Tongklek
Artikel ini mungkin memuat teks yang disalin secara bulat-bulat dari situs web kecerdasan buatan. |
| Nama lain | Musik Patrol, Oklik |
|---|---|
| Jenis | Musik patrol tradisional |
| Asal | Pesisir Utara Jawa Timur (Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan) |
| Instrumen utama | Kentongan (bambu), bedug/drum, gong, saron |
| Fungsi | Gugah sahur, Siskamling, Seni pertunjukan |
Tongklek (dikenal juga sebagai oklik atau musik patrol) adalah kesenian musik tradisional yang berasal dari masyarakat Suku Jawa di wilayah Pesisir Utara (Pantura) Jawa Timur, terutama di Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Lamongan.[1] Kesenian ini pada mulanya berfungsi sebagai musik patrol ronda untuk membangunkan warga saat sahur (gugah sahur) pada Bulan Ramadhan.
Dalam perkembangannya, tongklek bertransformasi menjadi sebuah seni pertunjukan yang sering dilombakan dalam festival dan ditampilkan dalam berbagai acara kebudayaan, seperti sedekah bumi atau perayaan hari besar.[2]
Etimologi
Nama "tongklek" diduga berasal dari onomatope, atau tiruan bunyi dari instrumen utamanya. Bunyi "tong" dihasilkan dari suara kentongan bambu yang berukuran besar, sementara bunyi "klek" berasal dari kentongan yang lebih kecil. Perpaduan bunyi inilah yang kemudian menjadi sebutan bagi kesenian ini.[3]
Sejarah dan Perkembangan
Tongklek lahir dari tradisi masyarakat agraris dan religius di Jawa. Pada awalnya, kegiatan ronda malam untuk menjaga keamanan desa (siskamling) dilakukan dengan membunyikan kentongan. Saat Bulan Ramadhan tiba, kegiatan ini diadaptasi menjadi sarana untuk membangunkan warga untuk makan sahur. Para peronda berkeliling desa sambil memainkan irama musik sederhana menggunakan kentongan dan alat-alat seadanya.[2]
Seiring waktu, musik yang dimainkan menjadi semakin kompleks. Instrumen lain seperti drum, jidor, gong, dan bahkan instrumen gamelan sederhana seperti saron dan kenong mulai ditambahkan untuk memperkaya harmoni. Pada akhir abad ke-20, tongklek mulai diangkat menjadi seni pertunjukan. Pemerintah daerah dan komunitas lokal mulai menyelenggarakan festival dan lomba tongklek untuk melestarikan tradisi ini. Akibatnya, tongklek yang semula hanya musik keliling (mobile) kini juga sering ditampilkan di atas panggung (stationer) dengan aransemen yang lebih modern dan koreografi yang menarik.[1]
Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam kesenian tongklek dapat bervariasi antar daerah, namun beberapa instrumen inti yang selalu ada adalah:
- Kentongan: Alat musik utama yang terbuat dari bambu. Dalam satu grup tongklek, biasanya terdapat berbagai ukuran kentongan untuk menghasilkan nada yang berbeda-beda, mulai dari bass hingga melodi.
- Bedug atau Drum: Berfungsi sebagai penjaga tempo dan pemberi hentakan bass.
- Gong: Digunakan untuk menandai siklus irama dalam musik.
- Instrumen Melodi: Sering kali menggunakan gamelan pelog atau slendro sederhana seperti saron, demung, atau peking. Dalam versi modern, tidak jarang ditambahkan alat musik seperti angklung, seruling, bahkan keyboard untuk memperkaya melodi.
- Perkusi Tambahan: Alat-alat seperti jidor, kendang, dan kecrek sering digunakan untuk menambah dinamika musik.
Fungsi Sosial
Kesenian tongklek memiliki beberapa fungsi penting dalam kehidupan masyarakat, antara lain:
- Fungsi Ritual dan Religi: Sebagai sarana untuk membangunkan sahur selama Bulan Ramadhan, yang menjadi fungsi aslinya.
- Fungsi Keamanan: Sebagai musik pengiring ronda malam untuk menjaga keamanan lingkungan.
- Fungsi Hiburan: Menjadi seni pertunjukan yang menghibur masyarakat dalam berbagai perayaan dan festival.
- Fungsi Pelestarian Budaya: Melalui festival dan lomba, tongklek menjadi media untuk mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi muda.
- Identitas Komunitas: Grup tongklek sering kali menjadi kebanggaan dan identitas bagi sebuah desa atau komunitas.[3]
Upaya Pelestarian
Di berbagai daerah asalnya, tongklek terus dilestarikan melalui berbagai cara. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, misalnya, secara rutin mengadakan Festival Musik Tongklek setiap tahun untuk menyemarakkan Bulan Ramadhan.[2] Selain itu, banyak sanggar seni dan kelompok karang taruna yang aktif membentuk grup-grup tongklek dan berpartisipasi dalam berbagai acara kebudayaan. Di Desa Sukorejo, Tuban, tongklek menjadi salah satu kesenian yang wajib tampil dalam Festival Seni Sukorejo.
Upaya ini tidak hanya menjaga tongklek dari kepunahan tetapi juga mendorong kreativitas para senimannya untuk terus berinovasi dalam aransemen musik dan penampilan.
Referensi
- 1 2 Firmansyah, M. Ilham Dwi (2018). "PERKEMBANGAN MUSIK TONGKLEK SEBAGAI SARANA DAKWAH DI KECAMATAN SUMBERREJO KABUPATEN BOJONEGORO" (PDF). Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah. Universitas Muhammadiyah Malang. Diakses tanggal 24 September 2025.
- 1 2 3 "Menilik Sejarah Kesenian Oklik atau Tongklek di Bojonegoro". Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. 28 Maret 2023. Diakses tanggal 24 September 2025.
- 1 2 Firmansyah, Deni; Putra, Dimas Maulana (2021). "Musik Tongklek sebagai Identitas Budaya Masyarakat Desa Sambongrejo di Kabupaten Bojonegoro". Gondang: Jurnal Seni dan Budaya. 5 (2): 152–161. doi:10.24114/gondang.v5i2.28585. Diakses tanggal 24 September 2025.

