Belom Bahadat
Artikel ini sebagian besar atau seluruhnya berasal dari satu sumber. |

Belom Bahadat merupakan istilah bahasa suku Dayak Ngaju, kata Belom artinya hidup, sedangkan kata Bahadat memiliki arti beradat atau taat norma hukum, tata krama, dan sopan santun. Maka, Belom Bahadat diartikan sebagai hidup berdasarkan norma hukum, tata krama, dan sopan santun.[1]
Prinsip Belom Bahadat suku Dayak diimplementasikan dalam kehidupan “Huma Betang” yang didasari atas empat pilar utama, yaitu: Kejujuran, Kesetaraan, Kebersamaan, serta Menjunjung Tinggi Hukum Adat dan Hukum Nasional.[2]
Sejarah Belom Bahadat
Belom Bahadat lahir dari Tuhan Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan penganut Kaharingan, yakni Ranying Hatalla Langit, yang diturunkan melalui Indu Sangumang dan diteruskan kepada para Basir, Pisur, atau rohaniawan Kaharingan, dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat adat dayak.[1]
Awal mulanya, Belom Bahadat merupakan aturan hukum terkait ritual guna menyembah Ranying Hatalla Langit, kemudian berkembang menjadi aturan hukum yang mengatur kehidupan antarmanusia dan alam sekitar. Belom Bahadat memiliki makna hidup sebagaimana keinginan Ranying Hatalla Langit, yakni hidup rukun, damai, saling mengasihi sesama manusia dan alam sekitar.[1]
Belom Bahadat merupakan hukum yang sifatnya tidak tertulis, tetapi senantiasa ditegakkan dan dipertahankan. Sedangkan hukum adat dayak yang bersifat tertulis disebut dengan Perjanjian Damai Tumbang Anoi 1894.[1]
Dalam sejarahnya, suku-suku di Kalimantan saling berperang dan memperbudak satu sama lain, sampai pada tahun 1894 diadakan perdamaian bagi seluruh suku Dayak yang ada di Kalimantan. Tujuan perjanjian damai ini adalah untuk menghentikan perseteruan sesama Dayak yang biasa disebut Hakayau (saling memotong kepala), Habunu (saling bunuh), dan Hajipen (saling memperbudak). Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Perjanjian Damai Tumbang Anoi 1894. Prinsip Belom Bahadat merupakan asas hukum yang ada di Perjanjian Damai Tumbang Anoi 1894, sehingga menjadi hukum adat Dayak yang di sepakati oleh seluruh suku Dayak.[1]
Bagi seseorang yang melanggar Perjanjian Damai Tumbang Anoi 1894 maka akan dikenakan denda adat atau biasa disebut dengan Singer.[1]
Penetapan Belom Bahadat
Belom Bahadat terdapat di Pasal 10 ayat 2 huruf e Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah yang berbunyi: “Damang Kepala Adat berkewajiban untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: Selalu mengingatkan dan mendorong agar seluruh warga masyarakat adat Dayak ikut bertanggung jawab dalam menjaga, melestarikan, mengembangkan dan membudayakan falsafah hidup Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat".
Menurut penjelasan Pasal 10 ayat 2 huruf e, yang dimaksud dengan falsafah hidup Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat adalah perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan, toleransi, serta taat pada hukum, baik hukum negara, hukum adat, maupun hukum alam. Apabila sudah melaksanakan perilaku hidup “Belom Bahadat”, maka akan teraktualisasi dalam wujud “Belom Penyang Hinje Simpei”, yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama.[1]
Belom Bahadat juga diakomodir oleh Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah yang menyebutkan prinsip Belom Bahadat pada salah satu pasalnya, yang juga secara tersirat peraturan daerah tersebut juga tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam prinsip Belom Bahadat. Prinsip Belom Bahadat adalah doktrin yang dibangun secara turun temurun oleh masyarakat adat Dayak Ngaju dan melekat sampai sekarang.[1]
Referensi
- ^ a b c d e f g h Citranu (2022). "Hermeneutika Belom Bahadat sebagai Wujud Kesadaran Hukum Masyarakat Adat Dayak di Wilayah Kedamangan Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas". Widya Kerta: Jurnal Hukum Agama Hindu. 5 (2): 121–122, 125–126, 129–131.
- ^ Febriyana, Wahyu. "Sekda Buka Rakorpim Dewan Adat Dayak se-Kalteng". mmckalteng. Diakses tanggal 2025-06-20.