More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Krisis Selat Taiwan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Krisis Selat Taiwan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Krisis Selat Taiwan

  • English
  • 한국어
  • Nederlands
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Krisis Selat Taiwan merupakan serangkaian konflik yang terjadi di Selat Taiwan antara Republik Rakyat China (RRC) dan Republik China (ROC) di Taiwan.

perang saudara yang terjadi di masa kontemporer terjadi beberapa negara yang akhirnya membentuk dua blok besar, seperti blok komunis dan blok nasionalis di Semenanjung Korea dan Daratan Tiongkok. Pecahnya Perang Saudara antara PKT dan KMT pada tahun 1946 hingga 1949 ini memfasilitasi transisi yang cepat dari mobilisasi terintegrasi sebelumnya yang menekankan identitas nasional dan solidaritas sosial menjadi mobilisasi agitatif yang menyoroti konfrontasi kelas. Status kelas sosial sekali lagi menjadi fokus utama mobilisasi pedesaan oleh PKT atau mempertahankan status quo oleh KMT.[1]

Di Daratan Tiongkok terdapat Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongkok) atau kelompok nasionalis yang duduk di pemerintahan melawan kelompok komunis yaitu Gòngchǎndǎng (Partai Komunis Tiongkok).

Geografi

[sunting | sunting sumber]

Taiwan berada di posisi yang begitu strategis dan penting dalam arena internasional. Terletak di Laut Tiongkok Selatan, Taiwan berbatasan dengan Filipina di selatan dan Jepang di timur laut. Kedudukannya yang berdekatan dengan beberapa negara penting di Asia Tenggara dan Asia Timur membuat Taiwan menjadi salah satu pintu masuk penting bagi perdagangan dan investasi antar negara.[2] Selain itu, letak geografis Taiwan yang berdekatan dengan jalur perdagangan laut utama dunia membuat negara ini menjadi titik transit penting bagi barang-barang yang dikirim dari Asia ke seluruh dunia. Belum juga, navigasi sangat berbahaya di selat antara daratan dan Taiwan karena dangkal dan arus yang kuat. Angin musim dingin yang tak terduga, lewatnya front, topan musim panas yang dahsyat menambah kesulitan untuk menyeberangi selat.[3]

Sejarah

[sunting | sunting sumber]
Selat Taiwan

Taiwan yang merupakan sebuah kepulauan di ujung timur Tiongkok, sebelumnya berada di dalam pendudukan Jepang yang berlangsung selama periode 1895-1945. Penyerahan Taiwan kepada Jepang oleh Dinasti Qing terjadi pada tahun 1895 setelah Perang Satsuma. Sebelumnya, Taiwan berada di bawah kendali Dinasti Qing selama lebih dari 200 tahun. Perang Satsuma adalah perang antara Jepang dan Dinasti Qing yang berlangsung selama tiga tahun. Dalam perang ini, Jepang memenangkan Dinasti Qing dan memerintah Taiwan sebagai koloni. Dalam Perjanjian Shimonoseki yang ditandatangani pada tahun 1895, Dinasti Qing mengakui kepemilikan Jepang atas Taiwan dan membayar ganti rugi kepada Jepang. Pada tahun 1895, setelah Perang Satsuma, Jepang memerintah Taiwan sebagai koloni.[4]

Di sisi lain, pada Tiongkok Daratan yang masih kala tersebut diperintah oleh Republik Tiongkok di tahun 1937, Perang Sino-Jepang pecah, dan Jepang memperkuat kontrolnya atas Taiwan. Pada akhir Perang Dunia II, tentara Jepang menyerah kepada tentara Sekutu, dan Taiwan dikembalikan ke Republik Tiongkok pada tahun 1945. Menyusul Perjanjian Perdamaian San Francisco 1951 dengan Jepang yang ditandatangani oleh 48 negara Sekutu atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa, Perjanjian Perdamaian ditandatangani antara ROC dan Jepang di Wisma Tamu Taipei, yang secara resmi mengakhiri keadaan perang antara kedua belah pihak. Diakui bahwa berdasarkan Pasal 2 Perjanjian San Francisco, Jepang telah melepaskan semua hak milik dan klaim terhadap Taiwan, Penghu serta Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.[5] Masalah tersebut menjadi kompleks dan kontroversial karena perselisihan tentang status politik Taiwan setelah pada akhir Perang Dunia II pada tahun 1945, administrasi Taiwan dialihkan ke Republik Tiongkok (ROC) dari Kekaisaran Jepang, melalui Perjanjian Taipei. Perjanjian ini mencakup beberapa pasal yang mengatur masalah yang timbul dari Perang Dunia II, termasuk penyerahan Taiwan dari Jepang kepada Republik Tiongkok.

