Revolusi Abbasiyah
Revolusi Abbasiyah | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
![]() | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Didukung
|
Didukung | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
As-Saffah Al-Mansur Abdullah bin Ali Shalih bin Ali Abu Muslim Qahthabah bin Syabib † Hasan bin Qahthabah |
Marwan bin Muhammad ![]() Nashr bin Sayyar † Yazid bin Umar ![]() Ma'n bin Za'ida al-Shaybani |
Revolusi Abbasiyah (الثورة العباسية, ath-thawra al-ʿAbbāsiyyah), atau gerakan jubah hitam (حركة رجال الثياب السوداء, ḥaraka rijāl ath-thiyāb as-sawdā), adalah istilah yang mengacu kepada penggulingan Kekhalifahan Umayyah (661–750 M), kekhalifahan kedua dari empat kekhalifahan utama dalam sejarah Islam, oleh kekhalifahan yang ketiga, Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 M). Kekhalifahan Umayyah adalah kekhalifahan yang menggantikan Kekhalifahan Rasyidin, tiga dekade setelah wafatnya nabi Muhammad. Kekhalifahan Umayyah merupakan kekhalifahan Arab feodal yang memerintah atas populasi non-Arab dan non-Muslim yang sangat besar. Penduduk non-Arab diperlakukan sebagai warga negara kelas dua tanpa menghiraukan agama, dan pada akhirnya ketidakpuasan ini menjadi pemecah belah agama dan etnis yang berpuncak pada penggulingan dinasti Umayyah.[1] Keluarga Abbasiyah mengaku sebagai keturunan dari al-Abbas, paman dari nabi Muhammad.
Revolusi Abbasiyah pada dasarnya menandai berakhirnya kekhalifahan Arab dan berawalnya sebuah kekhalifahan multietnis yang lebih inklusif di Timur Tengah.[2] Dikenang sebagai salah satu revolusi yang paling terorganisasi sepanjang sejarah, Revolusi Abbasiyah mengubah fokus perluasan dunia Muslim ke arah timur.[3]
Latar belakang
Pada tahun 740-an, Kekhalifahan Umayyah jatuh ke dalam kondisi kritis. Sengketa suksesi pada tahun 744 menyebabkan Perang Saudara Islam III, yang berkecamuk di Timur Tengah selama dua tahun. Pada tahun berikutnya, Adh-Dhahhak bin Qais asy-Syaibani memulai pemberontakan Khawarij yang berlanjut sampai tahun 746. Di saat yang bersamaan, pemberontakan pecah sebagai reaksi terhadap keputusan Marwan II yang ingin memindahkan ibu kota Kekaisaran Umayyah dari Damaskus ke Harran, yang mengakibatkan penghancuran kota Homs (Emesa). Marwan II gagal mendamaikan rakyat lokal sampai tahun 747; Revolusi Abbasiyah dimulai dalam beberapa bulan setelahnya.[4]
Pada tahun 738, Nashr bin Sayyar ditunjuk sebagai gubernur Khorasan oleh Hisyam bin Abdul-Malik. Jabatan tersebut dipegang olehnya selama perang saudara sampai akhirnya diresmikan Marwan II.[4]
Luasanya Khorasan dan rendahnya kepadatan penduduk menyebabkan sebagian besar penduduk Arab — baik militer maupun sipil — tinggal di luar benteng-benteng yang dibangun saat penaklukan Persia oleh Muslim. Di provinsi-provinsi Kekhalifahan Umayyah lainnya, orang-orang Arab cenderung mengasingkan diri mereka dalam benteng-benteng dan menghindari interaksi dengan penduduk setempat.[5] Para pemukim Arab di Khorasan meninggalkan budaya asli mereka dan berbaur dengan orang Iran.[4] Walau pernikahan antaretnis orang Arab dengan orang non-Arab di tempat lain di Kekhalifahan Umayyah tidak dianjurkan atau bahkan dilarang,[6][7] di Khorasan Timur, pernikahan antara orang Arab dan orang Iran mulai menjamur. Orang Arab mulai mengenakan pakaian Persia dan Bahasa Arab mulai bercampur dengan Bahasa Persia, mengikis tembok penghalang yang ada di antara kedua etnis tersebut.[8]
Kejadian
Permulaan
Sekitar tahun 719, para da'i dari gerakan Syiah Hashimiyah mulai mencari pengikut di Khorasan. Gerakan mereka dikemas sebagai dakwah keagamaan. Para da'i tersebut mengatakan sedang mencari dukungan untuk "seorang anggota keluarga Nabi yang akan menyenangkan semua orang", tanpa secara eksplisit menyebut Bani Abbas. Para da'i ini berhasil menarik simpati, terutama dari kalangan non-Arab, yang nantinya akan memainkan peran yang sangat penting dalam pertumbuhan pergerakan Abbasiyah. Di saat yang bersamaan, kelompok Syiah lainnya (seperti Kaisaniyyah) melakukan pemberontakan. Divisi Suriah tentara Umayyah juga sedang mengalami ketegangan internal terkait pengkhianatan dan ketidakadilan yang terjadi selama Perang Saudara Islam II dan III.
