Pengamatan burung

Pengamatan burung (bahasa Inggris: birdwatching atau birding) adalah kegiatan mengamati burung dan aktivitasnya, baik untuk kegiatan rekreasi ataupun untuk kegiatan ilmiah, bagian dari sains khalayak. Kegiatan pengamatan burung di alam bebas ini dapat dilakukan melalui mata telanjang, menggunakan alat bantu seperti teropong monokular atau teropong binokular, atau dengan mendengarkan suara siulan burung.[1][2]
Kebanyakan para pengamat burung amatir melakukan kegiatan ini untuk alasan rekreasi atau sosial semata. Lain lagi halnya dengan seorang ornitolog, yang melakukan kegiatan ini dengan menggunakan metode ilmiah untuk tujuan mendapatkan data dan informasi yang lebih serius.[1][2]
Sejarah birdwatching


Frasa "bird watching" pertama kali digunakan di Inggris oleh Edmund Selous pada 1901, yakni dalam bukunya yang berjudul Bird Watching.[3] Akan tetapi buku yang pertama mengenalkan cara praktis dan santai untuk mengamati burung di Amerika Serikat sesungguhnya telah ditulis 12 tahun sebelumnya oleh Florence Augusta Merriam Bailey dengan judul Birds through an Opera Glass (1889).[4] Sementara buku lengkap untuk pengenalan burung daratan di Amerika Utara telah ditulis semenjak tahun 1832 oleh Thomas Nuttall, dengan judul Manual of the Ornithology of the United States and of Canada.[5]
Sampai dengan awal abad ke-20, pengamatan burung lebih banyak dilakukan oleh para ahli dan kelompok-kelompok serius. Organisasi seperti BOU (British Ornithologists' Union, berdiri tahun 1858) dan AOU (American Ornithologists' Union, berdiri 1883) saat itu lebih menaruh minat pada taksonomi perburungan. Baru kemudian, di sekitar peralihan abad (1890-1905), Audubon Society di Amerika Serikat tumbuh dan berkembang dengan fokus pada konservasi, perlindungan burung dari perburuan.[6] [7] Belakangan, pergeseran minat ini diikuti dengan dibentuknya International Council for Bird Protection (ICBP, sekarang BirdLife International) di Amerika pada 1922,[8][9] dan British Trust for Ornithology (BTO) di Inggris pada 1932.[10] Selama masa-masa yang akhir itulah mulai terbangun kelompok-kelompok minat pengamatan burung di masyarakat umum.
Kelompok-kelompok pengamat burung di Indonesia

Kecintaan akan burung-burung liar yang hidup bebas, yang kemudian mendorong kegiatan-kegiatan pengamatan burung di Indonesia, agaknya tidak bisa dilepaskan dari bangkitnya kesadaran akan lingkungan hidup di awal tahun 1980-an. Setelah dibentuknya Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978) dan WALHI (1980), muncul organisasi-organisasi kemahasiswaan dan juga organisasi non pemerintah yang meminati pendidikan lingkungan dan pengembangan kapasitas untuk pengamatan lingkungan, termasuk pula pengamatan burung. Salah satunya Yayasan Indonesia Hijau (YIH) di Cikaret, Bogor yang menyelenggarakan pendidikan lingkungan untuk murid-murid sekolah lanjutan dan mahasiswa, dan menerbitkan buku-buku kecil (buklet) pedoman pengamatan di lapangan antara tahun 1983-1985.[11] Pengamatan burung, dalam program pendidikan lingkungan ini, dijadikan sebagai bagian dari pengamatan kehidupan di alam bebas.[12] Sebagai lokasi praktik pengamatan di alam, dipilih tempat-tempat seperti jalur interpretasi Lintas Alam Ciapus (LAC) di lereng Gunung Salak; Taman Nasional Gunung Halimun; Cagar Alam Pulau Dua di Serang, Banten; dan beberapa tempat lain. Program pendidikan lingkungan ini di lapangan juga didukung oleh kelompok-kelompok studi mahasiswa biologi (seperti BScC Unas, Himabio Unpak, biologi UNJ) serta kelompok-kelompok pecinta alam seperti Lawalata IPB, Klub Indonesia Hijau (KIH), dan lain-lain.
Bangkitnya kepedulian dan minat akan pengamatan burung ini lebih lanjut difasilitasi dengan hadirnya BirdLife International Program Indonesia di awal tahun 1990-an, dengan salah satu fokus kegiatannya adalah pelatihan-pelatihan pengamatan burung dan pembentukan kelompok-kelompok pengamat burung di pelbagai kota dan kampus di Indonesia.[13] Hampir bersamaan dengan itu, muncul kelompok-kelompok pengamat burung di berbagai kota seperti KPB Prenjak (Kehutanan IPB, Bogor, 1990);[14] KPB Kutilang (Kehutanan UGM, Yogyakarta, 1990);[15] KPB Nycticorax (Biologi UNJ, Jakarta, 1994);[16] KSB Ketupu (yang kemudian berganti nama menjadi KSBK, Konservasi Satwa Bagi Kehidupan, dan belakangan menjadi ProFauna) (Biologi UB, Malang, 1994);[17][18] serta beberapa lagi yang lain.
Fokus pengamatan burung

