More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. I Dewa Agung Jambe - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
I Dewa Agung Jambe - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

I Dewa Agung Jambe

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ida I Dewa Agung Jambe I dikenal juga dengan nama Sri Agung Jambe adalah raja pertama sekaligus pendiri dari Kerajaan Klungkung. Ia merupakan putra dari Raja Gelgel sebelumnya, yaitu Dalem Di Made, dan ibunya bernama Gusti Agung Ayu Jambe dari Badung. Ia lahir di Puri Agung Sweca Linggarsapura, Gelgel. Pada tahun 1651, menyusul kerusuhan yang menyebabkan keruntuhan Kerajaan Gelgel, ia bersama keluarga kerajaan mengasingkan diri ke Guliang. Pada tahun 1686, ia berhasil merebut kembali wilayah Gelgel dan mendirikan Kerajaan Klungkung sebagai suksesor dari kekuasaan kerajaan sebelumnya.[1][2]

Ida I Dewa Agung Jambe
ᬇᬤᬇᬤᬾᬯᬳᬕᬸᬂᬚᬫ᭄ᬩᭂ
Sesuhunan Gumi Bali lan Lombok
Ida I Dewa Agung Jambe Kepakisan
Ida Sri Agung Jambe
Sri Aji Dalem ring Smarajaya
Berkuasa1 November 1686 - 11 November 1722
(1608 - 1644 Saka)
PendahuluDalem Di Made (Kerajaan Gelgel)
PenerusIda I Dewa Agung Made
Pemakaman
Didharmakan di Pura Pedharman Dalem Klungkung, Besakih
PasanganNi Gusti Ayu Pacung
Keturunan
  • Ida I Dewa Agung Istri Pacung
  • Ida I Dewa Agung Madhya Wirya
  • Ida I Dewa Agung Wirya Anom Sirikan
  • Ida I Dewa Agung Wuruju Wirya
DinastiKepakisan
AyahSri Aji Dharma Dimadya Kepakisan
IbuNi Gusti Agung Ayu Jambe
AgamaHindu

Kehidupan awal

[sunting | sunting sumber]

Ida I Dewa Agung Jambe merupakan seorang pangeran dari Kerajaan Gelgel, putra dari Dalem Di Made dan ibunya, Gusti Agung Ayu Jambe dari Puri Nambangan, Badung. Ia lahir dan dibesarkan di Puri Agung Sweca Linggarsapura di Gelgel. Namanya disebutkan dalam sejumlah naskah babad seperti Babad Dalem, Babad Semarapura, Babad Klungkung, dan Babad Dalem Sukawati.[3]

Ia dikenal sebagai adik bungsu dari Ida Dewa Agung Pemayun, Dewa Pacekan, dan Dewa Ketut Guliang. Ia juga memiliki sejumlah saudara tiri dari istri-istri lain Dalem Di Made. Saat memasuki usia remaja, pada tahun 1651 terjadi pergolakan politik di Gelgel yang menyebabkan ayahnya dikudeta dan diturunkan dari takhta. Dalam kondisi ini, keluarga kerajaan, termasuk Dewa Agung Jambe, mengungsi ke Guliang, sementara Gelgel dikuasai oleh pihak pemberontak di bawah pimpinan Gusti Agung Maruti.[4]

Kehidupan di pengasingan

[sunting | sunting sumber]

Menurut catatan tradisi babad, pengasingan keluarga kerajaan disamakan dengan kisah Panca Pandawa yang mengungsi ke Negeri Wirata. Di Guliang, Dewa Agung Jambe tumbuh besar bersama kakak-kakak tirinya dan sebagian anggota keluarga kerajaan. Sementara itu, saudara-saudaranya yang lain berpencar ke berbagai daerah di Bali, dan adik bungsunya bahkan dibawa mengungsi ke Lombok.

