More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Kerajaan Bantaeng - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Bantaeng - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Bantaeng

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Bantaeng adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Semenanjung Selatan Sulawesi sejak pertengahan abad ke-13 Masehi. Kerajaan ini merupakan kerajaan kecil yang mendukung Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kerajaan Bantaeng memiliki peninggalan arkeologi berupa terakota, makam kuno, dan tembikar. Selain itu, masyarakat kerajaan ini dikenal dengan kebiasaannya dalam mengoleksi barang antik.[1] Kerajaan Bantaeng berkembang sebagai wilayah perdagangan dan pertanian sejak awal abad ke-13 hingga awal abad ke-17.[2]

Pendirian

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1254 M, tujuh penguasa kerajaan yang berkuasa di wilayah yang kini disebut Kabupaten Bantaeng saling bersepakat untuk mendirikan kerajaan persatuan dengan menggabungkan wilayah ketujuh kerajaan. Ketujuh kerajaan tersebut ialah Kerajaan Onto, Kerajaan Bissampole, Kerajaan Lawi-Lawi, Kerajaan Katapang, Kerajaan Mamampang dan Kerajaan Sinoa. Masing-masing dipimpin oleh seorang penguasa yang digelari Kare. Kerajaan yang baru didirikan dinamakan Kerajaan Bantaeng. Penguasa pertamanya bernama Mula Tau dengan gelar To Toa dan berkuasa sejak tahun 1254 M hingga 1293 M.[3]

Bab ke-13 dan ke-14 dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1364 M, telah tercantum nama Bantayan yang merujuk kepada Kerajaan Bantaeng. Penyebutan Bantayan dalam bab tersebut berkaitan dengan penyebutan nama-nama wilayah kekuasaan Majapahit selama masa pemerintahan Gajah Mada.[4]

Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Bantaeng menjalankan pemerintahan secara adat, yaitu melalui Adat Sampuloruwa. Tugas dari anggota Adat Sampuloruwa adalah membuat hukum kerajaan dan memelihara tradisi dan adat-istiadat. Setelah pemindahan istana kerajaan dari Onto ke Karatuang, raja Kerajaan Bantaeng memakai gelar Karaeng. Raja menjadi penguasa tertinggi pemerintahan dan dibantu oleh perdana menteri bergelar Gallarang. Selain itu, dibentuk juga jabatan Karaeng Sallewatan yang bertugas mewakili raja apabila dalam keadaan berhalangan untuk menghadiri suatu pertemuan. Selain itu, terdapat seorang kepala pemerintahan di wilayah pegunungan yang disebut Karaeng Tompokbulu.[5]

Perekonomian

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Bantaeng merupakan daerah penghasil pangan untuk Kerajaan Gowa.[6] Selain itu, Kerajaan Bantaeng menjalin hubungan dengan Kerajaan Wajo di bidang perdagangan. Para pedagang dari Kerajaan Wajo menetap di Bantaeng untuk berdagang.[7] Kerajaan Bantaeng terletak di tepi jalur perdagangan rempah-rempah di daerah penghasilnya pada wilayah Indonesia Timur. Pada abad ke-13 Masehi, pusat perdagangan di Kerajaan Bantaeng terletak di bagian timur yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Gantarang Keke. WIlayah Kerajaan Gantarang Keke terletak di tepian sungai Biangkeke dengan dataran subur dan pengairan yang baik untuk persawahan. Komoditas lokal berupa padi dari Kerajaan Gantarang Keke menjadi barang yang diperdagangkan di Kerajaan Bantaeng untuk ditukar dengan barang impor seperti keramik dari Dinasti Song, Tiongkok.[8]

Pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi, lahan persawahan di Kerajaan Bantaeng mengalami perluasan dari bagian timur ke bagian tengah hingga ke bagian barat wilayahnya. Lahan persawahan diadakan pada wilayah Kerajaan Gantarang Keke di bagian timur, Kerajaan Bissampole di bagian tengah, dan Kerajaan Sinowa di bagian barat, dengan pemusatan di Kerajaan Bissampole. Pada tahun 1666, lahan persawahan di bagian tengah Kerajaan Bantaeng menghasilkan surplus padi. Dalam catatan yang ditulis oleh Cornelis Speelman pada tahun 1666, ia dan pasukannya berhasil membakar sekitar 100 perahu yang berlabuh di bagian tengah Kerajaan Bantaeng yang diperkirakan mengangkut beras dengan berat sekitar 6.000 ton.[9]

Hubungan luar negeri

[sunting | sunting sumber]

Pada awal pendiriannya, Kerajaan Bantaeng merupakan kerajaan mandiri.[10] Kerajaan Bantaeng membangun hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Bone. Hubungan ini terjalin melalui pernikahan Arung Palakka dengan putri bangsawan Bantaeng yang bernama I Makkawani.[7] Setelah Kerajaan Gowa mulai memperluas wilayahnya, Kerajaan Bantaeng menjadi bagian dari Kerajaan Gowa secara damai.[10]Selain itu, kerajaan ini juga menjadi wilayah pertahanan Kerajaan Gowa dalam menghadapi serangan Belanda dari arah Maluku. Setelah Kerajaan Bantaeng dikuasai oleh Hindia Belanda, wilayahnya menjadi salah satu pusat pemerintahan bagiannya.[6]

Keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Setelah Kerajaan Gowa menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, maka Kerajaan Bantaeng juga melakukannya. Hal ini dilakukan pada masa pemerintahan raja ke-14, yaitu Karaeng Ma'jombeyya ri Jalanjang. Islamisasi kemudian diteruskan oleh tiga orang mubalig. Pertama, Syekh Nurun Baharuddin Taju Nasabandiyah yang merupakan ulama utusan Sultan Alauddin dari Kerajaan Gowa. Kedua, islamisasi oleh Latenriruwa Sultan Adam yang merupakan raja Kerajaan Bone yang ke-11. Terakhir, islamisasi dilakukan oleh Datok Kalimbungan yang berasal dari Sumatera.[11]

Raja-raja

[sunting | sunting sumber]

Para raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Bantaeng secara berturut-turut yaitu:[12]

  1. To Toa (1254-1293)
  2. Massanigaya (1293)
  3. To Manurung Karaeng Loe (1293-1332)
  4. Massaniga Maratuang (1332-1362)
  5. Maradiya (1368-1397)
  6. Massadigaya (1397-1425)
  7. I Janggong Karaeng Loea (1425-1453)
  8. Massaniga Karaeng Niaga (1453-1482)
  9. Karaeng Putu Dala (1402-1509)
  10. Tutinrowa Ri Jalanjang (1509-1532)
  11. Karaeng Dewata (1532-1560)
  12. Karaeng Bondenga Tu Nitambanga (1560-1576)
  13. Karaeng Barrang Tuma Parisika Bongkona (1576-1590)
  14. Karaeng Majjombeya ri Jalanjang (1590-1620)
  15. Karaeng Bonang Karaeng Loea (1620-1652)
  16. Karaeng Baso To Ilanga Ritamala(1652-1670)
  17. Makkawani Daeng Talele (1670-1672)
  18. Daeng Ta Karaeng Baso (1672-1687)
  19. Daeng Ta Karaeng Ngalle (1687-1724)
  20. Daeng Ta Manangkasi (1724-1756)
  21. Daeng Ta Karaeng Loka (1756-1787)
  22. I Bagala Daeng Mangnguluang (1787-1825)
  23. Petta Tjalleng To Mangnguliling (1825-1826)
  24. Daeng To Nace (1826-1830)
  25. Mappaumba Daeng To Magassing (1830-1850)
  26. Daeng To Pasaurang (1850-1860)
  27. Karaeng Basunu (1860-1866)
  28. Karaeng Butung (1866-1877)
  29. Karaeng Panawang (1877-1913)
  30. Karaeng Pawiloi (1913-1933)
  31. Karaeng Mangkala (1933-1939)
  32. Karaeng Andi Manappiang (1939-1945)
  33. Karaeng Pawiloi (1945-1950)
  34. Karaeng Andi Manappiang (1950-1952)
  35. Karaeng Massoalle (1952)

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Hasanuddin 2009, hlm. 33.
  2. ^ Hasanuddin 2009, hlm. 34.
  3. ^ Fahruddin (2017). Biografi Nurdin Abdullah. Jakarta Selatan: Noura Books. hlm. 87. ISBN 978-602-385-362-5. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  4. ^ Sewang, Ahmad M. (April 2005). Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVII. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 16. ISBN 979-461-530-7. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  5. ^ Sakka 2014, hlm. 69.
  6. ^ a b Narti, Bahri, dan Bosra 2019, hlm. 58–59.
  7. ^ a b Sakka 2014, hlm. 70.
  8. ^ Nur 2017, hlm. 134.
  9. ^ Nur 2017, hlm. 135.
  10. ^ a b Narti, Bahri, dan Bosra 2019, hlm. 58.
  11. ^ Sakka 2014, hlm. 71.
  12. ^ Sakka 2014, hlm. 68–69.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Hasanuddin (Februari 2009). "Permukiman di Sepanjang Daerah Aliran Sungai Biang Keke dan Calendu Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan". Walennae. 11 (1): 33–50. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Nart, Bahri, dan Bosra, M (Desember 2019). "Andi Mannappiang: Raja, Pejuang dan Penegak Hukum, 1905-1962". Pattingalloang. 6 (3): 58–65. ISSN 2686-6463. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Nur, M. (2017). "Awal Logam di Bantaeng dan Bentuk Warisannya". Dalam Mahmud, M. I., & Hakim, B. (ed.). Butta Toa: Jejak Arkeologi Budaya Toala, Logam dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng (PDF). Kota Makassar & Kota Yogyakarta: Balai Arkeologi Sulawesi Selatan & Penerbit Ombak. hlm. 125–142. ISBN 978-602-258-461-2. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Sakka, La (Juni 2014). "Historiografi Islam Di Kerajaan Bantaeng". Al-Qalam. 20 (1): 65–74. doi:10.31969/alq.v20i1.175. ISSN 2540-895X. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kerajaan_Bantaeng&oldid=27676237"
Kategori:
  • Kerajaan di Sulawesi Selatan
Kategori tersembunyi:
  • Pemeliharaan CS1: Status URL
  • Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan
  • Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list
  • Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list

Best Rank
More Recommended Articles