Wireng Bandayuda
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Juni 2025) |
Wireng Bandayuda adalah tarian tradisional dari Keraton Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah, yang tergolong dalam jenis tari wireng—tarian prajurit—berpadu dengan aspek simbolis pengendalian nafsu manusia. Tarian ini menampilkan dua hingga empat pria menggunakan senjata berupa bindhi (tongkat pendek) dan tameng rotan, mencerminkan nilai moral dan spiritual melalui gerak tubuh yang dinamis.[1]
Sejarah
Tarian Wireng Bandayuda diperkirakan diciptakan pada masa pemerintahan Pakubuwono IV (1787–1820) di Keraton Kasunanan Surakarta, sebagai turunan dari tradisi wireng-lawung yang berasal dari masa Sultan Agung (1613–1645) dari Kesultanan Mataram. Istilah wireng merujuk pada tarian prajurit, sedangkan bandayuda berarti prajurit berani atau penuh semangat. Pada masa pemerintahan Pakubuwono IX (1861–1893), senjata bindhi mulai digantikan dengan pedang, dan tarian ini pun dikenal pula dengan nama Wireng Bandabaya.[1]
Pelaksanaan
Wireng Bandayuda dibawakan oleh dua atau lebih penari pria yang mengenakan pakaian prajurit keraton. Setiap penari memegang bindhi dan tameng rotan, serta menampilkan gerakan koreografi yang terdiri dari pukulan, blok, dan formasi yang simetris, menandakan disiplin dan kontinuitas militer keraton.[butuh rujukan]
Makna sentral dari tari ini ialah refleksi atas empat nafsu manusia: amarah (emosional), sofiah (duniawi), aluamah (biologis), dan mutmainah (spiritual).[1] Gerakan tarian menggambarkan upaya pengendalian keempat nafsu tersebut agar seimbang dalam kehidupan manusia. Selain itu, tari ini juga mengandung dimensi olah kanuragan (kepekaan kekuatan batin/prana), sebagaimana dipaparkan dalam kajian akademik tari wireng tradisi Kasunanan.[2]
Nilai
Tari Wireng Bandayuda mengandung beragam nilai yang mencerminkan kedalaman filosofi budaya Jawa, terutama dalam hal pengendalian diri dan etika keprajuritan. Tarian ini secara simbolis menggambarkan pertempuran empat nafsu dalam diri manusia—amarah, syahwat, nafsu makan, dan kebodohan—yang digambarkan melalui pertarungan antar tokoh dalam pementasan.[1] Kemenangan tokoh utama melambangkan kemenangan akal dan kebijaksanaan atas hawa nafsu, selaras dengan ajaran spiritual dalam budaya keraton.[butuh rujukan]
Di samping nilai filosofis, Wireng Bandayuda juga memuat nilai estetika yang tinggi. Gerak tari yang ritmis, ekspresif, dan dinamis menunjukkan ketangkasan serta keteguhan sikap prajurit, sekaligus menampilkan keindahan koreografi khas gaya Surakarta. Musik pengiring gamelan yang terstruktur semakin memperkuat nuansa dramatik serta memperkaya pengalaman penonton secara emosional.[butuh rujukan]
Tarian ini juga memuat nilai edukatif dan moral, terutama dalam konteks pewarisan budaya. Melalui pertunjukan Wireng Bandayuda, generasi muda dapat mempelajari pentingnya mengendalikan diri, bersikap disiplin, dan menjaga kehormatan. Selain itu, nilai solidaritas dan nasionalisme turut tercermin dalam semangat keprajuritan yang menjadi benang merah narasi tarian ini. Dengan kandungan nilai spiritual, estetis, dan edukatif tersebut, Wireng Bandayuda tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana pembentukan karakter dan pelestarian identitas budaya Jawa.[butuh rujukan]
Upaya pelestarian
Seiring arus modernisasi dan minimnya regenerasi, Wireng Bandayuda mengalami penurunan keberadaan. Namun sejak tahun 2024, sudah mendapat perhatian baru setelah masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Republik Indonesia bersama 29 tradisi lain dari Jawa Tengah.[3]
Pengakuan ini diikuti oleh langkah pelestarian berupa:[butuh rujukan]
- Dokumentasi visual dan digital melalui rekaman pentas dan tutorial.
- Pelatihan dan pementasan oleh komunitas keraton, sanggar tari, serta Dinas Kebudayaan setempat.
- Integrasi Wireng Bandayuda ke dalam panggung tarian kontemporer di acara budaya di Surakarta dan sekitarnya.
Pendekatan-pendekatan ini dilakukan untuk menjaga kesinambungan tradisi, meningkatkan apresiasi generasi muda, serta memperkaya khazanah budaya nusantara.[butuh rujukan]
Referensi
- ^ a b c d Bram, Damianus. "Tari Wireng Bandayuda, Penggambaran 4 Nafsu Manusia - Radar Solo". Tari Wireng Bandayuda, Penggambaran 4 Nafsu Manusia - Radar Solo. Diakses tanggal 2025-06-16.
- ^ iMNews (2020-11-28). "Arti Tari Wireng Gaya Surakarta Bukan Sekadar Simbol Olah Kaprajuritan". Istana Mataram News (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-06-16.
- ^ "30 Kebudayaan Asal Jateng Raih Predikat WBTb Indonesia". Radio Utari FM Cilacap. Diakses tanggal 17 Juni 2025.