More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Kasus turunan minyak sawit Indonesia Uni Eropa - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kasus turunan minyak sawit Indonesia Uni Eropa - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kasus turunan minyak sawit Indonesia Uni Eropa

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kasus Turunan Minyak Sawit Indonesia-Uni Eropa (DS593: Indonesia – Palm Oil)
Pihak Terkait Indonesia
Uni Eropa
Objek Sengketa
  • Kebijakan Uni Eropa terkait kelapa sawit, terutama Direktif Energi Terbarukan II (RED II) dan Peraturan Uni Eropa tentang Produk Bebas Deforestasi (EUDR)
Arena Utama
  • Perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (IEU-CEPA)
Periode Kunci2018–sekarang
Status Saat Ini
  • Panel WTO memenangkan sebagian gugatan Indonesia; Uni Eropa diwajibkan menyesuaikan regulasi.
  • Perundingan IEU-CEPA berlanjut dengan pembahasan "protokol khusus" untuk kelapa sawit.
Argumen Utama
  • Indonesia: Kebijakan UE bersifat diskriminatif, proteksionis, dan merupakan hambatan non-tarif.
  • Uni Eropa: Regulasi diperlukan untuk mencapai tujuan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, dan memerangi deforestasi.

Kasus turunan minyak sawit Indonesia Uni Eropa adalah serangkaian sengketa perdagangan multilateral, yang mencakup tantangan hukum di Organisasi Perdagangan Dunia (bahasa Inggris: World Trade Organization, disingkat WTO), penerapan kebijakan regulasi lingkungan oleh Uni Eropa (UE) seperti Direktif Energi Terbarukan II (bahasa Inggris: Renewable Energy Directive II, disingkat RED II) dan Peraturan Uni Eropa tentang Produk Bebas Deforestasi (bahasa inggris: European Union Deforestation Regulation, disingkat EUDR) yang membatasi akses pasar tidak hanya untuk minyak sawit mentah (bahasa Inggris: Crude Palm Oil, disingkat CPO) tetapi juga berbagai produk turunannya, serta negosiasi diplomatik dalam kerangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (bahasa Inggris: Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement, disingkat IEU-CEPA).[1] Sengketa ini berpusat pada tuduhan diskriminasi perdagangan yang berbenturan dengan tujuan perlindungan lingkungan, yang memengaruhi akses pasar dan keberlanjutan produk kelapa sawit Indonesia.[2]

Konflik ini melibatkan Pemerintah Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, dan Uni Eropa, sebagai salah satu pasar utama sekaligus regulator yang menetapkan standar lingkungan yang ketat.[3] Inti dari perselisihan ini adalah kebijakan UE yang mengklasifikasikan minyak sawit sebagai komoditas "berisiko tinggi" terhadap perubahan penggunaan lahan tidak langsung (bahasa Inggris: Indirect Land Use Change atau ILUC) dan deforestasi. Dari perspektif Indonesia, kebijakan ini dianggap bersifat proteksionis dan diskriminatif, dirancang untuk melindungi produsen minyak nabati domestik UE yang kurang kompetitif.[4] Sebaliknya, Uni Eropa berargumen bahwa regulasi tersebut merupakan langkah esensial untuk mencapai tujuan iklim di bawah Perjanjian Paris dan melindungi keanekaragaman hayati global.[3]

Sengketa ini berlangsung di dua arena utama, yaitu pertarungan hukum di WTO, khususnya dalam sengketa DS593 yang diajukan oleh Indonesia, dan perundingan dagang yang intens dalam IEU-CEPA.[5] Pada Januari 2025, panel WTO memberikan kemenangan parsial bagi Indonesia, menyatakan bahwa beberapa aspek kebijakan UE memang melanggar aturan perdagangan internasional dan mewajibkan UE untuk menyesuaikan regulasinya.[3] Putusan ini memberikan momentum baru bagi Indonesia dalam negosiasi IEU-CEPA, yang mengarah pada diskusi mengenai "protokol khusus" untuk minyak sawit sebagai jalan tengah diplomatik.[6]

Latar Belakang Sejarah dan Ekonomi

[sunting | sunting sumber]

Peran Strategis Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia

[sunting | sunting sumber]
Perkebunan kelapa sawit tradisional yang dikelola dan dimiliki oleh masyarakat di Kabupaten Kampar, Riau

Komoditas kelapa sawit secara konsisten memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yang diperkirakan mencapai 4,5% dari total PDB.[7] Sektor ini menyumbang rata-rata $21,4 miliar per tahun dalam pendapatan ekspor dan merupakan komoditas ekspor non-migas terbesar bagi Indonesia. Pertumbuhan industri ini sangat pesat sejak akhir abad ke-20, yang mengantarkan Indonesia menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia, melampaui Malaysia.[2]

Di luar angka makroekonomi, dampak sosial industri ini sangat luas. Sektor kelapa sawit merupakan sumber mata pencaharian bagi jutaan masyarakat Indonesia, dengan perkiraan menyediakan hingga 17 juta lapangan pekerjaan baik secara langsung maupun tidak langsung.[8] Dari jumlah tersebut, sekitar 2,4 hingga 4 juta di antaranya adalah petani kecil atau pekebun swadaya.[2] Para petani kecil ini mengelola sekitar 41% dari total luas perkebunan kelapa sawit nasional, menjadikan mereka tulang punggung produksi sekaligus kelompok yang paling rentan terhadap gejolak pasar dan perubahan kebijakan internasional. Bagi jutaan keluarga di daerah pedesaan, perkebunan kelapa sawit telah menjadi motor penggerak pengentasan kemiskinan dan peningkatan standar hidup.[9]

