Benteng Baluwerti
| Benteng Baluwerti | |
|---|---|
| ꦧꦺꦠꦺꦁꦧꦭꦸꦮꦂꦠꦶ | |
| Bagian dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat | |
| Mengelilingi wilayah Kemantren Kraton, Yogyakarta di Indonesia | |
Pojok Beteng Lor Wetan (selekoh timur laut) setelah direvitalisasi pada tahun 2020. | |
| Koordinat | 7°48′49″S 110°21′46″E / 7.8137278°S 110.3629074°E |
| Jenis | Benteng |
| Area | 14.000 m2 (0,0054 sq mi) |
| Tinggi | 3,5 m (11 ft) |
| Informasi situs | |
| Pemilik | Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat |
| Terbuka untuk umum | Tertutup, bangunan berstatus cagar budaya |
| Kondisi | Tersisa dua pelengkung dan empat selekoh dengan proses revitalisasi sedang berjalan. |
| Riwayat situs | |
| Dibangun | 1785 |
| Bahan | Batu bata plesteran |
| Pertempuran/peperangan | 1812: Geger Sepehi |

Benteng Baluwerti (bahasa Jawa: ꦧꦺꦠꦺꦁꦧꦭꦸꦮꦂꦠꦶ, translit. Bètèng Baluwarti) merupakan sebuah dinding yang mengelilingi kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dinding ini didirikan atas prakarsa Hamengkubuwana II ketika masih menjadi putra mahkota pada tahun 1785–1787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809 ketika ia telah naik takhta sebagai sultan Yogyakarta.
Sejarah

Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Hamengkubuwana I, sebagai reaksi atas berdirinya benteng kumpeni di sebelah utara keraton. Benteng kumpeni yang dibangun antara tahun 1765 hingga 1787 itu dikenal dengan nama Benteng Rustenburg, kini Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi "Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara" yang bermakna tahun 1785 Masehi. Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengkubuwana II, menyempurnakan bangunan ini. Meriam-meriam yang dipasang pada benteng Baluwerti diyakini merupakan lucutan senjata-senjata VOC dari awal 1785.[1]
Kata baluwerti diserap dari kata bahasa Portugis, baluarte, yang berarti "benteng". Proyek benteng tersebut memang dibangun segera setelah selesainya pembangunan Taman Sari yang diyakini juga dibangun dengan jasa arsitek dari Portugis.[2]
Keruntuhan dan revitalisasi

Hingga tahun 2024, Benteng Baluwerti berubah menjadi jajaran permukiman penduduk. Terdapat tiga peristiwa penting yang menyebabkan benteng ini satu persatu menghilang, yaitu Geger Sepehi, gempa bumi Jawa 1867, dan masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Geger Sepehi menyebabkan selekoh (pojok benteng) di timur laut runtuh. Gempa bumi Jawa 1867 menyebabkan banyak abdi dalem keraton kehilangan tempat tinggal. Sultan Hamengkubuwana VI mengizinkan setiap abdi dalem untuk menempati tempat-tempat terbuka di sisi benteng untuk dijadikan rumah tinggal. Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Yogyakarta merasa ketakutan karena perilaku tentara Jepang yang dianggap kejam. Mereka meminta perlindungan kepada Hamengkubuwana IX agar dibuatkan permukiman penduduk di sisi dalam benteng.[3]
Dalam rangka menyukseskan Sumbu Filosofis Yogyakarta sebagai Situs Warisan Dunia, keraton dan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY memulai revitalisasi benteng. Bagian pertama yang dibangun kembali adalah Pojok Benteng Lor Wetan, yang runtuh semenjak peristiwa Geger Sepehi dan dilakukan sepanjang tahun 2020 bertepatan dengan awal pandemi Covid-19 di Indonesia.[4] Pada 27 Juli 2020, selekoh ini berhasil direstorasi.[5] Selanjutnya, selama kurun waktu 2022–2023, dibangun tembok benteng (margi hinggil) dengan bentuk yang serupa dengan tembok asli, dimulai dari timur Plengkung Wijilan hingga Pojok Beteng Lor Wetan, kemudian ke arah Plengkung Madyasura. Proses revitalisasi benteng bagian ini selesai pada akhir 2023.[6] Pada tahun 2024, semua rumah, tempat ibadah, dan tempat kegiatan usaha yang berdiri di atas bekas benteng dibongkar total dan proyek dilanjutkan pada ruas Plengkung Madyasura hingga Pojok Beteng Kidul Wetan. Masyarakat yang tinggal turun-temurun di bekas benteng mendapatkan uang mirip ganti rugi yang disebut bebungah.[7]
Bentuk bangunan

