, dalam tindakan yang disifatkan dalam nas 1 Timotius 2:8 dengan kalimat "menadahkan tangan yang suci" selagi berdoa (sikap yang merentang mulai dari gambar-gambar orans di katakombe-katakombe hingga petakostalisme modern), dalam tindakan berlutut menyesali dosa atau berserah diri, dan tindakan genufleksi penuh hormat, dalam amalan-amalan zuhud yang diisyaratkan oleh citraan atletis Rasul Paulus (1 Korintus 9:24-27; 1 Timotius 6:6-16; 2 Timotius 4:7f).
- ^ a b c d e f g h i j k l m Stutzman, Paul Fike (1 January 2011). Recovering the Love Feast: Broadening Our Eucharistic Celebrations (dalam bahasa English). Wipf and Stock Publishers. ISBN 978-1-4982-7317-6.
- ^ "The Head Covering or Prayer Veil: 1 Corinthians 11:1-16" (dalam bahasa English). Scroll Publishing Company. Diakses tanggal 5 April 2022.
Sekitar tahun 200, di Kartago, Afrika Utara, Tertulianus menulis sepucuk risalah bertajuk, "Ihwal Mengerudungi Perawan." Tertulianus berargumen bahwa ayat itu berlaku atas semua perempuan yang sudah cukup umur—bukan hanya bagi perempuan yang sudah berkeluarga. … Sebelum itu di dalam risalahnya, Tertulianus memberi kesaksian bahwa Gereja-Gereja yang didirikan oleh para rasul memang mewajibkan perempuan-perempuan yang sudah berkeluarga maupun perawan-perawan untuk berkerudung: Di seantero negeri Yunani, dan di beberapa provinsi barbar, mayoritsa Gereja mengerudungi perawan-perawan mereka. Nyatanya amalan ini diikuti di beberapa tempat di bawah langit Afrika ini. Jadi janganlah seorang pun menisbatkan adat ini semata-mata kepada adat-istiadat asing orang-orang Yunani dan orang-orang barbar. Selain itu, akan saya ajukan sebagai suri teladan, Gereja-Gereja yang didirikan oleh para rasul maupun orang-orang dekat para rasul. … Orang-orang Korintus sendiri memahami perkataannya seperti itu. Sebab sampai hari ini pun orang-orang Korintus masih mengerudungi perawan-perawan mereka. Apa yang diajarkan para rasul, diamini murid-murid para rasul. [Tertulianus, The Veiling of Virgins The Ante-Nicene Fathers Jld. 4 hlmn. 27-29,33] … Singkatnya, umat Kristen purba mengamalkan tidak lain dari yang disebutkan di dalam nas 1 Korintus 11: Laki-laki berdoa dengan kepala tidak bertutup. Perempuan berdoa dengan kepala berkerudung. Tidak seorangpun yang mempermasalahkannya—di mana pun tempat tinggal mereka—Eropa, Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Timur Jauh. This written evidence of the course of performance of the early Christians is corroborated by the archaeological record. The pictures we have from the second and third centuries from the catacombs and other places depict Christian women praying with a cloth veil on their heads. Some of those pictures are shown below. So the historical record is crystal clear. It reveals that the early generation of believers understood the head covering to be a cloth veil—not long hair. As Tertullian indicated, even the women who did not wish to follow Paul's teaching were not claiming that Paul was talking about long hair. Rather, they simply wore a small cloth in minimal obedience to his teaching. Nobody in the early Church claimed that Paul's instructions were merely a concession to Greek culture. Nobody claimed that they had anything to do with prostitutes or pagan priestesses.
- ^ Bercot, David W. (1992). Common Sense: A New Approach to Understanding Scripture (dalam bahasa English). Scroll Publishing Co. hlm. 68. ISBN 978-0-924722-06-6.
Bukti historis sudah sangat jelas. Catatan itu menyingkap bahwa segenap Gereja purba paham kalau Paulus sedang membicarakan kain kerudung, bukan rambut panjang. … Hipolitus, seorang pemimpin Gereja di Roma sekitar tahun 200, compiled a record of the various customs and practices in that church from the generations that preceded him. His Apostolic Tradition contains this statement: "And let all the women have their heads covered with an opaque cloth, not with a veil of thin linen, for this is not a true covering." This written evidence of the course of performance of the early Christians is corroborated by the archaeological record. The pictures we have from the second and third centuries from the catacombs and other places depict Christian women praying with a cloth veil on their heads. So the historical record is crystal clear. It reveals that the early generation of believers understood the head covering to be a cloth veil—not long hair.