Pengamatan burung biasa diawali dengan identifikasi atau pengenalan jenis. Pada dasarnya, jenis-jenis burung dapat dibedakan dengan mengenali postur tubuhnya, baik ukuran tubuhnya; ciri-ciri khasnya (warna bulu, bentuk paruh, bentuk kaki, bulu-bulu yang khas); gaya dan kebiasaannya; maupun suaranya, dan habitatnya. Yakni sesuatu yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai “giss” (general impression, shape, and size).[19] Termasuk ke dalamnya gaya/cara terbang, cara hinggap dan berpindah di ranting, cara berjalan di tanah, kebiasaan berkumpul dalam kelompok atau menyendiri dan lain-lain.

Kegiatan pengamatan burung sering kali melibatkan komponen pendengaran yang signifikan. Pengamatan burung di area hutan yang berpohon-pohon tinggi kerap kali tidak mudah dilakukan karena burung-burung tersembunyi atau sukar diamati karena tertutup oleh daun-daun dan tajuk pohon;[20] atau terlihat hanya siluetnya saja. Oleh sebab itu, kicauan suara burung sering menjadi penting untuk mengenali jenis yang sedang diamati. Perekam suara burung --sekarang dapat pula digantikan oleh gawai ponsel-- kerap pula menjadi perangkat pengamatan yang penting, di samping teropong dan kamera.
Habitat tempat burung berada, dicatat dalam kaitannya dengan ekologi burung. Pohon-pohon pakan, atau pohon tempat burung mendapatkan makanannya (buah, nektar, serangga, misalnya), pohon tempat bertengger, tempat bersarang dan lain-lain. Paparan lumpur (mudflat) tempat burung-burung berkumpul, mencari cacing atau hewan-hewan lunak lainnya. Perilaku burung di habitatnya, sering pula menjadi aspek penting untuk dicatat. Misalnya apakah dalam mencari makanannya itu burung-burung melakukannya dalam gerombolan, berdua hanya dengan pasangannya, atau secara sendiri-sendiri. Juga, apakah burung yang diamati itu tengah dalam masa percumbuan, masa membuat sarang, musim bertelur atau mengerami anak, mengasuh anak yang baru belajar terbang, dan seterusnya.
Pengenalan jenis-jenis burung di lapangan sangat terbantu dengan adanya buku-buku panduan lapangan, dan kini juga mulai tersedia aplikasi ponsel yang menyediakan foto-foto burung untuk identifikasi. Untuk mempelajari suara burung, situs-situs seperti Xeno-Canto dan Macaulay Library menyediakan ribuan rekaman suara burung dari berbagai lokasi di dunia, yang bisa diakses secara cuma-cuma.[21] Terintegrasi dengan Cornell Lab of Ornithology, Macaulay Library juga menyediakan foto-foto burung untuk pengenalannya.[22]
Buku panduan lapangan


