Kamaratih
![]() | |
Tokoh mitologi Jawa dan Bali | |
Nama | Kamaratih |
Ejaan Jawa | ꦏꦩꦫꦠꦶꦃ (Kamaratih) |
Ejaan Bali | ᬓᬫᬭᬢᬶᬄ (Kamaratih) |
Nama lain | Sang Hyang Ratih (ᬲᬂᬳ᭄ᬬᬂᬭᬢᬶᬄ) |
Gelar | dewi cinta, dewi kecantikan, dewi keharmonisan rumah tangga, dewi bulan |
Ayah | Batara Soma |
Suami | Kamajaya |
Dewi Kamaratih atau Dewi Ratih adalah dewi cinta, kecantikan, keharmonisan rumah tangga, dan bulan dalam kepercayaan Hindu Jawa dan Hindu Bali. Tokoh ini merupakan adaptasi dari dewi Hindu "Ratih" (रति), istri Kamadewa alias Kamajaya (dewa cinta). Kisah mereka terdapat dalam tradisi pertunjukan wayang di Jawa dan Bali, serta tercatat dalam karya sastra Jawa Kuno yang berjudul Smaradahana (abad ke-12).
Saat masyarakat adat Jawa mengadakan selamatan pertama untuk wanita hamil, mereka menyuguhkan kelapa gading yang digambari figur Kamajaya dan Kamaratih dengan harapan agar bayinya mendapat berkah dari dewa-dewi tersebut.[1]
Dalam cerita rakyat Bali, Dewi Ratih disebut pula Sang Hyang Ratih, dan identik sebagai dewi bulan. Ia dipuja bersama Sang Hyang Semara (Kamajaya) sebagai pasangan dewa-dewi pembawa keharmonisan rumah tangga, dan keduanya sering disebut dengan istilah "Sang Hyang Semara Ratih" (ᬲ᭄ᬫᬭᬭᬢᬶᬄ; Smararatih). Kisah Dewi Ratih juga identik dengan Kala Rau, dan dituturkan sebagai penjelasan tradisional atas fenomena gerhana bulan.[2][3]
Pewayangan Jawa

Dalam tradisi pertunjukan wayang yang dipengaruhi kepercayaan Hindu, Dewi Kamaratih digambarkan berwajah sangat cantik, sehingga Batara Narada menyatakan bahwa kecantikan para bidadari terbagi menjadi dua: yang satu untuk Dewi Kamaratih, sedangkan yang separuh lagi untuk para bidadari lainnya.[1] Dalam pewayangan Jawa, Dewi Kamaratih digambarkan berhidung mancung dan berwajah mendongak, dengan rambut terurai lepas atau udal.[1]
Dalam kepercayaan Hindu dari India, Ratih merupakan salah satu putri Prajapati Daksa. Berbeda dengan tradisi Hindu India, Kamaratih di Jawa merupakan putri Batara Soma (dewa bulan). Pernikahan dengan Batara Kamajaya menjadikannya menantu Sang Hyang Ismaya alias Semar. Kamaratih dan Kamajaya tinggal di Kahyangan Cakrakembang dan selalu hidup rukun.[1]
Menurut lakon pewayangan Jawa yang mengadaptasi wiracarita Mahabharata, Kamaratih ditugaskan untuk memberikan anugerah yang disebut "Wahyu Hidayat" kepada Putri Utari, anak bungsu Prabu Matswapati (penguasa Wirata) dan Permaisuri Dewi Ni Yutisnawati (Setyawati). Kemudian terungkap bahwa Wahyu Hidayat merupakan pasangan bagi "Wahyu Cakraningrat" yang dianugerahkan oleh Batara Kamajaya kepada Raden Abimanyu (Angkawijaya), putra Arjuna dengan Dewi Sumbadra.[4]
Mitologi
Pengorbanan Kamajaya