Pasar Minyak Nabati Uni Eropa dan Dinamika Persaingan

[sunting | sunting sumber]
Kilang Kelapa Sawit Langkon

Uni Eropa merupakan salah satu pasar tujuan ekspor terpenting bagi minyak sawit Indonesia, dengan pangsa pasar Indonesia di UE pernah mencapai 47% pada tahun 2019.[10] Sebelum adanya pembatasan, sekitar 65% dari total impor minyak sawit tersebut digunakan sebagai bahan baku biofuel untuk sektor transportasi di UE, sementara sisanya dimanfaatkan dalam industri makanan (oleofood) dan oleokimia.[11][a] Ketergantungan ini muncul karena produksi minyak nabati domestik UE tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhannya.[12]

Namun, Uni Eropa juga merupakan produsen minyak nabati sendiri, terutama minyak kanola(rapeseed) dan minyak bunga matahari. Kedua komoditas ini menjadi andalan sektor pertanian di beberapa negara anggota UE seperti Prancis dan Jerman.[11] Meskipun demikian, perkebunan kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih unggul, yang mampu menghasilkan minyak 4 hingga 10 kali lipat lebih banyak per hektare dibandingkan kanola atau kedelai. Efisiensi yang tinggi ini membuat minyak sawit menjadi pesaing yang sangat kuat di pasar global, yang menekan harga minyak nabati lainnya.[8]

Kondisi ini memunculkan argumen dari pihak Indonesia bahwa kebijakan lingkungan Uni Eropa memiliki motif tersembunyi sebagai bentuk "proteksionisme hijau".[13] Rangkaian logikanya adalah sebagai berikut: (1) Industri minyak nabati domestik UE kurang efisien menghadapi persaingan ketat dari minyak sawit impor yang lebih murah[13]; (2) UE kemudian merancang regulasi lingkungan, seperti RED II, yang secara spesifik menargetkan minyak sawit melalui kriteria ILUC yang kontroversial[14]; (3) Kebijakan ini menghambat impor minyak sawit dan melindungi produsen kanola dan bunga matahari domestik di bawah justifikasi pelestarian lingkungan hidup. Sudut pandang inilah yang menjadi dasar gugatan Indonesia di WTO, menuduh UE menyalahgunakan kebijakan iklim untuk tujuan proteksionisme perdagangan.[4]

Evolusi Kebijakan Lingkungan dan Energi Terbarukan Uni Eropa

[sunting | sunting sumber]
Perkebunan Kelapa Sawit Kalimantan Timur diambil oleh European Space Agency

Pada awalnya, melalui RED I yang diadopsi pada tahun 2009, UE justru mendorong peningkatan penggunaan biofuel sebagai alternatif bahan bakar fosil. Kebijakan ini secara tidak langsung memicu lonjakan permintaan dan impor biofuel berbasis minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. [15][b] Namun, seiring meningkatnya impor, kesadaran publik dan tekanan dari organisasi lingkungan hidup di Eropa mengenai dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan emisi gas rumah kaca juga meningkat tajam.[16] Isu-isu ini menjadi sorotan media dan perdebatan politik, yang mendorong pergeseran paradigma dalam kebijakan UE. Salah satu titik balik awal adalah Amsterdam Declaration pada tahun 2015, di mana beberapa negara Eropa berkomitmen untuk mendukung rantai pasok minyak sawit yang 100% berkelanjutan.[11][c]

Pergeseran ini memuncak pada pengesahan Renewable Energy Directive II (RED II) pada Desember 2018, yang mengubah pendekatan UE. RED II tidak lagi hanya mendorong energi terbarukan, tetapi juga memasukkan kriteria keberlanjutan yang ketat, termasuk konsep ILUC yang menargetkan minyak sawit.[4] Kebijakan ini diperkuat dengan disahkannya EUDR pada tahun 2023, yang memperluas pembatasan dari biofuel ke semua produk turunan kelapa sawit dan komoditas lainnya yang masuk ke pasar UE.[17]

Kerangka Regulasi Uni Eropa yang Diperdebatkan

[sunting | sunting sumber]

Renewable Energy Directive II (RED II) dan Konsep Indirect Land Use Change (ILUC)

[sunting | sunting sumber]

RED II, atau Direktif (EU) 2018/2001, menetapkan target bagi negara-negara anggota UE untuk memastikan setidaknya 14% dari total energi yang digunakan di sektor transportasi berasal dari sumber terbarukan pada tahun 2030. Namun, fitur yang paling kontroversial dari arahan ini adalah pengenalan kriteria keberlanjutan dan risiko emisi gas rumah kaca untuk biofuel.[14]

Bekas hutan gambut di Indragiri Hulu, Riau, Indonesia, yang hendak dijadikan kebun kelapa sawit.

