Korupsi di Timor Leste

90–100 80–89 70–79 60–69 50–59 40–49 | 30–39 20–29 10–19 0–9 Tidak ada data |
Korupsi di Timor-Leste digambarkan sebagai masalah yang kritis dan mengkhawatirkan karena telah terinstitusionalisasi di negara tersebut. Korupsi melemahkan tata kelola negara yang masih muda ini, yang baru meraih kemerdekaan pada tahun 2002. Korupsi berdampak pada pembangunan sosial-ekonomi Timor-Leste dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pemerintahan.
Dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024 oleh Transparency International, yang menilai 180 negara pada skala dari 0 ("sangat korup") hingga 100 ("sangat bersih"), Timor-Leste memperoleh skor 44. Berdasarkan peringkat skor, Timor-Leste menempati posisi ke-73 dari 180 negara dalam indeks tersebut, di mana negara peringkat pertama dipersepsikan memiliki sektor publik paling jujur.[1] Sebagai perbandingan regional di kawasan Asia-Pasifik, skor tertinggi adalah 84, skor rata-rata adalah 44, dan skor terendah adalah 16.[2] Secara global, skor rata-rata adalah 43, dengan skor tertinggi 90 (peringkat 1), dan skor terendah 8 (peringkat 180).[3]
Sejarah
Sejarah korupsi di Timor-Leste berakar sejak masa kolonial. Praktik ini juga terlembagakan secara kultural selama masa pendudukan Indonesia, ketika berbagai aktivitas bisnis ilegal bermunculan, seperti kasus penyelundupan kopi dan cendana.[4] Korupsi disebut-sebut sebagai warisan utama dari masa pemerintahan Indonesia, karena saat itu korupsi dianggap sebagai sarana utama untuk melicinkan jalannya pemerintahan dan bisnis.[5]
Badan bea cukai pada masa pemerintahan konstitusional pertama Timor-Leste oleh Frente Revolucionario do Timor-Leste Independente dipenuhi tuduhan praktik korupsi. Selama pemerintahan kolonial kedua di bawah koalisi Alianca para a Maioria Parlamentar (AMP), korupsi telah menyebar ke berbagai kementerian di tingkat tertinggi.[4]
Budaya korupsi di Timor-Leste diperkuat oleh bentuk hubungan patron-klien tradisional. Hubungan ini mencakup harapan bahwa mereka yang berkuasa dan kaya akan melindungi yang miskin dan lemah, sehingga praktik korupsi serta sumber uang dan sumber daya ilegal menjadi sesuatu yang ditoleransi dan diabaikan.[5]
Pasca-kemerdekaan
Korupsi tetap menjadi masalah utama di Timor-Leste pasca-kemerdekaan. Presiden Jose Ramos-Horta sendiri mengakui bahwa korupsi di Timor-Leste sangat merajalela, secara khusus menyebut kasus-kasus di bidang bea cukai, pengadaan barang, pekerjaan umum, dan distribusi beras.[6] Kurangnya transparansi di tingkat kementerian juga disebut sebagai pemicu korupsi. Hal ini terlihat jelas dalam kasus korupsi distribusi beras, di mana Ramos-Horta menyebutkan bahwa kurang dari 10 persen pegawai negeri sipil bertanggung jawab atas skandal tersebut, termasuk Menteri Pariwisata, Perdagangan, dan Industri dari koalisi AMP, yang bertindak bersama keluarga besarnya demi keuntungan pribadi.[4]
Pemerintahan Frente Revolucionario do Timor-Leste Independente (FRETILIN), yang berkuasa dari 2002 hingga 2007, juga dilanda berbagai tuduhan dan kasus korupsi. Salah satu kasus yang mencuat terjadi pada 2012 dan melibatkan Menteri Kehakiman Lucia Lobato, yang menjabat di bawah pemerintahan Xanana Gusmão. Ia dinyatakan bersalah atas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan setelah terbukti memanipulasi tender publik dan menyalahgunakan dana yang dialokasikan untuk proyek pembangunan penjara.[7]