Pada masa ini, Kufah menjadi pusat oposisi terhadap kekuasaan Umayyah, khususnya para pendukung Ali dan kalangan Syiah. Pada tahun 741–742, Abu Muslim mengunjungi Kufah dan untuk pertama kalinya menjalin kontak dengan agen-agen Abbasiyah. Abu Muslim akhirnya diperkenalkan kepada pemimpin Abbasiyah, Imam Ibrahim, di Mekkah. Sekitar tahun 746, Abu Muslim mengambil alih kepemimpinan Hashimiyah di Khorasan. Berbeda dengan pemberontakan Bani Ali yang terbuka dan lugas dalam menyampaikan tuntutan mereka, Bani Abbas bersama sekutu Hashimiyah secara perlahan membangun gerakan perlawanan bawah tanah terhadap kekuasaan Umayyah. Jaringan rahasia digunakan untuk membangun basis kekuatan di wilayah timur dunia Muslim guna memastikan keberhasilan revolusi.
Pembangunan kekuatan ini terjadi tepat setelah Pemberontakan Zaydi di Irak, dan berlangsung secara bersamaan dengan Pemberontakan Berber di Iberia dan Maghreb, pemberontakan Ibadi di Yaman dan Hijaz, serta Perang Saudara Islam III di Levant. Bani Abbas memanfaatkan waktu persiapan mereka dengan mengamati bagaimana Kekhalifahan Umayyah dilanda konflik dari segala penjuru.
Pemberontakan al-Harith bin Suraij
Pada tahun 746, Ibnu Suraij melancarkan pemberontakan di Merv (sekarang Mary, Turkmenistan). Namun, pemberontakan tersebut tidak berhasil dan bahkan mengakibatkan tewasnya sekretaris Ibnu Suraij, Jahm bin Safwan. Setelah bergabung dengan faksi pemberontak lainnya, Ibnu Suraij berhasil memukul mundur gubernur Umayyah Nashr bin Sayyar dan pasukannya ke Naisabur. Namun, tidak lama kemudian, kedua faksi ini saling mengkhianati dan faksi Ibnu Suraij pun dihancurkan.
Pada saat itu, Khorasan Barat sedang berada di bawah kendali Abdullah bin Mu'awiyah. Pemerintahan Abdullah memutus jalur Ibnu Sayyar di timur dari Khalifah Marwan II. Pada musim panas tahun 747, Ibnu Sayyar mengajukan perdamaian. Pengajuan ini diterima oleh para pemberontak yang tersisa. Pemimpin pemberontak tersebut kemudian dibunuh oleh putra Ibnu Suraij dalam aksi balas dendam. Di saat yang sama, ada pemberontakan Syiah lain yang meletus di pedesaan. Meskipun begitu, putra dari pemberontak yang tersisa tetap menandatangani perjanjian damai dan Ibnu Sayyar kembali ke posisinya sebagai gubernur Merv pada Agustus 747 — tepat saat Abu Muslim memulai pemberontakan.
Fase Persia
Pada 9 Juni 747 (25 Ramadan 129 H), Abu Muslim melancarkan pemberontakan terbuka melawan kekuasaan Umayyah di bawah panji Bendera Hitam. Saat konflik dimulai secara resmi di Merv, Abu Muslim datang memimpin sekitar 10.000 pasukan. Pada 14 Februari 748, Abu Muslim berhasil menguasai Merv, mengusir Nashr bin Sayyar kurang dari setahun setelah penumpasan pemberontakan Ibnu Suraij dan mengirim pasukan ke arah barat.