Mekanisme utama yang diperdebatkan adalah Delegated Regulation (EU) 2019/807, sebuah aturan turunan yang mendefinisikan kriteria untuk Perubahan Penggunaan Lahan Tidak Langsung (ILUC). ILUC adalah sebuah konsep teoritis di mana ketika ladang pangan di satu tempat dialihkan untuk membuat biofuel, maka untuk mencukupi kebutuhan pangan dunia, lahan tinggi karbon (seperti hutan dan lahan gambut) di tempat lain harus terpaksa ditebang untuk dijadikan ladang baru. Berdasarkan metodologi yang diadopsi Komisi Eropa (bahasa Inggris: European Commission) suatu bahan baku biofuel dianggap "berisiko ILUC tinggi" jika memenuhi dua kriteria: (1) Rata-rata ekspansi tahunan area produksi globalnya lebih dari 1% sejak tahun 2008; (2) Lebih dari 10% dari ekspansi tersebut terjadi di lahan dengan stok karbon tinggi.[14]

Berdasarkan analisis Komisi Eropa, minyak kelapa sawit menjadi satu-satunya bahan baku biofuel utama yang memenuhi kedua kriteria tersebut, sehingga diklasifikasikan sebagai komoditas berisiko ILUC tinggi.[4] Klasifikasi ini mengakibatkan biofuel yang diproduksi dari minyak kelapa sawit tidak lagi dapat dihitung untuk pemenuhan target energi terbarukan negara anggota UE dan kontribusinya akan dihapus secara bertahap mulai tahun 2023 hingga mencapai nol pada tahun 2030.[3]

European Union Deforestation Regulation (EUDR)

[sunting | sunting sumber]

EUDR, atau Regulasi (EU) 2023/1115, merupakan kebijakan yang lebih baru, lebih luas, dan lebih langsung dibandingkan RED II. Jika RED II berfokus pada sektor biofuel, EUDR mencakup tujuh komoditas utama dan produk turunannya yang dianggap sebagai pendorong utama deforestasi global: kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, kayu, dan ternak.[17]

Setiap operator atau pedagang yang ingin menempatkan produk-produk ini di pasar UE atau mengekspornya dari UE harus melakukan uji tuntas (due diligence) yang komprehensif untuk membuktikan dua hal: (1) Produk tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal batas 31 Desember 2020; (2) Produk diproduksi sesuai dengan semua hukum dan peraturan yang relevan di negara asal, termasuk terkait hak guna lahan, perlindungan lingkungan, hak-hak buruh, dan hak masyarakat adat.[18]

Salah satu elemen yang dianggap paling menantang dari EUDR adalah kewajiban ketertelusuran (traceability). Operator harus mengumpulkan data geolokasi (koordinat geografis) yang presisi dari setiap plot lahan tempat komoditas tersebut dipanen untuk membuktikan bahwa produk tidak dihasilkan dari aktivitas deforestasi. Persyaratan ini menjadi beban administratif dan teknis yang dianggap berat, terutama bagi jutaan petani kecil di Indonesia yang seringkali tidak memiliki dokumentasi legalitas lahan yang lengkap atau kapasitas untuk menyediakan data geospasial yang akurat.[17]

Tabel Penjelasan Fitur RED II dan EUDR

[sunting | sunting sumber]
Fitur Renewable Energy Directive II (RED II) EU Deforestation Regulation (EUDR)
Tujuan Utama Mendorong pemanfaatan energi terbarukan di sektor transportasi[14] Mencegah komoditas terkait deforestasi masuk pasar UE[17]
Mekanisme Kunci Klasifikasi risiko Indirect Land Use Change (ILUC)[14] Uji tuntas (due diligence) dan ketertelusuran (geolokasi)[18]
Produk Target Biofuel berbasis minyak sawit[4] Minyak sawit dan berbagai produk turunannya (makanan, kosmetik, dll.) serta 6 komoditas lainnya[17]
Batas Waktu Deforestasi Tidak ada (berbasis model ekspansi sejak 2008)[14] 31 Desember 2020[18]
Implikasi Utama Penghapusan bertahap biofuel sawit dari target energi terbarukan UE[3] Potensi larangan impor semua produk sawit yang tidak dapat membuktikan bebas deforestasi[18]

Sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (Kasus DS593)

[sunting | sunting sumber]

Gugatan Indonesia (Diajukan 9 Desember 2019)

[sunting | sunting sumber]

Pada 9 Desember 2019, Indonesia secara resmi meminta konsultasi dengan Uni Eropa di bawah mekanisme penyelesaian sengketa WTO, dengan klaim bahwa kebijakan RED II beserta regulasi turunannya tidak konsisten dengan beberapa perjanjian WTO. Argumen utama yang diajukan Indonesia berpusat pada pelanggaran tiga perjanjian kunci.[19]

Pertama, Indonesia berpendapat bahwa kebijakan UE melanggar Perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan (bahasa Inggris: Agreement on Technical Barriers to Trade, disingkat TBT) karena menciptakan hambatan teknis yang tidak perlu dan lebih membatasi dari yang diperlukan untuk mencapai tujuan lingkungan (pelanggaran Pasal 2.2 TBT).[3][d] Selain itu, metodologi ILUC dianggap tidak didasarkan pada bukti ilmiah yang relevan dan standar internasional. Prosedur untuk mendapatkan sertifikasi sebagai biofuel "berisiko ILUC rendah" juga dinilai tidak transparan, tidak adil, dan memberatkan bagi produsen dari negara berkembang (pelanggaran Pasal 5 TBT).[19][e]

