Penalaran deduktif
Penalaran deduktif adalah proses penarikan inferensi (kesimpulan) yang valid. Sebuah inferensi dianggap valid jika kesimpulannya terlihat runut secara logis dihasilkan dari premis-premisnya. Dengan demikian, tidak mungkin suatu inferensi yang salah dihasilkan premis-premis yang benar. Sebagai contoh, inferensi dari premis “semua manusia adalah fana” dan premis “Soekarno adalah manusia” yang menghasilkan inferensi “Soekarno adalah fana” bernilai valid secara deduktif. Suatu argumen dikatakan sahih jika argumen tersebut valid dan semua premisnya benar. Pendekatan lain dalam mendefinisikan penalaran deduksi adalah melihat intensi/niat pembuat argumen: pembuat argumen harus bermaksud agar premis-premis dalam argumennya memberikan dukungan deduktif terhadap inferensi yang dibuat, agar bisa dikatakan bernalar deduktif. Bila pembuat argumen memang bermaksud membuat penalaran deduktif, meskipun premis atau hasil inferensinya tidak valid, ia sudah dipandang berusaha untuk bernalar secara deduktif, meskipun hasilnya tidak valid.
Logika deduktif mengkaji kondisi yang membuat suatu argumen valid. Dalam pendekatan semantik, sebuah argumen disebut valid jika tidak ada kemungkinan interpretasi terhadap argumen tersebut yang menyatakan bahwa premis-premisnya benar dan konklusinya salah. Sebaliknya, pendekatan sintaksis berfokus pada aturan inferensi, yaitu skema untuk menarik kesimpulan dari sekumpulan premis hanya berdasarkan bentuk logisnya. Terdapat banyak jenis aturan inferensi, seperti modus ponens dan modus tollens. Argumen deduktif yang tidak valid, yang tidak mengikuti aturan inferensi, disebut kesesatan formal. Aturan inferensi adalah aturan yang pasti dan berbeda dengan aturan strategis; Aturan strategis menentukan kesimpulan apa yang perlu diambil untuk sampai pada kesimpulan yang diinginkan.
Penalaran deduktif berbeda dengan penalaran non-deduktif atau penalaran ampliatif. Untuk argumen ampliatif, seperti argumen induktif atau abduktif, premis-premisnya memberikan dukungan yang lebih lemah terhadap kesimpulannya: premis-premis tersebut mengindikasikan bahwa kesimpulan tersebut kemungkinan besar benar, tetapi tidak menjamin kebenarannya. Namun, kelemahan ini tertutup oleh kemampuan penalaran tersebut untuk memberikan informasi yang benar-benar baru (yaitu, informasi yang belum ditemukan di premis-premis yang diberikan), berbeda dengan argumen deduktif.
Masalah deduksi relevan dengan berbagai bidang dan masalah. Epistemologi mencoba memahami bagaimana justifikasi ditransfer dari keyakinan pada premis-premis ke keyakinan pada kesimpulan dalam proses penalaran deduktif. Logika probabilitas mempelajari bagaimana probabilitas premis-premis dari sebuah kesimpulan mempengaruhi probabilitas kesimpulannya. Tesis kontroversial dari deduktivisme menyangkal bahwa ada bentuk inferensi lain yang benar selain deduksi. Dalam ranah pembuktian matematika, deduksi alamiah adalah jenis sistem pembuktian yang didasarkan pada aturan inferensi yang sederhana dan terbukti dengan sendirinya. Dalam filsafat, metode geometris adalah cara berfilsafat yang dimulai dari sekumpulan kecil aksioma yang terbukti dengan sendirinya dan mencoba membangun sistem logika yang komprehensif dengan menggunakan penalaran deduktif.
