Kegubernuran di Hindia Belanda
Kegubernuran atau gubernemen adalah nama dari beberapa gewest di Hindia Belanda (kini Indonesia):
- Dependensi Aceh - 1874 - ibukota Kutaraja (kini Banda Aceh.
- Pantai Barat Sumatra - 1913 (kemudian keresidenan) - ibukota Padang.
- Dependensi Borneo - 1846-1848. Ibukota Sintang.
- Dependensi Celebes - 1824-1924 (menjadi keresidenan di tahun 1925) - ibukota Makassar.
- Maluku - 1817-1867 dan 1925-1935 (menjadi keresidenan di tahun 1935) - ibukota Ambon.
Pada tahun 1925, Jawa dan Madura, yang telah dibagi menjadi 3 provinsi (Jawa Barat, Tengah, dan Timur), dibagi atas 2 kegubernuran:
- Yogyakarta, beribukota di Yogyakarta.
- Surakarta, beribukota di Surakarta, juga disebut Solo.
Pada tahun 1938, Daerah Luar dibagi atas 3 kegubernuran:
- Sumatra, beribukota di Medan.
- Borneo, beribukota di Banjarmasin.
- Timur Raya, beribukota di Makassar.
Kegubernuran Nugini Belanda adalah wilayah seberang lautan antara tahun 1949-1962.
Provinsi dan kegubernuran kemudian dibagi lagi menjadi keresidenan.
Kegubernuran diperintah oleh gubernur, yang secara hukum diangkat oleh GubJend. Sejak tahun 1862, Gubernur Sumatra's Westkust adalah pegawai negeri sipil, yang sebelumnya hanya perwira medan. Sehubungan dengan reorganisasi kegubernuran, pada bulan September 1898, diangkatlah gubernur sementara.
Literatur
- Encyclopædie van Nederlandsch-Indië. 's-Gravenhage dan Leiden: Martinus Nijhoff en E.J. Brill, 4 bagian dan 4 suplemen, 1917-1939.[1]
- Cribb, Robert, Historical Atlas of Indonesia. Richmond Surrey: Curzon Press, 2000. ISBN 0-7007-0985-1.
Referensi
- ^ Jilid 1: 4 bagian dari sekitar tahun 1895-1905. 's-Gravenhage en Leiden, s.a.