Kebudayaan Toala
![]() | |
Jangkauan geografis | Sulawesi Selatan, Indonesia |
---|---|
Periode | Holosen Tengah, Mesolitikum |
Tanggal | Sekitar 7000 SM sampai 500 SM.[1] |
Situs induk | Leang Panninge (4°46′28″S 119°56′23″E / 4.77444°S 119.93972°E), Leang Bulu’ Sipong |
Diikuti oleh | Migran Austronesia |
Kebudayaan Toala adalah kebudayaan pemburu-pengumpul yang dilakukan oleh orang Toala yang hidup di Pulau Sulawesi pada periode Holosen Tengah sampai Holosen Akhir.[2][3] Akhir dari kebudayaan Toala setelah orang Austronesia dari Asia daratan menyebar ke Pulau Sulawesi sekitar 3500 tahun lalu.[4]
Periodisasi dan pelaku budaya
Periode kebudayaan Toala dikelompokkan sebagai masa prasejarah Sulawesi Selatan.[5] Kebudayan Toala merupakan salah satu kebudayaan yang telah diakui pernah menjadi bagian dari masa pra-neolitikum dalam kronologi prasejarah Indonesia.[6][7] Periode kebudayaan Toala termasuk dalam Zaman Mesolitikum.[8] Perkembangan kebudayaan Toala berlangsung antara 5000 hingga 1000 SM berdasarkan hasil pengukuran karbon-14 pada temua arkeologi di gua-gua yang ada di Sulawesi Selatan.[9]
Pelaku budaya
Kebudayaan Toala diterapkan oleh orang Toala yang menghuni sebagian wilayah Sulawesi Selatan sejak Kala Holosen Awal hingga Milenium ke-1 Sebelum Masehi. Orang Toala hidup secara menyebar di dalam gua-gua maupun situs terbuka pada hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan.[10] Dalam catatan sejarah yang dihasilkan melalui penyelidikan atas kebudayaan mesolitikum pada gua-gua di Kawasan Lamoncong, orang Toala dinyatakan memiliki hubungan kekerabatan dengan suku Wedda di Sri Lanka.[11] Tubuh orang Toala mirip dengan bentuk manusia purba pada masa sekitar 6.000 tahun lalu.[12]
Wilayah cakupan budaya
Lokasi perkembangan kebudayaan Toala di wilayah Sulawesi Selatan.[13] Kebudayaan Toala diterapkan secara menyebar pada gua-gua yang berada dalam kawasan pegunungan batu kapur di Sulawesi Selatan. Cakupan wilayahnya meliputi Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kabupaten Maros, Kabupaten Bone, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Bantaeng.[14][6] Namun gua-gua yang menjadi pusat kebudayaan dengan peninggalan kebudayaan Toala yang melimpah terdapat di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dan Kabupaten Maros.[15] Pemilihan gua-gua dalam kebudayaan Toala selalu berada di dekat sungai yang merupakan penyedia bahan makanan berupa ikan, kerang dan siput.[16]
Kegiatan harian dan teknologi
Dalam kebudayaan Toala, sumber peghidupan yang utama diperoleh melalui perburuan hewan darat maupun hewan perairan dan mengumpulkan bahan makanan.[17] Hewan buruan utama dalam kebudayaan Toala ialah anoa berdasarkan temuan tulang hewan di gua-gua dalam kawasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajenen dan Kepulauan. Spesies anoa yang dikonsumsi dalam kebudayaan Toala meliputi anoa dataran rendah (Anoa deppressicornis) dan anoa pegunungan (Anoa quarlesi).[18]
Kegiatan perburuan dan mengumpulkan makanan dalam kebudayaan Toala setiap hari dengan menggunakan batu serpih yang dibuat dengan cara dipukul-pukul pada semua sisinya dan tanpa diasah.[19] Orang Toala dalam kebudayaan Toala melangsungkan kehidupan sehari-hari menggunakan peralatan berbahan batu dengan bentuk serpih-bilah.[6] Peralatan yang digunakan pada kebudayaan Toala sangat beragam jenisnya.[7] Ada peralatan pada kebudayaan Toala yang berupa batu berukuran kecil dan tipis.[20] Batu-batu ini memiliki sisi terpancung. Ada juga batu serpih yang hanya dihaluskan tepian bagiannya yang tajam. Penemuan peralatan batu di wilayah Kabupaten Maros berupa rijang yang kemudian disebut sebagai lancipan-lancipan Maros.[7]
Kepunahan budaya
Kebudayaan Toala berakhir dengan kepunahan orang Toala. Penyebab kepunahan orang Toala ialah karena kedatangan bangsa penutur bahasa Austronesia yang memiliki teknologi baru berupa kemampuan membuat ramuan dan bercocok tanam. Kehadiran bangsa Austronesia membuat orang Toala yang hidup secara primitif tersingkirkan hingga mengalami kepunahan. Dua orang naturalis sekaligus pakar etnologi yaitu Paul Sarasin dan Fritz Sarasin menemukan jejak orang Toala terakhir di Kawasan Lamoncong, Kabupaten Maros.[21]
Referensi
- ^ Langley, Michelle (2023). "Shark-tooth artefacts from middle Holocene Sulawesi". Antiquity. 97 (396). Cambridge University Press: 1420–1435. doi:10.15184/aqy.2023.144. hdl:10072/427255. Diakses tanggal 24 October 2023.
