Konflik Banten–Mataram
Konflik Antara Kesultanan Mataram dan Banten dilatar belakangi oleh keinginan Mataram untuk menguasai seluruh pulau Jawa.
Konflik Banten–Mataram | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
| |||||||||
Pihak terlibat | |||||||||
![]() Pemberontak dari Trunajaya | |||||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||||
![]() ![]() ![]() ![]() Kartajiwa Trunajaya |
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() Rangga Gede (POW) |
Latar Belakang
Pada tahun 1624, Mataram menaklukkan Madura dan pada tahun 1625 merebut pelabuhan Surabaya. Parahyangan dibawah Sumedang Larang dan Cirebon yang merupakan hak Banten setelah meruntuhkan Kerajaan Sunda pada 1579, pada masa ini juga direbut oleh Mataram.
Banten dan Batavia melihat kekuasaan Mataram semakin besar dan mereka merasa cemas. Waktu raja Madura, yang negerinya dirampas Mataram, melarikan diri ke Kesultanan Banten (1624), ia malah diserahkan ke Mataram untuk dibunuh, demikian pula seorang adipati Sumenep. Hal ini dilakukan Banten karena tidak mau mengambil risiko.
Pada tahun 1628, Mataram meminta Banten supaya menyerahkan diri kepada Mataram namun Banten menolak. Pada tahun 1628 dan 1629, Mataram menyerang Batavia namun gagal. Pada masa ini Banten mengerahkan tentaranya ke perbatasan dengan Batavia di sisi sungai Cisadane untuk siap-siap menjaga kemungkinan serangan kepada Banten.
Sejarah
Dalam tahun 1644, utusan Mataram tiba di Banten. Beda dengan maksud sebelumnya yang meminta Banten agar takluk kepada Mataram, saat ini Mataram memintanya menjadi sekutu. Hanya saja Kesultanan Banten yang saat ini merasa lebih kuat menolak permintaan tersebut,[1] bahkan siap-siap untuk merebut kembali Cirebon dari pengaruh Mataram.
Perang Sumedang–Banten
Perang Banten–Sumedang adalah perang yang terjadi tahun 1627 di daerah Parahyangan antara Kesultanan Banten dengan Kerajaan Sumedang Larang yang saat itu sudah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram. Perang ini dipicu karena kerjasama antara anak dari Rangga Gempol I yaitu Kartajiwa atau Dipati Aria Suriadiwangsa II serta Sultan Abu al-Mafakhir dengan tujuan untuk menaklukan daerah Parahyangan ke dalam wilayah Banten.[2][3]
Banten akhirnya melancarkan serbuan ke daerah Parahyangan di tahun 1627, yang dilakukan melalui jalur darat dan laut. Daerah pesisir utara seperti Karawang, Pamanukan dan Ciasem menjadi sasaran awal dari serbuan ini dan berhasil diduduki oleh pasukan Banten.[4][5]
Pertempuran Karawang[a]
Kabar serbuan pasukan Banten di Karawang terdengar oleh Sultan Agung. Lalu Sultan Agung mengutus Aria Wirasaba dengan 1.000 prajuritnya untuk mengusir pasukan Banten yang ada di Karawang, tetapi sesampainya di Karawang Aria Wirasaba hanya menyisakan 300 pasukannya, karena melihat kekuatan Banten yang begitu besar, Aria Wirasaba memutuskan untuk menunda penyerangan untuk mengumpulkan kekuatan terlebih dahulu. Karena Sultan Agung tidak pernah mendengar kabar dari Aria Wirasaba, Sultan Agung langsung menyatakak bahwa tugas Aria Wirasaba gagal. [6][7]
Lalu Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa untuk mengusir tentara Banten. Dengan keberanian dan kegigihannya Wiraperbangsa berhasil mengusir tentara Banten yang berada di Karawang, Wiraperbangsa pun diberi jabatan Wedana oleh Sultan Agung, dan deri gelar "Raden Adipati Kertabumi III" dan diberi hadiah sebilah keris oleh Sultan Agung yang bernama "Karosinjang"[6][7][8][9]
Kabar serbuan dari Banten yang sampai ke telinga Sultan Agung membuatnya marah dan menganggap Rangga Gede tidak mampu mempertahankan daerahnya. Sultan Agung lalu memerintahkan pasukan Mataram untuk menuju Sumedang untuk memberhentikan Rangga Gede sebagai bupati wedana dan menawannya untuk dipenjarakan di ibukota Mataram.
Setelah Rangga Gede ditahan di ibukota Mataram, jabatan dirinya sebagai bupati wedana daerah Parahyangan diserahkan kepada Wangsanata atau Dipati Ukur yang kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Sumedang ke daerah Ukur (sekarang Bandung) yang merupakan basis pendukungnya.[2][10] Disana ia lalu menyusun kekuatan dari pasukan Mataram untuk mengusir tentara Kesultanan Banten dari wilayah pesisir utara Parahyangan. Serbuan balik yang dilakukan oleh Dipati Ukur berhasil mengusir pasukan Banten dari daerah pesisir utara, memaksa Kartajiwa untuk menarik mundur pasukan Banten dan mundur ke wilayah kekuasaan Banten di sebelah barat sungai Cisadane.
