Perang Dingin (1985–1991)
Perang Dingin | |
---|---|
12 Maret 1947 – 26 Desember 1991 (44 tahun dan 9 bulan) Bagian dari era pasca-Perang Dunia II | |
![]() NATO dan Negara Pakta Warsawa pada era Perang Dingin | |
![]() “Tiga Dunia” era Perang Dingin, antara 30 April dan 24 Juni 1975:
Dunia Pertama: Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya Dunia Kedua: Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet, Tiongkok (independen), dan sekutunya Dunia Ketiga: Nonblok dan negara netral |
Perang Dingin (1985-1991) mengacu pada fase akhir Perang Dingin yang telah berlangsung selama 5 dekade. Fase ini ditandai dengan adanya reformasi sistemik di Uni Soviet, berkurangnya tensi geopolitik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, jatuhnya pengaruh Uni Soviet di Eropa Timur, hingga keruntuhan Uni Soviet pada 1991.
Kondisi Uni Soviet
Pada dekade 1980-an banyak pihak memprediksi kejatuhan rezim komunis Uni Soviet akan terjadi cepat atau lambat. Ilmuwan politik seperti Andrew Heywood menilai kejatuhan Uni Soviet karena adanya dua kelemahan struktural, yakni kelemahan ekonomi dan politik. Kelemahan ekonomi disebabkan kegagalan perencanaan ekonomi terpusat yang dianggap kurang efisien dibanding ekonomi kapitalis. Sementara kelemahan politik disebabkan rezim komunis yang secara struktural tidak responsif terhadap tuntutan rakyat. Kedua kelemahan ini menimbulkan tekanan-tekanan hingga ketidakpuasan yang meluas karena ketertinggalan ekonomi dari negara-negara lain pada dekade 1980-1990.[1]
Pada Maret 1985, Mikhail Gorbachev terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet yang menandai babak baru kepemimpinan Soviet. Gorbachev menyadari situasi ekonomi dan politik Uni Soviet yang semakin memburuk sehingga ia menjalankan program-program reformasi untuk memperbaiki kondisi Uni Soviet.
Terdapat tiga aspek penting program reformasi Gorbachev. Pertama, reformasi yang dikenal sebagai Glasnost yang secara harfiah berarti keterbukaan. Glasnost menitikberatkan pada keterbukaan institusi dan penghapusan pembatasan kebebasan berpendapat dan debat politik. Kedua, perestroika atau rekonstruksi, yakni upaya untuk memperbaiki perekonomian Uni Soviet dengan memperkenalkan unsur-unsur pasar bebas dan kepemilikan swasta.[2][3]
Aspek ketiga adalah pendekatan baru dalam hubungan dengan AS dan Eropa Barat dengan meninggalkan Doktrin Brezhnev dan menggantinya dengan Doktrin Sinatra. Doktrin Sinatra memperbolehkan negara-negara anggota Pakta Warsawa menentukan urusan dalam negeri mereka sendiri. Dengan kata lain, Uni Soviet tidak lagi mengintervensi kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh masing-masing negara. Hal ini berkontribusi pada keruntuhan rezim-rezim komunis pada dekade 1989-1990, termasuk runtuhnya Tembok Berlin dan unifikasi Jerman.[4]
Akhir Perang Dingin
Menyusul Revolusi 1989 yang ditandai dengan kejatuhan rezim komunisme di Eropa Tengah dan Timur, kedua pemimpin Blok Barat dan Blok Timur bertemu di Malta pada Desember 1989 untuk membahas akhir dari Perang Dingin. Dalam Konferensi Malta, Presiden AS George Bush Sr. dan Sekjen USSR Mikhail Gorbachev bertemu selama 2 hari untuk membahas mengenai perdamaian di Eropa dan dunia dan perubahan hubungan Blok Barat-Timur, serta pengurangan pasukan dan senjata. Konferensi ini menjadi pendahuluan dari rangkaian perjanjian lanjutan untuk kontrol persenjataan, termasuk START I dan II serta Konvensi Senjata Kimia.[5]
Perdebatan teoretis
Berbagai perspektif memiliki pandangan yang berbeda terkait akhir Perang Dingin.
