SMA Negeri 2 Bukittinggi
SMA Negeri 2 Bukittinggi | |
---|---|
![]() | |
Informasi | |
Didirikan | 1 April 1856 |
Jenis | Negeri |
Kepala Sekolah | Murnita, S.Pd., M.Pd. |
Status | Diakui |
Alamat | |
Lokasi | Jl. Jenderal Sudirman No. 5, Bukittinggi, Sumatera Barat |
Situs web | sman2bukittinggi |
Moto |
SMA Negeri 2 Bukittinggi, dikenal juga sebagai Kweekschool, Sekolah Raja, SMA Birugo, atau Smanda, adalah salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) tertua di Indonesia, yang berlokasi di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejak berdiri pada 1856, sekolah ini telah mengalami berbagai perubahan, dari lembaga pendidikan guru di era kolonial hingga menjadi institusi pendidikan modern.
Dengan sejarah panjangnya, SMA Negeri 2 Bukittinggi telah melahirkan banyak alumni yang berkontribusi di berbagai bidang, termasuk pendidikan, pemerintahan, dan kebudayaan. Saat ini, sekolah ini menyelenggarakan pendidikan tingkat menengah atas dengan masa belajar tiga tahun (kelas X–XII) dan mengikuti kurikulum nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Sejarah dan Latar Belakang
"Kweekschool" (1856 - 1873)
Pada tanggal 1 April 1856, "Kweekschool" atau Normalschool (Sekolah Guru) didirikan di Bukittinggi.[1] Sekolah ini merupakan Sekolah Guru pertama yang didirikan di luar Pulau Jawa dan menjadi bagian dari rangkaian Kweekschool yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Secara berurutan, Kweekschool didirikan di Surakarta (1852), Bukittinggi (1856), Bandung (1866), Tondano (1873), Ambon (1870), Probolinggo (1875), Banjarmasin (1875), dan Padangsidempuan (1879).[2]
Pendirian "Kweekschool" Bukittinggi dimaksudkan untuk mengantisipasi kekurangan guru di Sumatera Barat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pilihan lokasi di Bukittinggi didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain telah adanya Sekolah Nagari yang cukup baik, posisi geografis yang mendukung, dan kondisi yang dianggap kondusif bagi pendidikan.[3]
Pemerintah Hindia Belanda bermaksud menjadikan "Kweekschool" Bukittinggi sebagai duplikat dari Kweekschool Surakarta, meskipun dalam ukuran yang lebih kecil. Beberapa buku bacaan dan pelajaran yang dipakai di Surakarta juga digunakan di Bukittinggi, namun terdapat berbagai kesukaran dalam pelaksanaannya.[3]
Fasilitas dan Kondisi Fisik
Untuk ruang belajar, "Kweekschool" Bukittinggi menggunakan Gedung "Rumah Bicara", sebuah bangunan dua tingkat yang terletak di persimpangan jalan menuju Panorama dan Kantor Asisten Residen. Ruangan belajar menggunakan lantai bawah gedung, sementara lantai atas sering digunakan untuk rapat oleh pemerintah. Kondisi ini sering mengganggu kegiatan belajar-mengajar.[4]
Fasilitas pembelajaran sangat sederhana. Ruang belajar yang digunakan adalah bekas ruangan Sekolah Nagari Bukittinggi yang berada di bawah Rumah Bicara.