- ^ a b Fahlbusch, Erwin; Lochman, Jan Milic; Bromiley, Geoffrey William; Mbiti, John S.; Pelikan, Jaroslav; Barrett, David B.; Vischer, Lukas (1999). The Encyclopedia of Christianity (dalam bahasa Inggris). Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 322. ISBN 978-90-04-11695-5.
- ^ Eusebius. "Church History". hlm. 5.24.
- ^ Bauer, Walter (1971). Orthodoxy and Heresy in Earliest Christianity. Fortress Press. ISBN 0-8006-1363-5.
- ^ Pagels, Elaine (1979). The Gnostic Gospels. Knopf Doubleday Publishing. ISBN 0-679-72453-2.
- ^ Ehrman, Bart D. (2005). Lost Christianities: The Battles for Scripture and the Faiths We Never Knew. Oxford University Press. ISBN 0195182499.
- ^ Duffy (2002), hlm. 12.
- ^ Esler (2004). hlmn. 893–894.
- ^ Stark, Rodney (9 May 1997). The Rise of Christianity
. HarperCollins. ISBN 978-0-06-067701-5. Diakses tanggal 28 Oktober 2012.
- ^ Herring, An Introduction to the History of Christianity (2006), hlm. 28
- ^ a b Harris, Stephen L., Understanding the Bible. Palo Alto: Mayfield. 1985.
- ^ Williams, Robert Lee (2005). Bishop Lists: Formation of Apostolic Succession of Bishops in Ecclesiastical Crises. Gorgias Press LLC. hlm. 6. ISBN 978-1-59333-194-8. Diakses tanggal 28 Oktober 2012.[pranala nonaktif permanen]
- ^ presbyter. CollinsDictionary.com. Collins English Dictionary – Complete & Unabridged Edisi ke-11. Temu balik tanggal 6 Oktober 2012.
- ^ Catholic Encyclopedia: Sri Paus
- ^ Langan, The Catholic Tradition (1998), hlm.107
- ^ Eamon Duffy, Saints and Sinners, bab 1
- ^ "Catholic Encyclopedia - List of Popes". New Advent. Diakses tanggal 12 Desember 2006.
- ^ "Anglicanism | History, Beliefs & Practices | Britannica". 29 March 2024.
- ^ Haight, Roger D. (16 September 2004). Christian Community in History Volume 1: Historical Ecclesiology. Continuum International Publishing Group. hlm. 83–84. ISBN 978-0-8264-1630-8. Diakses tanggal 26 Oktober 2012.
- ^ Sebagai contoh lih. Konsili Yerusalem dan Pusat-pusat perdana agama Kristen#Yerusalem.
- ^ Catholic Encyclopedia: Jerusalem (AD 71-1099)
- ^ "Lantaran masih dijunjung tinggi adat dan tradisi purba yang menjadikan uskup kota Elia harus dihormati, hendaklah dia diserahi segala sesuatu yang merupakan bawaan dari kehormatan ini, selain dari kehormatan yang layak bagi metropolit" (Canon 7).
- ^ Ireneus Melawan Bidat-Bidat 3.3.2: "...Gereja didirikan dan ditata di Roma oleh dua rasul adiluhur, Petrus dan Paulus; yang jugaas also [by pointing out] iman yang diwartakan kepada manusia, yang terwariskan ke zaman kita melalui suksesi uskup-uskup. ...Rasul-rasul mubarak itu, sesudah membangun dan membina Gereja, lantas mempercayakan ke dalam tangan Linus jawatan keuskupan."
- ^ Schimmelpfennig (1992), hlmn. 49–50.
- ^ Kling (2004), hlmn. 64, 66.
- ^ Barrett, dkk (1999), hlm. 116.