Perwira Abbasiyah yang baru ditunjuk, Qahtaba bin Shabib al-Ta’i, bersama kedua putranya, al-Hasan bin Qahtaba dan Humayd bin Qahtaba, mengejar Ibn Sayyar hingga ke Naisabur dan terus mendesaknya ke barat sampai ke Qumis. Pada bulan Agustus, al-Ta’i mengalahkan pasukan Umayyah yang berjumlah 10.000 di Gorgan, sebelah tenggara Laut Kaspia. Ibnu Sayyar mencoba menghimpun kembali kekuatannya dengan bantuan dari khalifah di Rey (dekat ibu kota Iran saat ini, Teheran), namun kota tersebut tetap jatuh, bersama komandan pasukan khalifah. Ibnu Sayyar kembali melarikan diri ke barat dan akhirnya meninggal pada 9 Desember 748 dalam perjalanannya menuju Hamedan, di barat daya Persia. Sementara itu, al-Ta’i terus bergerak ke barat melalui Khorasan dan menghancurkan pasukan Umayyah yang berjumlah 50.000 di Isfahan, Persia Tengah, pada Maret 749.
Di Nahawand, Persia barat daya, Bani Umayyah berusaha membangun pertahanan terakhir mereka. Pasukan Umayyah yang melarikan diri dari Hamedan, bersama sisa pasukan Ibnu Sayyar, bergabung dengan garnisun yang ada di kota tersebut. Qahtaba mengalahkan pasukan bantuan Umayyah dari Suriah, sementara putranya, al-Hasan, mengepung Nahawand selama lebih dari dua bulan. Unit-unit militer Umayyah dari Suriah yang berada di dalam garnisun membuat kesepakatan dengan BanieAbbas lamatkan nyawa mereka dengan mengkhianati pasukan Umayyah dari Khurasan, yang kemudian dibantai habis. Setelah hampir 90 tahun, kekuasaan Umayyah di Khorasan akhirnya berakhir.
Pada saat al-Ta’i merebut Naisabur (yang terletak di timur laut Khorasan), Abu Muslim memperkuat cengkeraman Abbasiyah di wilayah timur laut dunia Muslim. Gubernur Abbasiyah ditunjuk untuk memerintah Transoksiana dan Baktria (saat ini bagian dari Turkmenistan, Tajikistan, Uzbekistan, Kirgizstan dan Kazakhstan), sementara para pemberontak yang sebelumnya menandatangani perjanjian damai dengan Nashr bin Sayyar juga ditawari perdamaian oleh Abu Muslim – namun justru dikhianati dan dimusnahkan. Dengan penundukan semua elemen pemberontak di timur dan penyerahan Nahawand di barat, Bani Abbas menjadi penguasa mutlak Khorasan.
Fase Mesopotamia
Bani Abbas tidak membuang waktu dan segera melanjutkan perluasan wilayah dari Persia ke Mesopotamia. Pada Agustus 749, komandan Umayyah, Yazid bin Umar al-Fazari, mencoba menghadang pasukan al-Ta’i sebelum mereka mencapai Kufah. Namun, pasukan Abbasiyah melancarkan serangan malam lebih dulu, sebelum pasukan al-Fazari sempat bersiap. Dalam pertempuran ini, al-Ta’i sendiri gugur di medan perang. Meskipun kehilangan salah satu pemimpin militer paling dihormati, pasukan al-Fazari berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Wasith. Pengepungan Wasith berlangsung dari Agustus 749 hingga Juli 750. Meski al-Ta’i telah gugur, sebagian besar pasukan Umayyah terkepung di dalam kota dan dapat diabaikan sementara operasi militer lainnya dilanjutkan.
