Manduro, Kabuh, Jombang
Manduro | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | ![]() | ||||
Provinsi | Jawa Timur | ||||
Kabupaten | Jombang | ||||
Kecamatan | Kabuh | ||||
Kode pos | 61455 | ||||
Kode Kemendagri | 35.17.16.2013 ![]() | ||||
Luas | ... km² | ||||
Jumlah penduduk | ... jiwa | ||||
Kepadatan | ... jiwa/km² | ||||
|
Manduro adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Desa ini memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang unik, yang erat kaitannya dengan migrasi dan permukiman masyarakat Madura serta peninggalan sejarah yang diduga berasal dari masa Kerajaan Majapahit. Desa ini terutama dikenal sebagai tempat kelahiran dan pusat pelestarian kesenian tradisional Sandur Manduro.
Sejarah
Asal-usul Desa Manduro menurut tradisi lisan berawal dari dua orang pelarian dari Madura yang menetap di daerah perbukitan kapur yang saat itu masih berupa hutan. Kedua pelarian tersebut kemudian beranak pinak dan mengembangkan daerah tersebut.
Terdapat beberapa versi dan gelombang kedatangan orang Madura yang diyakini menjadi cikal bakal masyarakat Manduro:
- Gelombang Trunajaya: Versi ini menyatakan bahwa mereka adalah laskar pendukung Trunajaya yang kalah perang melawan Kesultanan Mataram yang dibantu VOC pada sekitar tahun 1679. Karena malu pulang, mereka memilih menetap di perbukitan yang aman.
- Gelombang Majapahit: Versi lain menghubungkannya dengan peran Arya Wiraraja, bangsawan Madura yang membantu Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (1293 M). Diduga, keturunan mereka menyingkir ke perbukitan (seperti Manduro) setelah keruntuhan Majapahit.
- Gelombang Kolonial: Gelombang migrasi juga terjadi pada masa kolonial, yaitu orang-orang Madura yang dikirim sebagai pasukan bantuan Belanda dalam berbagai peperangan (seperti Perang Diponegoro) dan kemudian menetap. Migrasi besar-besaran juga terjadi pada tahun 1900-1930 untuk bekerja di perkebunan di Jawa Timur.
Nama "Manduro" sendiri diduga kuat merupakan perubahan bunyi dari "Madura". Perubahan ini bisa terjadi akibat gejala linguistik epentesis (penambahan fonem) atau idiolek masyarakat setempat. Teori lain menyebutkan bahwa nama ini terinspirasi dari Kerajaan Mandura dalam wayang, yang dipimpin oleh Baladewa.
Geografi dan Pembagian Administratif
Desa Manduro terletak di daerah perbukitan kapur. Desa ini terbagi menjadi beberapa dusun, antara lain:
- Gesing: Dipercaya sebagai daerah pertama yang dihilin. Namanya diambil dari Sunan Geseng, seorang penyebar agama Islam yang menurut legenda "nyilem" (menghilang) di suatu tempat yang kini disebut Sendang Weji.
- Guwo (Goa): Dinamakan dari adanya dinding batu terjal yang diyakini menyimpan mulut goa yang terkunci.
- Mato'an: Nama ini konon berasal dari kata "patokan" atau tugu.
Budaya dan Peninggalan Sejarah
Sandur Manduro
Sandur Manduro adalah kesenian pertunjukan rakyat khas Desa Manduro yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia dari Kabupaten Jombang pada tahun 2017 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[1] Kesenian ini merupakan perpaduan unik antara budaya Jawa dan Madura, yang mencerminkan sejarah masyarakat desa.
Sandur Manduro merupakan seni pertunjukan yang lengkap, memadukan unsur seni musik, tari, teater, seni rupa (topeng dan busana), dan sastra (dialog dan cerita). Pertunjukan ini awalnya berfungsi sebagai ritual untuk menyambut panen raya dan sebagai sarana hiburan warga.[1]
Alat musik pengiringnya terdiri dari kendang, trompet, kendang cimplong, dan gong tiup. Atribut penting lainnya adalah topeng kayu dengan berbagai karakter dan busana tradisional yang pasangan untuk setiap topeng. Pada masa kejayaannya sekitar tahun 1970-an, Sandur Manduro bisa dipentaskan hingga 26 kali dalam sebulan. Namun, pada era modern, frekuensinya menurun drastis menjadi hanya satu atau dua kali dalam setahun akibat pengaruh globalisasi dan menua para senimannya.[1]
Situs Gesing
Di Dusun Gesing terdapat puing-puing batu yang diduga merupakan bekas bangunan dari masa lalu, baik dari era Majapahit maupun kolonial. Namun, belum dilakukan penelitian arkeologi secara mendalam.
Sendang Weji
Sebuah sendang (mata air) yang dikeramatkan dan dipercaya sebagai tempat "nyilem"-nya Sunan Geseng. Masyarakat setempat sering mengadakan selamatan desa di tempat ini.
Demografi dan Bahasa
Hampir seluruh masyarakat Desa Manduro menggunakan bahasa Madura dalam komunikasi sehari-hari, sebuah bukti kuat akan kuatnya pengaruh budaya Madura. Namun, mereka juga fasih berbahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan masyarakat luar desa.
Upaya Pelestarian
Eksistensi Sandur Manduro menghadapi ancaman kepunahan. Untuk menjaga kelestariannya, berbagai upaya dokumentasi dan revitalisasi telah dilakukan, salah satunya oleh Taman Budaya Jawa Timur (UPT Taman Budaya) yang mendokumentasikan kesenian ini dalam bentuk film dokumenter pada tahun 2022.[1]
Pranala luar
Referensi
- ^ a b c d "Pendokumentasian Kesenian Sandur Manduro Jombang". CakDurasim.com. Taman Budaya Jawa Timur. 13 Juni 2022. Diakses tanggal 28 Agustus 2025.
- "Asal Usul Desa Manduro, Kabupaten Jombang". Jawatimuran.Disperpusip.Jatimprov.Go.Id. Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur. 19 Januari 2015. Diakses tanggal 28 Agustus 2025.
- Windrowati, Trinil. (2010). Pertunjukan Sandur Manduro. ISI Press Surakarta.
- "Pendokumentasian Kesenian Sandur Manduro Jombang". CakDurasim.com. Taman Budaya Jawa Timur. 13 Juni 2022. Diakses tanggal 28 Agustus 2025.