Benteng ini awalnya dibangun menggunakan jajaran gelondongan kayu, kemudian diubah menjadi permanen dengan tembok bata plesteran dengan campuran pasir, batu gamping, dan tumbukan bata merah setebal 5,5 cm (2,2 in) dengan longkangan selebar 2,4 meter (7,9 ft) dan diurug menggunakan tanah hasil menggali jagang mencapai setinggi 3,7 meter (150 in) di atas lapisan tanah awal. Tinggi benteng sisi luar dinaikkan lagi sebesar 1,5 meter (4,9 ft), sehingga membentuk jalan yang tinggi (margi hinggil).[8]
Tembok asli benteng sampai saat ini masih utuh pada sisi selatan sebelah timur (timur Plengkung Nirbaya). Tembok ini dilengkapi dengan meriam serta lubang yang dapat memungkinkan para prajurit keraton tiarap dengan nyaman dan leluasa. Di sisi luarnya, terdapat sebuah selokan (jagang) yang mengitari benteng dan dilengkapi dengan jembatan angkat, serta ditanami pohon gayam sebagai perindang.[9]
Baluwerti pada dasarnya memiliki bentuk persegi panjang, tetapi di bagian timur lebih panjang. Tembok sisi selatan memiliki panjang 1.200 meter (0,75 mi), tembok sisi barat 940 meter (0,58 mi), dan sisi timur 1.140 meter (0,71 mi). Perpanjangan ini dilakukan karena benteng ini harus melindungi istana kediaman putra mahkota yang bernama Istana Sawojajar. Istana tersebut digunakan hingga masa pemerintahan Hamengkubuwana V, kemudian pindah ke Dalem Mangkubumen di sebelah barat area keraton pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VI.[10]
Selekoh

Setiap sudut benteng ini memiliki selekoh yang dilengkapi dengan meriam dan lubang kecil untuk mengintai musuh. Saat ini, selekoh lebih dikenal di kalangan masyarakat Yogyakarta sebagai "Pojok Beteng", disingkat "Jokteng". Selekoh-selekoh ini memiliki bentuk arsitektur yang sama di keempat sudutnya.[11]
Selekoh-selekoh tersebut juga memiliki penamaan berdasarkan arah mata anginnya, yaitu Pojok Beteng Kidul Kulon, Pojok Beteng Kidul Wetan, Pojok Beteng Lor Kulon, dan Pojok Beteng Lor Wetan.
Pojok Beteng Kidul Kulon
Lokasi Pojok Beteng Kidul Kulon (sisi barat daya) adalah di dekat persimpangan yang menghubungkan Jalan Bantul, Jalan Sugeng Jeroni, Jalan K.H. Wahid Hasjim, dan Jalan M.T. Haryono. Pojok beteng ini masih utuh dan dahulu memiliki sebuah jalan masuk menuju jeron beteng (Jalan Nagan Kulon) di sampingnya. Akan tetapi, per 30 Juli 2019, jalan masuk menuju benteng tersebut ditutup sebagai dampak revitalisasi Benteng Baluwerti.[12][13]
Pojok Beteng Kidul Wetan
Meskipun bernama Pojok Beteng Wetan, letak dari selekoh ini berada di tenggara, bukan di timur. Itulah mengapa bagian ini juga disebut sebagai Pojok Beteng Kidul Wetan. Pojok Beteng Kidul Wetan terletak di dekat persimpangan yang menghubungkan Jalan Parangtritis, Jalan Mayjend Sutoyo, Jalan Kolonel Sugiyono, dan Jalan Brigjend Katamso, atau tepatnya ke arah barat dari Museum Perjuangan.[14]
Pojok Beteng Lor Kulon
Sama seperti Pojok Beteng Wetan, lokasi Pojok Beteng Lor atau Lor Kulon secara resmi juga sedikit berbeda dari penamaannya (utara), melainkan di barat laut. Lokasinya berada di dekat bekas emplasemen Stasiun Ngabean, tepatnya di pertigaan Jalan K.H. Wahid Hasjim dan Jalan K.H. Agus Salim (arah Kauman).[14]
Pojok Beteng Lor Wetan
Pojok Beteng Lor Wetan atau sisi timur laut, berlokasi di pertigaan Jalan Ibu Ruswo (arah Alun-Alun Utara) dan Jalan Brigjend Katamso, sampai tahun 2020 hanya menyisakan puing-puingnya karena dihancurkan saat terjadi peristiwa Geger Sepehi pada masa pendudukan Inggris di Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Raffles pada tahun 1812.[15]
Tahun 2020, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) merevitalisasi Pojok Beteng Lor Wetan dengan membangun kembali replika dari bangunan tersebut persis pada tempat aslinya. Pembangunan kembali bagian dari benteng ini sebagai bagian dari keistimewaan DIY, serta mendukung Sumbu Filosofis Yogyakarta sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO.[16]
Pelengkung

