More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Cagar Alam Teluk Bintuni - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Cagar Alam Teluk Bintuni - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Cagar Alam Teluk Bintuni

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hutan mangrove di Teluk Bintuni, Papua Barat
Hutan mangrove di Teluk Bintuni

Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) adalah sebuah kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat.[1] Kawasan ini merupakan wilayah hutan mangrove terluas di pesisir Kabupaten Teluk Bintuni, mencapai 236.176 hektar dari total 422.575,79 hektar hutan mangrove di Provinsi Papua Barat.[1] Teluk Bintuni sendiri merupakan salah satu dari empat daerah di Papua yang diusulkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), setelah Raja Ampat.[2]

Geografi dan Ekologi

[sunting | sunting sumber]

Cagar Alam Teluk Bintuni secara geografis berada di wilayah kepala burung Pulau New Guinea. Lokasi penelitian utama mencakup tiga kampung di Distrik Wamesa, yaitu Mamuranu, Anak Kasih, dan Wasari. Distrik Wamesa memiliki luas 816 km², sebagian besar berupa daerah pesisir pantai dan dataran rata. Penduduk Distrik Wamesa pada tahun 2019 tercatat sebanyak 1.204 jiwa.[1]

Kawasan CATB memiliki kekhasan dengan ekosistem mangrove yang utuh dan unik, sehingga sangat perlu dilindungi. Hutan mangrove di Teluk Bintuni mencakup sekitar 10 persen dari total luas hutan mangrove di Indonesia dan disebut sebagai tempat tumbuh bakau terbaik di dunia setelah Raja Ampat. Ekosistem ini berfungsi penting sebagai habitat fauna bernilai ekonomis dan tempat hidup bagi sebagian masyarakat Teluk Bintuni.[1] Mangrove juga memiliki fungsi perlindungan dengan memitigasi bencana tsunami dan banjir secara signifikan, serta menyerap karbondioksida.[3] Selain itu, hutan mangrove merupakan habitat penting bagi biota laut seperti udang, kepiting, dan ikan.[4]

Penetapan dan Fungsi Konservasi

[sunting | sunting sumber]
Survei mangrove Teluk Bintuni
Survei mangrove Teluk Bintuni

Sebagai upaya melindungi keberadaan hutan mangrove, Pemerintah Indonesia menetapkan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni seluas 135.101,59 hektar sebagai Kawasan Cagar Alam melalui SK Menteri Kehutanan nomor: 3121/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 24 April 2014.[1] Pada tahun 1980, World Wild Foundation (WWF) mengusulkan hutan mangrove di Teluk Bintuni masuk dalam cagar alam, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Konservasi Internasional (CI).[2]

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya memiliki kekhasan tumbuhan, satwa, dan/atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. UU ini secara tegas melarang segala bentuk aktivitas di dalam cagar alam selain kegiatan penelitian.[1] Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan di semua kawasan hutan kecuali hutan cagar alam dan zona inti/rimba taman nasional berdasarkan Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.[3]

Masyarakat Adat dan Ketergantungan

[sunting | sunting sumber]

Masyarakat adat yang tinggal turun-temurun di sekitar Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) sangat bergantung pada sumber daya alam di sana. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai nelayan (43,75%) dan petani/pekebun (37,5%). Mereka juga berburu dan meramu sagu. Aktivitas harian di kawasan ini sangat intens, meskipun pendapatan bulanan dari kegiatan tersebut seringkali dirasa kurang.[1]

Persepsi Masyarakat

[sunting | sunting sumber]

Secara umum, masyarakat memahami pentingnya kelestarian hutan dan setuju untuk dilibatkan dalam pelestariannya. Namun, pengetahuan mereka tentang status kampungnya sebagai kawasan cagar alam masih sangat rendah, disebabkan oleh minimnya sosialisasi dari pemerintah.[1]

Masyarakat menghadapi dilema antara kebutuhan hidup dan aturan konservasi. Banyak yang tidak setuju dengan larangan beraktivitas di cagar alam karena hutan adalah sumber penghidupan utama mereka. Di sisi lain, mereka juga berharap pemerintah melakukan pembangunan di wilayah mereka untuk meningkatkan kesejahteraan, seperti perbaikan jalan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan, meskipun berada di dalam kawasan konservasi.[1]

Tantangan dan Isu Konservasi

[sunting | sunting sumber]

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menghadapi berbagai tekanan ekologis akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan meningkatnya kegiatan pembangunan. Kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni mencapai 8.553,03 hektar.[1]

Tantangan utama termasuk:

  • Penebangan dan konversi lahan: Baru-baru ini, staf KSDA dan kelompok peduli lingkungan menemukan penebangan hutan bakau seluas 15,6 hektar untuk permukiman dan tambak di Tisai.[3] Kerusakan ini diduga akan dijadikan lahan bisnis.[4]
  • Penerbitan hak milik pribadi: Terdapat 48 bidang tanah seluas sekitar 840.000 meter persegi (84 hektar) di dalam ekosistem bakau Cagar Alam Teluk Bintuni yang telah dibebani hak milik pribadi untuk areal perkebunan, persawahan, dan pertanian. Penerbitan hak milik ini bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, karena cagar alam seharusnya dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan secara komersial.[3]
  • Aktivitas masyarakat tanpa izin: Meskipun kawasan ini dilindungi, 100% responden mengaku tidak memiliki izin resmi untuk melakukan aktivitas di dalamnya.[1]
  • Kapasitas kelembagaan formal yang terbatas: Pengelolaan CATB oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Papua II (khususnya resort Bintuni) sangat terbatas, dengan hanya satu orang tenaga pengelola dan fasilitas yang tidak memadai.[5]

