More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Krisis finansial Asia 1997 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Krisis finansial Asia 1997 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Krisis finansial Asia 1997

  • العربية
  • Asturianu
  • Башҡортса
  • Български
  • Català
  • Čeština
  • Dansk
  • Deutsch
  • Ελληνικά
  • English
  • Esperanto
  • Español
  • فارسی
  • Suomi
  • Français
  • עברית
  • हिन्दी
  • Հայերեն
  • Íslenska
  • Italiano
  • 日本語
  • Jawa
  • ქართული
  • ភាសាខ្មែរ
  • 한국어
  • Lietuvių
  • Latviešu
  • Македонски
  • Монгол
  • मराठी
  • Bahasa Melayu
  • Nederlands
  • Norsk bokmål
  • Polski
  • Português
  • Русский
  • سنڌي
  • Srpskohrvatski / српскохрватски
  • Simple English
  • Slovenčina
  • Српски / srpski
  • Sunda
  • Svenska
  • தமிழ்
  • ไทย
  • Tagalog
  • Türkçe
  • Українська
  • Oʻzbekcha / ўзбекча
  • Tiếng Việt
  • 中文
  • 粵語
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Krisis finansial Asia)
Negara-negara yang terkena dampak krisis keuangan Asia 1997

Krisis keuangan Asia adalah periode krisis keuangan yang menerpa hampir seluruh Asia Tenggara pada Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.

Krisis ini bermula di Thailand (dikenal dengan nama krisis tom yum kung di Thailand; Thai: วิกฤตต้มยำกุ้ง) seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh.[1] Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun,[2] bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swastanya naik drastis.[3]

Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. Brunei, Tiongkok, Singapura, Taiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, tetapi sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Rasio utang luar negeri terhadap PDB naik dari 100% menjadi 167% di empat negara besar ASEAN pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. Negara industri baru lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan.[4]

Meski sebagian besar negara di Asia memiliki kebijakan fiskal yang bagus, Dana Moneter Internasional (IMF) turun tangan melalui program senilai US$40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah 31 tahun berkuasa, Presiden Soeharto terpaksa mundur pada tanggal 21 Mei 1998 di bawah tekanan demonstran massa serta aspirasi rakyat NKRI yang mengeluh kebijakan kenaikan harga secara tajam akibat devaluasi rupiah. Dampak krisis masih terasa hingga 1998. Tahun 1998, pertumbuhan Filipina anjlok hingga nol persen. Hanya Singapura dan Taiwan yang agak terhindar dari krisis ini, tetapi keduanya sempat mengalami tekanan besar; Singapura ikut tertekan karena ukuran dan letak geografisnya antara Malaysia dan Indonesia. Tahun 1999, sejumlah analis mengamati bahwa ekonomi di Asia mulai pulih.[5] Setelah krisis tahun 1997, ekonomi di Asia mulai stabil di bawah pengawasan keuangan.[6]

Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus modal ke negara berkembang. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari tingkat pengembalian saham tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia dan dijuluki sebagai "keajaiban ekonomi Asia".

Sejarah

[sunting | sunting sumber]

Gelembung kredit dan nilai tukar tetap

[sunting | sunting sumber]

Penyebab krisis ini masih diperdebatkan. Ekonomi Thailand berkembang menjadi gelembung ekonomi yang digerakkan oleh "dana panas" (dana yang masuk ke sebuah pasar hanya untuk keuntungan jangka pendek dan spekulatif). Seiring membesarnya gelembung, semakin banyak pula dana yang diperlukan. Situasi serupa terjadi di Malaysia dan Indonesia melalui "kapitalisme kroni".[7] Arus modal jangka pendek mahal dan dirancang untuk meraup untung cepat. Dana pembangunan tersalurkan secara tak terkendali ke orang-orang tertentu saja, bukan orang yang pantas atau layak, melainkan orang yang dekat dengan pusat kekuasaan.[8]

Pada pertengahan 1990-an, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan memiliki defisit transaksi berjalan sektor swasta yang besar. Penerapan nilai tukar tetap meningkatkan pinjaman luar negeri dan memperbesar keterpaparan risiko valuta asing di sektor keuangan dan perusahaan.

Pada pertengahan 1990-an, serangkaian goncangan luar negeri mulai mengubah tatanan ekonomi. Devaluasi renminbi Cina dan yen Jepang setelah Perjanjian Plaza 1985, kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang memperkuat nilai dolar A.S., dan penurunan harga semikonduktor menghambat pertumbuhan ekonomi.[9] Seiring pulihnya ekonomi Amerika Serikat dari resesi pada awal 1990-an, Federal Reserve Bank di bawah pimpinan Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga AS untuk menurunkan inflasi.

Keputusan ini menjadikan Amerika Serikat negara yang lebih menarik bagi investor dibandingkan Asia Tenggara. Asia Tenggara menerima arus dana panas berkat suku bunga jangka pendek yang tinggi dan tingginya nilai dolar Amerika Serikat. Bagi negara-negara Asia Tenggara yang mata uangnya dijangkarkan ke dolar AS, nilai dolar AS yang lebih tinggi membuat harga barang ekspornya lebih mahal dan kurang bersaing di pasar global. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekspor Asia Tenggara melambat drastis pada musim semi 1996 sehingga memperburuk posisi neraca berjalannya.

Sejumlah ekonom menyebut pertumbuhan ekspor Cina sebagai salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekspor negara-negara ASEAN. Namun demikian, para ekonom yang sama juga menyebut spekulasi properti berlebiihan sebagai penyebab utamanya.[10] Cina mulai bersaing secara efektif dengan negara-negara pengekspor di Asia pada tahun 1990-an setelah diterapkannya beberapa reformasi berorientasi ekspor. Ekonom lainnya mempertanyakan dampak Cina dan mengatakan bahwa ASEAN dan Cina mengalami pertumbuhan ekspor yang pesat pada awal 1990-an.[11]

Banyak ekonom yang meyakini bahwa krisis Asia tercipta bukan karena psikologi pasar atau teknologi, melainkan kebijakan yang mengubah insentif dalam hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman. Besarnya pinjaman yang tersedia lewat kebijakan ini menciptakan ekonomi yang nilainya sangat terdongkrak (leveraged). Harga aset pun naik ke tingkat yang sangat rentan.[12] Harga aset akhirnya jatuh dan membuat individu dan perusahaan tidak mampu membayar obligasi utang.

