More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Dyah Wawa - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dyah Wawa - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dyah Wawa

  • English
  • Français
  • हिन्दी
  • Jawa
  • संस्कृतम्
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Rakai Sumba)
Dyah Wawa
Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga
Raja Medang Ke-16
Berkuasa( 14 Februari 928 - 24 Maret 929 M )
PendahuluDyah Tulodhong
PenerusMpu Sindok
WangsaSanjaya
AgamaHindu
Prasasti Sangguran, dengan tinggi 2 meter dan berat 3,8 ton, ditemukan di Ngendat dan sempat diuraikan Colin Mackenzie pada tahun 1811-14

Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga adalah raja terakhir yang memerintah Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno) yang berkuasa antara sekitar tahun 927–929.

Asal-Usul

[sunting | sunting sumber]

Dyah Wawa naik takhta menggantikan Sri Maharaja Pu Wagiswara. Nama Rakai Sumba tercatat dalam Prasasti Sukabumi tanggal 7 Maret 927, menjabat menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja.

Dalam Prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija.

Saudara perempuan Rakryan Landhayan yang menjadi istri Rakai Kayuwangi bernama Rakryan Manak, yang melahirkan Dyah Bhumijaya. Ibu dan anak itu suatu hari diculik Rakryan Landhayan, namun keduanya berhasil meloloskan diri di desa Tangar. Anehnya, Rakryan Manak memilih bunuh diri di desa Taas, sedangkan Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan pulang ke hadapan Rakai Kayuwangi.

Riwayat pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Catatan kepemimpinan Dyah Wawa diketahui antara lain adalah Prasasti Wulakan Februari (928 M) berisi informasi anugerah sima di Wulakan, Prasasti Kinawe (928 M) mengenai anugerah sima di Kinawe, dan Prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 tentang penetapan Sangguran sebagai sima swatantra (daerah otonom) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci Kajurugusalyan.

Pemindahan pusat pemerintahan Medang

[sunting | sunting sumber]

Raja sesudah Dyah Wawa adalah Mpu Sindok yang membangun istana Kerajaan Medang baru di daerah Tamwlang, dan kemudian dipindahkan ke Watugaluh. Kedua tempat tersebut diperkirakan saat ini masuk wilayah Jombang Jawa Timur karena masih ada desa dengan nama yang bermiripan (Tembelang dan Watugaluh). Mpu Sindok mengaku bahwa Kerajaan Medang di Watugaluh adalah kelanjutan dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram.

Perpindahan istana Medang dari Mataram menuju Tamwlang menurut teori van Bammelen terjadi karena letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh di Kabupaten Magelang. Tetapi hal ini terbantahkan oleh penelitian di tahun 2016, yang menyebutkan kalau Perbukitan Gendol merupakan vulkanisme purba insitu, bukan hasil dari debris avalanche Gunungapi Merapi.[1]

Letusan Gunung Merapi tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. Konon, istana Kerajaan Medang di Mataram (dekat Yogyakarta sekarang) sampai mengalami kehancuran akibat bencana alam tersebut.

Sejarawan Boechari berpendapat bahwa bencana alam Gunung Merapi tersebut terjadi sebagai hukuman Tuhan atas perebutan takhta yang sering terjadi di antara keluarga Kerajaan Medang sejak zaman pemerintahan Rakai Pikatan.[butuh rujukan]

Prasasti tertua atas nama Mpu Sindok yang sudah ditemukan ditulis tahun 929, sedangkan prasasti Dyah Wawa ditulis tahun 928. Perpindahan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur dipastikan terjadi pada salah satu tahun tersebut.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kurniawan, Alva (2016). "Kajian Genesis Perbukitan Gendol di Daerah Muntilan-Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah". Universitas Gadjah Mada.

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]
  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh:
Dyah Tulodhong
Raja Kerajaan Medang
928?–929?
Diteruskan oleh:
Mpu Sindok
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Dyah_Wawa&oldid=27310400"
Kategori:
  • Raja Mataram Kuno
  • Tokoh Jawa
Kategori tersembunyi:
  • Galat CS1: periode hilang
  • Semua artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan
  • Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan

Best Rank
More Recommended Articles