Kontroversi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden 2024
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. (Juni 2025) |
Kontroversi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden 2024 mengacu pada polemik yang muncul seiring pencalonan Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2024. Pencalonan ini menimbulkan perdebatan luas karena Gibran saat itu belum memenuhi batas usia minimal 40 tahun yang disyaratkan dalam Undang-Undang Pemilu.
Namun, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang memungkinkan kepala daerah yang sedang atau pernah menjabat untuk mencalonkan diri meski belum mencapai usia tersebut. Putusan ini menuai kontroversi karena melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran. Dugaan konflik kepentingan pun mencuat, dan sejumlah pihak mengajukan gugatan etik serta kritik terhadap independensi lembaga peradilan.
Polemik tersebut berkembang menjadi isu nasional mengenai dinasti politik, netralitas lembaga negara, serta masa depan demokrasi konstitusional di Indonesia. Meski Mahkamah Kehormatan MK menjatuhkan sanksi etik terhadap Anwar Usman, hasil putusan tetap berlaku dan Gibran resmi maju sebagai cawapres. Kontroversi ini kemudian berlanjut hingga pascapemilu, termasuk dalam gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi dan adanya deklarasi dari para purnawiran TNI yang mengusulkan agar Gibran di makzulkan dari Wakil Presiden
Latar Belakang
Gibran Rakabuming Raka merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo dan Iriana. Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 1 Oktober 1987, Gibran menempuh pendidikan menengah di Singapura dan kemudian menyelesaikan studi sarjana di University of Bradford, Inggris. Setelah kembali ke Indonesia, ia membangun karier sebagai pengusaha muda melalui bisnis katering Chilli Pari dan usaha waralaba kuliner Markobar.
Meski berasal dari keluarga presiden, Gibran semula tidak aktif dalam politik. Namun, pada tahun 2020, ia mencalonkan diri sebagai Wali Kota Surakarta dan terpilih dengan dukungan besar dari partai politik yang juga mengusung ayahnya. Ia resmi menjabat pada Februari 2021. Langkah politiknya ini memunculkan perdebatan publik terkait kemunculan dinasti politik dalam sistem demokrasi Indonesia.
Menjelang Pemilihan Umum Presiden 2024, Gibran menjadi sorotan nasional setelah dicalonkan sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Pencalonannya menjadi kontroversial karena bertentangan dengan batas usia minimal calon wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Pada saat itu, Gibran belum berusia 40 tahun. Namun, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa kepala daerah yang pernah atau sedang menjabat boleh mencalonkan diri meskipun belum mencapai usia tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan gelombang kritik, karena dinilai sarat konflik kepentingan. Anwar Usman, Ketua MK saat itu, adalah paman Gibran sekaligus bagian dari majelis hakim yang memutus perkara tersebut. Meski kemudian dijatuhi sanksi etik oleh Mahkamah Kehormatan MK, hasil putusan tidak dibatalkan, dan Gibran tetap maju sebagai cawapres. Hal inilah yang menjadi cikal bakal kontroversi pencalonan Gibran yang kemudian diperkarakan dalam berbagai forum hukum dan ruang publik.
Syarat usia dalam UU Pemilu
Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023, ketentuan mengenai batas usia minimal bagi calon presiden dan calon wakil presiden diatur secara tegas dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bunyi pasal tersebut menyatakan bahwa calon presiden dan calon wakil presiden "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun."[1]
Pasal ini merupakan bagian dari sejumlah persyaratan administratif dan substantif yang harus dipenuhi oleh kandidat kepala negara dan wakilnya. Ketentuan usia 40 tahun tidak hanya berlaku untuk calon presiden, tetapi juga berlaku tanpa pengecualian bagi calon wakil presiden. Tidak ada pasal dalam undang-undang tersebut yang memberikan kekhususan atau kelonggaran bagi individu yang pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat publik seperti kepala daerah, anggota DPR, atau pejabat negara lainnya. Oleh karena itu, syarat ini bersifat absolut, dan menjadi dasar hukum bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memverifikasi pencalonan setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Ketentuan usia minimal tersebut telah berlaku sejak pemilu-pemilu sebelumnya dan tidak pernah menjadi sumber perdebatan besar sebelum tahun 2023. Dalam pembentukan undang-undang ini, usia 40 tahun dianggap sebagai ambang batas kematangan politik, psikologis, dan administratif untuk mengemban tanggung jawab sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Pertimbangan usia ini juga merujuk pada praktik serupa di berbagai negara demokratis lain, yang menetapkan usia minimal serupa untuk pemimpin nasional sebagai standar kepantasan dan kapasitas.
Namun, menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024, syarat usia ini menjadi bahan gugatan konstitusional ke Mahkamah Konstitusi. Pihak-pihak penggugat, termasuk ketua umum partai politik dan beberapa kepala daerah, menilai bahwa ketentuan usia tersebut terlalu membatasi dan tidak mempertimbangkan pengalaman kepemimpinan seseorang yang mungkin telah ditempa dalam jabatan publik meskipun usianya belum mencapai 40 tahun.
Gugatan Ke Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi
Pendaftaran pencalonan
Gugatan dan dampak hukum
Reaksi publik dan implikasi politik
Referensi
- ^ "Wayback Machine" (PDF). jdih.kpu.go.id. Diakses tanggal 2025-06-12.
Artikel ini membutuhkan tambahan kategori atau kategori yang lebih spesifik. (Juni 2025) |