Kepanikan pemberi pinjaman dan penarikan kredit

[sunting | sunting sumber]

Kepanikan yang terjadi di kalangan pemberi pinjaman memicu penarikan kredit besar-besaran dari negara yang mengalami krisis. Tindakan ini mengakibatkan penyusutan kredit dan kebangkrutan. Selain itu, ketika investor asing berusaha menarik uangnya, pasar valas dibanjiri oleh mata uang negara yang mengalami krisis sehingga memaksa depresiasi terhadap nilai tukarnya. Demi mencegah jatuhnya nilai mata uang, negara-negara yang mengalami krisis menaikkan suku bunga dalam negeri sampai puncaknya (mengurangi pelarian modal dengan membuat pemberian pinjaman lebih menarik bagi investor) dan turun tangan mencampuri pasar valas, membeli mata uang domestik berlebih apapun dalam nilai tukar tetap dengan cadangan valuta asing. Tak satu pun kebijakan yang dampaknya bertahan lama.

Selain mengacaukan ekonomi yang sehat-sehat saja, suku bunga terlampau tinggi juga mampu mengacaukan ekonomi negara rapuh. Di sisi lain, bank sentral semakin kehabisan cadangan mata uang asing yang jumlahnya terbatas. Ketika semakin jelas bahwa arus keluarnya modal dari negara-negara tersebut tidak dapat dihentikan, pemerintah menghentikan penerapan nilai tukar tetap dan mengizinkan mata uangnya mengambang. Nilai mata uang yang terdepresiasi berarti bahwa utang bermata uang asing terus bertambah dalam nilai mata uang nasional. Hal ini memicu kebangkrutan dan memperparah krisis.

Ekonom seperti Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs mengabaikan peran ekonomi riil dalam krisis ini dibandingkan dengan pasar keuangan. Laju cepat krisis ini membuat Sachs dan ekonom lainnya membandingkannya dengan fenomena penarikan massal (bank run) yang dipicu oleh goncangan risiko mendadak. Sachs menyalahkan kebijakan moneter ketat dan kebijakan kontraksi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah atas saran IMF setelah krisis, sedangkan Frederic Mishkin menyalahkan informasi asimetris dalam pasar keuangan yang menciptakan "mental ikut-ikutan" di kalangan investor yang membesar-besarkan risiko kecil dalam ekonomi riil. Krisis ini menarik perhatian para ekonom perilaku yang sedang mempelajari psikologi pasar.[13]

Salah satu dugaan penyebab goncangan risiko yang mendadak adalah penyerahan kedaulatan Hong Kong tanggal 1 Juli 1997. Sepanjang 1990-an, dana panas masuk Asia Tenggara lewat penghubung keuangan seperti Hong Kong. Para investor abai dengan profil risiko negara tujuan investasinya. Setelah krisis menerpa kawasan tersebut, diperparah dengan ketidakpastian politik terkait masa depan Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia, banyak investor yang memutuskan untuk keluar dari Asia. Menyusutnya investasi malah memperparah kondisi keuangan di Asia[14] dan mendorong depresiasi baht Thailand pada tanggal 2 Juli 1997.[15]

Ada beberapa studi kasus terkait topik ini, misalnya penerapan analisis jaringan sistem keuangan yang menjelaskan kesalingterhubungan pasar keuangan dan pentingnya kelayakan penghubung atau titik utama.[16][17][18] Eksternalitas negatif apapun di dalam penghubung menciptakan riak yang bergerak ke seluruh sistem keuangan dan ekonomi .[19][20][21]

Menteri luar negeri dari 10 negara ASEAN yakin bahwa manipulasi mata uang direncankaan dengan sengaja untuk menggoyahkan ekonomi ASEAN. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menuduh George Soros mengacaukan ekonomi Malaysia melalui "spekulasi mata uang besar-besaran". Soros mengaku membeli ringgit saat nilainya jatuh dan melakukan jual kosong pada tahun 1997.

Pada Pertemuan Menteri ASEAN ke-30 di Subang Jaya, Malaysia, tanggal 25 Juli 1997, menteri luar negeri seluruh ASEAN mengeluarkan deklarasi bersama yang meminta penguatan kerja sama ASEAN untuk mempertahankan dan mengutamakan kepentingan ASEAN di bidang ekonomi.[22] Pada hari yang sama, kepala bank sentral dari seluruh negara yang terdampak krisis bertemu di EMEAP (Executive Meeting of East Asia Pacific) di Shanghai. Mereka gagal menyepakati New Arrangement to Borrow. Satu tahun sebelumnya, menteri keuangan dari negara-negara yang sama menghadiri pertemuan menteri keuangan APEC ke-3 di Kyoto, Jepang, tanggal 17 Maret 1996. Menurut deklarasi bersama tersebut, mereka tidak mampu menggandakan jumlah dana cadangan General Agreements to Borrow dan Emergency Finance Mechanism.

Krisis ini dapat dipandang sebagai kegagalan membangun kapastias untuk mencegah manipulasi mata uang. Hipotesis ini tidak banyak didukung oleh para ekonom. Mereka berpendapat bahwa tak satu investor pun yang mampu memengaruhi pasar dengan cara memanipulasi nilai mata uang. Selain itu, butuh perencanaan yang sangat besar untuk menarik investor dari Asia Tenggara agar bisa memanipulasi nilai mata uangnya.

Thailand

[sunting | sunting sumber]

Dari 1985 sampai 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada tanggal 14-15 Mei 1997, mata uang Baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Pada tanggal 30 Juni, Perdana Menteri Chavalit Yonchaiyudh berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasi Baht, tetapi pemerintah Thailand yang tak memiliki cukup cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar tetap dengan dolar AS akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli.
Pada 1996, "dana hedge" Amerika telah menjual US$400 juta dalam bentuk mata uang Thailand. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar AS. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar AS pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, Bank Dunia dan IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari US$16 milliar (kira-kira Rp160 triliun). Pada 20 Agustus, Bank Dunia dan IMF menyetujui paket "bailout" sebesar US$3,9 miliar.

Filipina

[sunting | sunting sumber]

Bank sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persentasi point pada Mei dan 2 point lagi pada 19 Juni. Thailand memulai krisis pada 2 Juli. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa untuk campur tangan besar-besaran untuk menjaga peso Filipina, menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen dalam satu malam.

Hong Kong

[sunting | sunting sumber]

Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong, yang dipatok 7,8 ke dolar AS, mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pejabat keuangan menghabiskan lebih dari US$1 miliar untuk mempertahankan mata uang lokal. Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya dipatok ke dolar AS. Pasar saham menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng menyelam 23%. Otoritas Moneter Hong Kong berjanji melindungi mata uang. Pada 15 Agustus 1997, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam satu malam.

