Mbah Suro
Mbah Suro | |
---|---|
Kepala Desa Nginggil | |
Masa jabatan 1946 – 31 Juli 1962 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Nginggil, Hindia Belanda | 17 Maret 1921
Meninggal | 5 Maret 1967 Nginggil, Indonesia | (umur 45)
Orang tua |
|
Profesi | Dukun Tokoh Kebatinan |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | Brigade Yadau |
Masa dinas | 1945–? |
Pangkat | Sersan |
Pertempuran/perang | Revolusi Nasional Indonesia Operasi Kamtib |
![]() ![]() |
Muljono alias Surodihardjo (17 Maret 1921 – 5 Maret 1967), atau lebih populer dengan nama Mbah Suro atau Mbah Suro Nginggil, adalah seorang dukun, tokoh kebatinan, sukarnois, dan kepala desa asal Kabupaten Blora.
Lahir dengan nama Muljono, Mbah Suro berasal dari latar belakang keluarga terpandang di desa Nginggil. Ayahnya adalah seorang kepala desa dan ia berasal dari keturunan pendiri Nginggil. Pada masa Revolusi Nasional, Ia ikut serta dalam perjuangan melawan Belanda dengan bergabung ke Brigade Yadau. Setelah itu, ia menjabat sebagai Kepala Desa Nginggil selama 16 tahun (1946 - 1962).
Seusai mengundurkan diri sebagai kepala desa, Mbah Suro memfokuskan diri menjadi seorang tokoh kebatinan. Ia mendirikan padepokan di Nginggil dan memiliki pengikut. Pasca peristiwa G30S, Suro semakin mendapatkan perhatian lebih karena banyak anggota PKI yang melarikan diri ke padepokannya.
Keberadaan pelarian anggota PKI membuat Panglima Dipenegoro memerintahkan Suro untuk menutup padepokannya. Perintah tersebut selalu ditolak olehnya sehingga membuat pihak ABRI memutuskan untuk mengirim pasukannya ke Nginggil pada 5 Maret 1967. Dalam Operasi militer di Nginggil, ia mengalami kekalahan dan sempat ditangkap. Namun ia tewas pada 5 Maret 1967 karena mencoba untuk melarikan diri.
Kehidupan awal dan pendidikan
Muljono lahir di Nginggil pada tanggal 17 Maret 1921. Ia adalah keturunan dari pendiri Desa Nginggil.[1] Ayahnya, Resosemito, adalah seorang Kepala Desa Nginggil dan ibunya bernama Sumitah.[2] Ia memiliki enam adik yang semua perempuan dan bersekolah di sekolah rakyat. Selama masa sekolahnya, ia dikenal sebagai siswa yang malas dan memiliki performa akademik yang buruk. Selain itu juga, ia memiliki watak nakal selama masa kecilnya. Meskipun begitu, ia lulus dari sekolah rakyat.[1]
Karier awal
Pada masa Revolusi Nasional, Muljono bergabung ke Brigade Yadau yang dipimpin oleh Ahmad Wiro dengan pangkat sersan. Brigade ini merupakan bagian dari Tentara Laut Republik Indonesia.[1]
Pada tahun 1946, Muljono diangkat sebagai Kepala Desa Nginggil melalui pemilihan kepala desa yang mana ia memperoleh suara sebanyak 100%.[1][3] Pada 1960, ia dilaporkan menjadi simpatisan BTI dan PKI.[4]
Pada 24 April 1962, ia mengirimkan surat permohonan pemberhentian sebagai Kepala Desa Nginggil kepada Residen Pati. Permintaan tersebut diterima dan Muljono berhenti sebagai kepala desa pada 31 Juli 1962.[5] Menurut Ramelan, Muljono mengundurkan diri sebagai kepala desa karena keterlibatannya dalam penyerobotan tanah milik Jawatan Kehutanan.[1] Versi lain menyebutkan bahwa ia meletakkan jabatannya sebagai kepala desa karena ingin memfokuskan kepada kegiatan kebatinan.[3]
Tokoh Kebatinan
Muljono mulai menjadi dukun pada tahun 1952 ketika ia masih menjabat sebagai kepala desa.[1] Di tahun yang sama, ia mendapatkan julukan Mbah Suro karena merasa kerasukan roh orang tua saat bertapa di punden Mbisu di Ngrawoh.[6] Akan tetapi, menurut Tirto ia baru mendapatkan julukan Mbah Suro setelah mengundurkan diri dari jabatan kepala desa.[1]
