Kebebasan beragama di Arab Saudi

Arab Saudi merupakan negara monarki absolut Islam yang menjadikan Islam Sunni sebagai agama resmi negara. Konstitusi negara ini didasarkan pada Al-Qur'an dan sunnah Muhammad, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Pemerintahan tahun 1992.[1] Sistem hukum di Arab Saudi berlandaskan pada syariah, terutama mengikuti mazhab Hanbali.[2] Pemerintah secara eksplisit melarang praktik agama selain Islam di ruang publik; tidak ada tempat ibadah non-Muslim yang diizinkan berdiri di kerajaan ini.[3][4] Meskipun pemerintah menyatakan bahwa ibadah pribadi bagi non-Muslim diperbolehkan, dalam praktiknya, kegiatan tersebut sering kali dibatasi dan dapat berujung pada penangkapan atau deportasi.[5]
Minoritas agama, terutama Syiah, menghadapi diskriminasi sistematis dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan sistem peradilan.[6][7] Pemerintah membatasi pembangunan masjid Syiah dan perayaan keagamaan seperti Ashura, serta sering kali mengawasi dan membatasi kegiatan keagamaan mereka. Kurikulum pendidikan juga mengandung bias terhadap ajaran Syiah, yang memperkuat prasangka sosial terhadap komunitas ini.[6]
Selain itu, pemerintah Arab Saudi mengkriminalisasi perpindahan agama dari Islam (murtad) dan penyebaran agama selain Islam (misionaris), dengan hukuman berat termasuk hukuman mati. Ateisme dan ekspresi kepercayaan non-Islam juga dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum negara.[8] Sebagai contoh, pada tahun 2015, seorang warga negara dihukum mati karena dituduh menyebarkan ateisme dan menghina agama melalui media sosial.[4]
Demografi keagamaan
Mayoritas penduduk Arab Saudi menganut Islam Sunni, dengan estimasi antara 85% hingga 90% dari total populasi warga negara. Sebagian besar mengikuti mazhab Hanbali, yang merupakan dasar hukum resmi kerajaan.[9][10] Meskipun demikian, hanya sebagian kecil dari populasi Sunni yang secara eksplisit mengidentifikasi diri sebagai pengikut Wahhabisme, interpretasi konservatif dari Islam Sunni yang sangat berpengaruh dalam kebijakan negara. Beberapa sumber memperkirakan bahwa pengikut Wahhabi mencakup sekitar 20% dari populasi, meskipun pengaruhnya jauh lebih luas dalam struktur sosial dan keagamaan negara.[11]
Sekitar 10% hingga 15% warga negara Arab Saudi adalah Muslim Syiah,[12] terutama dari aliran Dua Belas Imam. Mereka sebagian besar tinggal di Provinsi Timur, khususnya di wilayah Qatif dan Al-Ahsa.[13] Selain itu, terdapat komunitas Syiah Ismailiyah yang signifikan di wilayah Najran, dekat perbatasan dengan Yaman. Komunitas Syiah di Arab Saudi telah lama menghadapi diskriminasi sistematis dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan beragama.[14]
Sejarah
Pada tahun 622 M, Muhammad menyusun Konstitusi Madinah untuk mengatur hubungan antara komunitas Muslim dan non-Muslim di Madinah. Dokumen ini menetapkan bahwa komunitas Yahudi dan Muslim adalah satu umat, dengan masing-masing bebas menjalankan agamanya.[15] Konstitusi ini dianggap sebagai salah satu dokumen politik pertama yang menjamin kebebasan beragama dalam masyarakat multikultural.[16]
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, Kekhalifahan Rasyidin menerapkan sistem dhimmi, di mana non-Muslim seperti Yahudi dan Kristen diberikan perlindungan hukum dan kebebasan beragama dengan syarat membayar pajak jizyah.[17][18] Mereka diizinkan menjalankan ibadah dan memiliki otonomi dalam urusan komunitasnya.[19] Namun, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, terjadi pengusiran komunitas Yahudi dari Khaybar dan Kristen dari Najran, dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama Islam di wilayah Hijaz.[20][21]
Selama masa Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, komunitas non-Muslim tetap memiliki status dhimmi dengan hak-hak tertentu. Mereka diizinkan menjalankan ibadah, memiliki pemimpin komunitas, dan mengatur urusan internal mereka. Namun, terdapat pembatasan seperti larangan membangun tempat ibadah baru[22][23] dan kewajiban mengenakan pakaian khusus.[24] Meskipun demikian, banyak dari mereka berkontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan dan administrasi pemerintahan.[25]

Setelah runtuhnya Kekhalifahan Abbasiyah, wilayah Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah, berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah sejak abad ke-16. Kesultanan ini menerapkan sistem millet,[26] yang memberikan otonomi terbatas kepada komunitas non-Muslim dalam urusan keagamaan dan hukum perdata mereka.[27] Namun, karena status Hijaz sebagai wilayah suci Islam, kehadiran dan aktivitas non-Muslim di wilayah ini sangat dibatasi.[28] Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa non-Muslim dilarang menetap permanen di Makkah dan Madinah, serta tidak diperbolehkan membangun tempat ibadah di wilayah tersebut. Sistem millet lebih banyak diterapkan di wilayah lain dalam Kekaisaran Utsmaniyah, seperti Anatolia dan Levant, di mana komunitas Kristen dan Yahudi memiliki struktur komunitas dan pengadilan sendiri.[26][29]