Selama masa pengasingan, Dalem Di Made masih menjalin hubungan erat dengan sejumlah bangsawan lokal (anglurah) dan adipati yang masih setia kepadanya. Di antara mereka terdapat keturunan Arya Kuta Waringin, seperti Ki Gusti Ngurah Abiantubuh (Ki Jumbuh), Ki Gusti Ngurah Kuntang Gurna, Ki Gusti Ngurah Tubuh Nyanyap dan Kyai Gusti Madya Karang Tubuh, ia memimpin kerajaannya dari Guliang.[5]

Setelah wafatnya Dalem Di Made di Guliang, diadakan upacara ngaben sesuai tata cara raja besar. Seusai upacara, Dewa Agung Jambe memutuskan meninggalkan Guliang dan menuju ke wilayah barat, yakni ke Desa Sidemen (atau disebut juga Singarsa), sementara kakaknya, Dewa Agung Pemayun, memilih bermukim ke barat di Tampaksiring. Rakyat dan harta peninggalan kerajaan juga dibagi dua; sebagian besar senjata pusaka kerajaan dibawa oleh Dewa Agung Jambe, sedangkan Dewa Agung Pemayun hanya membawa satu keris sebagai simbol identitasnya sebagai pangeran Gelgel.[6]

Kepergiannya ke Sidemen juga berkaitan dengan undangan dari sepupunya, Ida Dewa Anom Pemayun, keturunan dari Dalem Anom Pemayun yang sebelumnya menanggalkan tahta Kerajaan Gelgel. Ia mengutus Kyai Anglurah Singarsa untuk menjemput Dewa Agung Jambe dan membawanya ke Sidemen.

Di Sidemen, Karangasem, Dewa Agung Jambe akhirnya dikukuhkan sebagai pemimpin setempat. Disana ia kemudian mulai bersurat dan menjalin komunikasi dengan para bangsawan yang masih setia kepada keturunan Wangsa Kepakisan. Dari sinilah ia mulai menyusun strategi dan kekuatan untuk melawan balik pemberontakan yang dipimpin oleh Gusti Agung Maruti.[7]

Penyerangan ke Gelgel

[sunting | sunting sumber]

Setelah cukup lama menetap di Singarsa, I Dewa Agung Jambe mulai menyusun rencana untuk menggulingkan pemerintahan Gusti Agung Maruti di Gelgel. Informasi yang diterimanya menyebutkan bahwa sejumlah penguasa daerah, seperti dari Denbukit, Badung, Tabanan, dan Karangasem, siap bergabung dalam suatu koalisi untuk melawan Maruti. Singarsa dipilih sebagai markas besar karena lokasinya yang strategis di wilayah perbukitan, memungkinkan pengawasan yang terhadap pergerakan pasukan Gelgel. Sumber utama yang menceritakan kampanye militer ini adalah Babad Blahbatuh

Perencanaan militer dilaksanakan di kediaman Anglurah Singarsa dan melibatkan berbagai tokoh, antara lain: Ida Pedanda Wayahan Buruan selaku penasihat spiritual dan militer; I Dewa Agung Jambe sebagai pemimpin tertinggi sekaligus panglima perang adalah Rakriyan Gusti Ngurah Kubontubuh, yang menyerang langsung ke pusat Gelgel dengan Pasukan khusus, anehnya Pasukan Rakriyan Gusti Ngurah Kubontubuh tidak ada yang mati maupun terluka, yang menyebabkan Sagung Maruti lari ke arah barat dan bertemu dengan Ki Gusti Nyoman Pemedilan (Kyai Jambe Pule) penguasa Badung dan meningal di Watu Klotok Gianyar. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, penguasa Denbukit sekaligus paman Dewa Agung Jambe; serta Kyai Tabanan dan Kyai Kaba-Kaba sebagai perwakilan dari Tabanan. Kyai Gusti Singarsa ditunjuk sebagai ajudan utama dan wakil panglima, sedangkan para kesatria dari Sukahet, yaitu I Dewa Paduhungan, I Dewa Negara, dan I Dewa Kereng ditugaskan sebagai komandan pasukan pengawal.