Muljono baru diakui sebagai ahli kebatinan, guru, dan orang sakti pada tahun 1959.[1] Pada tahun 1960, ia dikabarkan hanya mengonsumsi rokok dan kopi dan tidak makan nasi sejak tahun 1958. Selain itu pula, ia menjalankan puasa pati geni selama tiga hari tiga malam.[4] Setelah lengser dari jabatannya sebagai kepala desa, ia berdedikasi penuh dengan profesi sebagai dukun dan tokoh kebatinan.[1] Ia juga memanggil dirinya Pandhito Gunung Kendheng.[7]
Seusai mendapatkan julukan Mbah Suro, ia mengubah menampilannya dengan menumbuhkan kumis menjadi tebal dan memanjangkan rambut.[1] Ia mendirikan padepokan di tengah hutan jati, memasangkan lambang palu arit di rumahnya, dan menyebarkan ajaran Djawa Dipa.[8][1][9] Ia juga memberikan jampi-jampi dan jimat kepada pasiennya. Jimat Mbah Suro dikabarkan membuat orang menjadi kebal dari peluru dan senjata tajam.[1] Selain itu juga, ia dipercayai mampu mengobati orang sakit.[10] Kemampuan untuk mengobati orang sakit membuat banyak orang dari berbagai penjuru tempat mengunjungi padepokannya.[5] Kepada kliennya, ia meminta mereka untuk membayar dengan rokok kretek, seikat kembang, tali kolor, beras, telur, dan Rp 2.75.[11][12]
Pasca peristiwa G30S
Pasca Peristiwa Gerakan 30 September, pemerintah mulai memburu anggota PKI. Banyak anggota PKI yang melarikan diri ke Padepokan Mbah Suro di Ngniggil untuk menghindari kejaran pemerintah. Tidak hanya anggota PKI saja, tetapi juga ada mantan anggota ABRI. Diperkirakan ada ribuan orang yang bersembunyi di padepokannya. Pada bulan Juli 1966, Mbah Suro diperkirakan memiliki pengikut sebanyak 500.000 orang.[1] Pengikutnya tidak hanya bersal dari Pulau Jawa saja, tetapi juga luar Jawa.[12]
Sebagai pemimpin padepokan, Mbah Suro mengatakan kepada pengikutnya bahwa perang mematikan yang akan diikuti dengan pembantaian akan terjadi di Jawa akhir tahun 1966 sampai dengan awal 1967.[13] Setiap ia berpidato, ia memerintahkan kepada pengikutnya untuk menyanyikan lagu genjer-genjer dan meneriakkan yel-yel "Hidup Bung Karno", "Hidup Mbah Suro", dan "Hidup PKI".[7][14] Pergerakan padepokannya membuat pemerintah mulai mengawasi Mbah Suro pada tahun 1966.[3]
Mbah Suro memproklamasikan berdirinya kembali PKI pada 3 Maret 1967.[1] Sebelumnya, ia juga mendirikan dua pasukannya yaitu Banteng Wulung untuk pasukan pria dan Banteng Sarinah untuk pasukan wanita. Pasukannya mendapatkan senjata dari mantan anggota TNI yang melarikan diri. Dikabatkan jumlah pasukan Banteng Wulung sebanyak 200 personil sedangkan Banteng Sarinah berjumlah 30 orang.[1] Disamping pasukan, ia juga membentuk polisi padepokan (PP).[15] Ia juga menugaskan eks anggota ABRI yang menjadi muridnya untuk menjadi penasihat di bidang pertahanan padepokan.[16]
Keberadaan pelarian PKI di padeokannya membuat Panglima Diponegoro mencoba untuk menutup padepokannya dengan cara non-kekerasan. Pada 22 Oktober 1966, Pangdam Diponegoro meminta kepada Mbah Suro untuk menutup padepokannya. Kemudian mereka mengirim Mayor Srinardi untuk membujuk Mbah Suro agar menutup padepokannya. Mbah Suro menolak perintah dari Pangdam Dipoengoro. Selanjutnya, Pangdam Dipoengoro mengutus Sersan Salim untuk menyuruh Mbah Suro menutup padepokannya. Namun Mbah Suro masih tetap menolak permintaan tersebut dan pengikutnya mengeroyok Sersan Salim.[5][17] Penolakannya membuat pihak ABRI melancarkan operasi militer ke Nginggil dengan mengirimkan pasukannya yang terdiri dari RPKAD dan tentara reguler dari Batalyon 408, 409 dan 410.[1]