- ^ Kanon VI Konsili Nikea I, yang menutup kurun waktu yang dibahas dalam artikel ini, berbunyi: "Hendaklah adat bihari Mesir, Libya, dan Pentapolis terus lestari, yaitu Uskup Aleksandria yang memangku yurisdisi atas semuanya, sebab seperti itu jua yang teradatkan bagi Uskup Roma. Sama seperti yang berlaku di Antiokhia dan provinsi-provinsi lain, hendaklah Gereja-Gereja mempertahankan keistimewaan-keistimewaannya. Dan haruslah ini dicamkan di seluruh dunia, bahwa barang siapa dijadikan uskup tanpa seizin metropolit, maka Sinode Agung sudah menyatakan bahwa orang seperti itu tidak boleh menjadi uskup ..." Seperti yang dapat dilihat, gelar "Batrik", yang belakangan disematkan kepada beberapa di antara uskup-uskup tersebut, tidak digunakan oleh Konsili Nikea I: "Tak seorangpun yang bisa mengatakan bahwa Uskup Antiokhia dan Uskup Aleksandria disebut batrik pada masa itu, maupun mengatakan bahwa yurisdiksi yang mereka miliki pada masa itu sama persis luas cakupannya dengan yang mereka miliki kemudian hari, yakni ketika mereka sudah disebut batrik" (ffoulkes, Dictionary of Christian Antiquities, dikutip dalam Jilid XIV The Seven Ecumenical Councils karangan Philip Schaff).
- ^ Bart D. Ehrman (1997). The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. Oxford University Press. hlm. 8. ISBN 978-0-19-508481-8.
Perjanjian Baru memuat dua puluh tujuh kitab, yang ditulis dalam bahasa Yunani, oleh lima belas atau enam belas sastrawan yang berlainan, yang ditujukan kepada orang-orang pribadi atau paguyuban-paguyuban Kristen lain antara tahun 50 sampai 120 (lih. kotak 1.4). Sebagaimana yang akan kita lihat, sukar untuk mengetahui apakah ada di antaranya yang ditulis oleh murid-murid Yesus sendiri.
- ^ Ferguson, hlmn.302–303; bdk. Yustinus Martir, Apologi Pertama 67.3
- ^ Ferguson, hlm.301; bdk. Ireneus, Adversus Haereses 3.11.8
- ^ a b White (2004). hlm. 446–447.
- ^ Philip R. Davies, dalam The Canon Debate, hlm. 50: "Bersama banyak sarjana lain, saya menyimpulkan bahwa penetapan sebuah daftar kanonik hampir dapat dipastikan merupakan capaian kulawangsa Hasmonaim."
- ^ H. J. De Jonge, "The New Testament Canon", dalam The Biblical Canons. Penyuntingː de Jonge & J. M. Auwers (Leuven University Press, 2003) hlm. 315
- ^ Noll, hlmn.36-37
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 27–28
- ^ Untuk tinjauan mengenai edisi-edisi mutakhir karya-karya tulis para Bapa Apostolik dan selayang pandang status keilmuan terkini, lih. Timothy B. Sailors, "Bryn Mawr Classical Review: Review of The Apostolic Fathers: Greek Texts and English Translations". Diakses tanggal 11 Juli 2023.
- ^ SURAT IGNASIUS KEPADA JEMAAT DI MAGNESIA, bab IX
- ^ a b c d e f g h i j k Durant, Will (1944). Caesar and Christ. The Story of Civilization: Part III. Simon and Schuster.
- ^ Lake 1912
- ^ McDonald & Sanders, The Canon Debate, Appendix D-1
- ^ "Gembala Hermas adalah salah satu dari pustaka-pustaka terpopuler, jika bukan pustaka yang paling populer, di lingkungan Gereja pada abad kedua, ketiga, dan keempat. Dalam beberapa segi, pustaka ini sejajar dengan Perjalanan Seorang Musafir karangan Bunyan pada zaman modern." (F. Crombie, penerjemah Schaff, op. cit.).
- ^ a b "Clement of Alexandria." Cross, F. L., (penyunting) The Oxford dictionary of the Christian church. New York: Oxford University Press. 2005
- ^ George Sarton (1936). "The Unity and Diversity of the Mediterranean World", Osiris 2, hlmn. 406-463 [430].