Agar pergerakan dan mobilitas warga, prajurit keraton, dan abdi dalem lainnya lebih leluasa, setiap sisi benteng memiliki struktur pelengkung atau plengkung. Dinamakan plengkung karena struktur lubang-lubang pada bangunan ini memiliki penampang bulat, mirip dengan viaduk. Setiap pelengkung ini dahulu memiliki jembatan gantung, yang diangkat pada pukul 20.00 hingga dibuka lagi pukul 05.00 dan biasanya ditandai dengan suara trompet dan tambur (drum) oleh prajurit-prajurit keraton. Nama-nama pelengkung tersebut adalah Tarunasura, Jagasura, Jagabaya, Madyasura, dan Nirbaya. Saat ini hanya ada dua pelengkung yang benar-benar utuh.[9] Pelengkung-pelengkung lainnya diubah menjadi gapura atas perintah Hamengkubuwana VIII.[17]
Pada bagian dalam pelengkung terdapat sebuah kap lampu berbahan bakar minyak tanah atau gas, tetapi sudah tidak lagi digunakan. Untuk meningkatkan visibilitas pengendara pada malam hari, pelengkung-pelengkung dilengkapi dengan lampu hias warna-warni.[18]
Plengkung Tarunasura

Plengkung Tarunasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Wijilan, merupakan pelengkung yang lokasinya berada di sayap timur Alun-Alun Utara. Tepatnya melewati Jalan Ibu Ruswo lalu berbelok ke arah kanan jika kendaraan bergerak dari alun-alun. Pelengkung ini dikenal karena merupkan "pintu gerbang" menuju pusat gudeg. Secara etimologis, tarunaśura berarti "pemuda pemberani" dalam bahasa Jawa Kuno. Hal ini diyakini bahwa dahulu pelengkung ini dijaga oleh prajurit-prajurit taruna (muda).[19]
Plengkung Jagasura
Plengkung Jagasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Ngasem, merupakan pelengkung yang lokasinya berada di sayap barat Alun-Alun Utara. Jika kendaraan berjalan dari arah alun-alun, belok kiri ketika menemui perempatan Kauman. Secara etimologis, jagaśura berarti "pasukan penjaga yang pemberani". Hal ini mengingat adanya "ruang pribadi" sultan, yaitu Taman Sari yang dapat diakses melalui Jalan Ngasem, sehingga harus dijaga ketat oleh prajurit keraton.[20]
Plengkung Jagabaya
Plengkung Jagabaya, lebih dikenal sebagai Pelengkung Tamansari, adalah plengkung di sisi barat benteng. Lokasinya berada di perempatan yang menghubungkan Jalan Kadipaten, Jalan K.H. Wahid Hasyim, dan Jalan Letjend. S. Parman. Pelengkung ini kini digantikan dengan sebuah gapura. Kata jagabaya berarti "menjaga dari marabahaya", menggambarkan tugas dan fungsi pasukan pengamanan sultan, mengingat Taman Sari masih berstatus sebagai "ruang pribadi" sultan.[20]
Plengkung Madyasura
Plengkung Madyasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Gondomanan berada di sisi timur benteng. Lokasinya berada di pertigaan yang menghubungkan Jalan Brigjend Katamso dengan Jalan Mantrigawen. Pelengkung ini juga disebut sebagai Plengkung Buntet (tersumbat), karena plengkung ini ditutup penuh pada saat peristiwa Geger Sepehi yang memorakporandakan sisi timur benteng keraton. Sejak pemerintahan Hamengkubuwana VIII, pelengkung ini berubah wujud menjadi gapura.[11]
Plengkung Nirbaya