Bertumbuhnya kelompok-kelompok pengamat burung di masyarakat Indonesia juga tidak terlepas dari berkembangnya fasilitas pengamatan. Kemudahan untuk memperoleh alat-alat pengamatan seperti binokular dan kamera foto, terutama kamera digital, serta buku-buku panduan lapangan (field guide), berperan penting dalam menumbuhkan minat dan kegemaran pengamatan burung, serta fotografi alam yang acap menyertainya.
Buku panduan lapangan sangat membantu untuk mengenali jenis-jenis burung yang teramati di lapangan. Di Jawa, buku petunjuk lapangan yang tertua adalah yang ditulis oleh Andries Hoogerwerf mengenai jenis-jenis burung di Cagar Alam Cibodas yang berjudul De avifauna van Tjibodas en omgeving, inclusief het natuurmonument Tjibodas-Gn. Gede (West-Java) dan jenis-jenis burung di Kebun Raya Bogor yang berjudul De avifauna van de Plantentuin te Buitenzorg (Java). Kedua buku yang semula diterbitkan bersama-sama pada tahun 1949 oleh Kebun Raya Bogor itu, setahun kemudian dimuat pula dalam jurnal Limosa di Belanda.[23]
Untuk wilayah Pulau Kalimantan, pada tahun 1960 Bertram Smythies telah menulis uraian jenis-jenis burungnya dalam bukunya Birds of Borneo. Akan tetapi buku yang bagus ini terlalu besar dan tebal, 578 halaman, sehingga cukup berat dan tidak praktis sebagai buku lapangan. Kelak, di tahun 1984, ringkasan buku ini ditulis ulang oleh Charles M. Francis dalam rupa tips untuk pengenalan jenis, yang dilengkapi dengan lembar-lembar gambar dari buku asli yang telah diperkecil ukurannya sehingga mudah dibawa-bawa.[24]
Sebelum tahun 1990-an, tidak tersedia buku panduan lapangan untuk burung-burung Sumatera. Untuk kepraktisan, bagi pengamatan burung di Sumatera, Kalimantan, dan bahkan juga di Jawa, umum digunakan buku karangan Ben King dkk. yakni panduan pengenalan burung Asia Tenggara, yang tersedia di toko-toko buku di Jawa.[25] Buku-buku Hoogerwerf, selain hanya tersedia di perpustakaan Kebun Raya Bogor, ditulis dalam bahasa Belanda yang kurang dipahami oleh sebagian besar generasi muda.
Empat puluh tahun setelah buku Hoogerwerf baru tersedia buku panduan lapangan untuk Pulau Jawa dan Bali yang ditulis oleh John MacKinnon (1990). Edisi ini tiga tahun kemudian (1993) diperluas menjadi panduan lapangan yang melingkup burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan seluruhnya. Sementara panduan untuk Kawasan Wallacea baru terbit tahun 1997, ditulis oleh Coates dan Bishop.[26]
Untuk kawasan Papua dan sekitarnya, panduan lapangan telah ditulis oleh Beehler dkk. tahun 1986, namun baru mudah didapat setelah terjemahannya dalam Bahasa Indonesia diterbitkan oleh LIPI pada tahun 2001.[27] Edisi bahasa Inggris buku ini kemudian diperbarui dan diterbitkan ulang pada tahun 2014.[28]
Sekarang telah banyak tersedia buku-buku panduan lapangan pengenalan burung, baik yang mencakup area luas semisal pulau-pulau besar Indonesia, maupun buku-buku panduan lokal seperti yang diterbitkan oleh para peneliti dan pengamat burung di sesuatu kota atau bahkan taman nasional tertentu. Buku panduan yang paling luas cakupannya untuk wilayah Indonesia, yakni Birds of the Indonesian Archipelago: Greater Sundas and Wallacea, ditulis oleh James Eaton dkk. dan edisi yang pertama diterbitkan pada 2016.[26] Edisi terjemahannya belakangan diterbitkan pada tahun 2022.
Aktivitas
Peburung (terjemahan birders, juga singkatan dari "pengamat burung") umumnya mengamati burung dan aktivitasnya di habitatnya di alam bebas. Di pekarangan rumah yang asri, di taman-taman kota dan hutan kota, di pantai dan pegunungan, dan tempat-tempat lain. Banyak peburung yang, bahkan, bepergian ke lokasi-lokasi yang jauh, di pulau yang lain atau di negara yang lain, untuk dapat melihat, memotret, dan mencatat jenis-jenis burung yang langka, yang belum pernah dilihatnya.
Lokasi