- ^ Anatema Terhadap Origenes, oleh Konsili Oikumene Ke-5 (Schaff, Philip, "The Seven Ecumenical Councils", Nicene and Post-Nicene Fathers, Seri 2, Jld. 14. Edinburgh: T&T Clark)
- ^ The Anathematisms of the Emperor Justinian Against Origen (Schaff, op. cit.)
- ^ About Caesarea
- ^ Cross, F. L., (penyunting), "The Oxford Dictionary of the Christian Church" (Oxford University Press 2005)
- ^ a b Cross, F. L., ed. (2005). The Oxford Dictionary of the Christian Church. New York: Oxford University Press.
- ^ a b Cross, F. L., (penyunting) The Oxford Dictionary of the Christian Church. New York: Oxford University Press. 2005, artikel Tertullian
- ^ [1] Pada tahun 434, Vinsensius dari Lerins, di dalam bab 17 risalah Commonitorium, menyifatkan Tertulianus sebagai 'yang pertama dari antara kita orang-orang Latin' (Quasten IV, hlm.549)
- ^ Catholic Encyclopedia: Tertullian
- ^ Rebillard, Eric (July 30, 2023). "Tertullian, c. 160–c. 240 CE". Oxford. doi:10.1093/acrefore/9780199381135.013.6301. ISBN 978-0-19-938113-5. Diakses tanggal 15 Oktober 2023.
- ^ Tillich, Paul (1972). A History of Christian Thought. Touchstone Books. hlm. 43. ISBN 0-671-21426-8.
- ^ Kepada Autolikus, Parwa 2, bab XV
- ^ "1 Timothy 2 NIV". BibleGateway. Diakses tanggal 7 Oktober 2012.
- ^ "Ephesians 5 NIV". Diakses tanggal 7 Oktober 2012.
- ^ Clark, Elizabeth Ann (1983). Women in the Early Church. Liturgical Press. hlm. 15. ISBN 978-0-8146-5332-6.
- ^ Allen Brent, Cyprian and Roman Carthage (Cambridge University Press, 2010), hlm. 193ff. et passim; G.E.M. de Ste. Croix, Christian Persecution, Martyrdom, and Orthodoxy, disunting oleh Michael Whitby dan Joseph Streeter (Oxford University Press, 2006), hlm. 59.
- ^ Ste. Croix, Christian Persecution, Martyrdom, and Orthodoxy, hlm. 107.
- ^ Ste. Croix, Christian Persecution, Martyrdom, and Orthodoxy, hlm. 40.
- ^ Ste. Croix, Christian Persecution, Martyrdom, and Orthodoxy, hlmn. 139–140
- ^ Françoise Monfrin, penjelasan lema "Milan," hlm. 986, dan Charles Pietri, penjelasan lema "Persecutions," hlm. 1156, dalam The Papacy: An Encyclopedia, disunting oleh Philippe Levillain (Routledge, 2002, terbit perdana dalam bahasa Prancis pada tahun 1994), jld. 2; Kevin Butcher, Roman Syria and the Near East (Getty Publications, 2003), hlm. 378.
- ^ Michael Whitby, dkk. (penyunting) Christian Persecution, Martyrdom and Orthodoxy (2006) edisi daring Diarsipkan 2011-06-24 di Wayback Machine.
- ^ Hopkins(1998), hlm. 191
- ^ Stark, Rodney (13 May 1996). The Rise of Christianity: A Sociologist Reconsiders History. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. hlm. 19. ISBN 978-0691027494.
- ^ Stark, Rodney (1996). The Rise of Christianity. Princeton University Press. ISBN 978-0691027494.
- ^ Dag Øistein Endsjø. Greek Resurrection Beliefs and the Success of Christianity. New York: Palgrave Macmillan 2009.
- ^ Durant 2011.
- ^ Ehrman, Bart D. (29 March 2018). "Inside the Conversion Tactics of the Early Christian Church". History. A+E Networks. Diakses tanggal 5 April 2019.
- ^ KRUGER, MICHAEL J. (March 12, 2018). "Bart Ehrman on How Christianity Defeated Paganism". The Gospel Coalition. Diakses tanggal 3 Juli 2023.