Korea Selatan

[sunting | sunting sumber]

Korea Selatan adalah ekonomi terbesar ke-11 dunia pada 1997. Mereka memiliki landasan makroekonomi yang bagus namun perbankannya dibebani kredit macet. Utang berlebihan menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan. Contohnya, pada Juli, pembuat mobil ketiga terbesar Korea, Kia Motors meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia, Moody's menurunkan rating kredit Korea Selatan dari A1 ke A3 pada 28 November 1997, dan diturunkan lagi ke Baa2 pada 11 Desember. Yang menyebabkan penurunan lebih lanjut di saham Korea sejak jatuhnya pasar saham di November. Bursa saham Seoul jatuh 4% pada 7 November 1997. Pada 8 November, jatuh 7%, penurunan terbesar yang pernah tercatat di negara tersebut. Dan pada 24 November, saham jatuh lagi 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang berat. Pada 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.

Mongolia

[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Ekonomi Mongolia

Mongolia terkena dampak buruk krisis dan mengalami kerugian pendapatan lebih lanjut sebagai akibat dari krisis Rusia pada tahun 1999. Pertumbuhan ekonomi meningkat pada tahun 1997–99 setelah terhenti pada tahun 1996 karena serangkaian bencana alam dan kenaikan harga tembaga dan kasmir dunia. Pendapatan publik dan ekspor anjlok pada tahun 1998 dan 1999 karena dampak krisis keuangan Asia. Pada bulan Agustus dan September 1999, ekonomi menderita karena larangan sementara Rusia atas ekspor minyak dan produk minyak. Mongolia bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1997. Komunitas donor internasional menjanjikan lebih dari $300 juta per tahun pada Pertemuan Kelompok Konsultatif terakhir, yang diadakan di Ulaanbaatar pada bulan Juni 1999.[23]

Malaysia

[sunting | sunting sumber]

Pada 1997, Malaysia memiliki defisit neraca modal besar, lebih dari 6 persen dari GDP. Pada bulan Juli, ringgit Malaysia diserang oleh spekulator. Malaysia mengambangkan mata uangnya pada 17 Agustus 1997 dan ringgit jatuh secara tajam. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan rating hutang Malaysia. Seminggu kemudian, agensi rating menurunkan rating Maybank, bank terbesar Malaysia. Pada hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur jatuh 856 point, titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober, ringgit jatuh lagi. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata uang jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir mengumumkan bahwa pemerintah akan menggunakan 10 miliar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa.

Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi, Malaysia merupakan salah satu negara di dunia yang berhasil memulihkan krisis keuangan ini dalam waktu singkat dengan menolak tawaran langsung Bank Dunia dan IMF.

Indonesia

[sunting | sunting sumber]
Indonesia mengikuti Kerajaan Thailand mengambangbebaskan nilai tukar mata uangnya pada 14 Agustus 1997. Rupiah terdevaluasi lebih jauh ke titik terendahnya setelah penandatanganan nota kesepahaman ke-2 dengan Bank Dunia dan IMF pada 15 Januari 1998.

Pada bulan Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, surplus perdagangan lebih dari US$900 juta, cadangan devisa yang besar, lebih dari US$20 miliar, dan perbankan yang baik.
Tapi banyak perusahaan di Indonesia yang meminjam dalam bentuk dolar AS. Pada tahun berikutnya, ketika rupiah menguat terhadap dolar, kebijakan ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut—level efektivitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada bulan Juli 1997, Thailand mengambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. Bank Dunia dan IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tetapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi junk bond.
Meskipun krisis rupiah dimulai pada bulan Juli dan Agustus 1997, krisis ini menguat pada bulan November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah. Akibatnya, banyak rakyat yang bereaksi dengan menukarkan rupiah dengan dolar AS, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di Indonesia. Pada bulan Februari 1998, Presiden Soeharto memecat Gubernur Bank Indonesia, Sudrajad Djiwandono. Akhirnya, Presiden Soeharto dipaksa untuk mundur pada tanggal 21 Mei 1998 dan B. J. Habibie diangkat menjadi presiden. Mulai dari sini krisis moneter Indonesia memuncak.

Singapura

[sunting | sunting sumber]

Ekonomi Singapura berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis diperhatikan secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran bagi negara tetangganya.
Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.

Tiongkok

[sunting | sunting sumber]

Tiongkok tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahwa hampir semua investasi luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun Tiongkok telah dan terus memiliki masalah solvency parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di semua bank Tiongkok adalah domestik dan tidak ada pelarian bank.

Jepang

[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Ekonomi Jepang

Krisis juga memberi tekanan pada Jepang, yang ekonominya sangat menonjol di kawasan tersebut. Negara-negara Asia biasanya mengalami defisit perdagangan dengan Jepang. Yen Jepang jatuh ke 147 saat penjualan massal dimulai, tetapi Jepang adalah pemegang cadangan mata uang terbesar di dunia saat itu, sehingga mudah dipertahankan, dan dengan cepat bangkit kembali. Penarikan dana dari bank-bank berhasil dihindari pada 26 November 1997 ketika jaringan TV memutuskan untuk tidak melaporkan antrean panjang yang terbentuk di luar bank, sebelum bank sentral memerintahkan agar mereka diizinkan masuk. Tingkat pertumbuhan PDB riil melambat drastis pada tahun 1997, dari 5% menjadi 1,6%, dan bahkan mengalami resesi pada tahun 1998 karena persaingan yang ketat dari para pesaing yang harganya murah; juga pada tahun 1998 pemerintah harus menyelamatkan beberapa bank. Krisis keuangan Asia juga menyebabkan lebih banyak kebangkrutan di Jepang. Selain itu, dengan mata uang Korea Selatan yang terdevaluasi dan keuntungan Tiongkok yang stabil, banyak perusahaan mengeluh secara langsung bahwa mereka tidak dapat bersaing.[24]

Menurut Van Sant dkk., pada bulan Agustus 1997, Jepang mengusulkan pembentukan Dana Moneter Asia (AMF) untuk mengatasi krisis mata uang Asia. Jepang bertujuan untuk mengurangi ketergantungannya pada Amerika Serikat dan meningkatkan otonominya dalam masalah ekonomi, keamanan, dan diplomatik. Namun, usulan AMF dibatalkan karena keberatan keras dari Amerika Serikat dan ketidakpedulian dari Tiongkok. Sebaliknya, Jepang mengumumkan rencana pinjaman kerja sama dengan organisasi internasional seperti Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Pada bulan Oktober 1998, Jepang mengusulkan penyediaan $30 miliar untuk mendukung Asia, dan pada bulan Desember 1998, mengusulkan total $600 miliar dalam bentuk kredit yen khusus selama tiga tahun ke depan.[25]

Hasil jangka panjangnya adalah perubahan hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang, dengan Amerika Serikat tidak lagi secara terbuka mendukung lingkungan perdagangan dan nilai tukar yang sangat artifisial yang mengatur hubungan ekonomi antara kedua negara selama hampir lima dekade setelah Perang Dunia II.[26]

Amerika Serikat

[sunting | sunting sumber]

Flu Asia juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang. Ekonomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat.
Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.
Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.