Definisi
Penalaran deduktif adalah proses psikologis untuk menarik inferensi deduktif. Inferensi adalah seperangkat premis-premis yang menghasilkan suatu kesimpulan. Proses psikologis ini dimulai dari premis-premis dan penalaran-penalaran menuju kesimpulan yang dibangun berdasarkan dan didukung oleh premis-premis tersebut. Jika penalaran dilakukan dengan benar, maka akan menghasilkan deduksi yang valid: kebenaran premis-premis memastikan kebenaran kesimpulan.[1][2][3][4] Sebagai contoh, dalam argumen silogisme “semua katak adalah amfibi; tidak ada kucing yang amfibi; oleh karena itu, tidak ada kucing yang katak”, kesimpulannya adalah benar karena kedua premisnya benar. Namun, argumen yang memiliki premis-premis yang salah pun dapat menjadi valid secara deduktif jika mematuhi prinsip ini, seperti dalam “semua katak adalah mamalia; tidak ada kucing yang mamalia; oleh karena itu, tidak ada kucing yang katak”. Silogisme sebelumnya tetap deduktif, namun tidak benar. Jika premis-premis dari sebuah argumen yang valid adalah benar, maka argumen tersebut disebut argumen yang masuk akal.[5]
Hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dari sebuah argumen deduktif biasanya disebut sebagai “konsekuensi logis”. Menurut Alfred Tarski, konsekuensi logis memiliki 3 ciri penting: perlu, formal, dan dapat diketahui secara apriori.[6][7] Perlu dalam arti bahwa premis-premis dalam argumen yang valid mengharuskan hasil kesimpulan yang valid juga yang valid mengharuskan kesimpulan: tidak mungkin premis-premis tersebut benar dan kesimpulannya salah, terlepas dari keadaan lainnya.[6][7] Konsekuensi logis bersifat formal dalam arti bahwa konsekuensi logis hanya bergantung pada bentuk atau sintaksis dari premis dan kesimpulan. Hal ini bermakna bahwa validitas dari sebuah argumen tertentu tidak bergantung pada konten spesifik dari argumen tersebut. Jika valid, maka argumen apapun dengan bentuk logika yang sama juga valid, tidak peduli seberapa berbeda pada tingkat isinya.[6][7] Konsekuensi logis dapat diketahui secara apriori dalam artian tidak ada pengetahuan empiris yang diperlukan untuk menentukan validitas suatu deduktif. Jadi, dalam menguji suatu argumen deduktif, tidak perlu melakukan penyelidikan empiris dalam bentuk apa pun.[6][7] Beberapa ahli logika mendefinisikan deduksi dalam hal dunia yang mungkin: Inferensi deduktif valid jika dan hanya jika, tidak ada dunia yang mungkin di mana konklusinya salah sementara premis-premisnya benar. Ini berarti bahwa tidak ada contoh tandingan: kesimpulan benar dalam semua kasus seperti itu, bukan hanya dalam sebagian besar kasus.[1]
Telah diperdebatkan bahwa definisi ini dan definisi-definisi lain gagal untuk membedakan antara penalaran deduktif yang valid dan tidak valid, yaitu membiarkannya terbuka apakah kesimpulan deduktif yang tidak valid itu ada dan bagaimana cara mendefinisikannya.[8][9] Beberapa penulis mendefinisikan penalaran deduktif dalam istilah psikologis untuk menghindari masalah ini. Menurut Mark Vorobej, apakah sebuah argumen bersifat deduktif atau tidak, bergantung pada kondisi psikologis orang yang membuat argumen tersebut: “Sebuah argumen adalah deduktif jika, dan hanya jika, penulis argumen percaya bahwa kebenaran premis-premisnya mengharuskan (menjamin) kebenaran kesimpulannya."[8] Rumusan yang serupa menyatakan bahwa pembicara mengklaim atau bermaksud bahwa premis-premis tersebut memberikan dukungan deduktif untuk kesimpulannya.[10][11] Hal ini terkadang dikategorikan sebagai definisi deduksi yang ditentukan oleh pembicara, karena hal ini juga bergantung pada pembicara apakah argumen yang bersangkutan adalah deduktif atau tidak. Untuk definisi tanpa pembicara, di sisi lain, hanya argumen itu sendiri yang penting terlepas dari pembicara.