More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Suku Moi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Moi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Moi

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Wikimedia Commons
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Moi
Mosana
Upacara adat suku Moi dalam rangka mengembangkan Taman Wisata Alam (TWA) Sorong, 2019.
Jumlah populasi
21.923 (2010)[1]
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia
Papua Barat Daya
Bahasa
Bahasa Moi, Bahasa Indonesia
Agama
Kristen 70%
Agama rakyat 30%[2]

Suku Moi merupakan salah satu suku di Papua Barat Daya. Mereka mendiami Kota Sorong (Maladum, terj. har. dataran luas tempat tumbuhnya dum ), Kabupaten Sorong Selatan, dan Raja Ampat. Suku Moi terbagi menjadi delapan sub-suku, yaitu Moi Kelin, Moi Klabra, Moi Karon, Moi Lamas, Moi Legin, Moi Maya, Moi Moraid, Moi Segin.[3] Mata pencarian utama suku ini adalah berkebun dan mengelola hutan.[2] Dalam berkebun dan mengelola hutan, mereka memperhatikan yegek (sejenis tradisi sasi) mengonsumsi hasil tanah berlebihan sehingga terjadi konservasi tradisional. Pendidikan adat diajarkan kepada para pemuda di rumah adat bernama Kambik.[4]

Sejarah

[sunting | sunting sumber]
Upacara Buka Egek di Malaumkarta, Makbon, Sorong

Masa lampau

[sunting | sunting sumber]

Pada mulanya dipercaya asal suku Moi dari Klawelem di Makbon. Suku asli Moi tersebut disebut neulig yang artinya "tuan tanah", kemudian datang suku-suku lain yang disebut pendatang nesaf terutama di wilayah pesisir. Kedua kelompok saling terbuka dan kawin campur melahirkan suku Moi modern, dengan perubahan gelet (marga) seperti Manggapraw menjadi Manggablaw dan Arfayan menjadi Arfan.[5]

Masa Kesultanan Tidore

[sunting | sunting sumber]

Pendiri dari salah satu kerajaan di Raja Ampat, Kerajaan Sailolof, merupakan seorang bernama fun (raja) Mo. Dia tidak memiliki hubungan patrilineal dengan raja-raja di Waigeo, Salawati, dan Misool. Menurut cerita lisan, fun Mo berasal dari sekitar sungai Malyat dan lahir dari telur baykole dan dibesarkan dengan air tebu sehingga dinamai Ulbisi. Ia kemudian diangkat dengan gelar fun Mo yang artinya "raja orang Moi" di pulau Sabba. Ia kemudian menikah dengan Pinfun Libit, anak perempuan raja Waigeo yang terdampar di dekat Sabba bersama kedua pembantunya. Fun Mo kemudian pindah ke selatan Pulau Salawati di tempat yang kemudian disebut Sailolof. Keturunannya memerintah kerajaan Sailolof dan bergelar Kapita-laut atau Kapatla yang didapat dari hubungan perdagangan dengan Kesultanan Tidore.[6]

Masa Trikora

[sunting | sunting sumber]

Para pemuda suku Moi ikut berperan dalam Operasi Trikora dengan membantu Simon Randa, seorang Toraja pegawai pemerintah Belanda, menyuplai kantong-kantong gerilya sekitar Sorong oleh pasukan infiltran Trikora (disebut Enso-Enso dalam bahasa Moi). Para pemuda bersama Randa yang tercatat bernama Oscar Osok, Lodewijk Osok, David Osok, Fritz Osok, Edwar Osok, Robert Malibela, Sadrak Malibela, Amanja Malibela, Edwin Malibela, Petrus Kalaibin, Steven Kalaibin, Aminyas Kalaibin, Joel Kalaibin, Karel Kalaibin, Josafat Kalaibin, Josan Kalaibin, Jonas Satisa, dan Hermanus Mili. Peninggalan perjuangan ini berupa rumah di km 12 Klasaman, Sorong.[7]

Sub suku & wilayah adat

[sunting | sunting sumber]

Tanah dalam adat suku Moi merupakan hak ulayat bersifat komunal, walau pada pemanfaatannya bisa bersifat individu atau komunal, seperti untuk beternak, tanah untuk pasar, tanah dusun adat, dan tanah untuk membangun kampung (iik fagu). Berikut adalah pembagian wilayah tanah suku Moi (Malamoi) berdasarkan sub suku:[5]

  1. Moi Karon: Sausapor dan daerah pedalaman
  2. Moi Kelin: Aimas, Mariat Gunung dan Klamono
  3. Moi Klabra: Beraur, Misbra, Buk, Wanurian, Klarion, Wungkas, Wilti, Tarsa, dan Hobar.
  4. Moi Lamas: Seget, Durian Kari, Waliam, Malabam, Seilolof, Ketlosuf.
  5. Moi Legin: Batulubang, Makbon, Malaumkarta, Asbaken, Dela, Mega, Klayili, Maladofok, dan Sayosa.
  6. Moi Maya: Salawati, Raja Ampat, Sailolof, dan Julbatam.
  7. Moi Moraid: Sayosa dan Salmak
  8. Moi Segin: Gisim, Segun, Waimon, Katapop, Katimin, Yeflio, Kasimle.