Strategi utama yang disepakati koalisi ini adalah pengepungan dari tiga arah: pasukan Denbukit dari timur laut dan barat laut, Badung dari barat dan selatan, serta Singarsa dari utara. Tujuan dari strategi ini adalah untuk memaksa Gelgel menyerah tanpa perlawanan besar dan menangkap para pendukung Maruti hidup-hidup.[8]

Namun, rencana ini bocor ke pihak Gelgel. Gusti Agung Maruti bersama senapatihnya, Ki Dukut Kerta, segera menyusun langkah-langkah pertahanan. Sekitar tahun 1686, serangan koalisi diluncurkan. Pasukan Denbukit di bawah Ki Ngurah Tamblang bergerak dari timur laut dan berhasil menduduki wilayah Dawan dan Sampalan, namun mendapat serangan balik yang memaksa mereka mundur.

Sementara itu, pasukan Badung berhasil menembus desa Jumpai karena fokus utama pasukan Gelgel berada di front timur. Namun, setelah berhasil menghalau pasukan Denbukit, Ki Dukut Kerta mengalihkan pasukannya untuk menghadang serangan dari barat. Dalam pertempuran sengit, pasukan Badung dipukul mundur ke wilayah Klotok, dan Kyai Jambe Pule beserta putranya, Kyai Macan Gading, membangun markas pertahanan di sana.

Di front utara, pasukan Singarsa berhasil merebut wilayah dari Akah hingga Pekandelan. Mengantisipasi serangan balasan, Kyai Gusti Singarsa memerintahkan pembakaran jalur-jalur penghubung guna menghambat pergerakan musuh, sementara Dewa Agung Jambe mendirikan pos pengintaian di Pekandelan. Serangan selanjutnya kemudian dilancarkan pada esok harinya

Serangan lanjutan tersebut berhasil karena pasukan Gelgel sudah mulai kelelahan. Meskipun moral mereka masih tinggi karena dua kemenangan sebelumnya, keesokan harinya pasukan Denbukit menghancurkan jembatan-jembatan utama dan menduduki Paksebali. Dalam pertempuran ini, Ki Dukut Kerta gugur di tangan Ki Ngurah Tamblang, menyebabkan kekacauan di pihak Gelgel.

Pada 31 Oktober 1686 Gusti Agung Maruti lalu memimpin langsung serangan dari barat dan terlibat perang tanding melawan Kyai Macan Gading di pantai Klotok. Keduanya tewas dalam duel tersebut. Kekosongan komando dimanfaatkan oleh pasukan Badung untuk menerobos pertahanan Gelgel dari barat daya.

Dari arah utara, Dewa Agung Jambe berhasil menembus pertahanan Gelgel-Maruti dalam pertempuran di Pemeregan, berkat bantuan Ki Gusti Dauh. Serangan lanjutan dilancarkan ke Kamasan, dan tiga kekuatan koalisi secara serentak mengepung ibukota Gelgel. Gelgel dilanda kepanikan; sebagian pasukan menyerah, sementara lainnya bertahan di istana. Keluarga Maruti dilaporkan bersiap untuk melarikan diri.

Serangan terakhir diarahkan ke Puri Agung Swecalinggarsapura, bekas pusat kekuasaan leluhur Dewa Agung Jambe. Pertempuran berlangsung sengit dan penuh korban. Setelah berhasil menembus istana, koalisi merayakan kemenangan mereka melalui upacara syukur di Pura Dasar Buana.[9]

Setelah kemenangan, para pemimpin koalisi mengusulkan penobatan Dewa Agung Jambe sebagai Raja Gelgel. Namun, ia memilih untuk menawarkan tahta kepada kakaknya, Dewa Agung Pemayun, yang tengah menjalani kehidupan pertapaan di Guliang. Melalui utusan Ki Ngurah Singarsa, ia menyampaikan permintaan agar sang kakak bersedia kembali dan memimpin kerajaan.

