More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Kebijakan TRIPS‑Plus - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kebijakan TRIPS‑Plus - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kebijakan TRIPS‑Plus

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. (Agustus 2025)


page is in the middle of an expansion or major revamping
Artikel atau bagian ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Jika artikel atau bagian tidak disunting dalam beberapa hari, silakan hapus templat ini.
Jika Anda adalah pengguna yang menambahkan templat ini dan Anda sedang aktif menyunting, pastikan untuk mengganti templat ini dengan {{sedang ditulis}} saat hendak menyunting. Klik pranala untuk parameter templat yang akan digunakan. Halaman ini terakhir disunting oleh HsfBot (Kontrib • Log) 0 hari 77 menit lalu.

Kebijakan TRIPS-Plus merupakan standar perlindungan HKI pada level internasional yang telah disepakati oleh negara-negara sebagai bagian dari kesepakatan perdagangan multilateral dalam kerangka pembentukan World Trade Organization (WTO).TRIPS-Plus sering mencakup perpanjangan masa paten, perlindungan eksklusif atas data uji klinis, dan pembatasan mekanisme fleksibilitas seperti compulsory licensing serta parallel importation. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran global terhadap dampaknya pada akses masyarakat terhadap obat dan kesehatan publik. Perjanjian TRIPS adalah perjanjian yang menetapkan standar minimum dan fleksibilitas dalam perlindungan HKI serta mewajibkan setiap anggota untuk menerapkannya dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.[1]

Latar Belakang dari TRIPS ke TRIPS-Plus

[sunting | sunting sumber]

TRIPS, yang mulai berlaku sejak 1995, menetapkan standar minimum perlindungan HKI secara global, termasuk paten, hak cipta, dan rahasia dagang. Kesepakatan ini memungkinkan fleksibilitas untuk kebutuhan kesehatan, seperti compulsory licensing dan parallel importation.[2]

Namun, seiring berkembangnya intensitas negosiasi perjanjian perdagangan bebas (FTA/BFTA), banyak negara maju memasukkan ketentuan TRIPS-Plus yang mempersempit fleksibilitas tersebut. Dalam beberapa kasus, ketentuan ini menghapus atau membatasi ruang manuver pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat [3][4]

Bentuk-bentuk Ketentuan TRIPS-Plus

[sunting | sunting sumber]

TRIPS-Plus biasanya mencakup beberapa jenis ketentuan berikut:

  • Perpanjangan masa paten (patent term extension).
  • Data exclusivity, yaitu perlindungan eksklusif atas data uji klinis sehingga mencegah masuknya obat generik dalam jangka waktu tertentu.
  • Patent linkage, yakni syarat bahwa obat generik hanya bisa dipasarkan jika patennya sudah kadaluarsa.
  • Pembatasan compulsory licensing dan parallel importation, sehingga pemerintah sulit mengizinkan penggunaan obat generik dalam kondisi darurat.
  • Klausa penegakan hak HKI di perbatasan yang mempertegas enforcement. Contoh konkret, beberapa FTA seperti Indonesia-Jepang (IJEPA) mencakup ketentuan TRIPS-Plus dalam bidang paten, dan hal serupa ditemui dalam perjanjian CEPA dengan Uni Eropa dan EFTA .[5]

Peran Organisasi Internasional dan LSM

[sunting | sunting sumber]