Adat

[sunting | sunting sumber]

Golongan

[sunting | sunting sumber]

Secara tradisional umumnya suku Moi terbagi menjadi tiga:[5]

  • ne folus, orang yang berpengetahuan
  • golongan menengah dengan pengetahuan terbatas
  • golongan rendah, yaitu wanita dalam Moi.

Struktur masyarakat biasanya mengikuti garis patrilineal, posisi wanita lebih rendah dan pria terlahir dengan hak khusus seperti menjabat tetua adat dan hak kepemilikan tanah. Kecuali Moi-Ma'ya yang memiliki struktur adat lebih sejajar antara wanita dan pria dari pengaruh suku Ma'ya. Beberapa tokoh adat lain suku Moi adalah:[5]

  • ne fulus, orang berpengetahuan sejarah
  • ne foos, orang berkekuatan gaib (dukun)
  • ne ligin, pembicara
  • ne kook, orang kaya dan terhormat

Pendidikan Kambik

[sunting | sunting sumber]

Anak kecil laki laki (nedla) untuk dianggap menjadi pria perlu menjalani pendidikan sebagai siswa (ulibi) di rumah Kambik. Seperti pendidikan formal pendidikan adat juga terbagi menjadi jenjang ulibi setingkat SD akan memberikan gelar unsulu. Tingkat berikutnya disebut unsmas setingkat SMP dan SMA yang memberikan gelar tulukma, tingkat tertinggi adalah untlan/kmabiek yang setara perguruan tinggi yang setelah lulus mendapatkan gelar wariek, sukmin, dan tukan (untuk menjadi guru kambik). Tingkat dasar dan menengah membutuhkan 6-12 bulan, walau tingkay tertinggi bisa membutuhkah 18 bulan. Terdapar tiga cara seorang anak bisa menjadi siswa, dicuri (yang setelah selesai dikembalikan pada keluarga), pemilihan secara adat biasanya untuk anak sulung, dan perwakilan dimana seorang anak dititipkan kepada marga lain dengan pembayaran kain toba (kain timur). Contoh-contoh pengetahuan yang diajarkan berupa:[5]

  • berburu seperti cara mengetahui arah angin dan jenis hewan dan lokasinya
  • bercocok-tanam seperti cara menebang sagu dan mengawetkan sagu dengan tanah dan mantra
  • kesehatan seperti obat-obatan tradisional memanfaatkan dedaunan, kulit kayu, buah, dan bara api untuk menyembuhkan penyakit
  • berperang seperti membuat tameng (gili) dan tombak (sawiyek)
  • hukum adat seperti sistem perkawinan, dan pembayaran adat untuk orang yang meninggal, dll

Beberapa faktor hilangnya adat pendidikan kambik dikarenakan masuknya Belanda yang membuka lapangan pekerjaan seperri NNGPM bagi para pemuda Moi yang seharusnya menjalankan pendidikan kambik, masuknya ajaran kekristenan, dan Perang Dunia ke-2. Upaya menghidupkan kembali pendudikan Kambik difasilitasi oleh LMA Moi di Maladofok, yang merupakan tempat sakral suku Moi.[5][8]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Ananta, Aris (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono. SG: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4519-88-5. OCLC 1011165696. Diarsipkan dari asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2021-04-16. {{cite book}}: ( )
  2. ^ a b Project, Joshua. "Moi, Mosana in Indonesia". joshuaproject.net (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-09.
  3. ^ Suaib 2017, hlm. 62-64.
  4. ^ lpsplsorong (11 Februari 2019). "Yegek, Sebuah Kearifan Lokal Suku Moi". kkp.go.id. Diakses tanggal 15 Januari 2021.
  5. ^ a b c d e f Sahertian, Aldry (2018). Tradisi Lisan Pendidikan Adat Kambik Suku Moi dalam Memori Kolektif (PDF) (M.Si thesis). Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Diakses tanggal 20 April 2025.
  6. ^ Mansoben, Johszua Robert (1995). Sistem Politik Tradisional Di Irian Jaya. Jakarta: LIPI - RUL 1995. hlm. 232–246. ISBN 979-8258-06-1.
  7. ^ 25 tahun Trikora. Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat. 1988. Diakses tanggal 2021-11-01. {{cite book}}: ( )
  8. ^ Yuliana, Heriyanti (2019-01-12). "MODEL PARTISIPASI MASYARAKAT MOI DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN ADAT KAMBIK (Studi Kasus Tentang Kelangsungan Pendidikan Kambik Di Suku Moi Kampung Maladofok Kabupaten Sorong)". Jurnal Noken: Ilmu-Ilmu Sosial (dalam bahasa Inggris). 4 (1): 87–106. doi:10.33506/jn.v4i1.60. ISSN 2614-4336.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Suaib, Hermanto (2017). Suku Moi: Nilai‑Nilai Kearifan Lokal dan Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat. Tangerang: An1mage. ISBN 9786026510549.{{cite book}}: Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Moi&oldid=27167995"
Kategori:
  • Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan
  • Kelompok etnik di Indonesia
  • Suku bangsa di Papua Barat Daya
  • Kabupaten Sorong Selatan
  • Kabupaten Raja Ampat
  • Kota Sorong
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Galat CS1: parameter tidak didukung
  • CS1 sumber berbahasa Inggris (en)
  • Galat CS1: periode diabaikan
  • Pemeliharaan CS1: Status URL

Best Rank
More Recommended Articles