More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Sarwo Edhie Wibowo - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sarwo Edhie Wibowo - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sarwo Edhie Wibowo

  • English
  • Jawa
  • Русский
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Wikimedia Commons
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sarwo Edhie Wibowo
Potret Sarwo Edhie Wibowo
Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan
Masa jabatan
Mei 1973 – Mei 1978
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Leonardus Benyamin Moerdani
Pejabat Duta Besar
Pengganti
Kaharuddin Nasution
Sebelum
Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih
Masa jabatan
2 Juli 1968 – 20 Februari 1970
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
R. Bintoro
Pengganti
Acub Zaenal
Sebelum
Panglima Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan
Masa jabatan
25 Juni 1967 – 2 Juli 1968
Sebelum
Pendahulu
Sobiran
Pengganti
Leo Lopulisa
Sebelum
Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat ke-5
Masa jabatan
1964–1967
Sebelum
Pendahulu
Mung Parhadimulyo
Pengganti
Widjoyo Suyono
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1925-07-25)25 Juli 1925
Purworejo, Hindia Belanda
Meninggal9 November 1989(1989-11-09) (umur 64)
Jakarta, Indonesia
Suami/istriSunarti Sri Hadiyah
Hubungan
  • Susilo Bambang Yudhoyono (menantu)
  • Erwin Sudjono (menantu)
  • Hadi Utomo (menantu)
Anak7, termasuk Kristiani Herrawati, Pramono Edhie Wibowo, Hartanto Edhie Wibowo
Pekerjaan
  • Perwira Angkatan Darat
  • diplomat
Karier militer
Pihak
  • Kekaisaran Jepang
  • Indonesia
Dinas/cabang
  • Pembela Tanah Air
  • TNI Angkatan Darat
Masa dinas1942–1975
PangkatJenderal (kehormatan)
NRP11001[1]
SatuanInfanteri (RPKAD)
Komando
  • RPKAD/Puspassus AD
  • Kodam II/Bukit Barisan
  • Kodam XVII/Cenderawasih
Pertempuran/perang
  • Revolusi Nasional Indonesia
  • Gerakan 30 September
  • Pembantaian massal di Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Jenderal (HOR) (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo (25 Juli 1925 – 9 November 1989) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia adalah ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara Republik Indonesia, yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga ayah dari mantan KSAD, Pramono Edhie Wibowo. Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.

Awal kehidupan

[sunting | sunting sumber]

Ia lahir pada tanggal 25 Juli 1927 di Desa Pangenjuru, Purworejo dari Pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini berasal dari keluarga PNS bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda. dan kemudian diberi nama Edhie. Namun karena sering sakit sakitan sesuai dengan adat Jawa, nama Edhie pundi ditambah Dengan Sarwo. Dan akhirnya namanya menjadi Sarwo Edhie, bahkan setelah menikah namanya menjadi Sarwo Edhie Wibowo. Sesuai pesan ayahnya, dengan harapan kelak ia memiliki kewibawaan. Meski berdarah bangsawan. Edhie tak segan-segan mengikuti permainan anak desa. Orangtuanya tidak pernah mengajarkan perbedaan kedudukan dengan orang lain. Sebagai seorang anak, ia belajar silat sebagai bentuk pertahanan diri. Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang dan kemenangan mereka melawan Pasukan Sekutu yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.

Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA), yang merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.

Sarwo Edhie kecewa karena tugas-tugasnya selama periode ini sebagian besar hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang. Ketika dia berlatih, Sarwo Edhie harus menggunakan senjata kayu. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal ABRI (Tentara Nasional Indonesia saat ini) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.

Teman satu kampung halamannya, Ahmad Yani yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalion di Magelang, Jawa Tengah.

Karier militer

[sunting | sunting sumber]

Karier hingga 1965

[sunting | sunting sumber]

Karier Sarwo Edhie di ABRI, dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945—1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951—1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959—1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962—1964), dan Komandan RPKAD (1964—1967).

RPKAD adalah usaha Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (yang kemudian akan menjadi Kopassus) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandan unit elit ini berkat Ahmad Yani. Pada tahun 1964, Yani telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.[2]

Menumpas Gerakan G30S

[sunting | sunting sumber]

Selama Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD Gerakan 30 September terjadi.

Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sementara proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung telekomunikasi.

Hari dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung, Jakarta. Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas Kostrad dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta. Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Panglima Kostrad diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat. Setelah memberikan banyak pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.[3]

Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S. Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak Soeharto.

Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang (batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah). Ketika pukul 06:00 petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.

Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S. Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.

Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru

[sunting | sunting sumber]

Setelah mengambil alih Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung dengan Soeharto karena keduanya dipanggil ke Bogor oleh Presiden Soekarno. Sementara Soeharto diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie terkejut dengan ketidakpekaan Soekarno dengan kematian enam Jenderal. Sarwo Edhi bertanya "Di mana para Jenderal?", Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?".[4]

Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari sumur Lubang Buaya.

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat oleh Soekarno. Pada saat itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dituduh sebagai penyebab dari G30S dan sentimen anti-Komunis telah membangun cukup untuk mendapatkan momentum. Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di lahan subur komunis di Jawa Tengah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pembunuhan massal pada bulan Oktober-Desember 1965 di Jawa, Bali, dan beberapa bagian dari Sumatra.

Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama berbulan-bulan. Jumlah perkiraan awal sedikitnya setengah juta orang dan satu juta orang paling banyak menjadi korban.[5] Pada bulan Desember 1965, angka yang diberikan kepada Soekarno adalah 78.000 meskipun setelah ia jatuh, hal itu direvisi menjadi 780.000. Angka 78.000 itu adalah sebuah cara untuk menyembunyikan jumlah korban tewas dari Soekarno.[6] Spekulasi terus berlanjut sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus tampaknya telah menetapkan sekitar 400.000 jiwa.[6] Akhirnya, pada tahun 1989, sebelum kematiannya, Sarwo Edhie memberi pengakuan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa 3 juta orang[7] tewas dalam pertumpahan darah ini.

Pada awal tahun 1966, sentimen anti-Komunis dikombinasikan dengan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan Soekarno mulai kehilangan popularitasnya di mata Rakyat. Saat itu terjadi protes anti-Soekarno, yang dipimpin oleh gerakan pemuda seperti dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pada 10 Januari 1966, KAMI mengeluarkan tiga tuntutan kepada Soekarno. Mereka ingin PKI harus dilarang, simpatisan PKI dalam Kabinet ditangkap, dan harga-harga harus diturunkan.

Soeharto menyadari pentingnya dalam menyelaraskan Angkatan Darat dengan para pengunjuk rasa. Selama bulan-bulan pertama tahun 1966, Sarwo Edhie bersama-sama dengan Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris aktif menyelenggarakan dan mendukung protes sementara membuat nama untuk dirinya sendiri di antara para pengunjuk rasa KAMI dalam proses.[8] Pada 26 Februari 1966, KAMI secara resmi dilarang oleh Soekarno tetapi dengan dorongan dari Sarwo Edhie dan Kemal mereka masih terus memprotes. Dalam menunjukkan solidaritas dengan mahasiswa, Sarwo Edhie terdaftar di Universitas Indonesia.[9]

Meskipun ia tumbuh menjadi lawan politik terbesar Soekarno, Soeharto, seorang tradisionalis Jawa yang kuat, selalu berhati-hati untuk menghindari menantang Soekarno secara langsung. Namun pada Maret 1966, ia siap untuk memaksa Soekarno. Pada awal bulan, ia memerintahkan RPKAD untuk menangkap simpatisan PKI dalam kabinet Soekarno. Suharto berubah pikiran di menit terakhir, berpikir bahwa keamanan Soekarno mungkin dapat dikompromikan. Namun, itu sudah terlambat untuk menarik perintah.

Pada pagi hari 11 Maret 1966, pada saat rapat kabinet di mana Soeharto tidak hadir, Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung Istana Presiden tanpa identifikasi. Soekarno, takut dirinya dievakuasi ke Bogor. Kemudian pada hari itu juga ia mentransfer kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto melalui surat yang disebut Supersemar.

Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatra dan menjadi Panglima Kodam II/Bukit Barisan. Di Sumatra, Sarwo Edhie lanjut melemahkan kekuasaan Soekarno dengan melarang Partai Nasional Indonesia (PNI) di seluruh pulau.

Penentuan Pendapat Rakyat

[sunting | sunting sumber]

Untuk hal ini, Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat untuk menjadi Panglima Kodam XVII/Cendrawasih. Ia memimpin di sana hingga terselenggaranya "Penentuan Pendapat Rakyat", di mana Indonesia menganeksasi wilayah tanpa memegang referendum penuh, Sarwo Edhie memainkan peran utama dalam menghancurkan resistensi Papua.[10]

Kehidupan pribadi

[sunting | sunting sumber]

Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah binti Danu Sunarto, mereka mempunyai 7 anak: Widjiasih Tjahjasasi, Wirahasti Tjendrawasih, Kristiani Herrawati, Mastuti Rahaju, Pramono Edhie Wibowo, Retno Tjahjaningtyas dan Hartanto Edhie Wibowo. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden keenam Republik Indonesia, adalah menantunya yang menikah dengan Kristiani Herrawati.

Meninggal Dunia

[sunting | sunting sumber]

Sarwo Edhie meninggal pada 9 November 1989 pada usia 64 tahun karena penyebab alami. Ia dimakamkan di daerah asalnya di tempat pemakaman keluarga Purworejo tepatnya di Kampung Ngupasan, Kelurahan Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah.[11]

Riwayat Jabatan

[sunting | sunting sumber]
  • Komandan Batalion Divisi Diponegoro (1945-1951)
  • Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953)
  • Wakil Komandan Resimen AMN (1959-1961)
  • Wadan RPKAD (1962-1964)
  • Komandan RPKAD (1964-1967)
  • Pangdam II/Bukit Barisan (1967-1968)
  • Pangdam XVII/Tjenderawasih (1968-1970)
  • Gubernur AKABRI (1970-1974)