Pada pertengahan abad ke-18, muncul gerakan reformasi keagamaan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di wilayah Najd.[30][31][32] Gerakan ini menyerukan kembali kepada kemurnian ajaran Islam dan menolak praktik yang dianggap bid'ah.[33] Aliansi antara Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud menghasilkan dasar bagi pembentukan negara Saudi pertama.[34][35][36] Wahhabisme, sebagai interpretasi konservatif dari Islam Sunni, menjadi landasan ideologis negara dan menekankan pemurnian akidah serta penolakan terhadap praktik keagamaan yang dianggap menyimpang.[37][38][39] Hal ini berdampak pada pembatasan terhadap keberadaan dan praktik keagamaan non-Muslim di wilayah tersebut.[2][3][40]
Status kebebasan beragama
Arab Saudi hari ini adalah monarki absolut yang menjadikan Islam Sunni sebagai agama resmi negara. Konstitusi negara ini didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, tanpa pemisahan antara agama dan negara.[1] Hukum nasional mengadopsi interpretasi ketat dari mazhab Hanbali dalam syariah, dan tidak mengakui kebebasan beragama secara formal.[41] Praktik keagamaan non-Muslim di ruang publik dilarang, dan rumah ibadah selain masjid tidak diperbolehkan.[3]
Sejak 2016, pemerintah Arab Saudi telah melakukan reformasi terbatas terkait kebebasan beragama, termasuk pelonggaran pembatasan terhadap perempuan dan pembentukan hukum status pribadi baru.[42][43] Namun, praktik keagamaan selain Islam tetap dilarang di ruang publik, dan pelanggaran terhadap interpretasi resmi Islam dapat dikenai hukuman berat.[5]
Pada 2016, wewenang Komite untuk Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan (CPVPV), atau polisi agama, dikurangi secara signifikan. Mereka tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengejar, menahan, atau menginterogasi individu yang dicurigai melanggar syariah. Namun, pengawasan terhadap perilaku keagamaan tetap dilakukan oleh aparat negara lainnya.[44][45][46]
Minoritas agama, termasuk Muslim Syiah, menghadapi diskriminasi sistematis dalam hukum dan praktik. Meskipun pemerintah mengklaim inklusivitas, laporan menunjukkan bahwa minoritas ini sering kali menjadi sasaran pelanggaran kebebasan beragama.[6][7]
Di bawah hukum Arab Saudi, perpindahan agama dari seorang Muslim ke agama lain dianggap sebagai kemurtadan, sebuah kejahatan yang dapat dihukum mati.[47] Pada bulan Maret 2014, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi mengeluarkan sebuah keputusan kerajaan yang mencap semua orang ateis sebagai teroris, yang mendefinisikan terorisme sebagai "menyerukan pemikiran ateis dalam bentuk apa pun, atau mempertanyakan dasar-dasar agama Islam yang menjadi dasar negara ini."[48]

Di bawah ketentuan hukum Syariah yang dipraktikkan di negara ini, hakim dapat mengabaikan kesaksian dari orang-orang yang tidak beragama Islam atau yang tidak mengikuti interpretasi resmi Islam. Sumber-sumber hukum melaporkan bahwa kesaksian dari penganut Syiah sering diabaikan di pengadilan atau dianggap kurang berbobot dibandingkan kesaksian dari penganut Sunni. Hukuman di bawah sistem hukum tidak seragam. Hukum dan peraturan menyatakan bahwa terdakwa harus diperlakukan secara sama; namun, di bawah Syariah sebagaimana ditafsirkan dan diterapkan di negara ini, kejahatan terhadap Muslim dapat mengakibatkan hukuman yang lebih berat daripada kejahatan terhadap non-Muslim. Informasi mengenai praktik-praktik pemerintah pada umumnya tidak lengkap karena proses peradilan biasanya tidak dipublikasikan atau tertutup untuk umum, meskipun ada ketentuan dalam hukum acara pidana yang mengharuskan proses pengadilan terbuka.[49]
Non-Muslim juga dilarang keras oleh Arab Saudi untuk memasuki Kota Suci Mekkah dan Madinah. Di jalan raya, petugas polisi agama dapat mengalihkan mereka atau memberikan denda. Di kota-kota itu sendiri, pemeriksaan jalan raya dilakukan secara acak.[50][51]
Referensi
- ^ a b "Saudi Arabia". United States Department of State (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ a b State, US Department of (2022-06-02). "2021 Report on International Religious Freedom: Saudi Arabia". https://www.state.gov/reports/2021-report-on-international-religious-freedom/saudi-arabia/ (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ a b c AFP (2018-09-15). "Saudi to retain ban on non-Muslim places of worship". Gulf News: Latest UAE news, Dubai news, Business, travel news, Dubai Gold rate, prayer time, cinema (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ a b "Saudi Arabia: Freedom in the World 2024 Country Report". Freedom House (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ a b Miller, Hillary (Agustus 2024). "Assessing Religious Freedom in Saudi Arabia in the Context of Vision 2030" (PDF). United States Commission on International Religious Freedom.