Peningkatan aktivitas masyarakat dan penambahan penduduk tahunan (sekitar 25-45 orang/tahun) dikhawatirkan akan mengancam kelestarian cagar alam, meskipun saat ini kondisinya masih baik.[1]

Harapan Masyarakat dan Rekomendasi

[sunting | sunting sumber]

Masyarakat di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki beberapa harapan utama dari pemerintah:[1]

  • Dilibatkan secara aktif dalam setiap kegiatan terkait kawasan.
  • Diizinkan untuk tetap melakukan aktivitas ekonomi tradisional seperti penangkapan hasil perikanan (ikan, udang, kepiting, siput, bia) dengan cara sederhana dan tidak merusak lingkungan, usaha budidaya pertanian/berkebun, pemanfaatan kayu mangi-mangi untuk kayu bakar pribadi, dan perburuan hewan liar.
  • Adanya perhatian serius dari pemerintah dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat, termasuk bantuan, pelatihan, penyuluhan, pembinaan, dan pendampingan.
  • Peningkatan infrastruktur dan fasilitas umum (jalan, jembatan, pendidikan, kesehatan, ekonomi) untuk menunjang kebutuhan dasar masyarakat, namun tetap menjaga kelestarian lingkungan/hutan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu ada upaya terpadu yang melibatkan semua pihak, terutama masyarakat adat. Rekomendasi yang disarankan meliputi:[1]

  • Sosialisasi dan penyuluhan rutin tentang perlindungan dan pelestarian CATB, serta pelibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan kawasan.
  • Upaya pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan ekonomi mereka.
  • Perlu dibuat Peraturan Daerah (Perda) yang menetapkan CATB sebagai kawasan konservasi.
  • Arah pembangunan pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni perlu diarahkan menjauhi kawasan cagar alam untuk menekan potensi kerusakan lingkungan.
  • Pemerintah daerah perlu memberikan pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas kawasan konservasi cagar alam Teluk Bintuni.
  • Penanganan CATB harus didasarkan pada prinsip pengelolaan konservasionis dengan basis pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kearifan Lokal dalam Konservasi

[sunting | sunting sumber]

Meskipun masyarakat adat mengakui minimnya upaya pelestarian hutan secara langsung, sesungguhnya pola tradisional mereka mendorong perlindungan hutan itu sendiri. Masyarakat memiliki kepercayaan terhadap tempat-tempat yang dianggap keramat (tempat pamali), disebut "jer" atau "yok/yomes", di mana orang dilarang memasuki atau mengambil sesuatu. Pelanggaran terhadap larangan ini dipercaya akan membawa dampak buruk. Pemahaman tradisional ini merupakan salah satu bentuk perlindungan kawasan agar tidak dirusak atau dicemari.[1]

Bentuk lain dari kearifan lokal terlihat dari cara pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan:[1]

  • Dalam pengambilan kepiting (karaka), masyarakat biasanya tidak mengambil seluruh jumlah kepiting dalam satu liang, dengan pertimbangan agar yang ditinggalkan dapat berkembang biak.
  • Dalam memanen hasil pohon sagu, masyarakat adat Wamesa hanya menebang pohon sagu yang tua dan telah berbunga.

Perilaku masyarakat adat dalam pemanfaatan sumber daya alam ini sejalan dengan prinsip-prinsip konservasi, memperhatikan regenerasi dan daya dukung ekosistem, sehingga kearifan tradisional ini harus dipelihara dan dipertahankan keberadaannya.[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Anwar Killian, Syaiful; Tebaiy, Selvi; Musaad, Ishak. "Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Adat atas Penetapan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni di Distrik Wamesa Kabupaten Teluk Bintuni". CASSOWARY. 4 (2): 172–189. ISSN 2614-8900.
  2. ^ a b Xaverius, Fransiskus (2024-08-24). Kubiari, Yokbeth E (ed.). "Hutan Mangrove Di Teluk Bintuni Merupakan Hutan Terbaik Di Papua Barat". RRI. Diakses tanggal 2025-08-15.
  3. ^ a b c d "840 Ribu Meter Persegi Kawasan Mangrove Di Cagar Alam Teluk Bintuni Telah Dibebani Hak Milik Untuk Perkebunan dan Pertanian". Panah Papua (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-08-15.
  4. ^ a b Mangrove.id (2023-03-03). "Cagar Alam Mangrove di Bintuni Rusak, Diduga Akan Jadi Lahan Bisnis". Mangrove - Membangun Lewat Berita. Diakses tanggal 2025-08-15.
  5. ^ Wanane, Andi Pieter (2008). "Kajian kelembagaan pengelolaan kawasan cagar alam berbasis masyarakat adat di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat". Universitas Gadjah Mada.
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cagar_Alam_Teluk_Bintuni&oldid=27683281"
Kategori:
  • Hutan mangrove di Indonesia
  • Cagar alam di Indonesia
  • DAS Papua
  • Geografi Kabupaten Teluk Bintunі
  • Pendirian tahun 2014 di Indonesia
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • CS1 sumber berbahasa Inggris (en)
  • Galat CS1: periode hilang

Best Rank
More Recommended Articles