Kedua, gugatan tersebut menyoroti pelanggaran terhadap Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (bahasa Inggris: General Agreement on Tariffs and Trade, disingkat GATT) 1994. Indonesia menuduh UE melanggar prinsip Perlakuan yang Sama untuk Semua Anggota (bahasa Inggris: Most-Favoured-Nation, disingkat MFN) (Pasal I:1) dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan kepada minyak kelapa sawit dibandingkan barang sejenis (like products) seperti minyak kanola dan kedelai, yang sebagian besar diproduksi di dalam atau diimpor dari negara maju. Selain itu, prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment) (Pasal III:4), juga dilanggar karena kebijakan tersebut memberikan perlindungan dan perlakuan yang lebih baik kepada produk minyak nabati domestik UE.[20]

Terakhir, Indonesia juga mengklaim adanya pelanggaran terhadap Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (bahasa Inggris: Agreement on Subsidies and Countervailing Measures, disingkat SCM). Skema insentif UE untuk biofuel yang memenuhi kriteria RED II dianggap sebagai subsidi terlarang yang bergantung pada penggunaan produk domestik daripada produk impor (pelanggaran Pasal 3.1(b) SCM).[19][f]

Argumen Pembelaan Uni Eropa

[sunting | sunting sumber]

Dalam pembelaannya, Uni Eropa tidak menyangkal bahwa kebijakannya memiliki dampak perdagangan, tetapi berargumen bahwa tindakan tersebut dapat dibenarkan di bawah pengecualian yang diizinkan oleh aturan WTO. Argumen utama UE bersandar pada Pasal XX GATT 1994, yang memperbolehkan negara anggota untuk mengadopsi kebijakan yang melanggar kewajiban GATT jika tindakan tersebut diperlukan untuk tujuan-tujuan tertentu.[21]

Secara spesifik, UE merujuk pada dua sub-pasal: (1) Pasal XX(b) yang mengizinkan tindakan "yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan"; (2) Pasal XX(g) yang mengizinkan tindakan "yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam yang dapat habis.[21]

Uni Eropa berpendapat bahwa pembatasan terhadap biofuel berbasis kelapa sawit adalah langkah yang diperlukan dan sah untuk memerangi perubahan iklim global (dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi) dan untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati, yang keduanya merupakan tujuan lingkungan yang diakui secara global.[21]

Putusan Panel WTO (20 Januari 2025)

[sunting | sunting sumber]

Setelah melalui proses persidangan, Panel WTO merilis laporan akhirnya pada 20 Januari 2025, yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Badan Penyelesaian Sengketa (bahasa Inggris: Dispute Settlement Body, disingkat DSB) pada 24 Maret 2025 setelah tidak ada pihak yang mengajukan banding. Putusan panel tidak memberikan kemenangan mutlak kepada salah satu pihak. [21]

Panel setuju dengan argumen inti Indonesia bahwa UE telah melanggar prinsip non-diskriminasi dalam Pasal 2.1 Perjanjian TBT. Pelanggaran ini terjadi karena UE memperlakukan minyak kelapa sawit secara kurang menguntungkan dibandingkan biofuel lain, seperti kedelai, tanpa justifikasi yang objektif dalam penerapan metodologi ILUC-nya. Selain itu, Panel juga menemukan bahwa batasan 7% untuk biofuel dari tanaman pangan merupakan opsi yang terlalu berlebihan dan merugikan perdagangan secara tidak perlu, sehingga melanggar Pasal 2.2 TBT. Prosedur sertifikasi untuk biofuel berisiko ILUC rendah juga dinilai menciptakan hambatan perdagangan yang tidak perlu dan kurang transparan, yang bertentangan dengan Pasal 5 TBT.[21]

Di sisi lain, meskipun menemukan pelanggaran dalam cara penerapan kebijakan, Panel WTO secara eksplisit mengakui bahwa tujuan UE untuk mengatasi perubahan iklim dan melindungi keanekaragaman hayati adalah tujuan kebijakan yang sah di bawah aturan WTO. Poin krusial ini mengafirmasi hak negara anggota untuk menerapkan kebijakan lingkungan, selama kebijakan tersebut tidak diterapkan secara diskriminatif.[21]

Klaim Utama Indonesia Pasal WTO Terkait Temuan Panel Rasional Singkat Panel Referensi
Diskriminasi terhadap Minyak Sawit TBT Pasal 2.1 Diterima Metodologi ILUC UE tidak diterapkan secara konsisten dan secara tidak proporsional membebani minyak sawit dibandingkan produk serupa. [21]
Hambatan Perdagangan yang Tidak Perlu TBT Pasal 2.2 Diterima Sebagian Batasan 7% untuk biofuel dari tanaman pangan tidak terbukti sebagai opsi yang paling tidak membatasi perdagangan untuk mencapai tujuan UE.
Prosedur Sertifikasi yang Memberatkan TBT Pasal 5 Diterima Skema sertifikasi risiko ILUC rendah UE menciptakan hambatan yang tidak perlu dan kurang mempertimbangkan kebutuhan negara berkembang.