- ^ a b c "Arab Saudi: Ujaran Kebencian Negara Menyasar Kalangan Minoritas | Human Rights Watch". 2017-09-26. Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ a b ADHRB (2025-01-07). "Freedom of Religion for Shia and Other Minorities in Saudi Arabia". Americans for Democracy & Human Rights in Bahrain (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Account, Editor (2014-04-02). "Saudi Arabias New Law Defines Atheism as Terrorism, Bans All Criticism of Government". American Humanist Association (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ "Saudi Arabian - Religion". Cultural Atlas (dalam bahasa Inggris). 2019-01-01. Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ "Saudi Arabia". United States Department of State (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ "Saudi Arabia". APPG for International Freedom of Religion or Belief (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ name="ibnghannam">Ibn Ghannam, Hussien (1961). Tarikh najd. Cairo. hlm. 438. Pemeliharaan CS1: Lokasi tanpa penerbit (link)
- ^ Die Welt des Islams: Zeitschrift der Deutschen Gesellschaft für Islamkunde, Volume 37, page 289
- ^ Najjar, Omaima Al. "The Saudi Shia: Between an Iranian rock and a Saudi hard place". Al Jazeera (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ "Muhammad", Encyclopedia of Islam Online
- ^ Review, Eurasia (2024-03-06). "Ramadan And The Importance Of The Constitution Of Medina – OpEd". Eurasia Review (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ "Jizyah | Definition & Facts | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). 2025-04-03. Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Ira M. Lapidus. Islamic Societies to the Nineteenth Century: A Global History. hlm. 345.
- ^ katzcenterupenn. "What Do You Know? Dhimmi, Jewish Legal Status under Muslim Rule". Katz Center for Advanced Judaic Studies (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ "Expel Jews and Christians from Arabia?". About Islam (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Elias, Abu Amina (2019-02-10). "Expel Jews and Christians from Arabian Peninsula?". www.abuaminaelias.com (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Heather J. Sharkey (2012). Introducing World Christianity. Wiley-Blackwell. hlm. 10. ISBN 978-1-4443-4454-7.
- ^ "Pact of Umar".
- ^ The Torah itself set forth rules for dress that set Jews apart from the communities in which they lived.Eric Silverman, A Cultural History of Jewish Dress, A&C Black, 2013 ISBN 978-0-857-85209-0 pp. 47, xv, 24:'At 2 Maccabees 4:12 it is recorded that the Maccabees slaughtered Jewish youths guilty of Hellenizing in wearing caps typical of Greek youths. The first of the other Abrahamic religions to impose a distinctive mode of dress on Jews was Islam, beginning with decrees set forth by the Abbasid caliph Al-Mutawakkil obliging non-Muslims (dhimmis) to wear distinctive marks, – buttons on their caps, patches on their sleeves, and generally honey-coloured garbs, – on their clothing in order to mark them off from members of the Muslim communities.'; ‘a twelfth century [Christian] synod decreed the first of many edicts which required Jews to don peculiar garb. These outfits marked Jews as Otherly-to be shunned, despised, …and sometimes murdered… . But Jews also dressed differently in premodern Europe because their rabbis understood any emulation of non-Jews as a violation of the divine law as revealed by God to Moses atop Mount Sinai. The Five Books of Moses, after all, together called the Torah, clearly specify that Jews must adhere to a particular dress code-modesty, for example, and fringes. The very structure of the cosmos demanded nothing less. Clothing, too, served as a "fence" that protected Jews from the profanities and pollutions of the non-Jewish societies in which they dwelled. From this angle, Jews dressed distinctively as God's elect.'