Realisme
Secara umum, para penstudi Realisme terkejut dengan akhir Perang Dingin yang terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. Rangkaian peristiwa yang terjadi pada 1989-1991 tidak sesuai dengan asumsi dasar Realisme tentang bagaimana negara berperilaku, terutama negara besar seperti Uni Soviet. Dalam pandangan Realisme, negara memiliki kepentingan nasional untuk memperluas pengaruhnya dan mempertahankan keamanan dan kedaulatan negara. Namun, di bawah Mikhail Gorbachev, Uni Soviet seolah melepas pengaruhnya di Eropa Timur dan menerima kemerdekaan republik-republik non-Rusia. Selain itu, akhir Perang Dingin juga tidak sesuai dengan prediksi mereka yang meyakini perang ini akan berakhir dengan kekalahan militer dari salah satu pihak atau berujung pada konfrontasi militer. Nyatanya, Perang Dingin berakhir relatif damai bagi kedua belah pihak.[6]
Liberalisme
Berakhirnya Perang Dingin membawa keyakinan kaum Liberal bahwa moralitas dan norma internasional akan lebih penting dari politik kekuasaan di panggung politik global. Selain itu, Liberalisme berpandangan bahwa sejak 1970-an politik global lebih didominasi oleh kerja sama dibanding penggunaan kekuatan militer karena pengaruh ekonomi pasar bebas. Liberalisme berargumen bahwa liberalisasi dan modernisasi ekonomi berkaitan erat dengan pola-pola saling ketergantungan kompleks antar negara dan integrasi perekonomian dunia. Alih-alih perang, negara justru berkompetisi melalui pasar bebas. Tradisi pemikiran Liberal dari Immanuel Kant, Thomas Paine, Alexis de Tocqueville, hingga Herbert Spencer berpandangan bahwa negara-negara yang menganut sistem republik dan demokrasi cenderung tidak berperang satu sama lain atau dikenal sebagai Teori Perdamaian Demokratik (Democratic Peace Theory). Berakhirnya Perang Dingin dianggap sebagai kemenangan demokrasi dan liberalisme ala Barat atas otoritarianisme dan komunisme ala Soviet. Penstudi Liberalisme berargumen runtuhnya Uni Soviet mengakhiri konfrontasi Blok Barat-Blok Timur selama puluhan tahun dan akan membawa manfaat ekonomi dan kemakmuran bagi negara-negara bekas Uni Soviet.[6]
Teori Kritis
Para penstudi Teori Kritis, terutama dari aliran Marxisme, kecewa dengan berakhirnya Perang Dingin dan kegagalan reformasi Gorbachev di Uni Soviet yang membawa keruntuhan Uni Soviet. Dalam pandangan Marxisme, sosialisme merupakan alternatif dari kapitalisme dan kegagalan eksperimen Uni Soviet sedikit banyak mematahkan asumsi-asumsi dasar sosialisme.[6]
Konstruktivisme
Konstruktivisme berpandangan bahwa perspektif-perspektif HI konvensional telah gagal memprediksi dan menjelaskan mengapa Perang Dingin berakhir. Para penstudinya berargumen ada dimensi yang hilang yang dapat menjelaskan akhir Perang Dingin, yakni dimensi ide dan persepsi. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, Uni Soviet mengalami transformasi identitas yang memengaruhi kepentingan dan kebijakan-kebijakannya. Di bawah komando Mikhail Gorbachev dan generasi pemimpin baru yang lebih muda, Uni Soviet tak lagi merasa harus mempertahankan dominasi dan hegemoni militer, sosial, dan politik di Eropa Timur. Mereka memandang bahwa kepentingan Soviet dapat tercapai paling baik melalui keterlibatan sepenuhnya dalam masyarakat internasional dan tak lagi memandang AS dan Barat sebagai ancaman keamanan dan musuh mereka.[6]
Catatan kaki
- ^ Heywood 2017, hlm. 68-69.
- ^ Center for European Studies (CES). "The Fall of the Soviet Union". CES at UNC. Diakses tanggal 2025-03-05.
- ^ Heywood 2017, hlm. 72-73.
- ^ Heywood 2017, hlm. 73.
- ^ "1989: Malta summit ends Cold War". BBC News (dalam bahasa Inggris). 1989-12-03. Diakses tanggal 2025-03-08.
- ^ a b c d Heywood 2017, hlm. 400-401.
Daftar pustaka
- Heywood, Andrew (2017). Poltiik Global [Global Politics]. Diterjemahkan oleh Lazuardi, Ahmad Lintang (edisi ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.