Dampak Sosio-Ekonomi terhadap Petani Kecil dan Industri

[sunting | sunting sumber]

Meskipun kasus ini terjadi di tingkat negara, dampak paling signifikan dirasakan oleh para petani kecil, yang merupakan kelompok paling rentan dalam rantai pasok kelapa sawit.[9] Regulasi Uni Eropa, terutama EUDR, menciptakan serangkaian tantangan bagi mereka. Persyaratan untuk sertifikasi, pemetaan geolokasi, dan dokumentasi legalitas lahan menimbulkan biaya yang tinggi dan proses yang rumit, yang seringkali di luar jangkauan sumber daya petani kecil.[22]

Selain itu, para petani kecil menggarap lahan yang status hukumnya belum jelas atau tumpang tindih dengan kawasan hutan, sehingga tidak dapat memenuhi syarat legalitas yang dituntut oleh EUDR.[23] Di tengah kesulitan tersebut, juga terdapat kesenjangan informasi yang signifikan; sebuah survei menunjukkan bahwa 94% petani sawit di Indonesia belum pernah mendengar tentang EUDR, padahal mata pencaharian mereka terancam secara langsung.[24]

Kondisi ini menciptakan risiko eksklusi massal, di mana rantai pasok dapat terpecah menjadi dua tingkat: perusahaan besar yang memiliki sumber daya untuk mematuhi aturan UE dan dapat terus mengekspor, serta jutaan petani kecil yang terputus dari pasar global.[22]

Secara makroekonomi, dampak kebijakan UE sudah mulai terasa. Data menunjukkan penurunan signifikan dalam volume ekspor minyak sawit Asia Tenggara (termasuk Indonesia) ke Uni Eropa. Pada periode Januari-April 2025, ekspor ke UE anjlok sebesar 62% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.[25] Jika pembatasan ini terus berlanjut tanpa solusi, diperkirakan dapat mengancam PDB nasional, mengurangi pendapatan ekspor secara signifikan, dan membahayakan sekitar 20 juta pekerja yang bergantung pada industri kelapa sawit.[15]

Kebijakan Konservasi Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Di tengah tekanan internasional, Indonesia berupaya menunjukkan komitmennya terhadap keberlanjutan melalui berbagai kebijakan domestik. Salah satu argumen utama pemerintah Indonesia dalam melawan narasi negatif adalah tren penurunan laju deforestasi yang signifikan. Data menunjukkan bahwa deforestasi yang terkait dengan ekspansi kelapa sawit industri telah menurun drastis sejak puncaknya pada tahun 2012.[26]

Namun, tren positif ini menghadapi tantangan. Beberapa laporan menunjukkan adanya sedikit kenaikan kembali laju deforestasi pada tahun 2022 dan 2023, dengan konsentrasi pembukaan lahan baru bergeser ke wilayah perbatasan yang kaya hutan seperti Kalimantan dan Papua.[26]

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan beberapa kebijakan kunci untuk mengatasi tekanan internasional. Salah satu langkah utamanya adalah pemberlakuan moratorium izin baru kelapa sawit melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018.[27] Meskipun demikian, efektivitas kebijakan ini diperdebatkan karena sifatnya sebagai inpres yang tidak mengikat secara hukum dan dilaporkan masih memiliki banyak celah dalam implementasinya.[28]

Selain itu, pemerintah menciptakan mekanisme untuk melegalisasi perkebunan yang terlanjur berada di dalam kawasan hutan melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya, dengan syarat-syarat tertentu seperti pembayaran denda administratif. Upaya penyelesaian konflik tenurial juga diwujudkan melalui program Perhutanan Sosial, yang bertujuan untuk memberikan hak kelola kawasan hutan kepada masyarakat lokal dan adat, meskipun terdapat batasan terkait penanaman kelapa sawit di dalamnya.[29]

Sertifikasi Keberlanjutan: ISPO vs. RSPO

[sunting | sunting sumber]

Perdebatan mengenai standar keberlanjutan menjadi pusat dari konflik ini, yang tercermin dalam keberadaan dua skema sertifikasi utama: Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). ISPO merupakan skema sertifikasi yang dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia dan diatur melalui Peraturan Presiden. ISPO bersifat wajib bagi semua perusahaan perkebunan dan diwajibkan bagi pekebun mulai tahun 2025.[30] Fokus utama ISPO adalah memastikan kepatuhan pelaku usaha terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, termasuk legalitas lahan, praktik agronomi yang baik, dan pengelolaan lingkungan. Namun, tantangan terbesar ISPO adalah kurangnya pengakuan internasional, terutama oleh Uni Eropa, yang hingga kini belum secara resmi mengakuinya sebagai standar yang setara dengan persyaratan mereka.[31] Tingkat adopsi di kalangan pekebun juga masih sangat rendah, dengan hanya sebagian kecil yang telah tersertifikasi.[32]

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Adalah inisiatif global yang didirikan oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk produsen, pembeli, dan LSM lingkungan. RSPO bersifat sukarela dan memiliki pengakuan pasar yang jauh lebih kuat di Uni Eropa.[33] Standarnya sering dianggap lebih ketat dalam beberapa aspek, terutama terkait konservasi area Bernilai Konservasi Tinggi (NKT) dan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dengan masyarakat lokal. Namun, RSPO sering dikritik karena biayanya yang tinggi dan prosesnya yang kompleks, yang menjadi hambatan besar bagi petani kecil.[34] Beberapa LSM juga mempertanyakan efektivitas penegakannya di lapangan.[16]

Aspek Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Referensi
Dasar Hukum Peraturan Pemerintah (Perpres No. 44/2020) Standar asosiasi swasta global [30]
Badan Pengatur Komisi ISPO (Pemerintah Indonesia) Organisasi RSPO (Multi-pemangku kepentingan)
Sifat Wajib untuk perusahaan, akan wajib untuk pekebun Sukarela
Pengakuan Internasional Terbatas, belum diakui secara resmi oleh UE Luas, diakui oleh banyak pembeli di UE
Fokus Utama Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan Indonesia, legalitas lahan Konservasi Nilai Konservasi Tinggi (NKT), PADIATAPA, transparansi
Tantangan Utama Lambatnya adopsi oleh pekebun, kurangnya pengakuan pasar global Biaya tinggi, kompleksitas bagi pekebun, kritik atas efektivitas penegakannya