Skandal besar lainnya terjadi pada 2008, ketika pemerintahan yang sedang berkuasa dituduh melakukan praktik korupsi oleh oposisi utama FRETILIN. Tuduhan itu termasuk pemberian proyek konsultasi bernilai tinggi kepada teman-teman yang tidak memenuhi kualifikasi. Salah satu kasus paling menonjol adalah pembelian pembangkit listrik dari Tiongkok yang dianggap bermasalah dan sangat mencemari lingkungan, serta dilakukan tanpa studi dampak lingkungan yang diwajibkan. Pemerintah memberikan proyek senilai 300 juta dolar AS kepada Chinese Nuclear Industry Construction Company No. 22 (CNI22) untuk pembangunan pembangkit listrik dan fasilitas energi nasional.[4] Kurangnya transparansi dan lemahnya kebijakan pengadaan menyebabkan perusahaan tersebut gagal memenuhi kewajiban kontraktualnya dan memicu peningkatan biaya, yang diperparah oleh keterlambatan proyek.[8] Selain masalah transparansi, para pengkritik juga menuding bahwa pertimbangan politik, bukan efisiensi ekonomi, menjadi dasar keputusan pemerintah dalam proyek tersebut.[9]
Dampak
Korupsi yang merajalela berdampak buruk pada tata kelola pemerintahan Timor-Leste. Penyalahgunaan dan penyelewengan dana, serta pengambilan keputusan ekonomi yang bermotif politik, di antara praktik korupsi lainnya, menghambat pembangunan negara. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan negara untuk menyediakan layanan dasar dan penting seperti layanan kesehatan dan pendidikan.[10]
Upaya antikorupsi
Pemerintah Timor-Leste telah memberlakukan sejumlah reformasi untuk menangani korupsi. Langkah-langkah ini mencakup peningkatan kewenangan bagi inspektur jenderal serta pembentukan Komisi Anti-Korupsi (ACC). Komisi ini bertugas menyelidiki dan mencegah korupsi di sektor publik, dan telah mencatat kemajuan dalam mendorong budaya integritas dan akuntabilitas. ACC juga didukung oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), khususnya dalam hal penguatan kapasitas kelembagaan, keterlibatan sipil, dan penelitian analitis.[11]
Langkah-langkah antikorupsi juga diterapkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Rui Araujo. Paket reformasi yang diluncurkan berfokus pada sejumlah bidang utama, termasuk administrasi publik, kebijakan fiskal dan ekonomi, serta sistem legislatif dan yudisial.[12]
Referensi
- ^ "The ABCs of the CPI: How the Corruption Perceptions Index is calculated". Transparency.org (dalam bahasa Inggris). 2025-02-11. Diakses tanggal 2025-03-18.
- ^ "CPI 2024 for Asia Pacific: Leaders failing to stop corruption amid an escalating climate crisis". Transparency.org (dalam bahasa Inggris). 2025-02-11. Diakses tanggal 2025-03-18.
- ^ "Corruption Perceptions Index - Explore Timor-Leste's results". Transparency.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-03-18.
- ^ a b c d Gunn, Geoffrey C. (2010). Historical Dictionary of East Timor. Scarecrow Press. ISBN 978-0-8108-7518-0. p. 66.
- ^ a b Kingsbury, D. (20 July 2009). East Timor: The Price of Liberty. Springer. ISBN 978-0-230-62171-8. p. 204
- ^ Nixon, Rod (17 June 2013). Justice and Governance in East Timor: Indigenous Approaches and the 'New Subsistence State'. Routledge. ISBN 978-1-136-51172-1. p. 159
- ^ Paul, C., Clarke, C. P., Grill, B., & Dunigan, M. (2013). Indonesia (East Timor), 1975–2000: Case Outcome: COIN Loss. In Paths to Victory: Detailed Insurgency Case Studies (pp. 374–382). RAND Corporation. p. 374-382
- ^ Lundahl, Mats; Sjöholm, Fredrik (3 January 2020). The Creation of the East Timorese Economy: Volume 2: Birth of a Nation. Springer Nature. ISBN 978-3-030-22052-5. p. 298
- ^ Schleiner, Charles and Hamutuk, La’o. (2020). “Implications of recent changes to Timor-Leste’s Petroleum Fund.” https://www.laohamutuk.org/Oil/PetFund/2020/ImplicationsPetroleumFundMay2020en.pdf
- ^ Naher, N., Hoque, R., Hassan, M.S. et al. (2020). “The influence of corruption and governance in the delivery of frontline health care services in the public sector: a scoping review of current and future prospects in low and middle-income countries of South and South-east Asia.” BMC Public Health 20, 880
- ^ "Support to Anti-Corruption Initiatives in Timor-Leste". UNDP (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-11-27.
- ^ Guterres Jonas. (2017). “https://thediplomat.com/2017/04/the-alarming-nature-of-corruption-in-timor-leste/.“ The Diplomat. https://thediplomat.com/2017/04/the-alarming-nature-of-corruption-in-timor-leste/