Kepemimpinan dan Staf Pengajar
Sebagai Direktur pertama "Kweekschool" Bukittinggi diangkat Charles Adriaan van Ophuijsen, Asisten Residen Solok yang memiliki perhatian terhadap pendidikan anak-anak Melayu. Ia dibantu oleh seorang guru bahasa Melayu bernama Abdul Gani gelar Rajo Mangkuto. Setahun kemudian, Abdul Gani digantikan oleh Abdul Latif gelar Khatib Sutan Dinagari, yang juga ditugaskan sebagai guru harian.[5]
Pada fase awalnya, "Kweekschool" Bukittinggi lebih banyak dikelola oleh penduduk pribumi. Kepala sekolah pertamanya adalah Abdul Latif gelar Khatib Sutan Dinagari, seorang pegawai yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan. Asisten Residen dan bawahannya tidak banyak terlibat dalam pengembangannya, sehingga pada awal pendiriannya, sekolah ini tidak lebih dari sekolah dasar biasa.[4]
Sistem Pendidikan dan Kurikulum
Persyaratan Masuk
Murid-murid yang diterima tidak perlu tamatan Sekolah Nagari, tetapi harus berusia minimal 14 tahun. Calon murid juga diharuskan memiliki pengetahuan dasar seperti:
- Mampu membaca dan menulis bahasa Melayu secukupnya, baik dalam alfabet Arab maupun Latin
- Menguasai berhitung sederhana
Masa Belajar dan Kurikulum
Masa belajar di "Kweekschool" Bukittinggi adalah tiga tahun. Kurikulum yang digunakan belum terstruktur dengan jelas. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi:
- Membaca dan menulis dalam bahasa Melayu
- Bahasa Belanda (kemudian ditambahkan)
- Berhitung
- Membuat surat
Namun, pelajaran ilmu mendidik (pedagogi) yang seharusnya menjadi ciri khas sekolah guru belum diajarkan kepada murid-murid.[5]
Sistem Pembelajaran
Pada awal pendiriannya, sepuluh murid pertama "Kweekschool" Bukittinggi dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 5 murid. Jadwal belajar dibagi dua waktu:
- Kelompok pertama: pukul 07.00-10.00
- Kelompok kedua: pukul 10.30-13.30
Mereka belajar setiap hari kecuali hari Minggu.[5]
Fasilitas untuk Siswa
Untuk menarik minat calon murid, setiap murid "Kweekschool" Bukittinggi diberi uang saku sebesar f 10 per bulan dan alat-alat tulis. Mereka juga dibebaskan dari pembayaran uang sekolah, berbeda dengan Sekolah-sekolah Nagari yang masih memungut biaya. Namun, pada tahun 1872 dilaporkan bahwa murid-murid harus membeli alat-alat tulis sendiri menggunakan uang saku yang diberikan.[5]
Lulusan dan Capaian
Lulusan pertama "Kweekschool" Bukittinggi adalah Saidina Asin gelar Khatib Lebe. Meskipun belum menyelesaikan seluruh pelajarannya, ia diizinkan mengajar karena dianggap sudah cakap. Ia diangkat sebagai guru Sekolah Nagari di Payakumbuh, kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Sejak tahun 1869, Saidina Asin ditunjuk menjadi guru di "Kweekschool" Bukittinggi menggantikan gurunya, Abdul Latif. Saidina Asin merupakan alumni Kweekschool pertama dan guru Melayu ketiga yang mengajar di "Kweekschool" Bukittinggi.[4]
Selama sepuluh tahun pertama, 50 murid telah menyelesaikan pendidikan di "Kweekschool" Bukittinggi, meskipun tidak semua menjadi guru seperti yang diharapkan.[5]
Evaluasi dan Kritik
Pada tahun 1866, Jacob Anne van der Chijs, Inspektur Pendidikan Bumiputera, melakukan inspeksi dan mengkritik kondisi "Kweekschool" Bukittinggi. Ia menyatakan bahwa:
- Sekolah ini tidak ada bedanya dengan Sekolah Nagari atau Sekolah Rendah Bumiputera lainnya
- Pelajaran ilmu mendidik yang seharusnya diajarkan tidak diberikan
- Kualitas guru dinilai kurang memadai
- Pengawasan terhadap pelaksanaan belajar-mengajar tidak dilakukan oleh pejabat pemerintah setempat secara tertulis
Keadaan seperti yang dilaporkan oleh van der Chijs masih berlangsung sampai tahun 1872. Van der Chijs kemudian mengusulkan agar pemerintah mendirikan sebuah Kweekschool saja untuk wilayah Sumatera, dan merekomendasikan Bukittinggi atau Padang sebagai lokasinya. Akhirnya, pilihan jatuh pada Bukittinggi untuk mengembangkan Kweekschool yang telah dirintis sebelumnya.[6][7][8]
Transisi ke Kweekschool atau Sekolah Raja
Untuk membedakan Kweekschool Bukittinggi pra-Sekolah Raja (sebelum tahun 1873) dengan Kweekschool atau Sekolah Raja Bukittinggi sesudah tahun 1873, yang pertama diberi tanda petik ("Kweekschool"), sedangkan yang kedua tidak (Kweekschool). Hal ini menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam struktur dan kualitas pendidikan setelah tahun 1873.[3]
Kweekschool Bukittinggi pada periode 1856-1873 tidak lebih dari sebuah Sekolah Guru percobaan dan belum dapat disebut sebagai Sekolah Guru yang sesungguhnya. Untuk menjadikannya sebagai lembaga pendidikan guru yang efektif, diperlukan perubahan total pada institusi ini, yang kemudian diimplementasikan setelah tahun 1873 dengan pembentukan Kweekschool atau Sekolah Raja Bukittinggi. Meskipun demikian, keberadaan Kweekschool Bukittinggi pada periode awal ini telah meletakkan dasar bagi pengembangan pendidikan guru di Sumatera.