Hal ini menandai akhir dari pengaruh Jepang atas Taiwan setelah sekitar 50 tahun kekuasaan, dan membuat Taiwan menjadi bagian dari ROC sepenuhnya. Perjanjian ini juga menyatakan bahwa Jepang harus mengakui kedaulatan ROC dan tidak akan mengklaim atau mengakui kedaulatan atas Taiwan lagi. Ini menjadi dasar hukum yang digunakan oleh ROC untuk mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Memasuki tahun 1949, dengan Perang Saudara Tiongkok yang berubah secara meyakinkan mendukung Partai Komunis Tiongkok (PKT), pemerintah Republik Tiongkok, yang dipimpin oleh Kuomintang (KMT), mundur ke Taiwan dan mendirikan ibukota sementara di Taipei, sementara PKT memproklamirkan pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Beijing. Taiwan, yang telah diperintah secara independen sejak saat itu, secara resmi dikenal sebagai Republik Tiongkok, sedangkan daratannya disebut Republik Rakyat Tiongkok. Pulau ini dipisahkan dari daratan utama oleh Selat Taiwan.[6]

Sejak saat itu, RRT dan Republik Tiongkok yang didukung oleh Kuomintang saling mengklaim sebagai pemerintah yang sah dari keseluruhan wilayah Tiongkok dan masing-masing pihak turut mengklaim bahwa Taiwan sebagai bagian dari wilayah pemerintahnya. Secara teknis, perang saudara tidak berakhir, melainkan berlanjut dalam skala kecil yang tercakup ke dalam Selat Taiwan. Tiongkok yang telah dikuasai PKT sepenuhnya berusaha mengeliminasi pengaruh KMT yang masih meninggalkan jejak di Taiwan beserta kepulauan yang berada di Selat Taiwan. Sejak saat itu Partai Komunis Tiongkok yang berkuasa. Kombinasi dari posisi geografis yang strategis dan kemajuan ekonomi yang stabil membuat Taiwan menjadi target penting bagi Tiongkok untuk dapat mengendalikan dan mengoptimalkan potensinya.

Tiongkok mengancam akan menggunakan kekuatan jika Taiwan secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan, tetapi mereka juga mengejar jalur diplomatik yang lebih lunak dengan Taiwan dalam beberapa tahun setelahnya. Bagi para petinggi Tiongkok Daratan, hilangnya Taiwan berarti kelemahan dari PKT dan RRT dalam kedudukan di dunia maupun melawan oposisinya.

Sebaliknya, reunifikasi dengan Taiwan berarti kekuatan bagi RRT. Jika Tiongkok tidak memiliki kemampuan untuk menjaga persatuan nasional, Tiongkok tidak dapat bangkit menjadi kekuatan dunia, dan juga tidak dapat mencapai peremajaan nasional.[7]