- ^ Yinika L. Perston, Mark Moore, Suryatman, Michelle Langley, Budianto Hakim, Adhi Agus Oktaviana, Adam Brumm (26 May 2021). "A standardised classification scheme for the Mid-Holocene Toalean artefacts of South Sulawesi, Indonesia". PLOS ONE. 16 (5): e0251138. Bibcode:2021PLoSO..1651138P. doi:10.1371/journal.pone.0251138. PMC 8153489. PMID 34038416. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
- ^ Heekeren, H. R. van (1972). The stone age of Indonesia. The Hague, Nijhoff.
- ^ Asmito (1992). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press. hlm. 13. ISBN 978-979-810-775-7. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Carstens, Sharon A., ed. (1986). Research in International Studies: Southeast Asia series. Ohio University Center for International Studies, Center for Southeast Asian Studies. hlm. 52. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ a b c Mahmud, M. I., dkk. (2017). Mahmud, M. I., dan Hakim, B. (ed.). Butta Toa: Jejak Arkeologi Budaya Toala, Logam dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng (PDF). Kota Makassar & Kota Yogyakarta: Balai Arkeologi Sulawesi Selatan & Penerbit Ombak. hlm. 1. ISBN 978-602-258-461-2. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ a b c Forestier, Hubert (2007). Simanjuntak, Truman (ed.). Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek Gunung Sewu, Jawa Timur [Technologie et typologie de la pierre taillée de deux sites holocènes des Montagnes du Sud de Java (Indonésie)] (PDF). Diterjemahkan oleh Sirait, G., Perret, D., dan Budipranoto, I. Jakarta Selatan: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 65. ISBN 978-979-91-0064-1. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: translators list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Asmito (1992). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press. hlm. 13. ISBN 978-979-810-775-7. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Agussalim (Juni 2016). Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Sleman: Deepublish. hlm. 9–10. ISBN 978-602-401-358-5. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Hasanuddin, dkk. (2016). Hasanuddin & Bernadeta AKW (ed.). Lembah Walennae: Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng (PDF). Kota Makassar dan Kota Yogyakarta: Balai Arkeologi Sulawesi Selatan & Penerbit Ombak. hlm. 1. ISBN 978-602-258-388-2. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Mukhlis P., dkk. (1995). Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 22. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Wenas, Jessy (April 2007). Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. hlm. 30. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Wiradnyana, Ketut (September 2010). Legitimasi Kekuasaan pada Budaya Nias: Panduan Penelitian Arkeologi dan Antropologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 113. ISBN 978-602-433-172-6. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 850. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Suprapta, Blasius (2019). Indarwati, Lucia (ed.). Makna Lukisan Dinding Gua: Daerah Pangkep Dalam Kehidupan Mesolitik – Perspektif Semiotika Charles S. Peirce. Sleman: PT Kanisius. hlm. 8. ISBN 9789792168471. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Sumantri, Iwan (2004). Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. Makassar: Bagian Proyek Pemanfaatan Peninggalan, Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan. hlm. 23. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Proyek Sasana Budaya (1978). Petunjuk wisata budaya daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 48. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Suprapta, Blasius (2019). Indarwati, Lucia (ed.). Makna Lukisan Dinding Gua: Daerah Pangkep Dalam Kehidupan Mesolitik – Perspektif Semiotika Charles S. Peirce. Sleman: PT Kanisius. hlm. 275. ISBN 978-979-21-6847-1. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Fadli, Z., dkk. (Juli 2024). Tindaon, Rosmegawati (ed.). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Agam: Penerbit Tri Edukasi Ilmiah. hlm. 43–44. ISBN 978-623-10-2013-0. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Ibrahim, M., dkk. (1991). Soejanto (ed.). Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 22. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Rusdianto, Eko (Desember 2021). Meneropong Manusia Sulawesi: Di antara Pencarian Leluhur, Ramalan Hingga Ancaman Ekologi. Gowa: Penerbit Akasia. hlm. 130–131. ISBN 978-623-98085-1-8. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)