Ruwat Bumi
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan. (November 2025) |
Tradisi Ruwat Bumi atau Ruwatan Bumi, atau dikenal pula dengan slametan/tasyakuran merti bumi, adalah ritual tahunan yang rutin diselenggarakan pada bulan Muharam/Sura. Kegiatan ini bukan hanya sekadar perayaan, melainkan sebuah manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang melimpah.[1]
Tradisi Ruwat Bumi menjunjung tinggi leluhur dan menekankan kebersamaan, serta merupakan bentuk syukur atas hasil bumi, sekaligus upaya menjaga keharmonisan dengan alam. Tradisi ini juga mempererat hubungan sosial, dan membangun desa secara gotong royong. Ruwat Bumi berfungsi menjadi pengingat pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, dan memperkuat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.[2]
Sejarah
Upacara Ruwat Bumi telah berumur ratusan tahun. Namun kesakralannya sebagai tradisi masyarakat agraris tetap terasa. Ruwat bumi adalah ungkapan syukur atas hasil yang diperoleh dari bumi. Pengharapan setahun kedepan, serta penghormatan kepada leluhur. Ruat dalam bahasa sunda artinya mengumpulkan dan merawat. Yang dikumpulkan dan dirawat adalah masyarakat dan hasil buminya.[3]
Asal muasal
Ruwatan berasal dari kata "rawat" atau "merawa," yang dalam konteks upacara ini, berarti mengumpulkan atau merawat. Kata ini menggambarkan aksi pengumpulan seluruh masyarakat kampung dan hasil bumi, baik yang masih mentah maupun yang sudah diolah. Upacara Ruwatan Bumi adalah ungkapan syukur yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan hasil panen pertanian yang menjadi penopang utama kehidupan masyarakat.[4]
Makna
Tradisi Ruwat Bumi ini adalah ritual yang sarat dengan makna. Upacara ini merupakan bentuk terima kasih kepada Tuhan atas hasil panen yang berlimpah. Bagi masyarakat agraris, panen adalah harta yang sangat berharga, dan Ruwatan Bumi adalah cara mereka mengekspresikan rasa syukur mereka. Selain itu, upacara ini juga melibatkan perlindungan dari bencana atau "tolak bala." Masyarakat yakin bahwa dengan mengadakan upacara Ruwatan Bumi, mereka dapat menjaga diri mereka dan hasil panen mereka dari potensi bencana seperti banjir, kekeringan, atau wabah penyakit.[4]
Ruwat Bumi Ini juga merupakan wujud penghormatan yang dalam terhadap nenek moyang. Ruwatan Bumi mengingatkan masyarakat akan peran besar leluhur mereka dalam membangun dan meningkatkan taraf hidup. Dalam budaya yang sangat berakar pada tradisi, menjaga hubungan dengan leluhur adalah hal yang sangat penting.[4]
Kelestarian
Tradisi Upacara Ruwat Bumi pertama kali dilaksanakan pada tahun 1800 Masehi. Dalam era modern ini, di mana banyak tradisi kuno telah menghilang atau mengalami perubahan signifikan, Ruwatan Bumi tetap tidak tergoyahkan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat menyadari nilai-nilai budaya mereka dan tekun dalam menjaganya. Mereka merasa bahwa Ruwatan Bumi adalah warisan yang harus dipertahankan untuk generasi mendatang.[4]
Bentuk kelestarian Ruwatan Bumi tidak hanya tentang melanjutkan upacara itu sendiri. Ini juga mencakup pemeliharaan nilai-nilai yang ada di balik upacara ini. Masyarakat terus mengajarkan generasi muda tentang pentingnya syukur, perlindungan alam, dan penghormatan terhadap leluhur. Mereka meyakinkan anak-anak mereka tentang pentingnya menjaga akar budaya dan nilai-nilai tersebut, sehingga Ruwatan Bumi akan terus dilaksanakan di masa depan.[4]
Referensi
- ^ Kebumen, Pemerintah Kabupaten. "Bupati Lilis Hadiri Ruwat Bumi di Ujung Karanggayam". Website Resmi Pemerintah Kabupaten Kebumen. Diakses tanggal 2025-11-03.
- ^ "Ruwat Bumi Mandiraja, Cara Warga Jaga Kearifan Lokal dan Pondasi Moral Pembangunan" (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-11-03.
- ^ Andri (28-08-2018). "Ruwatan Bumi". Subang.go.id. Diakses tanggal 03-11-2025.
- ^ a b c d e Sugiana, Ogih (12-10-2023). "Budaya Ruwatan Bumi: Warisan Tradisi dan Ungkapan Syukur Subang, Indonesia". goodnewsfromindonesia. Diakses tanggal 03-11-2025.