Sekolah Raja

Berdasarkan hasil pengamatan pendeta Bundingh, pemerintahan Belanda dapat mengetahui bahwa pendidikan anak negeri di Hindia Nederland masih rendah. Begitu pula kepandaian guru-guru Melayu di Gouvernement Pesisir Barat pulau Perca (Sumatra) tidaklah mencukupi. Oleh sebab itu, tahun 1855 Pemerintah Belanda merencanakan untuk mendirikan Sekolah Raja (bahasa Belanda: Kweekschool) untuk mendidik anak negeri melalui Surat keputusan pendirian Sekolah Raja untuk mendidik anak negeri yang dikeluarkan pada tanggal 1 April 1856.
Sekolah ini dipimpin oleh Van Ophuysen dan dibantu oleh seorang guru Melayu bernama Abdul Latif, anak Tuanku Imam dari Koto Gadang. Jumlah muridnya sepuluh orang, mereka dididik untuk menjadi guru. Lamanya pendidikan tiga tahun.
Pada tahun 1869, Abdul Latif meninggal. Jabatannya digantikan oleh Saidina Asin dari Koto Lawas, Padang Panjang. Dia ini pernah menjadi guru di Sekolah Melayu Bangkahulu.
Kweekschool


Setelah melihat perkembangan sekolah raja selama tujuh belas tahun, timbullah niat pemerintah belanda untuk mengadakan perubahan-perubahan. Awal tahun 1873 sekolah raja lama diperbaiki. Tepatnya tanggal 1 Maret 1873 sekolah raja diubah namanya menjadi Kweekschool. Guru kepalanya D. Gerth Van Wijk. Guru Belanda yang menjadi guru kedua yaitu Weide. Murid muridnya diasramakan dekat sekolah. Murid-murid ini diawasi oleh seorang guru melayu yang bernama Raja Medan.
Tahun 1877 D. Gerth Van Wijk diangkat menjadi Leeraar di sekolah Gymnasium Willem III di Betawi. Jawatannya sebagai guru kepala digantikan oleh J.L. Van der Toorn, dengan guru kedua D. Grivel.
Tahun 1883 salah seorang murid Kweekschool bernama Nawawi diangkat pula menjadi guru Bantu. Dia bekerja dengan giat dan rajin. Lama pendidikan yang pada mulanya tiga tahun, kemudian menjadi empat tahun.
Awal tahun 1900, murid Kweekschool semakin banyak. Mereka datang dari berbagai daerah seperti: Aceh, Lampung, Tapanuli, Sumatra Timur, Bangka, Belitung, Palembang, Bangkahulu dan Sumatera Barat sendiri.
Selain mengadakan tenaga guru, pemerintah juga memerlukan ambtenaar pribumi yang pandai. Sejak tahun 1904 murid Kweekschool terbagi dua. Pertama, murid yang bakal menjadi guru, kedua murid yang bakal menjadi ambtenaar.
Dalam perkembangannya murid yang akan menjadi guru lama pendidikannya enam tahun, sedangkan yang akan menjadi ambtenaar dididik selama lima tahun. Tanggal 5 Agustus 1908 pendidikan bakal ambtenaar ditiadakan.
Lama pendidikan HIK enam tahun, yang terbagi atas dua jenjang
- Persiapan, lama pendidikan tiga tahun;
- Lanjutannya tiga tahun
Sekolah raja Bukittinggi dijadikan sekolah HIK persiapan sedangkan lanjutannya di jawa. Siswa terakhir HIK diterima tahun 1932. sekolah ini ditutup pada tahun 1935
Beberapa nama untuk pengganti HIK
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, banyak perubahan yang terjadi. Perubahan itu bukan saja di bidang politik dan pemerintahan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bidang pendidikan. Sekolah-sekolah yang vakum karena adanya pergolakan untuk merebut kekuasaan dihidupkan kembali. Bahkan disempurnakan setelah keksuasaan berada ditangan bangsa sendiri. Gedung sekolah raja atau kweekschool masih tetap berdiri megah, mulai tahun 1946 diaktifkan kembali sebagai tempat pendidikan bagi anak negeri.
Dalam pertumbuhannya banyak terjadi perubahan dan pergantian nama sekolah. Perubahan dan pergantian nama lembaga pendidikan ini sebagai berikut:
- Tahun 1946 didirikan Sekolah Menengah Tinggi/SMT
Sekolah ini dipimpin oleh Dr. Roesma. Lama pendidikan tiga tahun.
- Tahun 1950 SMT diubah namanya menjadi sekolah menengah atas/SMA.