Organisasi Internasional

[sunting | sunting sumber]
  • World Health Organization (WHO) WHO memandang TRIPS-Plus sebagai isu kesehatan publik dan mempublikasikan panduan kebijakan yang merekomendasikan agar negara menghindari klausul yang dapat menghambat akses obat. WHO juga memfasilitasi diskusi antarnegara untuk berbagi pengalaman terkait penerapan fleksibilitas TRIPS.
  • World Intellectual Property Organization (WIPO) WIPO fokus pada harmonisasi HKI global, termasuk membantu negara-negara menyesuaikan hukum nasionalnya. Namun, beberapa LSM mengkritik bahwa pendekatan WIPO terlalu pro-industri, sehingga cenderung mendorong adopsi TRIPS-Plus tanpa mempertimbangkan dampak kesehatan publik.
  • World Trade Organization (WTO) WTO tidak secara langsung mengatur TRIPS-Plus, tetapi fleksibilitas TRIPS seringkali diinterpretasikan secara ketat atau dibatasi oleh perjanjian bilateral yang bersifat TRIPS-Plus.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Koalisi Advokasi

[sunting | sunting sumber]
  • Médecins Sans Frontières (MSF) melalui Access Campaign menyoroti bahwa TRIPS-Plus membatasi kemampuan negara untuk memproduksi obat generik murah, terutama di negara berpendapatan rendah. MSF secara konsisten mendorong TRIPS Waiver untuk situasi darurat kesehatan seperti pandemi COVID-19 .
  • Oxfam International melakukan riset dan kampanye publik untuk menunjukkan dampak ekonomi TRIPS-Plus, seperti di Yordania dan Thailand, yang mengakibatkan kenaikan harga obat tanpa adanya peningkatan signifikan pada investasi R&D.
  • South Centre berperan sebagai think tank negara-negara berkembang, menerbitkan laporan teknis yang mendukung resistensi terhadap TRIPS-Plus dan mendorong implementasi penuh Deklarasi Doh.

Dampak terhadap Akses Obat dan Kesehatan Publik

[sunting | sunting sumber]

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa TRIPS-Plus telah berdampak buruk terhadap akses masyarakat terhadap obat:

  • Studi Oxfam terhadap FTA AS Yordania mencatat kenaikan harga obat hingga 20%, dan keterlambatan masuknya obat generik hingga 79% dari obat baru yang diluncurkan sejak 2002-2006, dengan hilangnya penghematan antara US$6,3-22 juta.[6]
  • Mekanisme seperti evergreening paten tambahan untuk penggunaan yang sama dapat memperpanjang eksklusivitas hingga puluhan tahun (misalnya sampai 2028 pada obat HIV).
  • Kabarnya, perpanjangan data exclusivity di Kanada menyebabkan hilangnya penghematan hingga CAD 305,8 juta.
  • Secara luas, TRIPS-Plus mengurangi kemampuan negara mengatur di bidang kesehatan dan mempersulit implementasi fleksibilitas untuk menanggulangi kebutuhan publik.[7]

Kasus dan Tantangan di Negara Berkembang

[sunting | sunting sumber]

Negara berkembang menghadapi tantangan nyata akibat tekanan TRIPS-Plus:

  • Di Indonesia, penelitian terhadap IJEPA menunjukkan bahwa perjanjian bilateral ini mengandung ketentuan TRIPS-Plus dalam hal paten, yang menuntut pertimbangan lebih dari semata asas bilateralisme, melainkan juga kepentingan nasional dan kebutuhan publik.
  • Surat terbuka kepada Komisi Eropa menyoroti kekhawatiran bahwa klausul TRIPS-Plus dalam CEPA Indonesia Uni Eropa dapat menghambat akses obat murah di Indonesia.[8]
  • Secara umum, negara-negara penggunakan fleksibilitas TRIPS mengalami tekanan dari EU atau AS melalui mekanisme seperti laporan "Special 301" atau kebijakan serupa yang menuntut peningkatan standar.[9]

Perkembangan TRIPS-Plus di Berbagai Kawasan

[sunting | sunting sumber]

Awal Mula (1990-an – awal 2000-an)

[sunting | sunting sumber]

Pasca diberlakukannya TRIPS pada 1995, negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mulai mencari cara untuk memperkuat perlindungan HKI di luar kerangka WTO. Salah satu caranya adalah memasukkan klausul yang lebih ketat TRIPS-Pluske dalam perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan perjanjian ekonomi komprehensif (CEPA). Awalnya, strategi ini dilihat sebagai upaya untuk melindungi kepentingan industri farmasi dan teknologi di negara-negara maju yang merasa bahwa TRIPS memberikan terlalu banyak fleksibilitas kepada negara berkembang.