Konsekuensi

[sunting | sunting sumber]

Krisis Asia berpengaruh ke mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini.
Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Soeharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam.
Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRT.
Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.
Krisis ini telah dianalisis oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia mempengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah menimbulkan ledakan di pelajaran tentang ekonomi finansial dan "litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakan IMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz.

Kurs mata uang untuk US$1

[sunting | sunting sumber]
Mata uang Jun '97 Jul '98 Perubahan
Thailand THB 24,50 41,00 Penurunan 40,2%
Indonesia IDR (×103) 2,38 14,15 Penurunan 83,2%
Filipina PHP 26,30 42,00 Penurunan 37,4%
Malaysia MYR 2,48 4,88 Penurunan 45,0%
Korea Selatan KRW (×103) 0,85 1,29 Penurunan 34,1%

GNP (milyar US$)

[sunting | sunting sumber]
Negara Jun '97 Jul '98 Perubahan
Thailand Thailand 170 102 Penurunan 40,0%
Indonesia Indonesia 205 34 Penurunan 83,4%
Filipina Filipina 75 47 Penurunan 37,3%
Malaysia Malaysia 90 55 Penurunan 38,9%
Korea Selatan Korea Selatan 430 283 Penurunan 34,2%

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]
  • iconPortal Asia
  • iconPortal Ekonomi
  • Krisis keuangan Rusia 1998, sebagian terkait dengan krisis keuangan Asia 1997
  • Efek Samba
  • Jaringan Bamboo

Umum:

  • Restrukturisasi bank Tiongkok 1990-an
  • Krisis ekonomi India 1991
  • Penularan keuangan
  • Krisis likuiditas
  • Krisis keuangan 2008
  • Ambruknya pasar saham di Hong Kong
  • Ambruknya pasar saham
  • Ambruknya pasar saham di India
  • Daftar kejatuhan pasar saham dan pasar yang lesu

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Asian Financial Crisis: When the World Started to Melt". EuroMoney. Diakses tanggal 16 November 2015.
  2. ^ Yamazawa, Ippei (September 1998). "The Asian Economic Crisis and Japan" (PDF). The Developing Economies. 36 (3): 332–351. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 16 November 2015.
  3. ^ Kaufman: pp. 195–6
  4. ^ "Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries 2003". Asian Development Bank. August 2003. Diakses tanggal 16 November 2015.
  5. ^ Pempel: pp 118–143
  6. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2012-10-18. Diakses tanggal 2012-10-18.
  7. ^ Hughes, Helen. Crony Capitalism and the East Asian Currency Financial 'Crises'. Policy. Spring 1999.
  8. ^ Blustein: p. 73
  9. ^ FRBSF Economic Letter: What Caused East Asia's Financial Crisis? 7 August 1998
  10. ^ The Three Routes to Financial Crises: The Need for Capital Controls Diarsipkan 2015-11-17 di Wayback Machine.. Gabriel Palma (Cambridge University). Center for Economic Policy Analysis. November 2000.
  11. ^ Bernard Eccleston; Michael Dawson; Deborah J. McNamara (1998). The Asia-Pacific Profile. Routledge (UK). ISBN 0-415-17279-9.
  12. ^ FIRE-SALE FDI by Paul Krugman.
  13. ^ Goel, Suresh (2009). Crisis management : master the skills to prevent disasters. New Delhi: Global India Publications. hlm. 101. ISBN 9789380228082.
  14. ^ Ho, Sam (19 September 2011). "History Lesson: Asian Financial Crisis". Spy on Stocks. Diarsipkan dari asli tanggal 2015-11-17. Diakses tanggal 16 November 2015.
  15. ^ Stiglitz: pp. 12–16
  16. ^ Albert-Laszlo Barabasi "explaining (at 26:02) Network Theory and Hubs in the BBC Documentary". BBC. Diakses tanggal 11 June 2012. "Unfolding the science behind the idea of six degrees of separation"
  17. ^ "Financial Crisis and Global Governance: A Network Analysis" (PDF). July 2009. Diakses tanggal 11 June 2012. by Andrew Sheng, Adj. Prof., Tsinghua University and University of Malaya
  18. ^ "Measuring Risk – A network analysis" (PDF). 15 December 2010. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2013-05-03. Diakses tanggal 11 June 2012. University of Chicago
  19. ^ Albert-Laszlo Barabasi "explaining (at 32:01) significance of the Robustness of Hubs in the BBC Documentary". BBC. Diakses tanggal 11 June 2012. "Unfolding the science behind the idea of six degrees of separation"
  20. ^ "Financial Crisis and Global Governance: A Network Analysis". July 2009. Diakses tanggal 11 June 2012. by Andrew Sheng, Adj. Prof., Tsinghua University and University of Malaya
  21. ^ "Analyzing Systemic Risk with Financial Networks During a Financial Crash" (PDF). 10 March 2011. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2012-11-20. Diakses tanggal 8 December 2015.
  22. ^ Joint Comminuque The 30th ASEAN Ministerial Meeting (AMM) The Thirtieth ASEAN Ministerial Meeting was held in Subang Jaya, Malaysia from 24 to 25 July 1997.
  23. ^ Pradeep K. Mitra, "Dampak Krisis Keuangan Global dan Respons Kebijakan: Kaukasus, Asia Tengah, dan Mongolia." Jurnal Global Ekonomi Pasar Berkembang 2.2 (2010): 189–230.
  24. ^ Pettis: hlm. 55–60"
  25. ^ John Van Sant, Peter Mauch, dan Yoneyuki Sugita. The A to Z of United States-Japan Relations (Scarecrow Press 2013), hlm. 103.
  26. ^ Pettis: hlm. 79

Buku

[sunting | sunting sumber]
  • (Inggris)(Indonesia)Berbagai Laporan Bank Dunia Mengenai Perkembangan Ekonomi Indonesia Sejak Krisis Moneter 1997[pranala nonaktif permanen]
  • Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. (1999) The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5
  • Pettis, Michael (2001). The Volatility Machine: Emerging Economies and the Threat of Financial Collapse. Oxford University Press. ISBN 0-19-514330-2.
  • Blustein, Paul (2001). The Chastening: Inside the Crisis that Rocked the Global Financial System and Humbled the IMF. PublicAffairs. ISBN 1-891620-81-9.
  • Noland, Markus, Li-gang Liu, Sherman Robinson, and Zhi Wang. (1998) Global Economic Effects of the Asian Currency Devaluations. Policy Analyses in International Economics, no. 56. Washington, DC: Institute for International Economics.
  • Pempel, T. J. (1999) The Politics of the Asian Economic Crisis. Ithaca, NY: Cornell University Press.
  • Ries, Philippe. (2000) The Asian Storm: Asia's Economic Crisis Examined.

