Wayang Topeng Duwet
Wayang Topeng Duwet adalah tradisi wayang topeng khas dari Kalurahan Duwet, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, DIY. Pertunjukan ini secara resmi telah diakui sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia.[1]
Sejarah dan latar budaya
Wayang Topeng Duwet diperkirakan muncul setelah Perjanjian Giyanti (1755), ketika Keraton Yogyakarta memberikan tiga topeng utama—Klana Sewandana,[2] Bancak, dan Doyok—kepada masyarakat Duwet.[3] Awalnya berfungsi sebagai kesenian rakyat untuk hiburan, seni ini kemudian menjadi bagian penting dalam ritual Nyadran Sumur Soka, yaitu tradisi tahunan membersihkan dan mensucikan sumur desa.[4]
Meskipun sempat vakum saat masa konfrontasi politik 1965 karena pelaku seni dituduh terkait Lekra, Wayang Topeng Duwet kembali hidup pada 1979 di bawah pimpinan Pawiro Taruno. Kemudian berlanjut regenarasi sejak 2000-an, dipimpin oleh Nardi Purwanto dan penerus muda Bagas Wisnu Admaja (Inu), yang mulai melatih generasi baru agar tradisi ini tidak punah.[1]
Pelaksanaan
Pertunjukan menampilkan para dalang dan penari mengenakan topeng yang khas, bergaya wayang tradisional dengan topeng batik dan desain simbolik—misalnya Klana Sewandana merah menggambarkan antagonis dan Bancak atau Doyok sebagai karakter lain. Naluri ritual diwujudkan dalam adegan simbolik dan musik gamelan yang mengiringi. Pementasan biasanya berlangsung saat Nyadran Sumur Soka, menyatu dengan upacara doa dan bersih sumur desa.[1]
Nilai dan upaya pelestarian
Wayang Topeng Duwet mencerminkan simbol kekerabatan antara masyarakat Gunung Kidul dan Keraton Yogyakarta, serta memperkuat rasa komunitas melalui ritual tahunan. Kearifan lokalnya tercermin pada pengakuan spiritual terhadap sumur dan alam, serta keberhasilan regenerasi yang menjaga kesinambungan budaya.[5]
Wayang Topeng Duwet telah mendapat status Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia melalui pengakuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menjadikannya bagian dari senarai budaya takbenda DIY.[6] Pelestari seperti Nardi dan Bagas Inu terus menggelar pelatihan bagi anak muda, didukung oleh masyarakat dan pihak desa melalui acara ritual Nyadran. Tradisi ini pun mulai diperkenalkan dalam festival budaya lokal untuk memperluas apresiasi publik dan menjamin regenerasi. Program desa wisata juga menjadi salah satu cara untuk mengenalkan Wayang Topeng Duwet ke masyarakat luas serta wisatawan. Selain itu, kolaborasi dengan seniman dan akademisi dilakukan untuk mengembangkan narasi dan bentuk pertunjukan agar tetap relevan di era modern.
Referensi
- ^ a b c "Mengenal Wayang Topeng Duwet Sebagai Warisan Budaya". Star Jogja FM. 2024-08-31. Diakses tanggal 2025-06-19.
- ^ Fardi, Muhammad Iqbal Al. "Sakralnya Topeng Klana Sewandana Gunungkidul yang Hanya Bisa Dipakai Keturunan". detikjogja. Diakses tanggal 2025-06-19.
- ^ Fardi, Muhammad Iqbal Al. "Penampakan 3 Topeng Keramat Konon Warisan 5 Generasi di Gunungkidul". detikjogja. Diakses tanggal 2025-06-19.
- ^ Dayanto, Swasto. "Mengenal Wayang Topeng Duwet yang menjadi bagian dari Nyadran Sumur Soka di Kalurahan Duwet, Gunungkidul - Harian Merapi". Mengenal Wayang Topeng Duwet yang menjadi bagian dari Nyadran Sumur Soka di Kalurahan Duwet, Gunungkidul - Harian Merapi. Diakses tanggal 2025-06-19.
- ^ Saputri, Arisa F. N. (2023). Skripsi: Eksistensi Wayang Topeng Duwet di Desa Duwet, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: FSP ISI Yogyakarta. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Rinepta, Adji G. "Daftar Warisan Budaya Tak Benda Terbaru di DIY, Simak Berikut". detikjateng. Diakses tanggal 2025-06-19.