Bersamaan dengan pengepungan itu, Bani Abbas menyeberangi Sungai Efrat dan merebut Kufah. Putra Khalid al-Qasri – mantan pejabat Umayyah yang disiksa hingga tewas – memicu kerusuhan pro-Abbasiyah dari dalam benteng kota. Pada 2 September 749, al-Hasan bin Qahtaba memasuki kota hampir tanpa perlawanan dan mengambil alih. Kebingungan muncul ketika Abu Salama, seorang perwira Abbasiyah, mendorong penunjukan pemimpin dari Bani Ali. Abu Jahm, orang kepercayaan Abu Muslim, melaporkan hal ini, dan Bani Abbas segera mengambil langkah pencegahan. Pada hari Jumat, 28 November 749 – bahkan sebelum pengepungan Wasith selesai – As-Saffah, cicit Al-Abbas, diakui sebagai khalifah baru di masjid Kufah. Abu Salama, yang menyaksikan dua belas komandan militer revolusioner bersumpah setia, akhirnya ikut bersumpah meski dengan berat hati.
Pasukan Abdullah bin Ali dan Abu Aun Abdul Malik bin Yazid bergerak menuju Mosul (di wilayah Irak utara saat ini) secepat gerak pasukan Qahtaba dari Khurasan ke Kufah. Mengetahui ini, Marwan II mengerahkan pasukannya dari Harran (kini di wilayah tenggara Turki) dan bergerak ke Mesopotamia. Pada 16 Januari 750, dua kekuatan ini bertemu di tepi kiri anak sungai Tigris dalam Pertempuran Zab, dan sembilan hari kemudian, Marwan II dikalahkan dan pasukannya dihancurkan total. Pertempuran ini dianggap sebagai momen penentu berakhirnya kekuasaan Umayyah. Yang bisa dilakukan Marwan II hanyalah melarikan diri ke Suriah dan kemudian ke Mesir, sementara kota-kota Umayyah menyerah satu per satu saat pasukan Abbasiyah mengejar mereka.
Damaskus jatuh ke tangan Bani Abbas pada bulan April, dan pada bulan Agustus, Marwan II serta keluarganya ditemukan oleh pasukan kecil yang dipimpin Abu unn Salih bin Ali (saudara Abdalluhlbin Ali), dan dibunuh di Mesir. Al-Fazari, komandan Umayyah di Wasit, thetap bertahan bahkan setelah kekalahan Marwan II pada Januari. Bani Abbas menjanjikan amnesti pada Juli, namun al-Fazari dieksekusi segera setelah keluar dari benteng. Setelah hampir tiga tahun pemberontakan, Kekhalifahan Umayyah pun runtuh sepenuhnya.
Taktik
Kesetaraan etnis
Militer Abbasiyah dirancang dengan basis kesetaraan etnis dan ras. Para perwira Arab, Turki dan Iran yang direkrut Abu Muslim di sepanjang Jalur Sutra tidak dipisahkan berdasarkan suku maupun etnis, melainkan tempat tinggal mereka pada waktu itu. Hal ini mengubah solidaritas yang tadinya berbasis suku dan etnis menjadi solidaritas berbasis kepentingan bersama.
Propaganda
Revolusi Abbasiyah merupakan contoh awal abad pertengahan tentang seberapa efektifnya propaganda. Bendera Hitam yang dikibarkan pada permulaan fase perang dari revolusi Abbasiyah membawa nuansa penghakiman ilahi atas perbuatan Bani Umayyah terhadap Bani Ali, seperti tanda kiamat. Bani Abbasiyah, yang mengklaim sebagai keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, memperagakan ulang pembunuhan Husain bin Ali oleh khalifah Umayyah kedua, Yazid bin Muawiyah, di berbagai tempat, diiringi dengan janji pembalasan dendam. Tujuan Bani Abbasiyah untuk merebut kepemimpinan ditutup-tutupi dengan menekankan seberapa pentingnya garis keturunan Muhammad. Melihat Bani Ali dibantai habis oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dengan hati-hati mengubah catatan sejarah Islam pada masa itu agar lebih menunjukkan kedekatan Muhammad dengan pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib.
Bani Abbasiyah menghabiskan lebih dari satu tahun untuk mempersiapkan propaganda anti-Umayyah tersebut. Sekitar tujuh puluh penyebar propaganda ditempatkan di seluruh penjuru Khorasan, di bawah perintah dua belas pejabat pusat.