Konteks Perundingan IEU-CEPA

[sunting | sunting sumber]

Kelapa Sawit sebagai Isu Sentral dalam Negosiasi

[sunting | sunting sumber]

Bagi Indonesia, memastikan akses pasar yang adil dan berkelanjutan untuk komoditas ekspor utamanya adalah prioritas utama. Bagi Uni Eropa, memastikan bahwa perjanjian perdagangan tidak melemahkan standar lingkungan dan komitmen iklimnya adalah hal yang sama pentingnya. Akibatnya, bab tentang Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan (Trade and Sustainable Development - TSD) menjadi salah satu yang paling sulit untuk dinegosiasikan.[35]

Kemenangan parsial Indonesia dalam sengketa DS593 di WTO secara signifikan mengubah dinamika perundingan. Putusan tersebut memberikan Indonesia posisi tawar yang lebih kuat, karena telah terbukti secara hukum bahwa beberapa aspek kebijakan UE bersifat diskriminatif.[3]

Munculnya "Protokol Khusus" sebagai Jalan Tengah

[sunting | sunting sumber]

Menghadapi kebuntuan, kedua belah pihak mulai menjajaki pendekatan yang lebih kooperatif sebagai alternatif dari konfrontasi hukum. Perkembangan terbaru menunjukkan adanya kemajuan menuju sebuah jalan tengah dalam bentuk "protokol khusus" atau bab tersendiri mengenai minyak sawit berkelanjutan di dalam naskah IEU-CEPA.[6] Dalam kerangka perjanjian ini, UE dilaporkan siap untuk secara resmi mengakui bahwa minyak sawit Indonesia dapat diproduksi secara berkelanjutan, sebuah pengakuan yang sangat penting baik secara politik maupun ekonomi.[36]

Meskipun demikian, detail dari protokol ini masih dalam tahap negosiasi. Kalangan industri kelapa sawit Indonesia tetap menyuarakan kewaspadaan. Mereka khawatir bahwa manfaat dari penghapusan tarif bea masuk yang mungkin diberikan melalui IEU-CEPA dapat menjadi sia-sia jika persyaratan ketat dari EUDR tetap diberlakukan tanpa kompromi.[6]

Lihat Juga

[sunting | sunting sumber]
  • Dinamika dan Sengketa Perdagangan Indonesia–Uni Eropa
  • Direktif Energi Terbarukan
  • Peraturan Uni Eropa tentang Produk Bebas Deforestasi
  • Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa
  • Standar Uni Eropa untuk Sawit Berkelanjutan
  • Sengketa DS593