[9] Salah satu keuntungan dari jenis formulasi ini adalah memungkinkan untuk membedakan antara argumen deduktif yang baik atau valid dan yang buruk atau tidak valid: argumen itu baik jika keyakinan pembuat argumen mengenai hubungan antara premis-premis dan kesimpulannya benar, jika tidak, maka argumen itu buruk.[8] Salah satu konsekuensi dari pendekatan ini adalah argumen deduktif tidak dapat diidentifikasi dengan hukum inferensi yang mereka gunakan. Sebagai contoh, sebuah argumen dengan bentuk modus ponens bisa jadi non-deduktif jika keyakinan penulisnya cukup membingungkan. Hal ini membawa kelemahan penting dari definisi ini: sulit untuk diterapkan pada kasus-kasus konkret karena maksud penulis biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit.[8]
Konsep deduksi
Dalam argumen deduktif, kebenaran premis-premis yang terkandung dalam argumen menjamin kesimpulan yang benar, berbeda dengan argumen non-deduktif.[12][13][6] Terdapat dua konsepsi mengenai hal ini. Keduanya disebut sebagai pendekatan sintaksis dan semantik.[14][6][5]
Dalam pendekatan sintaksis, validitas deduksi dalam suatu argumen hanya bergantung pada bentuk, sintaksis, atau strukturnya. Dua argumen dianggap memiliki bentuk yang sama jika keduanya memiliki kosakata logika yang sama dalam susunan yang sama, bahkan jika konten nya berbeda.[14][6][5] Sebagai contoh, argumen
- Jika hujan turun, maka jalan akan basah;
- Hujan turun;
- Oleh karena itu, jalan akan basah.
dan argumen
- Jika daging tidak didinginkan, maka akan busuk;
- Daging tidak didinginkan;
- Oleh karena itu, daging akan busuk.
Keduanya memiliki bentuk logika yang sama: mengikuti modus ponens. Bentuk modus ponens dapat diekspresikan secara lebih abstrak sebagai
- Jika A maka B;
- A berlaku;
- Oleh karena itu, B berlaku.
Ekspresi tersebut menggambarkan struktur sintaks umum secara jelas.[5] Terdapat ragam bentuk logika atau aturan inferensi yang valid lainnya, seperti modus tollens atau eliminasi disjungsi. Pendekatan sintaksis menggarisbawahi bahwa sebuah deduksi dalam suatu argumen dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya dapat disimpulkan dari premis-premisnya dengan menggunakan aturan inferensi yang valid.[14][6][5] Salah satu tantangan dalam pendekatan sintaksis adalah pengujian validitas hanya bisa dilakukan apabila argumen berbentuk pernyataan formal. Penerjemahan dari bahasa alamiah ke bahasa formal seringkali sulit dan memiliki masalah tersendiri. Hal ini sering kali membawa serta kesulitan dalam menerjemahkan argumen bahasa alami ke dalam bahasa formal, sebuah proses yang memiliki berbagai masalah tersendiri.[14] Kesulitan lainnya adalah karena fakta bahwa pendekatan sintaksis bergantung pada perbedaan antara fitur formal dan non-formal. Meskipun ada kesepakatan yang luas mengenai kasus-kasus paradigmatik, ada juga berbagai kasus kontroversial di mana tidak jelas bagaimana pembedaan ini harus ditarik.[15][16]
Pendekatan semantik memberikan definisi alternatif untuk validitas deduktif. Definisi ini didasarkan pada gagasan bahwa validitas argumen adalah tergantung pada interpretasi kalimat-kalimat yang membentuk premis-premis dan kesimpulan pada argumen tersebut.[14][6][5] Dengan demikian, seseorang menetapkan makna semantik bagi ekspresi-ekspresi yang terdapat dalam argumen, seperti menetapkan referensi terhadap objek tertentu untuk istilah tunggal, serta memberikan nilai kebenaran bagi kalimat-kalimat atomik. Pendekatan semantik juga disebut sebagai pendekatan teori-model karena cabang matematika yang dikenal sebagai teori model sering digunakan untuk menafsirkan kalimat-kalimat ini.[14][6] Biasanya, banyak interpretasi yang berbeda yang mungkin terjadi, seperti apakah sebuah istilah tunggal merujuk pada satu objek atau objek lainnya. Menurut pendekatan semantik, sebuah argumen valid secara deduktif jika dan hanya jika tidak ada interpretasi yang mungkin di mana premis-premisnya benar dan kesimpulannya salah.[14][6][5] Beberapa keberatan terhadap pendekatan semantik didasarkan pada klaim bahwa semantik suatu bahasa tidak dapat diekspresikan dalam bahasa yang sama, yaitu bahwa diperlukan metabahasa yang lebih kaya. Hal ini berarti bahwa pendekatan semantik tidak dapat memberikan penjelasan yang universal tentang deduksi untuk bahasa sebagai media yang mencakup semuanya.[14][16]
