More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Djafar Syah dari Tidore - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Djafar Syah dari Tidore - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Djafar Syah dari Tidore

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sultan Haji Djafar Syah (2 Februari 1940 – 13 April 2012) adalah Sultan Tidore tituler yang menjabat dari tahun 1999 hingga 2012. Beliau merupakan penguasa ke-36 Kesultanan Tidore secara tradisional, dan berperan penting dalam menghidupkan kembali kesultanan tersebut sebagai lembaga budaya setelah kekosongan yang panjang sejak tahun 1967. Masa awal kepemimpinannya bertepatan dengan konflik sektarian Maluku yang terjadi antara tahun 1999–2001, namun Pulau Tidore sebagian besar berhasil menghindari dampak kekerasan dari konflik tersebut.

Pelantikan sebagai Sultan

[sunting | sunting sumber]

Djafar Dano Junus lahir pada tahun 1940, putra dari Haji Junus, yang merupakan cicit dari Sultan Nuku dari Tidore. Ia memiliki dua saudara, Yusuf dan Amiruddin. Setelah wafatnya Sultan Zainal Abidin Alting pada tahun 1967, di awal era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, posisi Sultan dibiarkan kosong. Hal ini disebabkan oleh semakin sentralistiknya negara Indonesia yang tidak banyak memberi ruang bagi penguasa turun-temurun.

Namun, pada tahun 1990-an, mulai muncul gerakan untuk menghidupkan kembali tradisi budaya lokal, terutama setelah Ternate, wilayah tetangga, secara tidak resmi menobatkan seorang Sultan tituler pada tahun 1986. Sebagai keturunan langsung dari Sultan Nuku, pahlawan anti-kolonial yang terkenal, Djafar Dano Junus menjadi kandidat utama untuk kembali menduduki takhta.

Setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 dan dimulainya era demokratisasi di Indonesia, gelombang kebangkitan budaya melanda seluruh negeri, termasuk kerajaan-kerajaan tradisional di Maluku. Akhirnya, Sultan Djafar Syah secara resmi dinobatkan di lapangan Soninge Salaka pada tanggal 18 Oktober 1999 (atau 8 Rajab 1420 H).[1]

Kekerasan sektarian

[sunting | sunting sumber]

Stabilitas di wilayah Maluku menghadapi ancaman serius akibat meningkatnya perpecahan sektarian dan mobilisasi massa. Situasi ini diperparah dengan rencana pemekaran wilayah administratif baru di Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang dijadwalkan pada September 1999.

Pada Agustus dan Oktober 1999, pecah pertikaian antara umat Kristen dan Muslim di Halmahera, yang menyebabkan eksodus besar-besaran pengungsi Muslim ke Ternate dan Tidore. Kedatangan para pengungsi ini memicu agitasi dan rumor, berujung pada serangan terhadap umat Protestan di kedua pulau tersebut pada November.

Kekerasan ini kemudian memicu mobilisasi oleh pengikut bersenjata Sultan Mudaffar Sjah dari Ternate, serta para pesaingnya dalam perebutan jabatan gubernur Maluku Utara, termasuk Sultan Djafar Syah dan seorang politikus Islam di Halmahera. Akibatnya, umat Protestan di Ternate dan Tidore kini mengungsi ke wilayah Halmahera Utara dan Sulawesi Utara yang mayoritas berpenduduk Kristen. Kerusuhan di Maluku Utara ini terus berlanjut hingga tahun 2001.[2]

Rekonstruksi tradisi

[sunting | sunting sumber]

Selama masa pemerintahannya, Sultan Djafar Syah menjalin kerja sama erat dengan pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi. Kolaborasi ini membuahkan hasil nyata, seperti pembangunan kembali Kadato Kie (istana kesultanan), Masjid Sultan (Sigi Kolano), dan Dermaga Sultan.

Pada tahun 2000, Sultan Djafar Syah mencalonkan diri untuk menduduki kursi di Kantor Perwakilan Daerah Maluku Utara. Ia berhasil meraih suara yang signifikan dan menjabat sebagai anggota parlemen selama satu periode. Meskipun kembali mencalonkan diri untuk periode berikutnya, ia gagal memperoleh kursi.

Istana kerajaan (kadato) di Tidore yang sempat hancur pada tahun 1912 mulai dibangun kembali oleh Sultan Djafar Syah pada tahun 2002. Pembangunan Kadato Kie baru ini dimulai dengan dana awal sebesar Rp500.000.000, yang merupakan bantuan dari Penjabat Gubernur Maluku Utara kala itu, S.H. Sarundajang. Proyek besar ini memakan waktu sembilan tahun untuk diselesaikan, dari tahun 2002 hingga 2010.

Tak lama setelah peresmian Kadato Kie, Sultan Djafar Syah meninggal dunia karena penyakit liver pada 13 April 2012 di Rumah Sakit Husada Bakti, Jakarta.[3] Jenazahnya kemudian dibawa kembali ke Tidore pada 14 April dan dimakamkan di kompleks makam Sultan Nuku melalui upacara kerajaan yang megah.[4]

Meskipun Sultan Djafar Syah mempunyai putra, Sultan Djafar Syah digantikan oleh Husain Syah, yang berasal dari cabang keluarga Sultan lainnya

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "TIDORE Dalam Balutan Sejarah - KESULTANAN TIDORE - Annie Nugraha" (dalam bahasa American English). 2017-03-01. Diakses tanggal 2025-06-15.
  2. ^ John T. Sidel (2007) Riots, pogroms, jihad: Religious violence in Indonesia. Singapore: NUS Press, p. 181-2.
  3. ^ Obituari Kompas, Sultan Tidore ke-36 Meninggal. Edisi 14 April 2012.
  4. ^ Rais, Muhammad (2018-08-12). "WAJAH ISLAM DI BANDAR JALUR SUTERA (Kajian Sejarah Sosial Pada Kesultanan Tidore-Maluku Utara)". Al-Qalam. 16 (2): 191. doi:10.31969/alq.v16i2.485. ISSN 2540-895X.
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Djafar_Syah_dari_Tidore&oldid=27444249"
Kategori:
  • Sultan di Indonesia
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • CS1 sumber berbahasa American English (en-us)

Best Rank
More Recommended Articles