Pengguna:Venezya Roring
Menjadi Diri Sendiri Saat Takut Terlalu Dekat: Cerita Seorang yang Avoidant
Pernah enggak, kamu merasa ingin dekat dengan seseorang tapi setiap kali ada orang yang benar-benar mencoba mendekat, kamu justru mundur perlahan? Rasanya seperti ingin punya hubungan yang hangat, tapi saat ada peluang, tiba-tiba muncul rasa panik, takut ditolak, atau bahkan takut terlihat terlalu lemah. Kalau kamu pernah merasakan itu, bisa jadi kamu punya kecenderungan avoidant. Tenang, kamu enggak sendirian.
Avoidant personality atau kepribadian penghindar adalah pola perilaku yang cukup sering ditemui dalam dunia psikologi. Orang dengan tipe ini biasanya sangat sensitif terhadap penolakan, merasa cemas berlebihan dalam hubungan sosial, dan cenderung menghindari kedekatan emosional. Tapi jangan salah, mereka bukannya tidak ingin punya hubungan. Justru mereka sangat ingin, tapi takut terluka.
Bagaimana Ciri-Cirinya?
Seseorang dengan kepribadian avoidant sering kali tampak pendiam, pemalu, dan lebih nyaman dalam dunia kecilnya sendiri. Mereka akan berhati-hati dalam membuka diri, bahkan kepada orang-orang yang sebenarnya mereka percayai. Riset dari American Psychiatric Association dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders menyebutkan bahwa individu avoidant sering kali memiliki harga diri yang rendah dan menganggap diri mereka tidak layak dicintai.
Mereka takut dianggap tidak cukup baik. Makanya, mereka cenderung menghindar daripada mengambil risiko untuk ditolak. Bahkan dalam hubungan romantis, orang avoidant bisa saja terlihat perhatian di awal, tapi kemudian menjauh ketika hubungan mulai terasa terlalu dekat atau terlalu intens.
Kenapa Bisa Jadi Begitu?
Banyak ahli psikologi percaya bahwa akar dari kepribadian avoidant ini bisa berasal dari pengalaman masa kecil. Misalnya, anak yang sering dikritik atau tidak mendapat dukungan emosional dari orang tua bisa tumbuh menjadi pribadi yang merasa tidak aman saat menjalin hubungan dengan orang lain.
Ada juga teori dari psikolog John Bowlby yang menjelaskan tentang attachment theory atau teori keterikatan. Menurut teori ini, orang yang avoidant biasanya terbentuk dari pola keterikatan yang tidak aman saat masa kanak-kanak. Saat anak tidak merasa aman secara emosional, ia belajar untuk menahan perasaan dan menjauh agar tidak terlalu sakit hati.
Hidup dalam Diam dan Takut Dikhianati
Bayangkan kamu berjalan di taman yang indah. Kamu ingin duduk di bangku dekat seseorang, ngobrol, dan berbagi cerita. Tapi setiap kali kamu mendekat, kamu berpikir Apakah dia akan menolak aku? Apakah aku cukup menarik? Lalu, kamu memilih mundur dan berjalan menjauh.
Itulah yang sering dirasakan oleh orang yang avoidant. Mereka ingin duduk, tapi takut tidak diterima. Mereka ingin dicintai, tapi takut dikecewakan. Akhirnya, mereka lebih memilih kesendirian daripada luka.
Apakah Ada Harapan?
Jawabannya, tentu saja ada. Tidak ada kepribadian yang tidak bisa berkembang. Menjadi seseorang dengan kecenderungan avoidant bukan berarti kamu akan selamanya hidup dalam kesendirian. Dengan bantuan terapi, dukungan lingkungan yang hangat, dan kemauan untuk membuka diri sedikit demi sedikit, seseorang bisa belajar membangun hubungan yang sehat.
Terapi kognitif perilaku atau cognitive behavioral therapy sering kali digunakan untuk membantu orang avoidant mengenali pikiran negatifnya dan mengubah pola pikir yang merugikan diri sendiri. Dalam banyak kasus, perlahan-lahan mereka bisa mulai merasa nyaman untuk percaya dan membuka diri.
Menjadi Berani untuk Merasa
Menjadi avoidant bukan berarti lemah. Justru, mereka adalah orang-orang yang sangat peka dan berhati-hati dalam membangun relasi. Tapi dunia ini juga butuh keberanian untuk merasa. Kadang kamu perlu membiarkan dirimu dicintai, meski tidak sempurna. Kadang kamu perlu duduk di bangku itu dan berkata Aku ingin ngobrol denganmu.