Hal ini menyebabkan konflik diplomatik yang berlangsung selama beberapa dekade antara RRT dan Republik Tiongkok, bahkan melibatkan serta negara-negara yang bersahabat dekat dengan masing-masing pihak. Krisis Selat Taiwan tetap menjadi salah satu faktor masalah yang kompleks hubungan bilateral antara dua selat hingga saat ini dan menyebabkan ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan. Krisis Selat Taiwan juga menyebabkan ketegangan antara Tiongkok dan negara lain, khususnya Amerika Serikat. Karena Amerika Serikat secara lama telah mengakui Taiwan sebagai pemerintah yang sah dari Tiongkok dan menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan melalui Taiwan Relations Act.[8] Sementara Tiongkok menganggap Taiwan sebagai wilayah yang merupakan bagian dari negaranya dan menuntut negara-negara lain yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok harus memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan. Hal ini akhirnya menyebabkan legitimasi ROC di PBB tergantikan oleh RRT serta kebijakan-kebijakan RRT yang menghalangi kedaulatan ROC di kancah internasional, salah satunya dengan kebijakan terbesarnya yaitu One China Policy dan Konsensus tahun 1992 di mana kedua Tiongkok pada akhirnya mengakui bahwa hanya ada satu Tiongkok, tetapi kedua belah pihak bebas menafsirkan definisi "satu Tiongkok" tersebut secara mandiri menurut interpretasi pemerintahannya masing-masing meninggalkan keabu-abuan dalam status geopolitik di Selat Taiwan hingga saat ini.[9]

Krisis Selat Taiwan dapat mengacu pada hal ini:

  • Krisis Selat Taiwan Pertama (1954-1955)
  • Krisis Selat Taiwan Kedua (1958)
  • Krisis Selat Taiwan Ketiga (1995-1996)

Pranala Luar

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Li, Xintong; Chang, Yen-Chiang (2019-06). "Legal mechanism for the Sino-Foreign cooperative exploitation of the underwater cultural heritage in the South China Sea". Ocean & Coastal Management. 175: 144–151. doi:10.1016/j.ocecoaman.2019.04.004. ISSN 0964-5691.
  2. ^ Kahler, Miles; Kastner, Scott L. (2006). "Strategic Uses of Economic Interdependence: Engagement Policies on the Korean Peninsula and Across the Taiwan Strait". Journal of Peace Research. 43 (5): 523–541. ISSN 0022-3433.
  3. ^ Lafayette College, US; Barclay, Paul D. (2017-10-24). Outcasts of Empire: Japan’s Rule on Taiwan’s “Savage Border,” 1874–1945. University of California Press. doi:10.1525/luminos.41. ISBN 978-0-520-29621-3.
  4. ^ Lafayette College, US; Barclay, Paul D. (2017-10-24). Outcasts of Empire: Japan’s Rule on Taiwan’s “Savage Border,” 1874–1945. University of California Press. doi:10.1525/luminos.41. ISBN 978-0-520-29621-3.
  5. ^ L, Aaron (2013-05-26). "Taiwan and the Ryukyus (Okinawa) in Asia-Pacific Multilateral Relations – a Long-term Historical Perspective on Territorial Claims and Conflicts アジア太平洋地域の多国間関係における台湾と琉球諸島(沖縄)領土権主張や紛争を長期的視野でとらえる". The Asia-Pacific Journal: Japan Focus (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-02-04.
  6. ^ Büttner, Clemens (2016-10). "China's civil war: a social history, 1945–1949". Asian Studies Review (dalam bahasa Inggris). 40 (4): 636–637. doi:10.1080/10357823.2016.1222893. ISSN 1035-7823.
  7. ^ Deng, Xinming; Tian, Zhilong; Li, Jianfeng; Abrar, Muhammad (2012-08-24). Akoorie, Michèle E. M. (ed.). "The diversification effects of a firm's political connection and its performance implications: Evidence from China". Chinese Management Studies (dalam bahasa Inggris). 6 (3): 462–487. doi:10.1108/17506141211259140. ISSN 1750-614X.
  8. ^ Dickson, Bruce (2001). "Review of Politics in Taiwan: Voting for Democracy". The China Journal (45): 246–248. doi:10.2307/3182424. ISSN 1324-9347.
  9. ^ Anam, Syaiful; Ristiyani, Ristiyani (2018-12-31). "Kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok pada Masa Pemerintahan Xi Jinping". Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional. 14 (2): 217–236. doi:10.26593/jihi.v14i2.2842.217-236. ISSN 2406-8748.
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Krisis_Selat_Taiwan&oldid=27257871"
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Galat CS1: tanggal
  • CS1 sumber berbahasa American English (en-us)
  • CS1 sumber berbahasa Inggris (en)

Best Rank
More Recommended Articles