L. W. Manjaji
L. W. Manjaji | |
---|---|
![]() Father August Wachter, bersama L. W. Manjaji (duduk), dan seorang katekis, dari Archives of the Catholic Archdiocese of Kota Kinabalu (ACAKK), 1921 | |
Lahir | Wong Kah Kee 1896 Limbanak, Penampang, Borneo Utara Britania |
Meninggal | 13 Juni 1945 Penampang, Pendudukan Jepang di Borneo Britania | (umur 48–49)
Sebab meninggal | Dieksekusi mati secara dipenggal oleh Kempetai |
Monumen | Petagas War Memorial |
Dikenal atas | Aktivis anti-Jepang di Borneo Utara Britania |
Suami/istri | Otillia Libuyan Bokuta |
Anak | 7, termasuk Joseph "Joe" Manjaji |
Lothar Wong Manjaji (1896 - 13 Juni 1945) adalah seorang aktivis anti-Jepang selama pendudukan Jepang di Borneo Britania. Dia merupakan korban yang namanya tercantum dalam kasus kejahatan perang melawan Kapten Harada Kensei setelah dicurigai melakukan kegiatan propaganda anti-Jepang.
Riwayat Hidup
Kehidupan Awal
Lothar Wong Manjaji lahir pada tahun 1896 di Limbanak, Penampang, Borneo Utara Britania yang merupakan anak ketiga dari pasangan Antonius Pungun Wong dan Siaham, yang memiliki enam orang anak. Lothar dibaptis sebagai seorang Katolik pada usia 16 tahun, pada Desember 1912, oleh Pastor August Wachter, yang saat itu menjabat sebagai rektor St. Michael’s, Penampang.[1] Keluarga ini menelusuri garis keturunan mereka di Borneo Utara hingga ke Wong Ah Lung (juga dikenal sebagai Wong Loong), yang diyakini merupakan seorang Hakka asal provinsi Guangdong di bagian Tiongkok selatan. Menurut catatan keluarga, Wong Ah Lung (Wong Loong) lahir pada tahun 1835 dan meninggal di Pulau Gaya pada tahun 1895. Menurut keluarga, Wong Loong pertama kali datang ke Labuan dan bekerja sebagai tukang besi di tambang batu bara. Kemudian, diyakini dia menyeberang ke daratan dan menelusuri Sungai Papar lalu masuk ke pedalaman melalui Koiduan dan Timpangoh sebelum tiba di Penampang. Tidak banyak lagi yang diketahui tentang Wong Loong selain bahwa ia menikah dengan dua perempuan dari suku Dusun, yaitu Siapa dan Muata. Dengan Siapa, ia memiliki dua anak, yaitu Wong Pungun dan Lin Oi, sedangkan Muata melahirkan tiga anak: Umbikan, Musayam, dan Tombii Jomina Wong (meninggal 1971). Ayah Lothar, Wong Pungun, memeluk agama Katolik pada tahun 1930 dan dibaptis dengan nama Antonius.