Dewa Agung Pemayun menolak dengan alasan tidak layak memerintah dan masih diliputi trauma masa lalu atas kudeta terhadap ayah mereka. Setelah berdiskusi dengan pamannya, I Dewa Kanca Denbencingah, ia menyampaikan penolakannya kepada utusan tersebut.

Dewa Agung Jambe akhirnya menerima tahta dan mendirikan kerajaan baru di lokasi markas militernya di Pekandelan. Ia menamakan istana barunya Puri Agung Semarajaya dan wilayah ibukotanya Semarapura dengan Patih Setia Ki Gusti Ngurah Tumenggung Kubontubuh di Jero Agung Pekandelan Klungkung (Sekarang Puri Agung Saraswati). Kepindahan itu, karena menganggap Gelgel telah kehilangan kesakralannya akibat pertumpahan darah, ia tidak lagi menggunakan gelar "Dalem", tetapi memilih gelar "Dewa Agung". Istana Semarajaya diperkirakan selesai dibangun pada tahun 1705, atau sekitar 19 tahun setelah kejatuhan Gelgel.[10]

Sumber keseluruhan babad juga dikonfirmasi oleh surat I Dewa Agung Jambe ke VOC, Batavia pada tanggal 1 November 1686 beliau memperkenalkan diri sebagai raja baru di Bali, sebelumnya pada 1665 Gusti Agung Maruti kerap bersurat dengan VOC.

Masa Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Menurut sumber-sumber tradisional Bali, setelah berhasil merebut kembali kekuasaan dari Gusti Agung Maruti dan menerima penolakan dari kakaknya, Dewa Agung Pemayun, untuk naik takhta, maka I Dewa Agung Jambe secara resmi diabhiseka atau dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Klungkung.[11]

Meskipun tidak banyak sumber yang mencatat secara rinci masa pemerintahannya, beberapa catatan dalam babad serta dokumen VOC memberikan gambaran penting mengenai aktivitas politik dan militer yang dilakukan oleh Dewa Agung Jambe. Salah satu catatan mencatat bahwa ia, bersama Raja Mengwi, Cokorda Sakti Blambangan dan Raja Buleleng, Gusti Anglurah Panji Sakti dari Buleleng, pernah mengirimkan sekitar 900 prajurit ke Blambangan untuk ikut intervensi dalam sengketa suksesi kerajaan tersebut. Pasukan ini berlabuh di pesisir Tanjung Jajang, selatan Banyuwangi, dan hasil dari intervensi tersebut adalah pengangkatan Mas Purba, yang saat itu baru berusia delapan tahun, sebagai raja Blambangan dengan gelar Pangeran Danureja.[12]

Pada tahun 1710, I Dewa Agung Jambe terlibat konflik dengan Cokorda Sakti Blambangan, Raja Mengwi, dua penguasa berpengaruh di Bali pada masa itu. Wilayah kekuasaan Raja Mengwi bahkan mencapai perbatasan Alas Rangkan (kini wilayah Banjarangkan). Dalam legenda Bali, dikisahkan bahwa muncul seorang balian (dukun) sakti dari Batur yang dikenal sebagai Ki Balian Batur. Ia populer karena kemampuan mengobati masyarakat melalui ilmu usadha (pengobatan). Namun, karena anaknya difitnah oleh seorang prajurit Mengwi yang cintanya ditolak, Ki Balian Batur murka dan menyebarkan wabah penyakit di ibu kota Mengwi.

Sebuah wangsit menyebut bahwa satu-satunya senjata yang dapat membunuh Ki Balian Batur adalah senjata api kuno milik Klungkung bernama Ki Narantaka, dengan peluru khusus bernama Ki Seliksik. Untuk memperoleh senjata ini, Raja Mengwi harus melepas egonya dan tunduk meminta bantuan kepada I Dewa Agung Jambe. Permintaan itu dikabulkan, namun yang menembakkan senjata tersebut haruslah putra kedua Dewa Agung Jambe, yakni Dewa Agung Anom Sirikan. Setelah rumah Ki Balian Batur dikepung, ia akhirnya menyerah dengan syarat bahwa dirinya hanya bersedia dibunuh oleh pangeran Klungkung tersebut.