Plengkung Nirbaya, lebih dikenal dengan nama Plengkung Gading, berlokasi di perempatan yang menghubungkan Jalan Gading, Jalan M.T. Haryono, Jalan Mayjend Sutoyo, dan Jalan D.I. Pandjaitan. Jalan D.I. Pandjaitan ini terus mengarah ke selatan hingga Panggung Krapyak. Pada masa lalu sultan yang sedang bertakhta tidak diperbolehkan keluar masuk pelengkung ini seumur hidupnya. Hal ini karena pelengkung ini adalah jalan akses bagi jenazah sultan yang telah mangkat menuju Pemakaman Imogiri. Sebaliknya, masyarakat sekitar pelengkung yang wafat tidak boleh melewati pelengkung ini ketika akan dimakamkan dan harus mencari jalan lain meskipun jarak rumahnya sangat dekat dengan pelengkung ini.[21][22]
Galeri
-
Salah satu pelengkung tahun 1900an, kemungkinan Plengkung Jagasura yang sekarang menjadi gapura.
-
Prajurit Wirabraja melintasi Plengkung Nirbaya.
-
Prajurit Mantrijero melintasi Plengkung Nirbaya.
-
Plengkung Wijilan/Tarunasura tahun 1956.
-
Kerusakan salah satu selekoh setelah gempa bumi Yogyakarta 2006.
-
Perbaikan Plengkung Nirbaya pada November 2018.
Referensi
- ^ Poespaningrat, P. (2008). Kisah para leluhur dan yang diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru. Yogyakarta: PT BP Kedaulatan Rakyat.
- ^ Suharmadji 2020, hlm. 51.
- ^ Suharmadji 2020, hlm. 53-54.
- ^ Media, Harian Jogja Digital. "Ganti Rugi Revitalisasi Jokteng Wetang Tuntas, Lahan Harus Segera Dikosongkan". Harianjogja.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-19.
- ^ "Revitalisasi Jokteng Lor Wetan Selesai, Ini Wajah Barunya". www.gudeg.net. Diakses tanggal 2024-06-19.
- ^ RIATMOKO, FERGANATA INDRA (2024-01-16). "Pemugaran Benteng Margi Hinggil Ditargetkan Selesai 2025". kompas.id. Diakses tanggal 2024-06-19.
- ^ Pangaribowo, W.S.; Putri, G.S. (2024-05-27). "Revitalisasi Benteng Keraton, Disbud DIY Targetkan Tahun Ini Selesai Beri "Bebungah"". kompas.com. Diakses tanggal 2024-06-19.
- ^ Suharmadji 2020, hlm. 53.
- ^ a b Yuniarso 2012, hlm. 19-20.
- ^ Suharmadji 2020, hlm. 52.
- ^ a b Yuniarso 2012, hlm. 20.
- ^ Desca, Andreas. "Ruas Jalan Pojok Beteng Kulon Ditutup, Ini Beberapa Jalur Alternatif yang Bisa Dilalui". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2019-08-10.
- ^ "Jalan di Jokteng Kulon Ditutup, Beteng Disambung Lagi". krjogja.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-08-10.
- ^ a b ipank. "Pojok Beteng, Beteng Pertahanan Keraton Yogyakarta". Wisata Yogyakarta. Diakses tanggal 2019-08-10.
- ^ Flo, Eddy (2016-03-21). "Menelisik Sejarah Pojok Benteng Yogyakarta". MerahPutih. Diakses tanggal 2019-08-10.
- ^ "Revitalisasi Jokteng Lor Wetan Selesai, Ini Wajah Barunya". gudeg.net. 2020-07-27. Diakses tanggal 2022-09-26.
- ^ Suharmadji 2020, hlm. 54-55.
- ^ Solopos.com, Redaksi (2013-01-01WIB19:48:01+00:00). "Malam Hari, Plengkung Wijilan dan Gading Berwarna-warni". Solopos.com. Diakses tanggal 2024-06-19.
- ^ Susanto, Heri. "Benarkah Seumur Hidup Sultan Jogja Dilarang Melintasi Plengkung Gading?". detikjateng. Diakses tanggal 2024-06-19.
- ^ a b JogjaSuper (2018-02-09). "Sejarah dan Spot Foto Plengkung Gading". Paket Wisata Jogja. Diakses tanggal 2024-06-19.
- ^ "Lima Plengkung Kraton yang Sarat Sejarah". krjogja.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-08-10.
- ^ "Simpan Banyak Cerita, Plengkung Wijilan Jadi Legenda". krjogja.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-08-10.
Daftar pustaka
- Suharmadji, L. (2020). Geger Sepoy: sejarah kelam perseteruan Inggris dengan Keraton Yogyakarta, 1812-1815. Yogyakarta: Araska. ISBN 9786237537588. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Yuniarso, A. (2012). "Dua Benteng di Tengah Kota, Bersandingan Sepenembakan Meriam". Majalah Kabare. Desember 2012: 18–21.