Sumber
Sumber cetak
- Berard, Wayne Daniel. When Christians Were Jews (That Is, Now). Cowley Publications (2006). ISBN 1-56101-280-7
- Bird, Michael F. (2017), Jesus the Eternal Son: Answering Adoptionist Christology, Wim. B. Eerdmans Publishing
- Bermejo-Rubio, Fernando (2017), "The Process of Jesus' Deification and Cognitive Dissonance Theory", Numen, 64 (2–3): 119–152, doi:10.1163/15685276-12341457
- Boatwright, Mary Taliaferro & Gargola, Daniel J & Talbert, Richard John Alexander. The Romans: From Village to Empire. Oxford University Press (2004). ISBN 0-19-511875-8
- Bockmuehl, Markus N. A. (2010), The Remembered Peter: In Ancient Reception and Modern Debate, Mohr Siebeck
- Bokenkotter, Thomas (2004), A Concise History of the Catholic Church, Doubleday, ISBN 0-385-50584-1
- Bourgel, Jonathan (2010), "The Jewish Christians' Move from Jerusalem as a Pragmatic Choice", dalam Jaffé, Dan, Kaiphas: der Hohepriester jenes Jahres : Geschichte und Deutung, BRILL, ISBN 978-90-04-18410-7; see also academia.edu
- Burkett, Delbert (2002), An Introduction to the New Testament and the Origins of Christianity, Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-00720-7
- Cook, John Granger (2011). Roman Attitudes Toward the Christians: From Claudius to Hadrian. Mohr Siebeck. ISBN 978-3-16-150954-4.
- Croix, G. E. M. de Sainte (1963). "Why Were The Early Christians Persecuted?". Past and Present (26): 6–38. doi:10.1093/past/26.1.6.
- Croix, G. E. M. de Sainte (2006), Whitby, Michael, ed., Christian Persecution, Martyrdom, And Orthodoxy, Oxford University Press, ISBN 0-19-927812-1
- Davidson, Ivor J., The Birth of the Church: From Jesus to Constantine, A.D. 30-312, Baker Books (2004)
- Dauphin, C. "De l'Église de la circoncision à l'Église de la gentilité – sur une nouvelle voie hors de l'impasse". Studium Biblicum Franciscanum. Liber Annuus XLIII (1993).
- De Conick, April D. (2006), "What Is Early Christian and Jewish Mysticism?", dalam De Conick, April D., Paradise Now: Essays on Early Jewish and Christian Mysticism, SBL, ISBN 9781589832572
- Dunn, James D.G., Jews and Christians: The Parting of the Ways, A.D. 70 to 135, Wm. B. Eerdmans Publishing (1999), ISBN 0-8028-4498-7
- Dunn, James D.G. (1982), The New Perspective on Paul. Manson Memorial Lecture, 4 november 1982
- Dunn, James (1992), Jews and Christians, Wm. B. Eerdmans Publishing, ISBN 978-0-8028-4498-9
- Dunn, James D.G. (2009), Christianity in the Making Volume 2: Beginning from Jerusalem, Wm. B. Eerdmans Publishing
- Durant, Will (2011). Caesar and Christ: The Story of Civilization. Simon and Schuster. ISBN 978-1-4516-4760-0.
- Eddy, Paul Rhodes; Boyd, Gregory A. (2007), The Jesus Legend: A Case for the Historical Reliability of the Synoptic Jesus Tradition, Baker Academic, ISBN 978-0-8010-3114-4
- Ehrman, Bart D. (2003), Lost Christianities: The Battles for Scripture and the Faiths We Never Knew, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-972712-4
- Ehrman, Bart D. (2006). Whose Word is It?: The Story Behind Who Changed The New Testament and Why. A&C Black. ISBN 978-0-8264-9129-9.
- Ehrman, Bart (2006b), Peter, Paul, and Mary Magdalene: The Followers of Jesus in History and Legend, Oxford University Press, USA, ISBN 0-19-530013-0
- Ehrman, Bart D. (2008). A Brief Introduction to the New Testament. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-536934-2.
- Ehrman, Bart D. (2012). Did Jesus Exist?: The Historical Argument for Jesus of Nazareth. HarperCollins. ISBN 978-0-06-208994-6.