Kerahasiaan
Revolusi Abbasiyah cukup unik karena adanya taktik yang tidak diterapkan dalam pemberontakan anti-Umayyah sebelum-sebelumnya yang berhasil ditumpas. Yang paling penting di antaranya adalah kerahasiaan. Di saat para Syiah dan orang lainnya melakukan pemberontakan terang-terangan yang dipimpin oleh tokoh publik dengan tuntutan yang jelas dan tegas, Bani Abbasiyah tidak hanya menyembunyikan identitas mereka, tetapi juga amunisi dan keberadaan mereka. Sebelum menjadi khalifah Abbasiyah pertama dan muncul di hadapan rakyat untuk menerima janji setia, As-Saffah terlebih dahulu memastikan bahwa khalifah Umayyah dan para pangerannya sudah dibunuh.
Abu Muslim al-Khorasani, yang merupakan komandan militer utama Bani Abbasiyah, juga merupakan orang yang sangat misterius; bahkan namanya, yang secara harfiah berarti "ayah seorang Muslim dari Khorasan," tidak memberikan informasi yang berarti tentang pribadinya. Hingga saat ini, para peneliti, meskipun mereka yakin bahwa Abu Muslim adalah individu yang nyata dengan aksi yang konsisten, sepakat bahwa semua dugaan tentang identitasnya masih diragukan. Abu Muslim sendiri tidak menganjurkan penyelidikan tentang asal-usulnya dan menekankan bahwa hanya agama dan tempat tinggalnya yang penting.
Abu Muslim, siapa pun dia, membangun jaringan rahasia pro-Abbasiyah di kalangan perwira militer Arab dan Iran yang bertempat di kota-kota benteng di sepanjang Jalur Sutra. Melalui jaringan ini, Abu Muslim berhasil mengamankan dukungan militer multietnis untuk Bani Abbasiyah, jauh sebelum revolusi Abbasiyah masuk ke fase perang. Jaringan ini terbukti krusial, karena para perwira yang ditempatkan di sepanjang Jalur Sutra merupakan ahli taktik dan pejuang yang berpengalaman dan disegani setelah bertahun-tahun melawan suku-suku Turki yang ganas di Asia Tengah.
Lihat juga
Referensi
- ^ Paul Rivlin, Arab Economies in the Twenty-First Century, p. 86. Cambridge: Cambridge University Press, 2009. ISBN 9780521895002
- ^ Saïd Amir Arjomand, Abd Allah Ibn al-Muqaffa and the Abbasid Revolution. Iranian Studies, vol. 27, Nos. 1–4. London: Routledge, 1994.
- ^ Hala Mundhir Fattah, A Brief History of Iraq, p. 77. New York: Infobase Publishing, 2009. ISBN 9780816057672
- ^ a b c G. R. Hawting, The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750, hlm. 105. London: Routledge, 2002. ISBN 9781134550586
- ^ Peter Stearns, Michael Adas, Stuart Schwartz and Marc Jason Gilbert."The Umayyad Imperium." Taken from World Civilizations:The Global Experience, combined volume. 7th ed. Zug: Pearson Education, 2014. ISBN 9780205986309
- ^ Patrick Clawson, Eternal Iran, p. 17. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2005. ISBN 1-4039-6276-6
- ^ Al-Baladzuri, Futuhul Buldan, hlm. 417.
- ^ G.R. Hawting, The First Dynasty of Islam, pp. 105 & 113.
Bacaan lebih lanjut
- Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihâd State: The Reign of Hishām ibn ʻAbd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. Albany, NY: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-1827-7.
- Daniel, Elton L. (1979). The Political and Social History of Khurasan under Abbasid Rule, 747–820. Minneapolis and Chicago: Bibliotheca Islamica, Inc. ISBN 0-88297-025-9.
- Hourani, Albert, History of the Arab Peoples
- Kennedy, Hugh N. (2004). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-Second). Harlow, UK: Pearson Education Ltd. ISBN 0-582-40525-4.
- Shaban, M. A. (1979). The ʿAbbāsid Revolution. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-29534-3.
- Sharon, Moshe (1990). Revolt: the social and military aspects of the ʿAbbāsid revolution. Jerusalem: Graph Press Ltd. ISBN 965-223-388-9.