Perang Pacirebonan
Pada saat Banten diperintah oleh Sultan Abulmafakhir, pada tahun 1646, saat Amangkurat menggantikan Sultan Agung, Mataram masih ingin menaklukan Banten. Awal tahun 1648 Banten mengambil langkah besar untuk menangkal kemungkinan serangan: kapal-kapal perang besar dibangun dan para penduduk di sekitar kota diperintahkan untuk masuk kedalam perlindungan benteng kota. Usaha tersebut dirasakan manfaatnya beberapa tahun kemudian. Dua tahun kemudian, dua misi diplomatik tiba di Banten; mereka meminta agar Banten menyerahkan diri kepada Mataram. Banten menjawab bahwa Banten hanya tunduk kepada pimpinan besar di Mekah. Mataram segera memberikan reaksi dengan mengirim armada angkatan laut dari Cirebon, vasal Mataram, untuk menyerang Banten. Terjadilah pertempuran sengit di lautan sekitar Tangerang. Banten memenangkan pertempuran ini serta membunuh lima ratus tentara Cirebon. Dengan demikian Mataram dapat dikalahkan oleh Banten.[11][12][1]
Saat Sultan Ageng Tirtayasa menjadi sultan Banten, Mataram masih juga tidak menghentikan niatnya untuk menguasai Banten. Tapi karena trauma dengan kekalahan angkatan perangnya, saat ini strategi penguasaan dilakukan dengan upaya mengawinkan anak perempuan Sultan Ageng Tirtayasa dengan anak laki-laki sultan Mataram. Usaha tersebut gagal akibat meletusnya perang Inggris – Belanda dimana Banten turut dalam perang ini serta memihak Inggris.
Masa pemberontakan Trunajaya
Amangkurat I selaku Sultan Mataram yang sangat pro dengan Belanda sangat tidak disukai oleh banyak rakyatnya, Berdeba dengan ayahnya yaitu Sultan Agung yang sangat anti dengan Belanda.
Hingga muncul pemberontakan yang besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan Karaeng Galesong. Banten sangat mendukung pemberontakan Trunajaya ini karena ketidak sukaan dengan kepemimpinan Amangkurat I, Banten membantu pemberontakan ini dengan cara membekali dengan logistik, persenjataan, dan perbekalan.[13]
Kekosongan pemerintahan di Cirebon
Pada tahun 1661 Amangkurat I mengundang Raja Cirebon (Panembahan Ratu II) untuk mengadakan upacara penghormatan sebagai Raja baru Cirebon, Panembahan Ratu II mengajak kedua anaknya yang bernama Martawijaya dan Kertawijaya ke Mataram. [14][15]
Namun sesampainya disana mereka ditahan oleh Amangkurat I dan tidak boleh kembali ke Cirebon.[14][15] Hingga pada tahun 1677 Panembahan Ratu II wafat di Mataram. Selama 16 tahun Kesultanan Cirebon terjadilah kekosongan kekuasaan karena Rajanya yang ditahan di Mataram, Dan pada masa inilah Cirebon berada dibawah pengaruh Banten[16] dan Mataram.[14][15]
Wangsakerta selaku anak ketiga dari Panembahan Ratu II yang memimpin Cirebon selama 16 tahun ini meminta pertolongan kepada Banten agar menolong untuk membebaskan Martawijaya dan Kertawijaya dari Mataram.[14]
Karena Banten membantu Trunajaya, Banten memanfaatan kesempatan itu untuk membebaskan kedua anak Panembahan Ratu II itu dari tahanan Mataram. Lalu pada tahun 1677 Trunajaya berhasil merebut Plered dari Mataram, sehingga Martawijaya dan Kertawijaya berhasil selamat dari tahanan Mataram dan dipulangkan ke Banten oleh Trunajaya.[14][15][17]
Disingkirkannya wakil Mataram di Cirebon
Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya[18]
Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan[17][18]
Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu:[18]
1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram, 2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita, 3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram, 4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya sendiri, 5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten, 6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung[17][18]
Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima. Martadipa yang pada saat itu telah berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden Trunajaya dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram).[18]
Setelah disingkirkannya wakil Mataram, Banten mengangkat Martawijaya sebagai Sultan Cirebon, namun adanya banyak kontroversi dipihak Cirebon, Banten membagi wilayah Cirebon menjadi 3 bagian yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan,[17] dan ketigany dipimpin oleh masing masing anak dari Panembahan Ratu II yaitu:[15]
- Kesultanan Kasepuhan
Dipimpin oleh Martawijaya
- Kesultanan Kanoman
Dipimpin oleh Kertawijaya
- Kesultanan Kacirebonan
Dipimpin oleh Wangsakerta. [15]
Pertempuran Karawang (1677)
Pasukan Banten dan Pemberontak dari Trunajaya langsung menyerang Karawang yang dipimpin oleh Nata Manggala dan Wangsananga, Karena terkejut atas serangan ini Singaperbangsa lari ke arah Utara, namun di Tunggak Jati Tengah Singaperbangsa ditangkap oleh pemberontak lalu kepalanya di penggal dan dipajang di pusat kota agar masyarakat Karawang saat itu agar tunduk tepada Pemberontak dan Banten. Disaat yang sama penduduk Karawang yang berada di sungai Citarum dan Pantai Karawang mendapat gangguan dari pasukan Banten yang merampas harta mereka dan membunuh penduduk yang ada disana yang tidak setia kepada Banten. Melihat kekacauan ini, Keluarga Singaperbangsa yang dipimpin oleh Singa Derpa Kerta Kumambang mengungsi ke arah Selatan hingga menyebrangi Sungai Citarum.[19][20][21][22][23]
Lihat pula
- Kesultanan Banten
- Batavia
- Mataram
- Perang Sumedang–Cirebon
- Perang Banten–Cianjur
- Penaklukan Surabaya oleh Mataram
Referensi
- ^ a b Yuda, Sanjaya. 2024. 110 Kapal Perang Terlibat dalam Perang Banten dan Cirebon. Radarindramayu.disway.id
- ^ a b "Sekilas Tentang Masa Pemerintahan Pangeran Rangga Gede". inimahsumedang.com (dalam bahasa American English). 2023-01-18. Diakses tanggal 2025-03-08.