Surat kabar

[sunting | sunting sumber]
  • Ngian Kee Jin (March 2000). Coping with the Asian Financial Crisis: The Singapore Experience Diarsipkan 2005-02-23 di Wayback Machine.. Institute of Southeast Asian Studies. ISSN 0219-3582
  • Tiwari, Rajnish (2003). Post-crisis Exchange Rate Regimes in Southeast Asia Diarsipkan 2006-03-26 di Wayback Machine., Seminar Paper, University of Hamburg.
  • Kilgour, Andrea (1999). The changing economic situation in Vietnam: A product of the Asian crisis? Diarsipkan 2008-08-17 di Wayback Machine.
  • S. Radelet, J.D. Sachs, R.N. Cooper, B.P. Bosworth (1998). The East Asian Financial Crisis: Diagnosis, Remedies, Prospects. Brookings Papers on Economic Activity.
  • Stiglitz, Joseph (1996). Some Lessons From The East Asian Miracle. The World Bank Research Observer.
  • Weisbrot, Mark (August 2007). Ten Years After: The Lasting Impact of the Asian Financial Crisis. Center for Economic and Policy Research.

Lainnya

[sunting | sunting sumber]
  • The Crash (transcript only), from the PBS series Frontline


  • l
  • b
  • s
Krisis keuangan
  • Kepanikan perbankan
  • Bear market
  • Guncangan harga komoditas
  • Credit crunch
  • Siklus kredit
  • Krisis mata uang
  • Krisis utang
  • Krisis energi
  • Flash crash
  • Hiperinflasi
  • Krisis likuiditas
  • Momen Minsky
  • Kehancuran pasar saham
Pra-1000
  • Krisis Abad Ketiga (235–284 M)
Revolusi Perdagangan
(1000-1760)
  • Great Bullion Famine (sekitar 1400–c. 1500)
  • The Great Debasement (1544–1551)
  • Kehancuran pasar saham Republik Belanda (c. 1600–1760)
  • Kipper und Wipper (1621–1623)
  • Kehancuran Tulip mania (1637)
  • Kehancuran gelembung South Sea (1720)
  • Kehancuran gelembung Mississippi (1720)
Revolusi Industri
(1760–1840)
  • Krisis perbankan Amsterdam 1763
  • Kehancuran gelembung Bengal (1769–1784)
  • Krisis 1772
  • Keruntuhan keuangan Republik Belanda (c. 1780–1795)
  • Panik 1785
  • Kepanikan Tembaga 1789
  • Panik 1792
  • Panik 1796–1797
  • Kebangkrutan negara bagian Denmark 1813
  • Guncangan harga biji-bijian dan penggunaan lahan Irlandia pasca-Napoleon (1815–1816)
  • Panik 1819
  • Panik 1825
  • Panik 1837
1840–1870
  • Kegagalan Kentang Eropa (1845–1856)
    • Kelaparan Besar (Irlandia)
    • Kelaparan Kentang Dataran Tinggi
  • Panik 1847
  • Panik 1857
  • Panik 1866
  • Black Friday (1869)
Revolusi Industri Kedua
(1870–1914)
  • Panik 1873
  • Kehancuran Paris Bourse 1882
  • Panik 1884
  • Kehancuran Arendal (1886)
  • Krisis Baring (1890)
  • Encilhamento (1890–1893)
  • Panik 1893
  • Krisis perbankan Australia 1893
  • Black Monday (1894)
  • Panik 1896
  • Panik 1901
  • Panik 1907
  • Krisis pasar saham karet Shanghai (1910)
  • Panik 1910–11
Periode antarperang
(1918–1939)
  • Hiperinflasi awal Soviet (1917–1924)
  • Hiperinflasi Republik Weimar (1921–1923)
  • Krisis keuangan Showa (1927)
  • Keruntuhan Wall Street 1929
  • Depresi Besar (1929–1939)
  • Panik 1930
1931–1973
  • Slide Kennedy 1962
  • Hiperinflasi Indonesia 1963-1965
Inflasi Hebat
(1973–1982)
  • Krisis energi 1970-an (1973–1980)
  • Krisis Oktober Kanada (1970)
  • Krisis minyak 1973
  • Kehancuran pasar saham 1973–1974
  • Krisis perbankan sekunder 1973–1975
  • Krisis baja (1973–1982)
  • Krisis utang Amerika Latin (1975–1982)
  • Krisis IMF 1976
  • Krisis energi 1979
  • Hiperinflasi Brasil (1980–1982)
Moderasi Hebat
(1982–2007)
  • Krisis baja (1982–1988)
  • Hiperinflasi Brasil (1982–1994)
  • Kehancuran pasar saham Souk Al-Manakh (1982)
  • Krisis Cile 1982
  • Krisis saham bank Israel 1983
  • Black Saturday (1983)
  • Krisis simpan pinjam (1986–1995)
  • Black Monday (1987)
  • Krisis perbankan Norwegia 1988–1992
  • Kehancuran-mini Jumat ke-13 (1989)
  • Kehancuran gelembung harga aset Jepang (1990–1992)
  • Kejutan harga minyak 1990
  • Krisis perbankan Rhode Island (1990–1992)
  • Krisis ekonomi India 1991
  • Krisis keuangan Swedia 1990-an (1991–1992)
  • Krisis perbankan Finlandia 1990-an (1991–1993)
  • Krisis energi Armenia 1990-an (1991–1995)
  • Periode Khusus Kuba (1991–2000)
  • Black Wednesday (1992)
  • Hiperinflasi Yugoslavia (1992–1994)
  • krisis pasar obligasi 1994
  • Krisis perbankan Venezuela tahun 1994
  • Krisis peso Meksiko (1994–1996)
  • Krisis keuangan Asia 1997
  • krisis keuangan Rusia 1998
  • Krisis ekonomi Ekuador 1998–1999
  • Depresi Hebat Argentina 1998–2002
  • Efek Samba (1999)
  • Gelembung dot-com (2000–2004)
  • Krisis ekonomi Turki 2001
  • Krisis ekonomi Amerika Selatan tahun 2002
  • krisis perbankan Uruguay 2002
  • Krisis perbankan Myanmar 2003
  • Krisis energi Argentina 2004
  • Gelembung saham Tiongkok 2007
  • Hiperinflasi Zimbabwe (2007–sekarang)
Resesi Hebat
(2007–2013)
  • krisis keuangan 2007–2008
    • Krisis hipotek subprimaKrisis subprime mortgage
    • A.S. pasar beruang 2007–2009
    • Krisis keuangan global pada September 2008
    • Krisis keuangan global pada Oktober 2008
    • Krisis keuangan global pada November 2008
    • Krisis keuangan global pada Desember 2008
    • krisis keuangan Latvia 2008
    • Krisis keuangan Belgia 2008–2009
    • 2008–2009 Krisis keuangan Rusia
    • Krisis keuangan Ukraina 2008–2009
    • Krisis keuangan Islandia 2008–2011
    • Krisis perbankan Irlandia 2008–2011
    • Krisis keuangan Spanyol 2008–2014
    • Krisis keuangan global tahun 2009
    • Kecelakaan Senin Biru 2009
    • Krisis utang Eropa 2010
    • krisis utang pemerintah Yunani
  • Krisis energi Asia Tengah 2008
  • 2009 Dubai debt standstill
  • Krisis perbankan Venezuela tahun 2009–2010
  • Krisis keuangan Portugal 2010-2014
  • Krisis energi di Venezuela (2010–sekarang)
  • Krisis ekonomi Suriah (2011–sekarang)
