Polietnisitas

Polietnisitas, juga dikenal sebagai pluralitas etnis atau multi-etnis, mengacu pada fenomena budaya tertentu yang ditandai oleh kedekatan sosial dan interaksi timbal balik antara orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda, di dalam suatu negara atau wilayah geografis tertentu.

Istilah yang sama juga dapat berkaitan dengan kemampuan dan kemauan individu untuk mengidentifikasi diri mereka dengan berbagai etnis. Hal ini terjadi ketika beberapa etnis mendiami suatu wilayah tertentu, khususnya melalui imigrasi, perkawinan campur, perdagangan, penaklukan, dan pembagian wilayah pasca-perang. Fenomena ini juga memiliki banyak implikasi politik dan sosial pada negara dan wilayah.

Banyak, jika tidak semua, negara memiliki tingkat polietnisitas tertentu, dengan negara-negara seperti Nigeria dan Kanada memiliki tingkat yang tinggi dan negara-negara seperti Jepang dan Polandia memiliki tingkat yang sangat rendah (dan lebih khusus lagi, rasa homogenitas). Jumlah polietnisitas yang lazim di beberapa negara Barat telah memacu munculnya beberapa argumen yang menentang, yang mencakup keyakinan bahwa hal itu mengarah pada melemahnya kekuatan masing-masing masyarakat, dan juga keyakinan bahwa isu-isu politik-etnis di negara-negara dengan populasi polietnis lebih baik ditangani dengan hukum yang berbeda untuk etnis tertentu.

Pada tahun 1985, sejarawan Kanada William H. McNeill memberikan serangkaian kuliah tentang polietnisitas dalam budaya kuno dan modern di Universitas Toronto. Tesis utama dari seluruh kuliahnya adalah argumen bahwa sudah menjadi norma budaya bagi masyarakat untuk terdiri dari kelompok etnis yang berbeda. McNeill berpendapat bahwa cita-cita masyarakat yang homogen mungkin telah tumbuh di antara tahun 1750 dan 1920 di Eropa Barat karena tumbuhnya kepercayaan akan basis nasionalisme tunggal untuk organisasi politik masyarakat. McNeill percaya bahwa selama Perang Dunia I, keinginan untuk membentuk negara yang homogen mulai melemah.