Sinjang tumpal
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan. (September 2025) |

Sinjang Tumpal, atau sering disebut juga kain Tumpal, adalah kain tradisional masyarakat Lampung yang dibuat dengan teknik tenun songket. Tidak seperti kain tapis yang dibuat dengan teknik sulaman atau cucuk, kain Tumpal dibentuk lewat anyaman benang songket (benang emas atau perak).[1]
Sinjang Tumpal dipakai di kalangan masyarakat adat Lampung dan dicirikan oleh hadirnya motif tumpal pada bagian tepi atau kepala kain. Motif tumpal umumnya berbentuk segitiga/deretan segitiga yang membentuk batas hias, sering dipadukan dengan motif lain (pucuk rebung, bintang, kotak) dan hiasan benang logam pada kain tapis atau anyaman songket. Dalam tradisi Lampung, kain tumpal kadang dibedakan dari tapis karena perbedaan teknik hias (songket/tenun vs. sulam/cucuk).[2]
Makna Simbolik dan Fungsi Sosial
Motif tumpal dan kain tapis/tumpal memiliki nilai simbolik—menggambarkan status sosial, identitas kultural (mis. perbedaan pepadun vs saibatin), dan nilai estetika pada acara adat seperti pernikahan dan upacara kebesaran. Beberapa kajian etnografis dan studi motif menunjukkan bahwa motif-motif seperti pucuk rebung, tumpal, dan bintang mempunyai keterkaitan dengan filosofi lokal, sejarah perdagangan, dan pertukaran budaya Nusantara.[3]
Teknik Pembuatan
Secara umum, teknik pembuatannya meliputi:
- Tenun/songket — di mana benang emas/perak atau benang warna dimasukkan ke dalam anyaman untuk membentuk motif (umumnya disebut tumpal songket atau sinjang tumpal)
- Tapis (cucuk-sulam) — pada tapis motif ditempel/diagrafi dengan benang emas setelah kain jadi. Perbedaan teknik ini penting karena mempengaruhi tampilan, tekstur, dan nilai ekonomis kain. Studi tentang inovasi motif tapis dan teknik transformasinya menekankan variasi teknik dan adaptasi modern terhadap produksi tapis/tumpal.
Variasi dan Penamaan
- Di beberapa daerah atau komunitas di Lampung, Sinjang Tumpal juga dikenal dengan nama lain seperti Bumpak, Ketumpal, Ketuppal, atau Sinjang Bekaki.
- Ada juga perbedaan penggunaan antara adat Pepadun dan Saibatin dalam warna, motif, dan cara pemakaian.
Tantangan Pelestarian
Tantangan utama meliputi: biaya bahan (benang emas/perak), keterampilan tenun yang menurun, persaingan produk massal, dan kurangnya dokumentasi akademik yang spesifik terhadap istilah lokal “Sinjang Tumpal”. Solusi yang disarankan dalam literatur antara lain pendidikan lokal, pendokumentasian teknis motif, dukungan kebijakan publik, serta kolaborasi desainer untuk adaptasi pasar.
Kesimpulan
Sinjang Tumpal adalah bagian penting dari warisan budaya Lampung, yang menggabungkan keindahan, teknik tenun songket, simbol status, dan identitas lokal. Motif tumpal sebagai kepala kain menjadi unsur pembeda utama, ditambah ragam motif dan kombinasi benang emas/perak menjadikan kain ini karya seni tradisional yang bernilai tinggi.
Referensi
- ^ Editya, Dimas Bagus (2025). "Istilah-Istilah Pakaian dan Perhiasan Pengantin Pria Adat Lampung Pepadun: Suatu Kajian Semantik". Journal of Mandalika Literature. 6 (2): 634–643. doi:https://doi.org/10.36312/jml.v6i2.4061. ;
- ^ Hartono, Lili (2025). "Tapis Cloth Motif Design Innovations Based on Natural Potential and Local Wisdom of the Lampung Region, Indonesia" (PDF). ISVS e-journal. 12 (1): 29–41. doi:https://doi.org/10.61275/ISVSej-2025-12-01-03. ;
- ^ Justin, Muhammad Redintan; Kasmana, Kankan (2020-12-15). "Pucuk Rebung Motif on Kain Tapis in Pepadun Community, Lampung, Indonesia". ARTic (dalam bahasa Inggris). 3 (1): 239–248. doi:10.34010/artic.v3i1.3561. ISSN 2715-2618.