Aturan penarikan kesimpulan
Penalaran deduktif umumnya dilakukan dengan penarikan kesimpulan (inferensi) yang patuh dengan aturan inferensi. Aturan inferensi adalah cara atau skema pembuatan kesimpulan dari sekumpulan premis.[17] Proses penarikan kesimpulan biasanya dilakukan saat premis berbentuk logis. Suatu aturan inferensi valid jika, ketika diterapkan pada premis-premis yang benar, mengharuskan hasil kesimpulan yang benar juga. Suatu argumen tertentu dianggap valid jika argumen tersebut mengikut aturan inferensi yang valid. Argumen deduktif yang tidak mengikuti aturan inferensi yang valid disebut sesat secara formal: yakni saat kebenaran premis-premisnya tidak menjamin kebenaran kesimpulannya.[18][12]
Dalam beberapa kasus, validitas suatu aturan inferensi tergantung pada sistem logika yang digunakan. Sistem logika yang dominan adalah logika klasik dan aturan-aturan inferensi yang tertulis pada artikel ini semuanya valid bila menggunakan aturan logika klasik. Namun, terdapat sistem logika lain yang disebut logika menyimpang, memberikan penjelasan yang berbeda tentang kesimpulan mana yang valid. Sebagai contoh, terdapat aturan inferensi yang dikenal sebagai eliminasi negasi ganda, aturan tersebut menyatakan jika sebuah proposisi tidak tidak benar maka proposisi tersebut juga benar, aturan tersebut diterima dalam logika klasik tetapi ditolak dalam logika intuisionistik.[19][20]
Aturan penarikan kesimpulan utama
Modus ponens
Modus ponens (juga dikenal sebagai “menegaskan anteseden” atau “hukum detasemen”) adalah aturan deduktif utama dalam penarikan kesimpulan. Aturan berlaku untuk argumen yang memiliki premis pertama sebagai pernyataan kondisional () dan sebagai premis kedua adalah anteseden () dari pernyataan bersyarat. Ia memperoleh konsekuen () dari pernyataan bersyarat sebagai kesimpulannya. Bentuk argumen tercantum di bawah ini:
- (Premis pertama adalah pernyataan kondisional)
- (Premis kedua adalah anteseden)
- (Kesimpulan hasil deduksi adalah konsekuen)
Dalam bentuk penalaran deduktif ini, konsekuen () diperoleh sebagai kesimpulan dari premis-premis pernyataan kondisional () dan antesedennya (). Akan tetapi, antesedennya () tidak dapat diperoleh dengan cara yang sama sebagai kesimpulan dari premis-premis pernyataan kondisional () dan konsekuen (). Argumen seperti ini melakukan kesesatan logika menegaskan konsekuen.
Berikut contoh dari suatu argumen menggunakan modus ponens:
- Jika hujan, maka ada awan di langit;
- Saat ini hujan;
- Maka, saat ini ada awan di langit;
Modus tollens
Modus tollens (juga dikenal sebagai “hukum kontrapositif”) adalah aturan inferensi deduktif. Aturan ini memvalidasi argumen yang memiliki premis-premis berupa pernyataan bersyarat (rumus) dan negasi dari konsekuen () dan sebagai kesimpulan negasi dari anteseden (). Berbeda dengan modus ponens, penalaran dengan modus tollens berlawanan dengan modus ponens. Ekspresi umum untuk modus tollens adalah sebagai berikut:
- . (Premis pertama adalah pernyataan kondisional)
- . (Premis kedua adalah negasi dari konsekuensi)
- . (Konklusi yang dideduksi adalah negasi dari anteseden)
Sebagai contoh, argumen berikut menggunakan modus tollens:
- Jika hujan, maka ada awan di langit.