  • Kejatuhan pasar saham Agustus 2011
  • Penipuan pasar saham Bangladesh 2011
  • Krisis finansial Siprus 2012-2013
  • 2013 Krisis Likuiditas Perbankan China
Revolusi Digital
(2013–sekarang)
  • Krisis ekonomi Venezuela (2013–sekarang)
  • Krisis ekonomi Brasil 2014–2016
  • Krisis utang pemerintahan Puerto Riko (2014–2022)
  • krisis keuangan Rusia (2014–2016)
  • Blokade Nepal 2015
  • Gejolak pasar saham Tiongkok 2015–2016
  • Aksi jual pasar saham 2015–2016
  • Kejatuhan pasar saham Brexit (2016)
  • Hiperinflasi Venezuela (2016–sekarang)
  • Krisis bahan bakar Sri Lanka 2017
  • Krisis perbankan Ghana (2017–2018)
  • Krisis mata uang dan utang Turki 2018–2023
  • krisis likuiditas Lebanon (2019–sekarang)
  • Krisis ekonomi Sri Lanka (2019-sekarang)
  • Pandemi COVID-19
    • Dampak pasar finansial
  • Krisis sektor properti Tiongkok 2020–2022
  • lonjakan inflasi 2021–2023
  • Krisis energi global 2021–2022
  • Krisis keuangan Rusia 2022
  • Penurunan pasar saham 2022
  • Daftar krisis perbankan
  • Daftar krisis ekonomi
  • Daftar krisis utang negara
  • Daftar kehancuran pasar saham dan bear market
Pranala ke artikel terkait
  • l
  • b
  • s
Gelembung keuangan
  • Ledakan komoditas
  • Siklus kredit
  • Demam berlian
  • Demam emas
  • Kegembiraan irasional
  • Ledakan minyak
  • Gelembung real estat
  • Gelembung pasar saham
1000–1760
  • Tulip mania (1634–1637)
  • Gelembung Mississippi (1684–1720)
  • Demam Emas Brasil (c. 1690–1760)
  • Gelembung South Sea (1711–1720)
  • Gelembung Benggala tahun 1769 (1757–1760)
1760–1840
  • Gelembung Benggala tahun 1769 (1760–1769)
  • Demam Emas Brasil (1760–1840)
  • Kanal Mania (c. 1790–c. 1810)
  • Demam Emas Carolina (1802–1825)
  • Gelembung real estat Alabama tahun 1810-an
  • Demam Emas Georgia (1828–c. 1840)
  • Gelembung real estat Chicago tahun 1830-an
  • Demam Perak Chili (1830–1840)
1840–1870
  • Demam perak Chili (1840–1850)
  • Railway Mania (c. 1840–c. 1850)
  • Demam Emas Brasil (1840–1870)
  • Demam Emas California (1848–1855)
  • Demam Emas Ratu Charlotte (1851)
  • demam emas Victoria (1851–c. 1870)
  • Demam emas New South Wales (1851–1880)
  • Perburuan emas Australia (1851–1914)
  • Demam Emas Fraser Canyon (1858)
  • Demam Emas Puncak Pike (1858–1861)
  • Rock Creek Gold Rush (1859)
  • serbuan minyak Pennsylvania (1859–1891)
  • Demam Emas Similkameen (1860)
  • Demam Emas Stikine (1861)
  • Boom Penambangan Sungai Colorado (1861–1864)
  • Demam Emas Otago (1861–1864)
  • Demam Emas Kariboo (1861–1867)
  • Demam Emas Nova Scotia Pertama (1861–1874)
  • Demam Emas Wild Horse Creek (1864–1865)
  • Leechtown Gold Rush (1864–1865)
  • Demam Emas Pantai Barat (1864–1867)
  • Big Bend Gold Rush (c. 1865)
  • Demam Emas Danau Vermilion (1865–1867)
  • Demam Emas Kildonan (1869)
  • Demam Emas Omineca (1869)
1870–1914
  • Demam emas Lapland tahun 1870-an
  • Coromandel Gold Rushes (c. 1870–c. 1890)
  • Demam Emas Cassiar (c. 1870–c. 1890)
  • Demam Emas Brasil (1870–c. 1900)
  • Demam Emas Black Hills (1874–1880)
  • Boom Perak Colorado (1879–1893)
  • Perburuan emas Australia Barat (c. 1880–c. 1900)
  • ledakan gas Indiana (c. 1880–1903)
  • Perburuan minyak Ohio (c. 1880–c. 1930)
  • Demam emas Tierra del Fuego (1883–1906)
  • Demam Emas Cayoosh (1884)
  • Demam emas Witwatersrand (1886)
  • Encilhamento (1886–1890)
  • Cripple Creek Gold Rush (c. 1890–c. 1910)
  • Demam Emas Klondike (1896–1899)
  • Demam Emas Nova Scotia Kedua (1896–1903)
  • Injak Sungai Kobuk (1897–1899)
  • Demam Emas Gunung Baker (1897–c. 1925)
  • Nome Gold Rush (1899–1909)
  • Fairbanks Gold Rush (c. 1900–1918)
  • ledakan minyak Texas (1901–1918)
  • Demam perak kobalt (1903–1918)
  • Demam Emas Landak (1909–1918)
1918–1939
  • 1920-an Ledakan tanah Florida (c. 1920–1925)
  • Fairbanks Gold Rush (1918–c. 1930)
  • Boom minyak Texas (1918–1945)
  • Cobalt silver rush (1918–c. 1930)
  • Demam Emas Landak (1918–1945)
  • Demam emas Kakamega tahun 1930-an
  • Demam Emas Nova Scotia Ketiga (1932–1942)
1945–1973
  • ledakan minyak Texas (1945–c. 1950)
  • Demam Emas Landak (1945–c.1960)
  • gelembung Poseidon (1969–1970)
1973–1982
  • Ledakan komoditas tahun 1970-an
  • Boom minyak Meksiko (1977–1981)
  • Kamis Perak (1980)
  • gelembung properti Selandia Baru (c. 1980–1982)
1982–2007
  • Banjir minyak 1980-an
  • gelembung properti Selandia Baru (1982–)
  • gelembung properti Spanyol (1985–2008)
  • Penggelembungan harga aset di Jepang (1986–1990)
  • Gelembung dot-com (1995–2000)
  • gelembung perumahan negara bagian Baltik (2000–2006)
  • gelembung properti Irlandia (c. 2000–2007)
  • ledakan komoditas tahun 2000-an (2000–2008)
  • gelembung properti Denmark tahun 2000-an (2001–2006)
  • gelembung perumahan Amerika Serikat (2002–2006)
  • gelembung properti Rumania (2002–2007)
  • gelembung properti Polandia (2002–2008)
  • gelembung properti Kanada (2002–)
  • Gelembung saham Tiongkok 2007
  • gelembung properti Tiongkok (2005–11)
  • gelembung perumahan Lebanon (2005–2008)
  • gelembung properti Bulgaria (2006–2008)
  • Booming minyak Dakota Utara (2006–2008)
  • gelembung saham China tahun 2007
  • Gelembung Uranium tahun 2007
2007–sekarang
  • Booming minyak Dakota Utara (2008–2012)
  • ledakan komoditas tahun 2000-an (2008–2014)
  • gelembung perumahan Lebanon (2008–)
  • Gelembung utang korporasi (2008–)
  • gelembung properti Australia (2010–)
  • Gelembung uang kripto (2011–)
  • Gelembung semuanya (2020–21)
  • AI musim dingin
  • Gelembung karbon
  • Gelembung kacau
  • Gelembung Hijau
  • Gelembung saham media sosial
  • Gelembung Unicorn
  • Gelembung pendidikan tinggi A.S.
  • l
  • b
  • s
Krisis keuangan
  • Kepanikan perbankan
