Rateb Beujalan

Artikel ini tidak memiliki pranala ke artikel lain. Bantu kami untuk mengembangkannya dengan memberikan pranala ke artikel lain secukupnya. (Juni 2025)

Rateb Beujalan merupakan salah satu ritual yang berasal dari masyarakat Tamiang. Ritual ini dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Rateb Berjalan dipandang sebagai sebuah bentuk rasa syukur serta harapan akan takdir baik kepada Allah SWT. Rateb yang artinya zikir, dilakukan sambil berjalan dari satu lokasi ke lokasi lain, alih-alih dilaksanakan sambil duduk di dalam masjid atau langgar. Ritual ini dilaksanakan setiap Bulan Safar tahun Hijriah (penanggalan Islam). Bulan Safar dianggap sebagai bulan “panas” dan diasosiasikan dalam bentuk zikir dan doa kepada Allah SWT agar terhindar dari kemalangan dan musibah. Rateb Beujalan dilaksanakan selama tujuh hari bertutur-turut, dimulai pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Dijalankan oleh orang dewasa dan anak-anak.^[1]

Pelaksanaan kegiatan diawali dengan mufakatnya Teungku Imum (Imam masjid) dan Datuk (kepala desa) untuk melaksanakan ritual dan kemudian disampaikan kepada masyarakat desa. Ritual ini melibatkan beberapa desa sehingga ada pula kordinasi antar desa yang berdekatan dalam persiapan pelaksanaannya. Pada malam Jumat, masyarakat kemudian menggelar dzikir bersama di langgar dan dilanjutkan pada dua malam berikutnya. Ritual Rateb sendiri dilaksanakan pada malam keempat yang berlangsung secara estafet dari desa ke des^[2] a, diawali dengan desa paling luar dan berakhir di desa yang paling ujung dekat dengan Sungai Seruway.^[1]

Estafet Rateb dilaksanakan pada malam hari, diawali dengan pembacaan azan dan disusunnya barisan zikir berjalan yang diikuti para pria baik dewasa maupun anak-anak. Para wanita menyiapkan makanan ringan yang dapat dinikmati selama rombongan melakukan perjalanan zikir. Selanjutnya seluruh partisipan akan berzikir sambil berjalan dan membawa bendera putih atau yang berlafazkan kalimat Laaillaha ilallah menuju perbatasan desa berikutnya. Masyarakat desa berikutnya akan melakukan hal yang sama, mengumandangkan azan dan menerima bendera sebelum melanjutkan perjalanan sambil berzikir menuju desa selanjutnya.^[1]

Perjalanan zikir ini berakhir di lokasi yang telah disepakati bersama dan biasanya berada di pinggir Sungai Seruway yang dekat dengan muara yang memakan waktu 3 hari 3 malam. Hari berikutnya dilaksanakan kenduri yang seluruh makanannya disiapkan dan dihidangkan penduduk desa. Kenduri dilaksanakan di desa masing-masing atau bersamaan pada satu lokasi. Acara kenduri dilengkapi dengan doa bersama dan silahturahmi antarwarga. Nilai kearifan yang terlihat dalam ritual ini adalah nilai keimanan yang menunjukkan bahwa masyarakat Tamiang meletakkan nilai keagamaan sebagai landasan dalam berbudaya karena inti ritual ini ada pada keyakinan akan doa. Rateb Beujalan tetap menjadi sebuah tradisi yang membudaya dari generasi ke generasi sehingga pada akhirnya melahirkan generasi Tamiang yang beriman, beragama dan berbudaya.^[1][3]

1. ^ ^{a b c d} Nasution, Miftah (2020-03-31). "Rateb Berjalan Pada Masyarakat Tamiang | Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh" (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-06-20.
2. ^ "Rateb Berjalan, Tradisi Tolak Bala di Aceh Tamiang Menjadi Magnet Bagi Wisatawan". Serambinews.com. Diakses tanggal 2025-06-20.
3. ^ "Berita rateb berjalan Terbaru Hari Ini". kompas.id. 2023-09-02. Diakses tanggal 2025-06-20.