Setelah kematian sang balian, wabah pun mereda dan keamanan kembali pulih di Mengwi. Sebagai bentuk penghormatan dan untuk meredakan ketegangan antara dua kerajaan besar tersebut, Raja Mengwi menyerahkan wilayah Sukawati kepada Dewa Agung Anom Sirikan. Penyerahan ini diterima oleh Dewa Agung Jambe dan juga oleh putra sulungnya. Kerajaan baru yang dipimpin oleh Dewa Agung Anom Sirikan tersebut kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sukawati. Dalam versi lain yang lebih bersifat folkloristik, disebut bahwa Sang Pangeran jatuh cinta pada keindahan alam Sukawati dan sering berkata "suka hatiku", yang kemudian diabadikan menjadi nama daerah tersebut.[13][14]

Keluarga

[sunting | sunting sumber]

Menurut sumber-sumber tradisional dan babad Bali, I Dewa Agung Jambe memiliki seorang permaisuri bernama Gusti Ayu Pacung, yang berasal dari keluarga bangsawan Mengwi.[14] Dari pernikahan ini, beliau memiliki empat orang anak, yang terdiri dari satu putri dan tiga putra.

Putri sulung bernama Ida Dewa Agung Istri Pacung. sedangkan putra pertamanya adalah Ida I Dewa Agung Made, yang kemudian menjadi penerus takhta dan memerintah Kerajaan Klungkung setelah wafatnya I Dewa Agung Jambe pada tahun 1722.[11] Putra kedua adalah Dewa Agung Anom Sirikan, yang kemudian memisahkan diri ke wilayah Sukawati dan mendirikan Kerajaan Sukawati. Dalam salah satu versi babad, disebutkan bahwa sempat terjadi ketegangan antara Dewa Agung Anom Sirikan dan kakaknya mengenai siapa yang layak menjadi pewaris utama kerajaan. Untuk meredakan konflik ini, I Dewa Agung Jambe membagi wilayah kekuasaannya: bagian dari perbatasan Alas Rangkan hingga ke barat (Sukawati) diserahkan kepada Dewa Agung Anom Sirikan sebagai wilayah kekuasaan tersendiri.[13], Ia juga dikatakan memiliki konflik internal dengan kakaknya yang membuat Dewa Agung Made mengeluarkan sebuah maklumat agar para bangsawan dari Puri Agung Smarajaya untuk tidak menikah dengan keturunan Dewa Anom Sirikan

Putra bungsu adalah Dewa Agung Ketut Agung. Pada sekitar tahun 1730, ia memohon izin kepada kakaknya, Ida I Dewa Agung Made, untuk membangun kembali kawasan bekas pusat pemerintahan di Gelgel. Permohonan ini dikabulkan, dan ia mendirikan sebuah puri yang dikenal sebagai Puri Gelgel. Ia diangkat sebagai Manca Agung atau Punggawa yang membawahi wilayah selatan Kerajaan Klungkung, termasuk daerah-daerah seperti Klotok, Jumpai, Dukuh, Gelgel, dan sekitarnya.[15]

Kematian

[sunting | sunting sumber]

I Dewa Agung Jambe dikenal sebagai pendiri Kerajaan Klungkung dan kota Semarapura. Ia memerintah selama kurang lebih 36 tahun, terhitung sejak keberhasilannya merebut kembali tahta dari Gusti Agung Maruti pada tanggal 31 Oktober 1686. Dalam tradisi istana di Bali, ia dipandang sebagai suksesor Kerajaan Gelgel dan merupakan undag (keturunan) kedelapan dari Sri Aji Kresna Kepakisan.[11]

Salah satu warisan penting dari masa pemerintahannya adalah pembangunan kompleks istana Klungkung (Puri Agung Semarapura), yang penyelesaiannya diperkirakan pada tahun 1700 M (1622 Saka), berdasarkan candrasengkala yang terdapat pada gerbang utama istana.[15] Istana ini kemudian menjadi kediaman resmi para raja Klungkung hingga keruntuhan kerajaan tersebut pada tahun 28 April 1908. I Dewa Agung Jambe dikenang sebagai peletak fondasi politik dan budaya bagi Kerajaan Klungkung.