Menurut putra Lothar, Joseph "Joe" Manjaji, Lothar Wong Manjaji lahir dengan nama Wong Kah Kee, namun seiring waktu, kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan setempat, terutama pengaruh ibunya yang merupakan dari suku Dusun, nama Wong Kah Kee diubah menjadi Manjaji agar terdengar lebih lokal yang kemudian diadopsi sebagai marga untuk anak-anaknya Lothar. Menariknya, semua saudara kandungnya memiliki nama yang berbeda. Putri sulung diberi nama Tiandim Pungun (diambil dari nama ayah mereka, Wong Pungun, tetapi tanpa marga Wong), diikuti oleh Emmanuel Ligunjang, Lothar Wong Manjaji, Leopald Toisim, dan Oswin Wong Leiking. Dari enam bersaudara tersebut, hanya Lothar dan Oswin yang diketahui mempertahankan marga Wong hingga titik tertentu dalam hidup mereka. Dalam kasus Lothar, marga Wong kemudian hanya dicatat sebagai inisial “W”, dan kemudian “W” itu pun dihilangkan sama sekali dan marga Wong tidak diwariskan ke anak-anaknya. Proses penyesuaian nama mereka agar terdengar lokal, bagaimanapun, mungkin tidak sesederhana seperti yang diceritakan Joe Manjaji, karena hanya Manjaji dan Leiking yang menggunakan marga Wong. Diketahui bahwa banyak orang Sino-Dusun lainnya juga mengadopsi nama kakek-nenek mereka dari pihak ibu (Dusun) sebagai nama keluarga. Namun, dalam kasus Manjaji, kemungkinan besar nama tersebut berasal dari bahasa Tionghoa.[2]
Manjaji adalah anggota aktif Gereja Sacred Heart dan dekat dengan para pastor. Sebagai ayah dari tujuh anak, dia sering mengundang misionaris asing untuk makan malam di rumahnya di Karamunsing. Salah satu pengunjung yang sering datang adalah Mgr. August Wachter, mantan rektor Misi Penampang sejak 1907 dan kemudian menjadi Prefek Apostolik keempat Borneo Utara (1927–1945). Pastor Wachter inilah yang membaptis Manjaji saat remaja dan tanpa diragukan menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Putrinya, Katherine Anna Manjaji, yang lahir pada tahun 1928, kerap menceritakan banyak kisah tentang kunjungan Mgr. Wachter ke rumah mereka di Karamunsing dan bagaimana ia memanggilnya dengan nama keduanya, “Anna.”[1]
Karier
Dalam sejarah Sekolah St. Aloysius Limbanak tercatat bahwa Manjaji pertama kali mengajar kelas untuk pria dewasa di rumah kakak laki-lakinya, Emmanuel Ligunjang. Pada masa itu, tidak ada perempuan yang bersekolah. Manjaji, yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Sacred Heart di bawah asuhan Pastor Weber, kemudian mengambil inisiatif untuk mendidik sebagian anak-anak dari saudara-saudaranya, terutama anak perempuan yang masih tinggal di kampung.
Pada tahun 1930-an menjelang Perang Dunia II, Manjaji bekerja di Rubber Restriction Board. Dia juga memiliki usaha keluarga, seperti sebuah penggilingan padi (tempat keluarga-keluarga setempat menukar jasa giling padi dengan beras) dan 50 ekar lahan karet. Menurut sejarawan Danny Wong, kondisi finansial yang kuat ini memungkinkannya untuk menekuni kegiatan olahraga dan berbagai hal yang membuatnya terkenal dan dikenang di kalangan masyarakatnya, sekaligus mampu hidup dengan cukup nyaman serta memberinya kekuatan untuk memainkan peran penting di tengah komunitasnya.[1]
Aktivisme
Manjaji adalah tokoh sejarah yang merupakan "hakim pribumi" dan "warga terkemuka" di Penampang selama pendudukan Jepang di Borneo Britania. Berdasarkan kesaksian saksi penuntut Letnan Dua Shimizu Kiyoji, Manjaji disebut telah membuat “parang dan tombak" dengan tujuan mengganggu tentara Jepang jika mereka mundur ke pedalaman,” serta “menyebarkan propaganda anti-Jepang dan mencegah tentara Jepang merekrut kuli.” Ketika ditanya apakah “pada kenyataannya ada kegiatan melawan tentara Jepang di garis belakang” pada waktu itu, Shimizu mengakui “tidak ada gangguan pasti di garis belakang yang benar-benar terjadi, tetapi terdapat banyak propaganda anti-Jepang di seluruh daerah.” Menanggapi pertanyaan sebelumnya mengenai apa yang dimaksud dengan propaganda anti-Jepang, ia menjawab bahwa jenisnya adalah “pasukan Sekutu akan segera mendarat dan pasukan Jepang akan dikalahkan.” Apakah Menjaji benar-benar terlibat dalam kegiatan propaganda anti-Jepang seperti yang dituduhkan kepadanya belum pernah dikonfirmasi atau dibuktikan.