- Saat ini tidak ada awan di langit.
- Maka, saat ini tidak hujan.
Silogisme hipotesis
Silogisme hipotetis adalah kesimpulan yang mengambil dua pernyataan kondisional dan membentuk kesimpulan dengan menggabungkan hipotesis dari satu pernyataan dengan kesimpulan dari pernyataan lainnya. Berikut adalah bentuk umumnya:
- Maka, .
Dengan adanya subrumus yang sama antara dua premis yang tidak terjadi pada konsekuensinya, hal ini menyerupai silogisme dalam logika istilah, meskipun berbeda karena subrumus ini adalah proposisi sedangkan dalam logika Aristoteles, elemen yang sama ini adalah sebuah istilah dan bukan proposisi.
Berikut ini adalah contoh argumen yang menggunakan silogisme hipotesis:
- Jika terjadi badai petir, maka akan turun hujan.
- Jika hujan turun, segala sesuatunya akan basah.
- Jadi, jika ada badai petir, segala sesuatunya akan menjadi basah.[21]
Kesesatan logika
Kesesatan logika merupakan bentuk-bentuk penalaran deduktif yang tidak valid.[18][12] Argumen yang memiliki kesesatan logika dapat saja tampak seperti argumen yang valid sekali lihat, namun akan tampak masalahnya bila ditelisik lebih jauh. Salah satu jenis kesesatan logika formal adalah penegasan konsekuensi, seperti dalam argumen berikut ini,[22]
- (Implikasi; ) Jika Rubby adalah seorang bujangan, maka dia adalah laki-laki;
- (Diberikan konsekuen ) Rubby adalah laki-laki;
- (Simpulan bahwa anteseden harus terjadi) Oleh karena itu, Rubby harusnya bujangan.
Argumen sebelumnya terkesan seperti argumen yang valid dalam modus ponens, tetapi premis kedua dan kesimpulannya tertukar, yakni konsekuen (Rubby adalah seorang lelaki) tidak dapat menegaskan bahwa simpulan yang menggunakan anteseden harus terjadi (Rubby harusnya bujangan). Padahal bisa saja Rubby tidak bujang.
Kekeliruan formal yang serupa adalah penyangkalan anteseden, seperti dalam argumen berikut ini,[23][24]
- (Implikasi; ) Jika Rahmat adalah seorang bujangan, maka dia laki-laki;
- (Diberikan negasi anteseden ) Rahmat bukan bujangan;
- (Simpulan bahwa konsekuen harus dinegasikan ) Oleh karena itu, Rahmat harusnya bukan laki-laki.
Hal ini mirip dengan aturan inferensi modus tollens yang valid, perbedaannya adalah premis kedua dan kesimpulannya ditukar. Anteseden yang negatif () tidak serta merta mengharuskan konsekuen menjadi negatif. Apabila Rahmat bukan bujangan, bisa jadi ia adalah laki-laki yang sudah menikah.