- ^ "Umayyad dynasty | Achievements, Capital, & Facts | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). 2025-04-24. Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ a b "Millet System in the Ottoman Empire". obo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Masters, Bruce Alan (2001). Christians and Jews in the Ottoman Arab world: the roots of sectarianism. Cambridge University Press. ISBN 0-521-80333-0. OCLC 897353876.
- ^ Munt, Harry (2015-06). ""No two religions": Non-Muslims in the early Islamic Ḥijāz". Bulletin of SOAS (dalam bahasa Inggris). 78 (2): 249–269. doi:10.1017/S0041977X14001049. ISSN 0041-977X.
- ^ Gavrilis, George; Barkey, Karen. "THE OTTOMAN MILLET SYSTEM: NON-TERRITORIAL AUTONOMY AND ITS CONTEMPORARY LEGACY". doi:10.1080/17449057.2015.1101845.
- ^ Esposito 2003, hlm. 123, "Muhammad ibn Abd al-Wahhab"
- ^ Knowles, Elizabeth (2005). Oxford Dictionary of Phrase and the Fable (Edisi 2nd). Oxford University Press. ISBN 9780198609810.
Wahhabi.. sebuah sekte Muslim Sunni ortodoks yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–92). Ini menganjurkan kembali ke Islam awal Al-Qur'an dan Sunnah
- ^ Mattar, Philip (2004). ENCYCLOPEDIA OF THE Modern Middle East & North Africa: Second Edition. Farmington Hills, MI: Thomson Gale. hlm. 1625. ISBN 0-028659872.
- ^ Peri Bearman; Thierry Bianquis; C Edmund Bosworth; E J Van Donzel; Wolfhart Heinrichs, ed. (2002). The Encyclopedia of Islam: New Edition Vol. XI. Leiden: Brill. hlm. 39. ISBN 90-04127569.
- ^ Committee, Committee (2024-05-29). "First Saudi State". Saudipedia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Metz, Helen Chapin (1992). "The Saud Family and Wahhabi Islam" (PDF). Salem Press.
- ^ "Saud dynasty | History, Kings, Founder, Royal Family, & House | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Isnanto, Bayu Ardi. "Wahabi Adalah: Kenali Sejarah, Ciri-ciri, dan Perbedaan 5 Manhaj". detikhikmah. Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Liputan6.com (2023-03-22). "Apa Itu Wahabi? Kenali Pengertian, Sejarah, dan Ciri-cirinya". liputan6.com. Diakses tanggal 2025-05-12. Pemeliharaan CS1: Nama numerik: authors list (link)
- ^ "Pengertian Wahabi". luk.staff.ugm.ac.id. Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Slackman, Michael (May 9, 2007). "Saudis struggle with conflict between fun and conformity". The New York Times. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 18 January 2023. Diakses tanggal 30 August 2018.
- ^ "Saudi Arabia 2021 Human Rights Report" (PDF). U.S. Department of State. 17 July 2022. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 5 August 2022.
- ^ Perempuan, Bincang (2024-08-02). "Perempuan Arab Saudi: Perjuangan Menuju Kebebasan dan Kesuksesan". Bincang Perempuan (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ "The Personal Status Law". FAC (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ "Haia can't chase, arrest suspects". arabnews.com. 14 April 2016. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 21 June 2016. Diakses tanggal 14 April 2016.
- ^ Commins, David Dean (2015). Islam in Saudi Arabia. I.B. Tauris. hlm. 66. ISBN 9781848858015. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 15 February 2023. Diakses tanggal 4 March 2022.
- ^ Holleis, Jennifer (10 March 2023). "Saudi Arabia rebrands as Ramadan approaches". Deutsche Welle. Diarsipkan dari asli tanggal 11 March 2023.
- ^ Saeed, Abdullah; Saeed, Hassan (2004). Freedom of religion, apostasy and Islam. Ashgate Publishing. hlm. 227. ISBN 0-7546-3083-8.
- ^ Adam Withnall (1 April 2014). "Saudi Arabia declares all atheists are terrorists in new law to crack down on political dissidents - Middle East - World". The Independent. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 15 December 2016. Diakses tanggal 27 December 2014.
- ^ "2013 Report on International Religious Freedom:Saudi Arabia". state.gov. Washington, D.C.: United States Department of State. 28 July 2014. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 18 January 2023. Diakses tanggal 12 February 2020.
- ^ val. "Non-Muslim Dilarang ke Mekkah, Ada Pengecualian dari Kerajaan Saudi?". internasional. Diakses tanggal 2025-05-12.
- ^ Harbani, Rahma. "Bolehkah Nonmuslim Masuk ke Masjidil Haram?". detikhikmah. Diakses tanggal 2025-05-12.