Inflasi Akademik
![]() | Artikel ini membutuhkan lebih banyak pranala ke artikel lain untuk meningkatkan kualitasnya. (Februari 2023) |
Inflasi Akademik adalah suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan permintaan kualifikasi pendidikan formal terhadap kebutuhan lapangan kerja. Sebagai contoh, suatu profesi yang sebelumnya hanya membutuhkan minimal kualifikasi pendidikan setingkat SMA, tetapi saat ini membutuhkan minimal kualifikasi pendidikan setingkat S1. Meningkatnya jumlah populasi yang memiliki kualifikasi pendidikan tertentu namun di satu sisi jumlah lapangan kerja tidak memadai dan adanya perubahan sistem pada lapangan kerja memunculkan kompetisi yang menyebabkan terjadinya inflasi akademik.
Salah satu dampak dari inflasi akademik adalah meningkatnya jumlah populasi yang mengejar kualifikasi pendidikan lebih tinggi untuk dapat berkompetisi pada suatu lapangan kerja, padahal sebenarnya pendidikan tinggi tidak diperlukan untuk lapangan kerja tersebut.[1] Yang artinya, terjadi peningkatan nilai atas suatu kualifikasi pendidikan normal tertentu, tetapi di satu sisi terjadi penurunan nilai atas suatu kualifikasi pendidikan formal lainnya. Sebagai contoh, sebelumnya formasi PNS banyak diisi oleh lulusan SD, SMP, dan SMA, tetapi pada pembukaan formasi CPNS pada tahun 2017 kualifikasi pendidikan yang ditentukan adalah minimal lulusan SMA. Akan tetapi, jumlah formasi untuk SMA sangat sedikit. Pada gelombang kedua pembukaan formasi CPNS tahun 2017 terdapat 17.928 formasi, tetapi jumlah formasi bagi lulusan SMA kurang lebih hanya 500-600 formasi.[2] Bahkan pada tahun 2017 terdapat formasi CPNS untuk lulusan S2 dan S3, misalnya Badan Siber dan Sandi Negara (dulu Lembaga Sandi Negara) hanya membuka 26 formasi CPNS yang seluruhnya ditujukan untuk lulusan pendidikan S2 dan S3.[3] Dengan demikian, telah terjadi penurunan nilai terhadap kualifikasi pendidikan SD, SMP, dan SMA, tetapi terjadi peningkatan nilai terhadap kualifikasi pendidikan S2 dan S3 karena dibutuhkan pasar lapangan kerja.
Inflasi akademik terjadi karena beberapa faktor. Perkembangan teknologi menyebabkan perubahan sifat dan tanggung jawab pekerjaan menjadi lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak pengetahuan teknis dan keterampilan berpikir kritis yang lebih kuat,[4] sehingga diperlukan peningkatan kualifikasi pendidikan. Selain itu, perguruan tinggi menghasilkan jumlah lulusan yang lebih banyak daripada lapangan kerja yang tersedia, sehingga penyedia kerja lebih akan memilih pelamar kerja yang memiliki kualifikasi pendidikan lebih tinggi.[5]
Menurut negara
Indonesia
Data dan temuan kualitatif penting untuk pemahaman perkembangan kualitas lulusan sarjana:
Periode/Waktu | Indikator Kualitas Sarjana | Deskripsi dan Catatan Akademis |
---|---|---|
Awal Pendidikan Tinggi Modern di Indonesia (1945-an s.d 1970-an) | Sarjana berkualitas cukup tinggi | Perguruan tinggi terbatas dan selektif, lulusan umumnya siap kerja dan berkontribusi nyata pada pembangunan nasional |
1980-an s.d 1990-an | Mulai muncul tekanan kuantitas | Pertumbuhan jumlah perguruan tinggi dan mahasiswa meningkat, mulai ada desakan kelulusan cepat, kualitas mulai tertekan[6] |
2000-an | Fenomena "sarjana karbitan" mulai terlihat | Banyak lulusan yang disiapkan secara cepat, kualitas akademik mulai menurun, kompetensi yang dimiliki tidak setara dengan gelar[7] |
2010-an | Inflasi nilai akademik dan deflasi kompetensi | Nilai IPK meningkat signifikan, namun kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan keahlian praktis menurun[8] |
2019 (Data IDF 2019) | Kualitas sarjana setara lulusan SMA di negara maju | Studi menunjukkan kualitas lulusan sarjana Indonesia setara dengan lulusan SMA di Denmark, menandakan krisis kualitas pendidikan[9] |
2020-an (terbaru) | Maraknya gelar karbitan dan pendidikan komersial | Perguruan tinggi banyak yang mengejar kuantitas dan akreditasi, sistem nilai dan lulusan dipenuhi dengan praktisi 'karbitan' |
Studi
- "Sarjana karbitan" diartikan lulusan yang dipaksa cepat lulus tanpa penguasaan kompetensi yang memadai, produk dari tekanan akademik dan sistem pendidikan yang lebih fokus pada kelulusan dan formalitas gelar daripada mutu substansi.
- Inflasi akademik mengacu pada kenaikan nilai akademik (IPK) yang tidak diimbangi oleh peningkatan kemampuan nyata.
- Deflasi kompetensi adalah penurunan penguasaan keterampilan dan kemampuan intelektual lulusan.
- Fenomena ini berdampak pada pasar kerja dan kualitas sumber daya manusia nasional.
- Studi dan pengamatan akademis di Indonesia seperti dari Indonesia Development Forum 2019 dan analisis wartawan/kajian artikel ilmiah mendukung fenomena ini.
Referensi
- ^ "Academic Inflation". Diakses tanggal 29 April 2018.
- ^ Aditiasari, Dana. "Mau Tahu Lowongan CPNS Untuk Lulusan SMA? Ini Daftarnya". detikcom. Diakses tanggal 2018-04-29.
- ^ Saputri, Maya. "Lowongan CPNS Lemsaneg 2017 Hanya untuk Lulusan S2 dan S3 - Tirto.ID". tirto.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-04-29.
- ^ Rampell, Catherine (2014-09-09). "The college degree has become the new high school degree". Washington Post (dalam bahasa American English). ISSN 0190-8286. Diakses tanggal 2018-04-29.
- ^ Pappano, Laura (2011-07-22). "The Master's as the New Bachelor's". The New York Times (dalam bahasa American English). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2018-04-29.
- ^ "Inflasi Ijazah, Akar dari Penurunan Kualitas Pendidikan". kumparan. Diakses tanggal 2025-09-17.
- ^ Kompasiana.com (2025-07-14). "Inflasi Akademik dan Deflasi Kompetensi : Krisis Kualitas Sarjana Indonesia". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2025-09-17.
- ^ Fadillah, Dimas Junian. "Inflasi Gelar Akademik dan Ketidakpastian Dunia Kerja". detiknews. Diakses tanggal 2025-09-17.
- ^ admin (2021-10-20). "Kualitas Sarjana di Indonesia Setara dengan Lulusan SMA di Denmark". Berita Universitas Muhammadiyah Makassar (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-09-17.