Kesesatan formal lainnya termasuk penegasan disjungtiva, penyangkalan konjungtiva, dan kesesatan bagian tengah yang tidak terdistribusi. Semuanya memiliki kesamaan bahwa kebenaran premis-premisnya tidak menjamin kebenaran kesimpulannya. Namun, masih mungkin terjadi secara kebetulan bahwa baik premis-premis maupun kesimpulan dari kekeliruan formal adalah benar.[18][12]
Aturan kesimpulan pasti dan strategis
Aturan penarikan kesimpulan adalah aturan yang pasti: aturan ini menentukan apakah deduksi dalam argumen valid atau tidak. Namun, para penalar biasanya tidak hanya tertarik untuk membuat argumen yang valid. Sebaliknya, mereka sering kali memiliki poin atau kesimpulan tertentu yang ingin mereka buktikan atau sanggah. Jadi, dengan adanya seperangkat premis, mereka dihadapkan pada masalah dalam memilih aturan inferensi yang relevan agar deduksi mereka sampai pada kesimpulan yang mereka inginkan.[14][25][26] Masalah ini termasuk ke dalam bidang aturan strategis: pertanyaan tentang inferensi mana yang perlu ditarik untuk mendukung kesimpulan seseorang. Perbedaan antara aturan pasti dan strategis tidak hanya ada dalam logika: perbedaan ini juga ditemukan dalam berbagai permainan.[14][25][26] Dalam catur, misalnya, aturan pasti menyatakan bahwa gajah hanya boleh bergerak secara diagonal, sementara aturan strategis merekomendasikan agar seseorang mengontrol pusat dan melindungi rajanya jika ingin menang. Dalam hal ini, aturan pasti menentukan apakah seseorang bermain catur atau sesuatu yang lain, sedangkan aturan strategis menentukan apakah seseorang adalah pemain catur yang baik atau buruk.[14][25] Hal yang sama berlaku untuk penalaran deduktif: untuk menjadi penalar yang efektif, seseorang harus menguasai baik aturan pasti maupun aturan strategis.[14]
Validitas dan kesahihan

Argumen deduktif diuji untuk memastikan validitas dan kesahihan nya.
Sebuah argumen dikatakan valid jika argumen tersebut menghasilkan kesimpulan yang benar melalui serangkaian premis-premis yang benar juga. Dengan kata lain, premis-premis yang salah tidak akan menghasilkan argumen yang tepat. Sebuah argumen tetap dapat menjadi “valid” meskipun satu atau beberapa premisnya salah.
Suatu argumen dikatakan sahih (sound) apabila argument tersebut valid dan seluruh premis-premisnya benar. Terdapat kemungkinan suatu argumen dianggap valid namun tidak sahih. Argumen yang memiliki kesesatan logis seringkali memiliki bentuk seperti itu. Berikut ini adalah contoh argumen yang valid namun tidak sahih:
- Semua orang yang memakan pecel adalah pelukis;
- Wira memakan pecel;
- Maka, Wira adalah pelukis.
Premis pertama dari contoh ini salah - ada orang yang makan wortel yang bukan pelukis - tetapi kesimpulannya pasti benar, jika premis-premisnya benar. Dengan kata lain, tidak mungkin premis-premisnya benar dan kesimpulannya salah. Oleh karena itu, argumen tersebut valid, tetapi tidak sahih. Generalisasi yang salah - seperti “Semua orang yang makan wortel adalah pelukis” - sering digunakan untuk membuat argumen yang tidak masuk akal. Fakta bahwa ada beberapa orang yang makan wortel tetapi bukan gelandang membuktikan kelemahan argumen tersebut.
Dalam contoh ini, pernyataan pertama menggunakan penalaran kategoris, dengan mengatakan bahwa semua pemakan wortel pasti adalah pelukis. Teori penalaran deduktif ini - juga dikenal sebagai logika istilah - dikembangkan oleh Aristoteles, tetapi digantikan oleh logika proposisional (sentensial) dan logika predikat.
Penalaran deduktif berbeda dengan penalaran induktif, dalam hal validitas dan kesehatan. Dalam kasus penalaran induktif, meskipun premis-premisnya benar dan argumennya valid, ada kemungkinan kesimpulannya salah (ditentukan salah dengan contoh tandingan atau cara lain).
Lihat pula
Rujukan
- ^ a b Johnson-Laird, Phil (2010). "Deductive reasoning". WIREs Cognitive Science (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 8–17. doi:10.1002/wcs.20. ISSN 1939-5086.
- ^ "Deduction | Encyclopedia.com". www.encyclopedia.com. Diakses tanggal 2025-04-18.