Catatan Kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Hal. 529: Uni Eropa mengkonsumsi 53% dari semua minyak kelapa sawit impor untuk biodiesel pada tahun 2018, tertinggi sepanjang masa. Selain penggunaan untuk biodiesel, sekitar 12% dari impor minyak sawit digunakan untuk pemanas dan listrik. Jadi total 65% dari impor minyak sawit dibakar untuk menjadi biofuel.
  2. ^ Hal. 500: Kebijakan awal yang dimaksud adalah Directive 2003/30/EC
  3. ^ Para negara penandatangan Amsterdam Declaration (termasuk Denmark, Prancis, Jerman, Belanda, dan Inggris) secara resmi menyatakan dukungan mereka terhadap komitmen yang dipimpin oleh sektor swasta untuk mencapai "100% minyak sawit berkelanjutan di Eropa" paling lambat pada tahun 2020
  4. ^ Pasal 2.2 TBT pada intinya menyatakan bahwa sebuah regulasi teknis tidak boleh "lebih membatasi perdagangan daripada yang diperlukan untuk memenuhi suatu tujuan yang sah". Artinya, sebuah negara (dalam hal ini Uni Eropa) harus bisa membuktikan bahwa: (1) Mereka memiliki tujuan yang sah (misalnya, melindungi iklim dan keanekaragaman hayati). (2) Regulasi yang mereka buat benar-benar diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. (3) Tidak ada cara lain yang kurang membatasi perdagangan yang bisa mereka pilih untuk mencapai tujuan yang sama. Panel WTO menemukan bahwa meskipun tujuan iklim UE itu sah, UE gagal membuktikan bahwa batas maksimal 7% untuk semua biofuel berbasis tanaman pangan dan pakan adalah opsi yang "paling tidak membatasi perdagangan" (least trade-restrictive) untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, UE dinyatakan telah melanggar kewajibannya di bawah Pasal 2.2 Perjanjian TBT.
  5. ^ Pasal 5 TBT mengatur tentang "Prosedur Penilaian Kesesuaian" (Conformity Assessment Procedures). Prosedur ini digunakan oleh sebuah negara untuk memeriksa apakah suatu produk impor memenuhi regulasi teknis atau standar yang berlaku di negara tersebut. Contohnya termasuk prosedur pengujian, inspeksi, dan sertifikasi. Isi utama dari Pasal 5 TBT mencakup beberapa prinsip penting: Non-Diskriminasi, Menghindari Hambatan yang Tidak Perlu, Transparansi, dan Aksesibilitas. Indonesia berargumen bahwa prosedur sertifikasi "risiko ILUC rendah" yang dibuat oleh Uni Eropa melanggar Pasal 5 karena terlalu rumit, tidak transparan, dan sangat memberatkan bagi produsen dari negara berkembang seperti Indonesia. Panel WTO pada akhirnya setuju dengan argumen ini.
  6. ^ Skema insentif yang dimaksud: memberikan keuntungan finansial (insentif atau subsidi) kepada produsen dan konsumen biofuel yang memenuhi standar keberlanjutan dalam kebijakan RED II saja. Indonesia menilai kebijakan RED II hanya menguntungkan produsen domestik UE, seperti produsen minyak rapseed dan minyak bunga matahari. Isi Aturan WTO (Pasal 3.1(b) SCM) melarang subsidi yang diberikan dengan syarat harus menggunakan produk dalam negeri daripada produk impor. Ini disebut "subsidi terlarang" karena secara langsung mendistorsi perdagangan bebas.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Simbolon, Meha Middlyne; Sitorus, Yosef Felix (1 Januari 2025). "Penyelesaian Sengketa Minyak Kelapa Sawit Mentah Indonesia dengan Uni Eropa Melalui Dispute Settlement Body World Trade Organization". Jurnal Hukum Lex Generalis. 6 (1): 1–30. doi:10.56370/jhlg.v6i1.798. ISSN 2746-4075.
  2. ^ a b c Environmental Investigation Agency (EIA); Kaoem Telapak (September 2021). "DEFORESTASI AKIBAT DEREGULASI: Bagaimana skema jaminan keberlanjutan baru Indonesia gagal melindungi hutan dari konversi untuk kelapa sawit" (PDF). Environmental Investigation Agency (EIA) International. Diakses tanggal 9 September 2025.
  3. ^ a b c d e f g Hamid-Walker, Fia (15 April 2025). "Indonesia's palm oil win against EU: a triumph for the Global South and climate justice?". Indonesia at Melbourne (dalam bahasa Australian English). Diakses tanggal 9 September 2025.
  4. ^ a b c d e Tyson, A.; Meganingtyas, E. (14 April 2022). "The Status of Palm Oil under the European Union's Renewable Energy Directive: Sustainability or Protectionism?". Bulletin of Indonesian Economic Studies (dalam bahasa Inggris). 58 (1): 31–54. ISSN 0007-4918.
  5. ^ CNN Indonesia (17 Januari 2025). "Indonesia Menang Gugatan Lawan Eropa di WTO soal Diskriminasi Sawit". CNN Indonesia. Diakses tanggal 9 September 2025.
  6. ^ a b c Isaac, Julian (4 Agustus 2025). "Indonesia secures EU recognition for sustainable palm oil under new trade agreement". Indonesia Business Post. Diakses tanggal 10 September 2025.
  7. ^ Sitompul, Melda Alani; Zulian, Ibnu (Juli 2024). "Implementasi Diplomasi Indonesia Dalam Perang Dagang Terhadap Uni Eropa". Aktivisme: Jurnal Ilmu Pendidikan, Politik dan Sosial Indonesia. 1 (3): 189–202. doi:10.62383/aktivisme.v1i3.339.
  8. ^ a b Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) (17 Maret 2019). "10 Sikap Pemerintah atas Diskriminasi Uni Eropa Terhadap Kelapa Sawit". Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Diakses tanggal 9 September 2025.
  9. ^ a b Nugraha, M. Fuadillah (14 Juni 2021). "Analisis Strategi Perlawanan Indonesia Dalam Diskriminasi Kelapa Sawit Oleh Uni Eropa". Jurnal Hukum dan Politik Islam. 6 (1): 88–105. doi:10.35673/ajmpi.v6i1.1458.
  10. ^ European External Action Service (EEAS) (29 November 2019). "Palm Oil". European External Action Service (EEAS) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 September 2025.
  11. ^ a b c Pradhana, Muhammad Aditya; Wahyudi, Fendy Eko (27 Agustus 2020). "Analisis Perubahan Sikap Uni Eropa Terhadap Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia". Journal of International Relations Diponegoro. 6 (4): 525–534. doi:10.14710/jirud.v6i4.28562. ISSN 3063-2684.
  12. ^ Sipayung, Tungkot (14 Maret 2023). ""No Palm Oil Effect" Uni Eropa Perbesar Deforestasi dan Emisi Dunia 2023". Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. Diakses tanggal 9 September 2025.
