Tebello Nyokong

Tebello Nyokong OMB , FRS , FRSSAf (lahir 20 Oktober 1951) adalah seorang ahli kimia asal Afrika Selatan dan profesor terkemuka di Universitas Rhodes. Ia juga merupakan penerima penghargaan Order of Mapungubwe, salah satu penghargaan tertinggi di Afrika Selatan.^[1]

Pada tahun 2009, ia menerima L’Oréal-UNESCO Award for Women in Science sebagai perwakilan dari Afrika dan negara-negara Arab.^[2] Selain itu, ia juga dianugerahi Medali Emas dari Institut Kimia Afrika Selatan pada tahun 2012,^[3] dan dinobatkan sebagai salah satu dari 10 Wanita Paling Berpengaruh di Bidang Sains dan Teknologi di Afrika oleh IT News Africa.^[4]

Saat ini, Nyokong tengah meneliti terapi fotodinamik, yaitu metode pengobatan alternatif untuk kanker yang lebih aman dibandingkan kemoterapi.^[4][5]

Pada tahun 2007, ia termasuk dalam tiga besar ilmuwan dengan publikasi terbanyak di Afrika Selatan. Kemudian, pada tahun 2013, ia menerima Penghargaan Prestasi Seumur Hidup dari National Research Foundation (NRF).^[6]

Tebello Nyokong lahir di Maseru, Lesotho, pada 20 Oktober 1951. Ia menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Afrika Selatan.^[7]

Nyokong berasal dari keluarga kurang mampu dan menghadapi banyak tantangan sejak kecil. Ia sempat tinggal bersama kakek-neneknya di pegunungan Lesotho, di mana ia bergantian antara merawat domba dan bersekolah. Dalam sebuah surat yang ia tulis untuk dirinya sendiri saat berusia 18 tahun, Nyokong menyampaikan pesan bahwa kemiskinan materi bukanlah penghalang untuk sukses dalam bidang akademik.^[8]

Ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang kimia dan biologi dari Universitas Nasional Lesotho pada tahun 1977. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan magister kimia di Universitas McMaster, Ontario, Kanada, pada tahun 1981. Pada tahun 1987, ia meraih gelar doktor (PhD) di bidang kimia dari Universitas Western Ontario.^[6]

Setelah menyelesaikan studinya, ia mendapatkan beasiswa dari Program Fulbright untuk melanjutkan studi pascadoktoralnya di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat.

Setelah menyelesaikan beasiswa Fulbright di Amerika Serikat, Nyokong sempat kembali ke Lesotho untuk mengambil posisi di Universitas Lesotho sebelum kemudian menjadi dosen di Universitas Rhodes pada tahun 1992.^[5] National Research Foundation memberikan penilaian tinggi kepadanya dan mendukung Nyokong dalam memperoleh laboratorium riset di universitas tersebut.^[1] Tak lama kemudian, ia naik jabatan dari dosen menjadi profesor, lalu menjadi profesor terkemuka.^[1] Ia dikenal berkat penelitiannya di bidang nanoteknologi, serta karyanya dalam terapi fotodinamik. Penelitiannya yang inovatif di bidang terapi ini membuka jalan bagi metode pendeteksian dan pengobatan kanker yang lebih aman, tanpa efek samping parah seperti yang terjadi pada kemoterapi.^[5]

Kelompok riset Nyokong terlibat dalam pengembangan obat nano multifungsi untuk diagnostik dan terapi dengan cara menghubungkan secara kimiawi logam, magnetik, atau semikonduktor nanopartikel dengan fotosensitizer ftalosianina yang bersifat fotoaktif.^[9] Nanopartikel ini dirancang agar terkumpul di area target karena efek permeabilitas dan retensi yang ditingkatkan (EPR). Nanopartikel dapat dimodifikasi dengan berbagai gugus fungsi untuk bertindak sebagai fotosensitizer atau pembawa obat, sehingga menjadi alat terapi serba guna. Alat ini mampu menyerap spektrum cahaya yang luas dan mengubahnya menjadi spesies fototoksik di dalam sel tumor, sehingga memungkinkan penghancuran target dengan intensitas cahaya dan dosis obat yang lebih rendah.^[9]

Nyokong juga menyoroti tantangan ilmiah menarik di bidangnya, yaitu mengembangkan bahan hibrida yang lebih baik sebagai fotokatalis, yang tidak hanya memiliki nilai terapeutik dan ketahanan terhadap mikroorganisme, tetapi juga ramah lingkungan dan tidak mencemari.^[10]

Pada tahun 2014, ia menjadi profesor di Universitas Rhodes di Grahamstown. Nyokong juga menjadi subjek potret fotografi dalam proyek 21 icons karya Adrian Steirn,^[11] yang menggambarkannya kembali ke peran masa kecilnya sebagai gembala, tetapi kini sebagai orang dewasa dengan jas laboratorium putih, melambangkan transformasinya menjadi ilmuwan terkemuka. Salinan foto tersebut dijual untuk amal.^[12]

Pada tahun 2021, Nyokong ikut menulis sebuah artikel di Nature Materials yang menyoroti berbagai hambatan yang dihadapi peneliti di Afrika.^[13] Ia dan rekan-rekannya menulis bahwa meskipun pemerintah membiayai gaji universitas dan pemeliharaan dasar, kemitraan internasional tetap diperlukan untuk mendanai riset secara lebih mendalam. Mereka juga menekankan bahwa kolaborasi yang lebih luas akan membangun komunitas ilmiah yang lebih terintegrasi dan mendorong upaya mengatasi "kesenjangan inovasi" yang memisahkan penelitian akademik dari produk yang dapat dipasarkan.^[13]

Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada Maret 2025.