2001–2005: Gelombang Awal FTA dengan TRIPS-Plus

[sunting | sunting sumber]
  • FTA AS Yordania (2001) menjadi salah satu contoh awal di mana klausul TRIPS-Plus dimasukkan, termasuk perlindungan data eksklusif selama 5 tahun, patent linkage, dan pembatasan compulsory licensing. Dampaknya, harga obat di Yordania naik signifikan, sementara peluncuran obat generik tertunda.
  • FTA AS Singapura (2003) menetapkan masa perlindungan hak cipta selama 70 tahun dan masa perlindungan paten hingga 20 tahun, ditambah kemungkinan perpanjangan untuk kompensasi keterlambatan persetujuan pemasaran obat.

2006–2010: Strategi Global Europe dan Ekspansi Uni Eropa

[sunting | sunting sumber]

Uni Eropa meluncurkan strategi Global Europe pada 2006 yang menekankan pentingnya perjanjian perdagangan bilateral yang mengintegrasikan perlindungan HKI di atas standar TRIPS.

  • FTA UE–Korea Selatan (2011) menjadi salah satu yang paling komprehensif, mencakup perlindungan data uji klinis selama 6 tahun dan prosedur penegakan HKI yang ketat di bea cukai.
  • FTA UE–Kolombia–Peru (2012) menetapkan patent linkage dan mekanisme perpanjangan paten akibat keterlambatan persetujuan regulator.

2011–2015: TPP dan Perdebatan Global

[sunting | sunting sumber]

Perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) memicu kontroversi karena mencantumkan klausul perlindungan data biologis hingga 8 tahun, yang dikhawatirkan akan menghambat produksi biosimilar yang lebih murah. Beberapa negara, seperti Malaysia dan Vietnam, melakukan negosiasi untuk opt-out atau transition period guna melindungi akses obat.

2016–Sekarang: Dinamika Asia dan Resistensi Global South

[sunting | sunting sumber]
  • RCEP (2020) relatif menghindari TRIPS-Plus, hanya menetapkan standar minimum yang serupa TRIPS, sehingga disambut positif oleh negara berkembang.
  • CEPA Indonesia EFTA dan CEPA Indonesia Uni Eropa menjadi arena perdebatan di Indonesia, karena dikhawatirkan akan memuat klausul TRIPS-Plus seperti data exclusivity dan enforcement ketat di perbatasan.

Perdebatan Akademik dan Perspektif Hukum Internasional

[sunting | sunting sumber]

Perdebatan mengenai TRIPS-Plus tidak hanya terjadi di tingkat politik dan ekonomi, tetapi juga menjadi fokus kajian akademik di bidang hukum internasional. Sebagian pakar berpendapat bahwa TRIPS-Plus merupakan bentuk “rule-shaping” oleh negara-negara maju untuk mengamankan kepentingan pemilik hak kekayaan intelektual, terutama perusahaan farmasi multinasional. Pendekatan ini dinilai bertentangan dengan prinsip special and differential treatment dalam WTO yang memberikan kelonggaran kepada negara berkembang dan kurang berkembang (LDCs).

Sebaliknya, kelompok yang mendukung TRIPS-Plus berargumen bahwa peningkatan standar perlindungan HKI dapat menarik investasi asing langsung (FDI) dan mendorong transfer teknologi. Namun, bukti empiris terkait hal ini masih terbatas, dan sebagian penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat proteksi HKI dan arus FDI bersifat lemah atau bahkan tidak signifikan.