Sekolah ini dipimpin oleh Manna. Lama pendidikan juga tiga tahun. Tahun 1951 sekolah ini dibawah pimpinan Nasir Sutan Mudo.
- Tahun 1954 SMA dibagi dua menjadi
- SMA I B yang dipimpin oleh Sabirin
- SMA II AC, pimpinannya adalah Bapak Adam Saleh tahun 1958 SMA I B dipimpin oleh Nasir Sutan Rajo Intan, sedangkan SMA II AC dipimpin oleh R. Kardan. Lama pendidikan tiga tahun.
- Tahun 1960 SMA II AC dipecah lagi menjadi:
- SMA II C yang tetap dipimpin oleh R. Kardan
- SMA Teladan A dipimpin oleh Tobing
- Tahun 1960 SMA II AC diubah menjadi SMA 2 Bukittinggi.
Pimpinan SMA Negeri 2 Bukittinggi
Setelah SMA II C berubah nama menjadi SMA Negeri 2 Bukittinggi, sampai sekarang telah teracatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai pimpinan. Nama-nama pimpinan itu adalah sebagai berikut:
- R. Kardan (1960-1962)
- Rusli Missi Lanjumin (1962-1966)
- Yaflis (1966-1967)
- Nursamin (1967-1975)
- Amir Umar (1975-1984)
- Usman Luthan (1984-1990)
- Syarfi Mahmud (1990-1992)
- Drs. H. Rivai Syarif (1992-1995)
- Drs. Ali Asmar (1995-1996)
- Drs. Zulkifli Johneva, SH (1996-2001)
- Drs. Yunis Faizal, SH, MM (2001-2005)
- Drs. H. Muslim, MM (2005-2013)
- Ermizar, S.Pd M.Si (2013-2023)
- Murnita, SPd.,Mpd. (2023-sekarang)
Fasilitas
Berbagai fasilitas dimiliki SMAN 2 Bukittinggi untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Fasilitas tersebut antara lain:
- Kelas lebih dari 35 kelas
- Perpustakaan
- Laboratorium Biologi
- Laboratorium Fisika
- Laboratorium Kimia
- Laboratorium Komputer
- Laboratorium Bahasa
Ekstrakurikuler
SMA Negeri 2 memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler, diantaranya,
- FSI (Forum Studi Islam)
- Passusbra
- Pramuka
- SKR (Sanggar Konsultasi Remaja)
- PMR
- Patroli Keamanan Sekolah
- SISPALA (Siswa Pencinta Alam) Eureka
- KSDMA (Kweek School Dance and Music Ansamble)
- KSAP (Kweek School Art Photography)
- English Club
- Japanese Club
- KIR (Karya Ilmiah Remaja)
- BOSC (Birugo Science Club)
- dan lain-lain
Setiap organisasi dapat dibentuk atas persetujuan sekolah (baik pimpinan sekolah, OSIS, maupun para majelis guru, serta memiliki satu pembina untuk organisasi baru), dengan syarat ada salah satu atau dua anggota yang berada di bawah semester 4 (kelas dua).
Pranala luar
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/kweekschool-bukittinggi-dan-ruang-pendidikan-guru-bumiputera/ Diarsipkan 2019-01-31 di Wayback Machine.
- ^ Besluit van Gouverneur Generaal, No. 13 Tanggal 1 April 1856.
- ^ Amran, Rusli (1985). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
- ^ a b c Zulqayyim (2019). "Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Masa Kolonial Belanda". Dalam Colombijn, Freek; Barwegen, Martine; Basundoro, Purnawan; Khusairy, Johny (ed.). Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan (Edisi Revised). Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm. 156–173. ISBN 978-602-258-281-6.
- ^ a b c Zulqayyim (2006). Boekit Tinggi Tempo Doeloe (Edisi 1st). Padang: Andalas University Press. hlm. 79–106. ISBN 979-1097-17-8.
- ^ a b c d e R. Friederich, Gedenboek Samengsteld bij Gelegenheid van het 35-Jariq Bestaan der Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers te Fort de Kock (Arnhem: Thereme, 1908), hIm. 10.
- ^ Van der Chijs, "Bijdragen tot de Geschiedenis V h Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch Indie aan Officieele Bronnenentleend", TBG No. 16 Tahun 1867.
- ^ H. Kroeskamp, Early Schoolmasters in a Developing Country: A History of Experiment in School Education on 19th Century Indonesia (Assen: van Goecum, 1938), hIm. 322-323.
- ^ Fahzulmiardi, "Sekolah Raja di Bukittinggi Tahun 1873-1892". Skripsi Sarjana. Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas AndaIas, 1993), hIm. 35-50