Ia diperkirakan lahir sekitar tahun 1640 dan wafat pada tahun 1722, dalam usia sekitar 70 hingga 80 tahun. Tidak terdapat catatan tertulis yang merinci penyebab kematiannya. Setelah wafat, upacara kematian kenegaraan dilaksanakan, dan beliau didharmakan di Pura Keluarga Puri Agung Klungkung. Selain itu, ia juga didharmakan pelinggih Meru bertingkat tiga di Pura Pedharman Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai bentuk penghormatan atas kedudukannya sebagai leluhur utama dinasti Klungkung.[13]

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]
  • Sejarah Bali
  • Daftar Raja Bali

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Wiener, Margaret J. (1995). Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. University of Chicago Press. hlm. 44–46. ISBN 9780226895975.
  2. ^ Creese, Helen (2004). Women of the Kakawin World: Marriage and Sexuality in the Indic Courts of Java and Bali. M.E. Sharpe. hlm. 93. ISBN 9780765614705.
  3. ^ Margaret J. Wiener, Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali, University of Chicago Press, 1995, hlm. 44–46.
  4. ^ Helen Creese, Women of the Kakawin World: Marriage and Sexuality in the Indic Courts of Java and Bali, M.E. Sharpe, 2004, hlm. 92–94.
  5. ^ Margaret J. Wiener, Visible and Invisible Realms, hlm. 45.
  6. ^ Helen Creese, Women of the Kakawin World, hlm. 93.
  7. ^ Margaret J. Wiener, Visible and Invisible Realms, hlm. 46.
  8. ^ Ardika, I Wayan. *Bali: Baluwerti Nusantara*. Denpasar: Udayana University Press, 2016, hlm. 158–160.
  9. ^ Raka, I Made. *Puri dan Raja-Raja Bali*. Denpasar: Udayana University Press, 2009, hlm. 223–225.
  10. ^ Ardika, I Wayan. *Bali: Baluwerti Nusantara*, hlm. 161–163.
  11. ^ a b c Ardika, I Wayan. Bali Pada Abad ke-17: Kajian Sejarah Berdasarkan Sumber Tertulis. Denpasar: Udayana University Press, 2013, hlm. 89. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Ardika2013" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  12. ^ Sedyawati, Edi, dkk. Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1992, hlm. 241.
  13. ^ a b c Wiana, I Ketut. Dari Buleleng ke Klungkung. Denpasar: Yayasan Bali Kuna, 2004, hlm. 167–170. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Wiana2004" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  14. ^ a b Babad Bali: Suatu Studi Mengenai Sejarah Bali Berdasarkan Sumber Tradisional. Leiden: KITLV Press, 2000.
  15. ^ a b Windya, I Made. Sejarah Bali Kuna dan Klungkung. Denpasar: Udayana Press, 2008, hlm. 112–114.

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]
  • C.C. Berg (1927), De middeljavaansche historische traditië. Santpoort: Mees.
  • Henk Schulte Nordholt (2010), The Spell of Power: A History of Balinese Politics, 1650-1940. Leiden: KITLV.
Didahului oleh:
Anglurah Agung
Raja Bali
c. 1686-1722
Diteruskan oleh:
Ida I Dewa Agung Made
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=I_Dewa_Agung_Jambe&oldid=28210257"
Kategori:
  • Tokoh Bali
  • Raja Bali
Kategori tersembunyi:
  • Halaman dengan kesalahan referensi
  • Galat CS1: ISBN
  • Artikel mengandung aksara non-Indonesia

Best Rank
More Recommended Articles