  • Bear market
  • Guncangan harga komoditas
  • Credit crunch
  • Siklus kredit
  • Krisis mata uang
  • Krisis utang
  • Krisis energi
  • Flash crash
  • Hiperinflasi
  • Krisis likuiditas
  • Momen Minsky
  • Kehancuran pasar saham
Pra-1000
  • Krisis Abad Ketiga (235–284 M)
Revolusi Perdagangan
(1000-1760)
  • Great Bullion Famine (sekitar 1400–c. 1500)
  • The Great Debasement (1544–1551)
  • Kehancuran pasar saham Republik Belanda (c. 1600–1760)
  • Kipper und Wipper (1621–1623)
  • Kehancuran Tulip mania (1637)
  • Kehancuran gelembung South Sea (1720)
  • Kehancuran gelembung Mississippi (1720)
Revolusi Industri
(1760–1840)
  • Krisis perbankan Amsterdam 1763
  • Kehancuran gelembung Bengal (1769–1784)
  • Krisis 1772
  • Keruntuhan keuangan Republik Belanda (c. 1780–1795)
  • Panik 1785
  • Kepanikan Tembaga 1789
  • Panik 1792
  • Panik 1796–1797
  • Kebangkrutan negara bagian Denmark 1813
  • Guncangan harga biji-bijian dan penggunaan lahan Irlandia pasca-Napoleon (1815–1816)
  • Panik 1819
  • Panik 1825
  • Panik 1837
1840–1870
  • Kegagalan Kentang Eropa (1845–1856)
    • Kelaparan Besar (Irlandia)
    • Kelaparan Kentang Dataran Tinggi
  • Panik 1847
  • Panik 1857
  • Panik 1866
  • Black Friday (1869)
Revolusi Industri Kedua
(1870–1914)
  • Panik 1873
  • Kehancuran Paris Bourse 1882
  • Panik 1884
  • Kehancuran Arendal (1886)
  • Krisis Baring (1890)
  • Encilhamento (1890–1893)
  • Panik 1893
  • Krisis perbankan Australia 1893
  • Black Monday (1894)
  • Panik 1896
  • Panik 1901
  • Panik 1907
  • Krisis pasar saham karet Shanghai (1910)
  • Panik 1910–11
Periode antarperang
(1918–1939)
  • Hiperinflasi awal Soviet (1917–1924)
  • Hiperinflasi Republik Weimar (1921–1923)
  • Krisis keuangan Showa (1927)
  • Keruntuhan Wall Street 1929
  • Depresi Besar (1929–1939)
  • Panik 1930
1931–1973
  • Slide Kennedy 1962
  • Hiperinflasi Indonesia 1963-1965
Inflasi Hebat
(1973–1982)
  • Krisis energi 1970-an (1973–1980)
  • Krisis Oktober Kanada (1970)
  • Krisis minyak 1973
  • Kehancuran pasar saham 1973–1974
  • Krisis perbankan sekunder 1973–1975
  • Krisis baja (1973–1982)
  • Krisis utang Amerika Latin (1975–1982)
  • Krisis IMF 1976
  • Krisis energi 1979
  • Hiperinflasi Brasil (1980–1982)
Moderasi Hebat
(1982–2007)
  • Krisis baja (1982–1988)
  • Hiperinflasi Brasil (1982–1994)
  • Kehancuran pasar saham Souk Al-Manakh (1982)
  • Krisis Cile 1982
  • Krisis saham bank Israel 1983
  • Black Saturday (1983)
  • Krisis simpan pinjam (1986–1995)
  • Black Monday (1987)
  • Krisis perbankan Norwegia 1988–1992
  • Kehancuran-mini Jumat ke-13 (1989)
  • Kehancuran gelembung harga aset Jepang (1990–1992)
  • Kejutan harga minyak 1990
  • Krisis perbankan Rhode Island (1990–1992)
  • Krisis ekonomi India 1991
  • Krisis keuangan Swedia 1990-an (1991–1992)
  • Krisis perbankan Finlandia 1990-an (1991–1993)
  • Krisis energi Armenia 1990-an (1991–1995)
  • Periode Khusus Kuba (1991–2000)
  • Black Wednesday (1992)
  • Hiperinflasi Yugoslavia (1992–1994)
  • krisis pasar obligasi 1994
  • Krisis perbankan Venezuela tahun 1994
  • Krisis peso Meksiko (1994–1996)
  • Krisis keuangan Asia 1997
  • krisis keuangan Rusia 1998
  • Krisis ekonomi Ekuador 1998–1999
  • Depresi Hebat Argentina 1998–2002
  • Efek Samba (1999)
  • Gelembung dot-com (2000–2004)
  • Krisis ekonomi Turki 2001
  • Krisis ekonomi Amerika Selatan tahun 2002
  • krisis perbankan Uruguay 2002
  • Krisis perbankan Myanmar 2003
  • Krisis energi Argentina 2004
  • Gelembung saham Tiongkok 2007
  • Hiperinflasi Zimbabwe (2007–sekarang)
Resesi Hebat
(2007–2013)
  • krisis keuangan 2007–2008
    • Krisis hipotek subprimaKrisis subprime mortgage
    • A.S. pasar beruang 2007–2009
    • Krisis keuangan global pada September 2008
    • Krisis keuangan global pada Oktober 2008
    • Krisis keuangan global pada November 2008
    • Krisis keuangan global pada Desember 2008
    • krisis keuangan Latvia 2008
    • Krisis keuangan Belgia 2008–2009
    • 2008–2009 Krisis keuangan Rusia
    • Krisis keuangan Ukraina 2008–2009
    • Krisis keuangan Islandia 2008–2011
    • Krisis perbankan Irlandia 2008–2011
    • Krisis keuangan Spanyol 2008–2014
    • Krisis keuangan global tahun 2009
    • Kecelakaan Senin Biru 2009
    • Krisis utang Eropa 2010
    • krisis utang pemerintah Yunani
  • Krisis energi Asia Tengah 2008
  • 2009 Dubai debt standstill
  • Krisis perbankan Venezuela tahun 2009–2010
  • Krisis keuangan Portugal 2010-2014
  • Krisis energi di Venezuela (2010–sekarang)
  • Krisis ekonomi Suriah (2011–sekarang)
  • Kejatuhan pasar saham Agustus 2011
  • Penipuan pasar saham Bangladesh 2011
  • Krisis finansial Siprus 2012-2013
  • 2013 Krisis Likuiditas Perbankan China
Revolusi Digital
(2013–sekarang)
  • Krisis ekonomi Venezuela (2013–sekarang)
  • Krisis ekonomi Brasil 2014–2016
  • Krisis utang pemerintahan Puerto Riko (2014–2022)
  • krisis keuangan Rusia (2014–2016)
  • Blokade Nepal 2015
  • Gejolak pasar saham Tiongkok 2015–2016
  • Aksi jual pasar saham 2015–2016
  • Kejatuhan pasar saham Brexit (2016)
  • Hiperinflasi Venezuela (2016–sekarang)
  • Krisis bahan bakar Sri Lanka 2017
  • Krisis perbankan Ghana (2017–2018)
  • Krisis mata uang dan utang Turki 2018–2023
  • krisis likuiditas Lebanon (2019–sekarang)
  • Krisis ekonomi Sri Lanka (2019-sekarang)
  • Pandemi COVID-19
    • Dampak pasar finansial
  • Krisis sektor properti Tiongkok 2020–2022
  • lonjakan inflasi 2021–2023
  • Krisis energi global 2021–2022
  • Krisis keuangan Rusia 2022
  • Penurunan pasar saham 2022
  • Daftar krisis perbankan
  • Daftar krisis ekonomi
  • Daftar krisis utang negara
  • Daftar kehancuran pasar saham dan bear market