- Ehrman, Bart (2014), How Jesus became God: The Exaltation of a Jewish Preacher from Galilee, Harper Collins
- Elwell, Walter; Comfort, Philip Wesley (2001), Tyndale Bible Dictionary, Tyndale House Publishers, ISBN 0-8423-7089-7
- Esler, Philip F. The Early Christian World. Routledge (2004). ISBN 0-415-33312-1
- Fee, Gordon; Stuart, Douglas (2014). How to Read the Bible for All Its Worth: Fourth Edition. Zondervan. ISBN 978-0-310-51783-2.
- Ferguson, Everett, "Factors leading to the Selection and Closure of the New Testament Canon", in The Canon Debate. eds. L. M. McDonald & J. A. Sanders (Hendrickson, 2002)
- Finlan, Stephen (2004), The Background and Content of Paul's Cultic Atonement Metaphors, Society of Biblical Literature
- Fredriksen, Paula (2018), When Christians Were Jews: The First Generation, Yale University Press
- Harris, Stephen L. Understanding the Bible. Mayfield (1985). ISBN 0-87484-696-X.
- Henderson, John B. (1998). The Construction of Orthodoxy and Heresy: Neo-Confucian, Islamic, Jewish, and Early Christian Patterns. Albany, NY: State University of New York Press. ISBN 9780791437599.
- Hinson, E. Glenn The Early Church: Origins to the Dawn of the Middle Ages. Abingdon Press (1996). ISBN 0-687-00603-1.
- Hunt, Emily Jane. Christianity in the Second Century: The Case of Tatian. Routledge (2003). ISBN 0-415-30405-9
- Hurtado, Larry (2005), Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity, Eerdmans
- Jacomb-Hood, Anthony. Rediscovering the New Testament Church. CreateSpace (2014). ISBN 978-1978377585
- Keck, Leander E. Paul and His Letters. Fortress Press (1988). ISBN 0-8006-2340-1
- Koester, Helmut (2000), Introduction to the New Testament, Vol. 2: History and Literature of Early Christianity, Walter de Gruyter
- Komarnitsky, Kris (2014), "Cognitive Dissonance and the Resurrection of Jesus", The Fourth R Magazine, 27 (5)
- Kubitza, Heinz-Werner (2016), The Jesus Delusion: How the Christians created their God: The demystification of a world religion through scientific research, Tectum Wissenschaftsverlag
- Leman, Johan (2015), Van totem tot verrezen Heer. Een historisch-antropologisch verhaal, Pelckmans
- Loke, Andrew Ter Ern (2017), The Origin of Divine Christology, 169, Cambridge University Press, ISBN 978-1-108-19142-5
- Lüdemann, Gerd; Özen, Alf, De opstanding van Jezus. Een historische benadering (Was mit Jesus wirklich geschah. Die Auferstehung historisch betrachtet), The Have/Averbode
- Mack, Burton L. (1988), "The Congregations of the Christ", A Myth of Innocence: Mark and Christian Origins, Fortress Press, ISBN 978-0-8006-2549-8
- Mack, Burton L. (1995), Who wrote the New Testament? The making of the Christian myth, Harper San Francisco, ISBN 978-0-06-065517-4
- Mack, Burton L. (1997) [1995], Wie schreven het Nieuwe Testament werkelijk? Feiten, mythen en motieven, Uitgeverij Ankh-Hermes
- Moss, Candida (2012). "Current Trends in the Study of Early Christian Martyrdom". Bulletin for the Study of Religion. 41 (3): 22–29. doi:10.1558/bsor.v41i3.22. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-25. Diakses tanggal 2020-02-22.
- Netland, Harold (2001), Encountering Religious Pluralism: The Challenge to Christian Faith & Mission, InterVarsity Press
- Noll, Mark A., Turning Points, Baker Academic, 1997
- Pagels, Elaine (2005), De Gnostische Evangelien (The Gnostic Gospels), Servire
- Pelikan, Jaroslav Jan. The Christian Tradition: The Emergence of the Catholic Tradition (100–600). University of Chicago Press (1975). ISBN 0-226-65371-4
- Price, Robert M. (2000), Deconstructing Jesus, Prometheus Books, ISBN 9781573927581
- Pritz, Ray A., Nazarene Jewish Christianity From the End of the New Testament Period Until Its Disappearance in the Fourth Century. Magnes Press – E.J. Brill, Jerusalem – Leiden (1988).