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003" (PDF). www.setneg.go.id. Diakses tanggal 17 Oktober 2024.
  2. ^ Djarot, Eros; et al. (2006). Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S PKI (dalam bahasa Indonesia) (Edisi 1). Tangerang: PT Agromedia Pustaka. hlm. 63. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  3. ^ Dake, Antonie C.A (2005). Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan (dalam bahasa Indonesian) (Edisi 4). Jakarta: Aksara Karunia. hlm. 111. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  4. ^ Dake, Antonie C.A (2005). Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan (dalam bahasa Indonesian) (Edisi 4th). Jakarta: Aksara Karunia. hlm. 194. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  5. ^ Hughes, John (2002). The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild. Singapore: Archipelago Press. hlm. 194. ISBN 981-4068-65-9.
  6. ^ a b Hughes, John (2002). The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild. Singapore: Archipelago Press. hlm. 195. ISBN 981-4068-65-9.
  7. ^ Kolektif Info Coup d'etat 65:. - Dokumen[pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Elson, Robert (2001). Suharto: A Political Biography. UK: The Press Syndicate of the University of Cambridge. hlm. 130. ISBN 0-521-77326-1.
  9. ^ Elson, Robert (2001). Suharto: A Political Biography. UK: The Press Syndicate of the University of Cambridge. hlm. 134. ISBN 0-521-77326-1.
  10. ^ TAPOL, the Indonesian Human Rights Campaign
  11. ^ "Biografi Sarwo Edhie Wibowo". Diarsipkan dari asli tanggal 2014-01-28. Diakses tanggal 2014-07-23.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  • flagPortal Indonesia
  • (Indonesia) Sarwo Edhie Wibowo (1925-1989) Jenderal Brilian dan Jujur Diarsipkan 2013-10-04 di Wayback Machine.
Jabatan militer
Didahului oleh:
R. Bintoro
Pangdam Trikora
1968—1970
Diteruskan oleh:
Acub Zaenal
Didahului oleh:
Mung Parhadimulyo
Danjen Kopassus
1964—1967
Diteruskan oleh:
Widjoyo Suyono
Jabatan diplomatik
Didahului oleh:
Leonardus Benyamin Moerdani
Pejabat Duta Besar
Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan
1974—1978
Diteruskan oleh:
Kaharuddin Nasution
  • l
  • b
  • s
Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden Indonesia ke-6
Keluarga
Orang tua
  • Raden Soekotjo (ayah)
  • Siti Habibah (ibu)
  • Sarwo Edhie Wibowo (ayah mertua)
  • Sunarti Sri Hadiyah (ibu mertua)
Pasangan dan saudara
  • Kristiani Herrawati (istri)
  • Aulia Pohan (besan)
  • Hatta Rajasa (besan)
  • Pramono Edhie Wibowo (ipar)
  • Hartanto Edhie Wibowo (ipar)
  • Erwin Sudjono (ipar)
  • Hadi Utomo (ipar)
  • Gatot Mudiantoro Suwondo (ipar)
Generasi ke-2
  • Agus Harimurti Yudhoyono (anak)
  • Annisa Pohan (menantu)
  • Edhie Baskoro Yudhoyono (anak)
  • Siti Ruby Aliya Rajasa (menantu)
  • Nurcahyo Anggorojati (keponakan)
  • Bramantyo Suwondo (keponakan)
  • Indrata Nur Bayuaji (keponakan)
Generasi ke-3
  • Almira Tunggadewi Yudhoyono (cucu)
  • Airlangga Satriadhi Yudhoyono (cucu)
  • Pancasakti Maharajasa Yudhoyono (cucu)
  • Gayatri Idalia Yudhoyono (cucu)
  • Alisha Prameswari Yudhoyono (cucu)
Almamater
  • Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
  • SMA Taruna Nusantara
Masa pemerintahan
  • Pelantikan pertama Susilo Bambang Yudhoyono
  • Bom Bali 2005
  • Banjir lumpur panas Sidoarjo
  • Banjir Jakarta 2007
  • 100% Cinta Indonesia
  • Tahun Kunjungan Indonesia 2008
  • Pemilihan umum Presiden Indonesia 2009
  • Pelantikan kedua Susilo Bambang Yudhoyono
  • Pengeboman Jakarta 2009
  • Aliran dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Century
    • Panitia Khusus Hak Angket Bank Century
  • Bantuan Siswa Miskin
  • Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
← Didahului: Megawati Soekarnoputri
Digantikan: Joko Widodo →
Pengawasan otoritas Sunting ini di Wikidata
Umum
  • ISNI
    • 1
  • VIAF
    • 1
  • WorldCat (via VIAF)
Perpustakaan nasional
  • Amerika Serikat
Lain-lain
  • Faceted Application of Subject Terminology
  • SUDOC (Prancis)
    • 1
  • Trove (Australia)
    • 1
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sarwo_Edhie_Wibowo&oldid=27188426"
Kategori:
  • Galat CS1: penggunaan et al.
  • Kelahiran 1925
  • Kematian 1989
  • Meninggal usia 64
  • Anggota Pembela Tanah Air
  • Duta Besar Indonesia
  • Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan
  • Tokoh Kopassus
  • Komandan Jenderal Kopassus
  • Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih
  • Susilo Bambang Yudhoyono
  • Tokoh dari Purworejo
  • Tokoh Jawa
  • Tokoh Jawa Tengah
  • Tokoh Orde Baru
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui
  • Artikel dengan pranala luar nonaktif
  • Artikel dengan pranala luar nonaktif permanen
  • Galat CS1: parameter tidak didukung
  • Artikel biografi dengan tabel penghargaan
  • Semua orang yang sudah meninggal
  • Tanggal kelahiran 25 Juli
  • Tanggal kematian 9 November
  • Artikel dengan templat lahirmati
  • Semua artikel biografi
  • Artikel biografi April 2025
  • Templat webarchive tautan wayback
  • Artikel Wikipedia dengan penanda ISNI
  • Artikel Wikipedia dengan penanda VIAF
  • Artikel Wikipedia dengan penanda LCCN
  • Artikel Wikipedia dengan penanda FAST
  • Artikel Wikipedia dengan penanda SUDOC
  • Artikel Wikipedia dengan penanda Trove
  • Artikel Wikipedia dengan penanda WorldCat-VIAF

Best Rank
More Recommended Articles