Dari perspektif hukum internasional, keberadaan TRIPS-Plus dalam FTA atau CEPA menimbulkan pertanyaan mengenai hierarki norma: apakah ketentuan yang lebih ketat dalam perjanjian bilateral dapat membatasi atau mengesampingkan hak dan fleksibilitas yang dijamin oleh perjanjian multilateral seperti TRIPS di bawah WTO. Perdebatan ini sering kali berujung pada isu fragmentasi hukum internasional, di mana rezim perdagangan bilateral dan multilateral berjalan paralel tetapi tidak selalu harmonis.

Sejumlah akademisi juga menyoroti bahwa TRIPS-Plus sering kali dinegosiasikan secara tertutup, dengan keterlibatan publik yang terbatas, sehingga transparansi dan akuntabilitas proses pembentukannya patut dipertanyakan. Rekomendasi yang muncul dari literatur akademik meliputi perlunya impact assessment sebelum suatu negara mengadopsi klausul TRIPS-Plus, dan memastikan bahwa prinsip hak atas kesehatan (right to health) sebagaimana diakui dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) menjadi bagian dari pertimbangan utama dalam setiap negosiasi.

Prospek dan Masa Depan Kebijakan TRIPS-Plus

[sunting | sunting sumber]

Skenario Penguatan TRIPS-Plus

[sunting | sunting sumber]

Negara maju diperkirakan akan terus memasukkan klausul TRIPS-Plus dalam perjanjian perdagangan, terutama yang melibatkan negara-negara berpendapatan menengah. Hal ini berkaitan dengan tekanan industri farmasi dan teknologi yang melihat pasar negara berkembang sebagai sumber pertumbuhan baru.

Reformasi TRIPS dan Kompromi Global

[sunting | sunting sumber]

WTO berpotensi merevisi TRIPS untuk mengakomodasi kebutuhan kesehatan publik, terutama setelah pengalaman pandemi COVID-19. TRIPS Waiver yang diadopsi pada 2022 untuk vaksin COVID-19 dianggap sebagai preseden penting meskipun implementasinya terbatas. Beberapa pakar menyarankan agar WTO memperluas waiver ini ke pengobatan dan diagnostik, serta memperjelas batasan terhadap penerapan TRIPS-Plus di luar kerangka WTO.

Resistensi dan Koalisi Negara Berkembang

[sunting | sunting sumber]

Koalisi negara Global South, termasuk India, Afrika Selatan, dan Indonesia, semakin aktif menolak TRIPS-Plus dalam perjanjian bilateral. Mereka mengedepankan argumen bahwa kesehatan publik merupakan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), sehingga tidak boleh dikompromikan demi kepentingan komersial.

Masa Depan di Era Pandemi dan Krisis Kesehatan Global

[sunting | sunting sumber]

Pembahasan Pandemic Accord di WHO membuka peluang untuk memperkenalkan peace clause klausul yang melindungi negara dari tekanan politik atau ekonomi ketika menggunakan fleksibilitas TRIPS di masa krisis. Jika disepakati, kebijakan ini dapat menjadi penyeimbang terhadap penguatan TRIPS-Plus di perjanjian perdagangan.

Upaya Mitigasi dan Strategi Respon

[sunting | sunting sumber]

Untuk mengatasi dampak negatif dari TRIPS-Plus, beberapa strategi dan rekomendasi telah dikemukakan:

  • Negara-negara disarankan menghindari perjanjian dengan ketentuan TRIPS-Plus, atau jika sudah menandatangani, memitigasi melalui penggunaan fleksibilitas maksimum yang masih tersedia.
  • Inisiatif global seperti Deklarasi Doha dan penerapan Pasal 31bis TRIPS diharapkan membantu negara tanpa kapasitas manufaktur memperoleh obat melalui compulsory licensing ekspor. Namun, mekanisme ini belum efektif dan prosedurnya masih rumit.
  • Gerakan masyarakat sipil dan organisasi internasional menyerukan agar negosiasi lebih lanjut (misalnya kesepakatan pandemi di WHO/PPR) mencakup klausul "peace clause" yang melindungi kebebasan menggunakan fleksibilitas TRIPS tanpa tekanan eksternal .[10]
  • WHO dan MSF mendorong negara-negara memprioritaskan revisi hukum IP nasional agar mendukung kesehatan publik, dan menolak memperkenalkan klausul TRIPS-Plus dalam perjanjian baru.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sanib, Safril (2019). "Ketentuan-ketentuan TRIPS-Plus dalam Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas" (PDF). HOLREV. 3 (1): 51–52. doi:http://ojs.uho.ac.id/index.php/holrev/. ; ;
  2. ^ LINDSTROM, BEATRICE (2010). "SCALING BACK TRIPS-PLUS: AN ANALYSIS OF INTELLECTUAL PROPERTY PROVISIONS IN TRADE AGREEMENTS AND IMPLICATIONS FOR ASIA AND THE PACIFIC" (PDF). INTERNATIONAL LAW AND POLITICS. 42:917.
  3. ^ Barizah, Nurul (2014). "TRIPS-Plus Provisions on Patent under Indonesia's Bilateral Free Trade Agreement". Jurnal Hukum. 21: 356–377. doi:http://repository.unair.ac.id/id/eprint/102727. ; ;
  4. ^ Kuanpoth, Jakkrit (2006). "Harmonisation of TRIPS-Plus IPR Policies and Potential Impacts on Technological Capability" (PDF). ICTSD Programme on IPRs and Sustainable Development.
  5. ^ "bilaterals.org | Home". www.bilaterals.org. Diakses tanggal 2025-08-14.
  6. ^ El Said, Mohammed (2022). Correa, Carlos M.; Hilty, Reto M. (ed.). "The Impact of 'TRIPS-Plus' Rules on the Use of TRIPS Flexibilities: Dealing with the Implementation Challenges". Access to Medicines and Vaccines (dalam bahasa Inggris). Cham: Springer International Publishing: 297–327. doi:10.1007/978-3-030-83114-1_11. ISBN 978-3-030-83114-1.
  7. ^ Trimble, Marketa (2022). "Unjustly Vilified TRIPS-Plus?: Intellectual Property Law in Free Trade Agreements Unjustly Vilified TRIPS-Plus?: Intellectual Property Law in Free Trade Agreements". UNLV. 71:1449.
  8. ^ admin-igj (2023-05-09). "Open Letter to EU Commission "Drop TRIPS Plus Provision on Indonesia-EU CEPA"". Indonesia for Global Justice (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-08-14.
  9. ^ Policy, Medicines Law & (2024-05-08). "Pressure from European countries related to the use of TRIPS Flexibilities | Medicines Law & Policy" (dalam bahasa Inggris (Britania)). Diakses tanggal 2025-08-14.
  10. ^ author (2023). "From TRIPS to PPR: Addressing Intellectual Property Barriers on Lifesaving Medical Products" (PDF). Acces Campaign. ;
Artikel ini tidak memiliki konten kategori. Bantulah dengan menambah kategori yang sesuai sehingga artikel ini terkategori dengan artikel lain yang sejenis.
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kebijakan_TRIPS‑Plus&oldid=27679574"
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Galat CS1: karakter tidak terlihat
  • Galat CS1: pranala luar
  • Galat CS1: DOI
  • CS1: volume bernilai panjang
  • CS1 sumber berbahasa Inggris (en)
  • CS1 sumber berbahasa American English (en-us)
  • Galat CS1: nama generik
  • CS1 sumber berbahasa Inggris (Britania) (en-gb)
  • Artikel tak bertuan sejak Agustus 2025
  • Semua artikel tak bertuan
  • Artikel dalam perubahan besar
  • Artikel yang tidak memiliki kategori Agustus 2025
  • Semua artikel yang tidak terkategori

Best Rank
More Recommended Articles