- Richardson, Cyril Charles. Early Christian Fathers. Westminster John Knox Press (1953). ISBN 0-664-22747-3.
- Stark, Rodney.The Rise of Christianity. Harper Collins Pbk. Ed edition 1997. ISBN 0-06-067701-5
- Stambaugh, John E. & Balch, David L. The New Testament in Its Social Environment. John Knox Press (1986). ISBN 0-664-25012-2.
- Stendahl, Krister (1963), "The Apostle Paul and the Introspective Conscience of the West" (PDF), The Harvard Theological Review, 56 (3): 199–215, doi:10.1017/S0017816000024779
- Tabor, James D. "Ancient Judaism: Nazarenes and Ebionites", The Jewish Roman World of Jesus. Department of Religious Studies at the University of North Carolina at Charlotte (1998)
- Talbert, Charles H. (2011), The Development of Christology during the First Hundred Years: and Other Essays on Early Christian Christology. Supplements to Novum Testamentum 140., BRILL
- Taylor, Joan E. Christians and the Holy Places: The Myth of Jewish-Christian Origins. Oxford University Press (1993). ISBN 0-19-814785-6.
- Thiede, Carsten Peter. The Dead Sea Scrolls and the Jewish Origins of Christianity. Palgrabe Macmillan (2003). ISBN 1-4039-6143-3
- Valantasis, Richard. The Making of the Self: Ancient and Modern Asceticism. James Clarke & Co (2008) ISBN 978-0-227-17281-0.[2]
- Vermes, Geza (2008a), The Resurrection, London: Penguin
- Vermes, Geza (2008b), The Resurrection: History and Myth, New York: Doubleday, ISBN 978-0-7394-9969-6
- Vidmar (2005), The Catholic Church Through the Ages
- White, L. Michael. From Jesus to Christianity. HarperCollins (2004). ISBN 0-06-052655-6.
- Wilson, Barrie A. How Jesus Became Christian. New York: St. Martin's Press, (2008).
- Wright, N.T. The New Testament and the People of God. Fortress Press (1992). ISBN 0-8006-2681-8.
- Wylen, Stephen M. The Jews in the Time of Jesus: An Introduction. Paulist Press (1995). ISBN 0-8091-3610-4.
Sumber web
- ^ Martin, D. 2010. The "Afterlife" of the New Testament and Postmodern Interpretation Diarsipkan 2016-06-08 di Wayback Machine. (transkripsi kuliah Diarsipkan 2016-08-12 di Wayback Machine.). Yale University.
- ^ "Persecution in the Early Church". Religion Facts. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 Maret 2014. Diakses tanggal 26 Maret 2014.
Bacaan lanjutan
- Barrett, David B., Bromiley, Geoffrey William & Fahlbusch, Erwin. The Encyclopedia of Christianity. Wm. B. Eerdmans Publishing (1999). ISBN 0-8028-2415-3.
- Berard, Wayne Daniel. When Christians Were Jews (That Is, Now). Cowley Publications (2006). ISBN 1-56101-280-7.
- Boatwright, Mary Taliaferro & Gargola, Daniel J & Talbert, Richard John Alexander. The Romans: From Village to Empire. Oxford University Press (2004). ISBN 0-19-511875-8.
- Bockmuehl, Markus N.A. The Cambridge Companion to Jesus. Cambridge University Press (2001). ISBN 0-521-79678-4.
- Bourgel, Jonathan, From One Identity to Another: The Mother Church of Jerusalem Between the Two Jewish Revolts Against Rome (66-135/6 EC). Paris: Éditions du Cerf, collection Judaïsme ancien et Christianisme primitive, (French). ISBN 978-2-204-10068-7
- Bourgel, Jonathan, The Jewish Christians’ Move from Jerusalem as a pragmatic choice, in: Dan Jaffé (ed), Studies in Rabbinic Judaism and Early Christianity, (Leyden: Brill, 2010), p. 107-138.
- Brown, Schuyler. The Origins of Christianity: A Historical Introduction to the New Testament. Oxford University Press (1993). ISBN 0-19-826207-8.