Membuka diri memang menakutkan, tapi bertahan dalam ketakutan tanpa mencoba juga bisa sangat menyakitkan. Jadi, pelan-pelan saja. Tidak harus hari ini berubah total. Tapi setidaknya, izinkan dirimu mencoba satu langkah kecil.
Karena menjadi manusia bukan soal sempurna. Tapi soal terus berani membuka hati, meski pernah terluka.
Namaku Raya, dan Aku Takut Dicintai
Aku duduk di pojok kafe, menatap jendela yang dibasahi hujan. Di seberang sana, seseorang sedang menungguku. Namanya Raka. Ia mengajakku bertemu sore ini. Tapi seperti biasa, aku datang lebih dulu, lalu duduk jauh. Mengamati, tanpa berani mendekat.
Ini bukan pertama kalinya aku seperti ini. Aku selalu begini. Ingin dekat, tapi memilih menjauh.
Aku kira aku kuat. Aku kira aku mandiri. Tapi semakin hari, aku sadar, aku sebenarnya kesepian. Aku hanya terlalu takut untuk diakui.
Saat kecil, aku sering menangis diam-diam di kamar. Ayah dan ibu terlalu sibuk dengan urusan mereka. Aku belajar bahwa menunjukkan perasaan hanya akan membuatku terlihat lemah. Setiap kali aku ingin dipeluk, yang kudapat hanya tatapan dingin atau kalimat Kamu sudah besar, jangan manja.
Maka aku tumbuh dengan satu prinsip sederhana Jangan terlalu berharap pada siapa pun.
Aku pandai menyembunyikan segalanya. Saat teman-temanku bercerita tentang cinta, tentang kekasih yang memberi bunga atau menjemput pulang kuliah, aku hanya tersenyum. Dalam hati, aku ingin juga. Tapi pikiranku selalu berkata Nanti kamu ditinggal. Nanti kamu kecewa.
Lalu datanglah Raka.
Ia baik, sabar, dan terus mencoba mendekatiku. Berkali-kali ia bertanya, Kamu kenapa sih? Kenapa selalu menghindar?
Dan berkali-kali aku menjawab Tidak apa-apa. Aku cuma sibuk.
Padahal bukan. Aku hanya takut. Takut ia akan melihat seluruh lukaku dan akhirnya pergi.
Beberapa minggu lalu, Raka berkata, Aku lelah menebak perasaanmu. Aku serius, tapi kamu terus kabur.
Aku diam. Aku ingin bilang, Aku juga serius. Tapi aku takut. Takut jika aku menunjukkan perasaanku, dia akan berubah. Takut kalau aku jujur, aku akan kehilangan satu-satunya orang yang mau bertahan.
Maka aku memilih diam. Membiarkannya pergi dengan kecewa. Lagi-lagi, aku sendiri.
Kini aku duduk di kafe itu. Hujan turun pelan. Di meja yang sama tempat dulu kami biasa duduk berdua. Tapi kali ini, hanya aku. Dan segelas kopi yang sudah dingin.
Aku membuka ponsel. Ada foto Raka. Tersenyum, bersama teman-temannya. Bahagia.
Aku bahagia dia bahagia. Tapi jauh di dalam hati, ada ruang kosong yang makin terasa dingin.
Mungkin beginilah hidup seorang avoidant. Terlihat tenang di permukaan, tapi hatinya penuh badai.
Tapi hari ini, entah kenapa aku merasa lelah. Aku capek pura-pura kuat. Aku bosan menyendiri. Aku ingin sekali, hanya sekali saja, percaya bahwa tidak semua orang akan menyakiti.
Malam itu, aku menulis pesan untuk Raka. Isinya tidak panjang. Hanya tiga kalimat yang akhirnya bisa keluar setelah sekian lama kupendam.
"Aku minta maaf. Aku takut kamu pergi, makanya aku yang duluan menjauh. Tapi sebenarnya, aku ingin kamu tetap tinggal."
Kukirim pesan itu sambil menahan napas. Bukan karena ingin jawaban, tapi karena aku tahu, untuk pertama kalinya aku berani jujur. Aku belajar, menjadi rapuh bukan berarti gagal. Kadang, itu langkah pertama menuju penyembuhan.
Aku tidak tahu apakah Raka akan membalas. Tapi satu hal yang kutahu, malam ini aku lebih tenang. Karena aku tidak lagi lari.
Kadang, kita tidak harus langsung sembuh. Yang penting, kita mulai melangkah. Meski pelan. Meski tertatih. Karena keberanian bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling tulus untuk mencoba.
Nama Penulis Bedzayda Venezya Roring (102411019)
Prodi Psikologi, Fakultas Bisnis dan Ilmu Sosial, Universitas Binawan
Dosen pengampu : Apriani Riyanti, M.Pd., Anwar Razak, S.ip, MPP.