Dalam kakawin Smaradahana, dikisahkan bahwa seorang raja raksasa bernama Nilarudraka membuat kekacauan di dunia, sehingga para dewa memutuskan untuk meminta bantuan Dewa Siwa yang sedang bertapa di gunung Wisesa. Atas saran Dewa Brahma, diutuslah Kamajaya untuk membangungkan Siwa dari pertapaannya dengan cara menembakkan panah. Tak disangka, usaha Kamajaya membuat Siwa murka. Api kemarahan yang muncul dari tubuh Siwa segera membakar Kamajaya sampai menjadi abu.[5]
Berita kematian Kamajaya akhirnya disampaikan kepada Dewi Ratih oleh Dewa Surapati. Dewi Ratih pun segera menuju ke Gunung Wisesa untuk menengok jasad suaminya yang telah menjadi abu. Atas permohonan Dewa Wrehaspati, Siwa menghidupkan Kamajaya tetapi tanpa raga, hanya berwujud roh saja. Ia pun mengganti nama Kamajaya menjadi Kusumayuda. Siwa juga menyarankan Dewi Ratih untuk menyusul suaminya. Sebagai gantinya, roh Dewi Ratih akan menitis kepada setiap perempuan yang ada di Bumi untuk menghasilkan keturunan. Dewi Ratih pun membakar diri (bela pati) sesuai saran Siwa. Menurut kisah, wanita pertama yang memperoleh titisan Dewi Ratih ialah Dewi Uma. Dia memiliki keturunan yang diberi nama Batara Gana atau Ganesa.[6][7]
Asal mula gerhana bulan

Di kalangan orang Bali, Dewi Ratih identik dengan bulan, terutama saat purnama. Dalam cerita rakyat Bali dikisahkan bahwa seorang raksasa bernama Kala Rau menyatakan perasaannya kepada Dewi Ratih, tetapi sang dewi menolaknya.[2] Raksasa Kala Rau dikenal sangat sakti dan menjadi momok para dewa. Suatu ketika, ia berhasil menenggak ramuan keabadian yang disebut tirta amerta dengan cara beralih rupa menjadi Batara Kuwera. Namun, Dewa Wisnu berhasil mengenali penyamarannya dan segera memenggal kepala sang raksasa. Karena tirta amerta telah menyentuh kerongkongan sang raksasa, ia tidak bisa mati meskipun hanya tersisa kepala saja.[3]
Ketika sedang melayang-layang di angkasa, Kala Rau berpapasan dengan Dewi Ratih yang bersinar cemerlang dalam fase bulan purnama. Hasrat Kala Rau untuk memiliki Dewi Ratih timbul kembali. Ia pun menelan Dewi Ratih. Namun karena Kala Rau tidak memiliki badan, Dewi Ratih selalu lolos setiap ditelan oleh Kala Rau.[2]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c d Sunardi I.D.M. (1995), Arjuna Wiwaha, Jakarta: Balai Pustaka, ISBN 9789794075746
- ^ a b c Made Taro (2004), Cerita Rakyat Dari Bali 3 (dalam bahasa Indonesia), Jakarta: Grasindo, ISBN 9789797322014 Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
- ^ a b Firdaus; Rani Nuraeni; Sindi Meriana, Cerita Rakyat Nusantara, vol. 6, Jakarta: Erlangga for Kids, ISBN 9789797814137 Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
- ^ Sunardi I.D.M. (January 1988), Arjuna krama, PT Balai Pustaka (Persero), ISBN 9789794071427
- ^ Soejipto Abimanyu (2024), Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Diva Press, ISBN 9786231893727
- ^ Dwi Woro Retno Mastuti (Oktober 2005), "Kutukan dan Berkah dalam Cerita Jawa Kuna", Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, vol. VII, Jakarta: Gramedia, ISSN 1411-2272
- ^ YPB Wiratmoko, Cerita Rakyat Bojonegoro, Jakarta: Grasindo