- Duffy, Eamon. Saints and Sinners: A History of the Popes. Yale University Press (2002). ISBN 0-300-09165-6.
- Dunn, James D.G. Jews and Christians: The Parting of the Ways, AD. 70 to 135. Wm. B. Eerdmans Publishing (1999). ISBN 0-8028-4498-7.
- Dunn, James D.G. The Cambridge Companion to St. Paul. Cambridge University Press (2003). ISBN 0-521-78694-0.
- Dunn, James D.G. Unity and Diversity in the New Testament: An Inquiry into the Character of Earliest Christianity. SCM Press (2006). ISBN 0-334-02998-8.
- Edwards, Mark (2009). Catholicity and Heresy in the Early Church. Ashgate. ISBN 9780754662914.
- Ehrman, Bart (2018), The Triumph of Christianity: How a Forbidden Religion Swept the World, Oneworld Publications
- Elwell, Walter A. & Comfort, Philip Wesley. Tyndale Bible Dictionary. Tyndale House Publishers (2001). ISBN 0-8423-7089-7.
- Esler, Philip F. The Early Christian World. Routledge (2004). ISBN 0-415-33312-1.
- Fletcher, Richard. The Conversion of Europe. From Paganism to Christianity 371-1386 AD. University of California Press (1997).
- Freedman, David Noel (Ed). Eerdmans Dictionary of the Bible. Wm. B. Eerdmans Publishing (2000). ISBN 0-8028-2400-5.
- Keck, Leander E. Paul and His Letters. Fortress Press (1988). ISBN 0-8006-2340-1.
- Kling, David William. The Bible in History: How the Texts Have Shaped the Times. Oxford University Press (2004). ISBN 0-19-513008-1.
- MacMullen, Ramsay. Christianizing the Roman Empire, AD 100-400. Yale University Press (1986). ISBN 0-300-03642-6
- Mills, Watson E. Acts and Pauline Writings. Mercer University Press (1997). ISBN 0-86554-512-X.
- von Padberg, Lutz E. Die Christianisierung Europas im Mittelalter. Reclam (2008).
- Pelikan, Jaroslav Jan. The Christian Tradition: The Emergence of the Catholic Tradition (100-600). University of Chicago Press (1975). ISBN 0-226-65371-4.
- Schimmelpfennig, Bernhard. The Papacy. James Sievert, translator. Columbia University Press (1992). ISBN 0-231-07515-4.
- Siker, Jeffrey S. "Christianity in the Second and Third Centuries", Chapter Nine in The Early Christian World. Philip F. Esler, editor. Routledge (2000). ISBN 0-415-24141-3.
- Tabor, James D. "Ancient Judaism: Nazarenes and Ebionites", The Jewish Roman World of Jesus. Department of Religious Studies at the University of North Carolina at Charlotte (1998).
- Russell, James C. The Germanization of Early Medieval Christianity: A Sociohistorical Approach to Religious Transformation. Oxford University Press (1994). ISBN 0-19-510466-8.
- Thiede, Carsten Peter. The Dead Sea Scrolls and the Jewish Origins of Christianity. Palgrabe Macmillan (2003). ISBN 1-4039-6143-3.
- Trombley, Frank R. Hellenic Religion and Christianization c. 370-529. Brill (1995). ISBN 90-04-09691-4
- White, L. Michael. From Jesus to Christianity. HarperCollins (2004). ISBN 0-06-052655-6.
- Wright, N.T. The New Testament and the People of God. Fortress Press (1992). ISBN 0-8006-2681-8.
- Wylen, Stephen M. The Jews in the Time of Jesus: An Introduction. Paulist Press (1995). ISBN 0-8091-3610-4.
- Vermes, Geza (2012), Christian Beginnings: From Nazareth to Nicaea, AD 30-325, Penguin
Pranala luar
- Umum
- PBS Frontline: The First Christians, Frontline From Jesus to Christ
- Latar belakang
- Karya tulis
- Early Christian Writings
- Christian Classics Ethereal Library
- Early Church Texts
- The Early Christians in Their Own Words (Ebook gratis – Inggris atau Arab)
- Internet Ancient History Sourcebook: Christian Origins Diarsipkan 2014-08-27 di Wayback Machine.
- Guide to Early Church Documents