Pasukan ABRI melancarkan serangan ke Nginggil pada 5 Maret 1967. Serangan ABRI berhasil menghancurkan Gerakan Mbah Suro.[1] Tidak hanya itu, ia berhasil ditangkap oleh satuan gabungan ABRI. Setelah ditangkap, ia mengungkapkan bahwa ia sebenarnya tidak kebal dan kekebalannya hanya dibesar-besarkan oleh pengikutnya.[10] Setelah itu, ia dan istri melarikan diri menuju ke hutan. Sadar Mbah Suro melarikan diri, pasukan ABRI menembak Mbah Suro dan istrinya sampai ia meninggal dunia.[18] Ia bersama dengan istri kemudian dimakamkan di Desa Bodeh.[16] Meskipun Mbah Suro telah meninggal dunia, ia meninggalkan warisan untuk Nginggil berupa langgar dan jalanan desa.[19]
Kehidupan pribadi
Muljono menikah dengan Rukmini pada tahun 1945. Setelah pernikahan pertamanya, ia mengubah namanya menjadi Surodihardjo. Kemudian ia cerai dengan istri pertamanya pada tahun 1960 karena tidak memiliki anak. Ia kemudian menikah dengan Suwarni. Dari kedua pernikahannya, ia tidak memiliki anak.[5][7][11]
Agama
Menurut catatan resmi, Mbah Suro adalah seorang Muslim.[7] Namun Kompas menyebut bahwa ia tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan lebih percaya kepada roh halus.[11] Ia juga pernah mengatakan bahwa agama yang ada di Indonesia yaitu Pancasila dengan dewa tertingginya adalah Batara Kala. Selain itu juga, ia juga menunjukkan permusuhannya dengan kelompok santri yang mana ia menyatakan bahwa apabila mereka datang ke Nginggil, mereka akan diringkus.[20]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Matanasi, Petrik. "Baret Merah Menggebuk Mbah Suro". tirto.id. Tirto. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ Abdullah, Abdurrachman & Gunawan 2012, hlm. 207.
- ^ a b c Abdullah, Abdurrachman & Gunawan 2012, hlm. 208.
- ^ a b "Pengalaman ketemu mbah suro". Tempo. 23 Oktober 1976. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ a b c d "Tanggal 5 Mei 20 Tahun Lalu: Operasi Penumpasan Dukun Mbah Suro". Kompas. 6 Maret 1987. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ Abdullah, Abdurrachman & Gunawan 2012, hlm. 207-208.
- ^ a b c d "Kisah Mbah Suro Dengan Pasukan2 Wanitanja". Kompas. 14 Maret 1967. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ Lestari, Ria Eka. "Kisah tentang Larangan Shalat di Pertapaan Mbah Suro Nginggil yang Jadi Markas PKI". pwmu.co. PWNU. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ Aryono, Aryono (2018). "Pergulatan Aliran Kepercayaan dalam Panggung Politik Indonesia, 1950an-2010an: Romo Semono Sastrodihardjo dan Aliran Kapribaden". Jurnal Sejarah Citra Lekha. 3 (1): 66.
- ^ a b Merdeka, Merdeka. "Cerita penyergapan dukun PKI ngaku kebal senjata". merdeka.com. Merdeka. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ a b c "Mbah Suro Nginggil & Praktek Pedukunannja* Pandai propagandakan diri dan memeras". Kompas. 18 Maret 1967. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ a b Abdullah, Abdurrachman & Gunawan 2012, hlm. 209.
- ^ Kartodirdjo, Sartono (2007). "Agrarian Radicalism in Java:Its Setting and Development". Dalam Holt, Clarie (ed.). Culture and Politics in Indonesia. Equinox Publishing. hlm. 121.
- ^ Abdullah, Abdurrachman & Gunawan 2012, hlm. 214.
- ^ "2 Tokoh PKI Djatim Mati Di Padepokan Mbah Suro". Kompas. 11 Maret 1967. Diakses tanggal 28 Maret 2025.
- ^ a b Abdullah, Abdurrachman & Gunawan 2012, hlm. 210.
- ^ Ngopi Bareng, Ngopi Bareng. "Desa Nginggil dan Sejarah Mbah Suro Inggil". ngopibareng.id. Ngopi Bareng. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ "Kuburan Mbah Suro Digali Lagi". Kompas. 25 Maret 1967. Diakses tanggal 26 Maret 2025.
- ^ "Warisan mbah suro". Tempo. 27 November 1976. Diakses tanggal 28 Maret 2025.
- ^ Abdullah, Abdurrachman & Gunawan 2012, hlm. 212.
Bibliografi
- Abdullah, Taufik; Abdurrachman, Sukri; Gunawan, Restu (2012). Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.