- ^ Schechter, Joshua (2009). Pashler, Hal, ed. Deductive Reasoning. Sage Publications.
- ^ Norris, Stephen E. (1975). "The Intelligibility of Practical Reasoning". American Philosophical Quarterly. 12 (1): 77–84. ISSN 0003-0481.
- ^ a b c d e f g Holyoak, Keith J.; Morrison, Robert G. (2005-04-18). The Cambridge Handbook of Thinking and Reasoning (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-82417-0.
- ^ a b c d e f g h i j k "Logical Consequence | Internet Encyclopedia of Philosophy" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-04-18.
- ^ a b c d Tarski, Alfred (1983-01-01). Logic, Semantics, Metamathematics: Papers from 1923 to 1938 (dalam bahasa Inggris). Hackett Publishing. ISBN 978-0-915144-76-1.
- ^ a b c d Vorobej, Mark (1992-01-01). "Defining Deduction". Informal Logic (dalam bahasa Inggris). 14 (2). doi:10.22329/il.v14i2.2533. ISSN 2293-734X.
- ^ a b Wilbanks, Jan J. (2010-03-01). "Defining Deduction, Induction, and Validity". Argumentation (dalam bahasa Inggris). 24 (1): 107–124. doi:10.1007/s10503-009-9131-5. ISSN 1572-8374.
- ^ Copi, Irving M.; Cohen, Carl; Rodych, Victor (2018-09-03). Introduction to Logic (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-351-38696-8.
- ^ "Deductive and Inductive Arguments | Internet Encyclopedia of Philosophy" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-04-18.
- ^ a b c d "Fallacy, Logical | Encyclopedia.com". www.encyclopedia.com. Diakses tanggal 2025-04-19.
- ^ Craig, Edward (1996). Routledge Encyclopedia of Philosophy: Genealogy to Iqbal. New York: Routledge.
- ^ a b c d e f g h i j k l Jaakko, Hintikka; Sandu, Gabriel (2002). Jacquette, Dale, ed. What is Logic?. North Holland. hlm. 13–39.
- ^ MacFarlane, John (2017). Zalta, Edward N., ed. Logical Constants (edisi ke-Winter 2017). Metaphysics Research Lab, Stanford University.
- ^ a b "Philosophy of logic | Definition, Problems, & Facts | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-04-19.
- ^ "Logical Knowledge | Encyclopedia.com". www.encyclopedia.com. Diakses tanggal 2025-04-22.
- ^ a b c "Fallacies | Internet Encyclopedia of Philosophy" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-04-22.
- ^ Moschovakis, Joan (2024). Zalta, Edward N.; Nodelman, Uri, ed. Intuitionistic Logic (edisi ke-Summer 2024). Metaphysics Research Lab, Stanford University.
- ^ Borchert, Donald, ed. (2006). Macmillan's Encyclopedia of Philosophy. Macmillan.
- ^ Morreau, Michael (2009-08-01). "The Hypothetical Syllogism". Journal of Philosophical Logic (dalam bahasa Inggris). 38 (4): 447–464. doi:10.1007/s10992-008-9098-y. ISSN 1573-0433.
- ^ "Thought - Expert, Novice, Thinking | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). 2025-04-19. Diakses tanggal 2025-04-23.
- ^ "Thought | Definition, Types, Examples, & Facts | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). 2025-04-19. Diakses tanggal 2025-04-23.
- ^ Stone, Mark A. (2012-09-18). "Denying the Antecedent: Its Effective Use in Argumentation". Informal Logic (dalam bahasa Inggris). 32 (3): 327–356. doi:10.22329/il.v32i3.3681. ISSN 2293-734X.
- ^ a b c "Logic - Symbolic, Deductive, Inductive | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). 2025-03-27. Diakses tanggal 2025-04-23.
- ^ a b Pedemonte, Bettina (2018-06-25). "Strategic vs Definitory Rules: Their Role in Abductive Argumentation and their Relationship with Deductive Proof". Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education (dalam bahasa english). 14 (9): em1589. doi:10.29333/ejmste/92562. ISSN 1305-8215.