- ^ Mamora, Rukman Nurhalim. "Perang Sumedang Melawan Banten, Upaya Penaklukan Wilayah Bekas Pajajaran". Trust Banten. Diakses tanggal 2025-03-26.
- ^ P. Rg. Gede (Kusumahdinata-4) Koesoemadinata IV, [Versi 1]. Geni.com. 2024.
- ^ www.semanticscholar.org https://www.semanticscholar.org/paper/Sumedang-Pada-Masa-Pengaruh-Kesultanan-Mataram-MumuhMuhsin/3c980a9d433dca1c0cd5268b1534f7b9b9f9109d. Diakses tanggal 2025-03-26.
- ^ a b Bintang, T (2007). Catatan sejarah Karawang: dari masa ke masa. History and development of Karawang, Jawa Barat.
- ^ a b Sejarah Singkat Terbentuknya Kabupaten Karawang. karawangbarat.karawangkab.go.id.
- ^ 1. Panembahan Singaperbangsa / Raden Adipati Kertabhumi IV (Kyai Panembahan Singaperbangsa). id.rodovid.org. 2022.
- ^ Suhendra, Endan (2021). Sejarah Kabupaten Karawang pusat logistik Kesultanan Mataram. galajabar.pikiran-rakyat.com.
- ^ Lasmiyati, Lasmiyati (2016-09). "Dipati Ukur dan Jejak Peninggalannya di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung (1627-1633)". Patanjala (dalam bahasa Inggris). 8 (3): 381–396. doi:10.30959/patanjala.v8i3.15. ISSN 2085-9937.
- ^ Hendri, S. Isnaeni (2019). Perang Banten Cirebon di akhir Ramadhan. Historia.id.
- ^ Mutmainah, Ucu (2024). Perang saudara Banten melawan Cirebon menjelang hari raya idul fitri tiba. KabarBanten.com.
- ^ Heni Rosita 2015, hlm. 47.
- ^ a b c d e Sejarah “Kerajaan Cirebon Terpecah Menjadi 3”. aktualid.net. 2024.
- ^ a b c d e f Avirista Midaada 2023.
- ^ Heni Rosita 2015, hlm. 46.
- ^ a b c d Heni Rosita 2015, hlm. 48.
- ^ a b c d e de Graaf 1987, hlm. 140.
- ^ Lutfi Riana, Setiadi (2023). Situs Sejarah dan Cagar Budaya desa Ciranggon. kompasiana.com.
- ^ Panembahan Singaperbangsa. witonggoputih.blogspot.com. 2015.
- ^ SM, Said (2016). Singaperbangsa dan Pantangan Penyembelihan Kambing. daerah.sindonews.com.
- ^ Andri, Budiman S (2023). Misteri Kobak Sumur Karawang. pesulaponline.blogspot.com.
- ^ Panembahan Singaperbangsa/RD Adipati Kertabumi IV. www.geni.com. 2024.
Catatan
- ^ Pertempuran ini masih bagian dari Perang Sumedang–Banten (1627)
Sumber
- Claude Guillot, The Sultanate of Banten, Gramedia Book Publishing Division, Jakarta, 1990
- Adolf Heuken SJ, Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid II, Cipta Loka Caraka, Jakarta,2000
- Adolf Heuken SJ, Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid III, Cipta Loka Caraka, Jakarta,2000
- Avirista, Midaada. (2023). Kesultanan Cirebon Pecah 3 Akibat Memanasnya Hubungan Kerajaan Banten dan Mataram. daerah.sindonews.com
- Heni, Rosita. (2015). Pecahnya Kesultanan Cirebon dan pengaruhnya terhadap masyarakat Cirebon tahun 1677-1752. Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
- de Graaf, Hermanus Johannes. 1987. Runtuhnya istana Mataram. Bogor : Grafiti Pers