  13. ^ a b Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) (27 Februari 2025). "Minyak Sawit Mampu Menopang Kebutuhan Minyak Nabati Dunia". Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Diakses tanggal 09 September 2025.
  14. ^ a b c d e f Hassan, Mohd. Izham; Radzi, Fazari (30 Januari 2024). "RED II: Current Status of EU Member States and Its Impact on Palm Oil – Current & Future – MPOC". Malaysian Palm Oil Council (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 9 September 2025.
  15. ^ a b Benyaich, Fatima; Saragih, Hendra M.; Siburian, Joel J. (Juli 2023). "The Impact of the European Union's Palm Oil Resolution Policy on the Indonesian Economy Sector". Ilomata International Journal of Social Science. 4 (3): 495–507. doi:10.52728/ijss.v4i3.869.
  16. ^ a b Sidik, Rahmat Maulana (25 April 2018). "CPO Indonesia ditolak Uni Eropa, Kenapa?" (PDF). Indonesia for Global Justice (IGJ). Diakses tanggal 9 September 2025.
  17. ^ a b c d e Mai, Lauren (30 Mei 2024). "Palm Oil Powerhouses: Why the EU's Deforestation-Free Regulation Does Not Work in Southeast Asia". Center for Strategic & International Studies (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 September 2025.
  18. ^ a b c d Forest Governance and Policy (FGP) (Agustus 2025). "EU Regulation on Deforestation-free Products (EUDR)". Forest Governance and Policy (FGP) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 12 September 2025.
  19. ^ a b c European Commission (22 Juli 2022). "WT/DS593 - European Union - Certain measures concerning palm oil and oil palm crop-based biofuels". European Commission (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 September 2025.
  20. ^ Farhan, Muhammad Ammar; Nugraha, Lalu Guna; Risnain, Muh (2025). "Tinjauan Yuridis Terhadap Kebijakan Diskriminatif Uni Eropa Atas Minyak Kelapa Sawit Indonesia Berdasarkan General Agreement On Tariffs And Trade (GATT) 1994" (PDF). Jurnal Gema Keadilan. 10 (1): 1–16.
  21. ^ a b c d e f g Holzer, Kateryna (7 September 2025). "Balancing trade and environment: insights from WTO disputes over sustainability requirements for biofuels". The Journal of World Energy Law & Business. 18 (3). doi:10.1093/jwelb/jwaf012.
  22. ^ a b Hasan, Mohamad Fadhil; Fadhil, Ilma (Juni 2022). "Impact of the European Union Regulations on Indonesian Oil Palm Smallholder Farmers". International Journal of Oil Palm. 5 (1): 1–15. doi:10.35876/ijop.v5i1.69.
  23. ^ Diana, Elviza (24 Agustus 2023). "Nasib Petani Sawit di Jambi Menghadapi Peraturan Uni Eropa tentang Produk Bebas Deforestasi – Kaoem Telapak". Kaoem Telapak. Diakses tanggal 9 September 2025.
  24. ^ Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh (30 Oktober 2024). "94% Petani Sawit di RI Tak Paham Ancaman UU Antideforestasi Eropa". Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh. Diakses tanggal 10 September 2025.
  25. ^ CropGPT (25 Juni 2025). "Indonesias Palm Oil Export Crisis: A Fall in Shipment Volumes Despite Value Growth". CropGPT (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 September 2025.
  26. ^ a b Benedict, Jason Jon; Heilmayr, Robert (21 Oktober 2024). "Ekspor dan deforestasi kelapa sawit Indonesia". trase. Diakses tanggal 10 September 2025.
  27. ^ Presiden Republik Indonesia (19 September 2018). "Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 8 Tahun 2018". Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan (JDIH BPK). Diakses tanggal 9 September 2025.
  28. ^ Drost, Sarah; Kuepper, Barbara; Piotrowski, Matt (Juni 2021). "Moratorium Indonesia: Celah dan Sanksi yang Lemah Gagal Menghentikan Deforestasi terkait Sawit" (PDF). Chain Reaction Research. Diakses tanggal 10 September 2025.
  29. ^ European Forest Institute (EFI) (2025). "Petani adat komoditas kelapa sawit di Kawasan hutan Indonesia dan Peraturan Deforestasi Uni Eropa" (PDF). European Forest Institute (EFI). Diakses tanggal 10 September 2025.
  30. ^ a b Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Seruyan (6 September 2022). "Apa Perbedaan Sertifikasi ISPO dan RSPO untuk Kelapa Sawit". Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Seruyan. Diakses tanggal 10 September 2025.
  31. ^ European Forest Institute (EFI) (2024). "Joint Gap Assessment of the Strengthened Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Standard" (PDF). European Forest Institute (EFI). Diakses tanggal 10 September 2025.
  32. ^ Portal Informasi Indonesia (5 Juni 2023). "Sertifikasi ISPO, Daya Saing Produk Sawit Indonesia di Pasar Global". Portal Informasi Indonesia. Diakses tanggal 10 September 2025.
  33. ^ Jabar, Muhammad Abdul (2020). Perbandingan penerapan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia (Skripsi). Depok. Diakses tanggal 10 September 2025.
  34. ^ Nasution, M. Ansori; Wulandari, Ayu (27 Agustus 2025). "Perbandingan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO)". Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 33 (2): 35–48.
  35. ^ Minangsari, Mardi (2 Januari 2023). "Memanfaatkan IEU CEPA untuk Meningkatkan Tata Kelola Lingkungan di Indonesia". Kaoem Telapak. Diakses tanggal 13 September 2025.
  36. ^ Ramandhita, Alifia Dwi (4 Agustus 2025). "Uni Eropa Siap Akui Sawit RI Berkelanjutan di Perjanjian IEU CEPA". Kantor Berita Ekonomi dan Politik Republik Merdeka. Diakses tanggal 10 September 2025.
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kasus_turunan_minyak_sawit_Indonesia_Uni_Eropa&oldid=27828462"
Kategori:
  • CS1 sumber berbahasa Australian English (en-au)
  • Uni Eropa
  • Artikel EUforia Wiki4Trade
Kategori tersembunyi:
  • CS1 sumber berbahasa Inggris (en)
  • Galat CS1: nama generik
  • Galat CS1: tanggal
  • CS1 sumber berbahasa American English (en-us)
  • Galat CS1: parameter tidak didukung

Best Rank
More Recommended Articles