Templat:Navbox ekonomi Hong Kong Templat:Ekonomi Indonesia Templat:Ekonomi Malaysia Templat:Ekonomi Tiongkok Templat:Ekonomi Korea Selatan

Templat:Sejarah Thailand (1973–2001)
Pengawasan otoritas Sunting ini di Wikidata
  • Integrated Authority File (Jerman)
  • l
  • b
  • s
Bencana alam, kecelakaan, dan kerusuhan di Indonesia tahun 1990–1999
Bencana alam
Banjir & longsor
  • Banjir Jakarta 1996
Gempa bumi
  • Gempa bumi Sulawesi Tengah 1996
  • Gempa bumi Biak 1996
  • Gempa bumi Kerinci 1995
  • Gempa bumi dan tsunami Jawa Timur 1994
  • Gempa bumi Liwa 1994
  • Gempa bumi Flores 1992
  • Gempa bumi Kalabahi 1991
Kecelakaan
Kereta api
  • Ratujaya
Pesawat terbang
  • Garuda 152
  • SilkAir 185
  • Garuda 152
  • Sempati Air 304
  • Garuda 865
  • Merpati 6715
  • Merpati 422
  • Mandala 660
  • Kecelakaan C-130 Angkatan Udara Indonesia 1991
  • Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 5601
  • Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 106
  • Dirgantara 5940
  • Merpati 724
Kerusuhan
  • Mei 1998
  • Konflik sektarian Maluku
  • Penculikan aktivis 1997/1998
  • Krisis Timor Timur 1999
  • Kerusuhan Situbondo
  • Peristiwa Sanggoledo 1996
  • Kerusuhan Banjarmasin
  • Peristiwa Sanggoledo
  • Gerakan mahasiswa Indonesia 1998
  • Pendudukan Gedung DPR/MPR
  • Peristiwa Cimanggis
  • Peristiwa Gejayan
  • Kerusuhan Poso
  • Tragedi Semanggi
  • Tragedi Trisakti
  • Kerusuhan Sambas
  • Tragedi Lampung
  • Tragedi Simpang KKA
Lain-lain
  • Kebakaran mal Klender 1998
  • Krisis finansial Asia 1997
  • Reformasi Indonesia (1998–sekarang)
  • Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998
  • Insiden Penembakan Timika 1996
  • Krisis sandera Mapenduma
  • Peristiwa 27 Juli
  • Penyerangan Hotel Wisata
  • Pengeboman Masjid Istiqlal 1999
  • Resolusi 1272 Dewan Keamanan PBB
◀ 1980-an 2000-an ▶
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Krisis_finansial_Asia_1997&oldid=27340925"
Kategori:
  • Asia
  • Sejarah ekonomi
  • Krisis finansial
  • Asia dalam tahun 1997
  • Ekonomi Indonesia
  • Indonesia dalam tahun 1997
  • Thailand dalam tahun 1997
  • Korea Selatan dalam tahun 1997
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Galat CS1: parameter tidak didukung
  • Templat webarchive tautan wayback
  • Halaman dengan argumen ganda di pemanggilan templat
  • Articles with hatnote templates targeting a nonexistent page
  • Templat Portal dengan pranala merah
  • Artikel dengan pranala luar nonaktif
  • Artikel dengan pranala luar nonaktif permanen
  • Galat CS1: parameter kosong tidak dikenal
  • Artikel Wikipedia dengan penanda GND
  • Halaman yang menggunakan pranala magis ISBN

Best Rank
More Recommended Articles