Putranya, Joe Manjaji, yang saat itu berusia 20 tahun, adalah seorang guru yang tinggal di Karamunsing, Jesselton. Ia memberikan pernyataan tertulis di bawah sumpah kepada Kapten M. G. Dickson dari Tim Penyelidik Kejahatan Perang No. 8 pada 5 April 1946. Dalam pernyataannya, dia mengonfirmasi bahwa tugas ayahnya sebagai hakim adalah mengawasi pengumpulan padi dan hasil pangan lainnya dari suku Dusun setempat untuk Jepang. Dia mencatat bahwa ayahnya sering ditanyai oleh Sersan Inaba mengenai Mgr. August Wachter setelah yang terakhir ditangkap oleh Kempeitai.
Joe mengingat bahwa ayahnya dipanggil ke kantor Kempeitai di Penampang pada 9 Juni 1945 dan diberitahu bahwa ia dicurigai melakukan kegiatan propaganda anti-Jepang, diberi peringatan, dan kemudian dibebaskan. Dua hari kemudian, Sunaga, seorang warga Jepang di Penampang, memerintahkan Manjaji untuk menghadiri pertemuan di kantor pemerintahan. Joe menyatakan bahwa ayahnya merasa cemas karena kejadian dua hari sebelumnya. Namun, menghadiri pertemuan di kantor pemerintahan bukanlah hal yang luar biasa karena ia sering melakukannya dalam kapasitasnya sebagai hakim. Maka, Manjaji pun hadir. Joseph tidak pernah melihat ayahnya lagi setelah itu.[3]
Kematian
Manjaji adalah salah satu dari delapan warga sipil yang dibunuh oleh Kempeitai (polisi militer) Jepang tanpa pengadilan karena menentang pendudukan Jepang. Catatan sejarah menunjukkan bahwa dia dan Vitalianus Joseph Lim ditangkap oleh Unit Nishijima-Tai karena diduga menginstruksikan penduduk setempat untuk menyerang komunikasi Jepang dan mempersiapkan pemberontakan.
Seorang saksi mata melaporkan bahwa Manjaji dan yang lainnya dipenggal antara pukul 8 malam dan 10 malam pada tanggal 13 Juni 1945. Jasad mereka tidak pernah ditemukan.[4]
Penghargaan
Untuk menghargai perjuangannya, Manjaji diakui dan diperingati sebagai salah satu pejuang dan korban kekejaman masa pendudukan Jepang yang namanya tercantum pada Petagas War Memorial di Putatan, Kota Kinabalu, Sabah. Monumen ini didirikan di lokasi eksekusi massal dan memuat daftar nama para pejuang perlawanan serta warga sipil yang menjadi korban pada masa Perang Dunia II, termasuk tokoh-tokoh yang dieksekusi atau meninggal terkait peristiwa tersebut. Penambahan nama-nama tersebut dan pembangunan dinding memorial terpisah di Petagas merupakan bagian dari usaha untuk melengkapi catatan sejarah lokal dan memastikan bahwa korban-korban yang sebelumnya kurang mendapat perhatian publik mendapatkan penghormatan yang layak. Petagas terus menjadi tempat peringatan tahunan (21 Januari) dan situs sejarah yang menjadi rujukan bagi keluarga korban, sejarawan, dan publik. Pemerintah daerah dan lembaga terkait juga pernah menyatakan rencana konservasi dan pengembangan situs sebagai wahana pendidikan sejarah dan warisan.[4]
Referensi
- ^ a b c kkdio-web (2018-03-22). "Remembering the eight brave war heroes from WWII". Catholic Archdiocese of Kota Kinabalu (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-08-09.
- ^ "(PDF) A Hybrid Community in East Malaysia: The Sino-Kadazans of Sabah and their Search for Identity". ResearchGate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-08-09.
- ^ "Lothar Wong Manjaji". Japanese War Crimes in British Malaya and British Borneo 1941-1945 (dalam bahasa Inggris (Britania)). Diakses tanggal 2025-08-09.
- ^ a b "Discovering the forgotten eight". www.dailyexpress.com.my (dalam bahasa Inggris). 2018-01-21. Diakses tanggal 2025-08-09.