Sebetulnya banyak lokasi yang menarik kehadiran burung. Halaman rumah dan sekolah yang ditanami pepohonan, selalu menarik kedatangan burung. Bahkan, bagian pekarangan atau bangunan yang kurang terganggu sering pula dijadikan sebagai tempat burung bersarang. Burung-burung pipit bondol (Lonchura spp.), kutilang (Pycnonotus aurigaster), dan merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), adalah beberapa jenis yang sering ditemui bersarang di pohon-pohon pekarangan; burung gereja (Passer montanus) bahkan sering juga bersarang di sudut atap rumah. Burung layang-layang batu (Hirundo javanica) adakalanya membangun sarang di bawah atap teritisan rumah atau gedung, akan tetapi lebih sering membuatnya di kolong-kolong jembatan sungai.[29][30]
Taman-taman dan hutan kota merupakan tempat yang disukai burung; asalkan tidak banyak gangguan seperti kebisingan lalu lintas, dan terutama perburuan. Apalagi jika area berpohon itu terletak tidak jauh dari sungai atau badan air lainnya. Di samping burung-burung yang umum dijumpai di perkotaan semisal jenis-jenis di atas, dan juga tekukur (Spilopelia chinensis), burung-madu sriganti (Cinnyris ornatus) atau burung-burung madu yang lain,[31] [32] [33] serta jenis-jenis burung cabe (Dicaeum spp.) yang sering mengunjungi semak benalu (Dendrophthoe, Loranthus dll.) di pepohonan;[23] adakalanya dapat ditemui pula burung-burung raja-udang (Alcedo spp.), cekakak sungai (Todiramphus chloris), dan atau burung-burung lepasan dari tangkaran. Beberapa burung 'asing' dan langka seperti cenderawasih kuning kecil, rangkong, dan kakatua jambul-kuning yang pasti merupakan burung lepasan, pernah tercatat dari taman-taman kota Jakarta.[34]
Wilayah pantai, terutama area mangrove dan paparan lumpur, menyediakan tempat bagi banyak burung air dan burung perandai. Khususnya di musim-musim migrasi burung, pantai-pantai tertentu dapat menjadi sangat banyak dikunjungi burung migran, yang datang mencari makanan sambil menghindari musim dingin di negeri asalnya. Pantai-pantai di pesisir timur Sumatera (Bagan Percut, Sembilang, muara Banyuasin dll.) dan pesisir utara Jawa (CA Pulau Dua, Teluk Jakarta, pesisir Indramayu, delta Bengawan Solo, delta Sungai Brantas, dll.) merupakan lokasi favorit untuk mengamati burung.[35] [36] [37] [38] [39] Sama halnya, beberapa lokasi di pegunungan juga merupakan tempat favorit untuk mengamati migrasi burung-burung pemangsa sejenis elang, seperti contohnya Kawasan Puncak di Bogor, Kaliurang di Yogyakarta, dan juga pegunungan di Bali.[40][41][42]
Tujuan pengamatan
Ada beberapa motivasi atau bahkan tujuan orang-orang dalam pengamatan burung:
- Rekreasi. Sebagaimana memancing ikan, mengamati burung dan aktivitasnya di habitatnya pada awalnya merupakan bagian dari rekreasi alam. Orang-orang bepergian ke hutan atau sekadar ke taman kota, untuk melihat burung yang beterbangan dan menikmati kicauannya. Atau memotretnya. Rekreasi ini kemudian berkembang ke arah yang lebih positif dan produktif, mencatat kehadiran burung dan memanfaatkan catatan, foto, atau rekaman video yang diperoleh untuk pemanfaatan yang lebih lanjut.
- Pendidikan lingkungan. Melalui pengenalan jenis-jenis burung yang diamati, tempat hidupnya, serta aneka aktivitasnya, pengamatan burung dapat dikembangkan sebagai bagian dari pendidikan lingkungan, khususnya dalam materi ekologi hewan liar.[12] Salah satunya adalah karena burung-burung hampir selalu ada dan cukup mudah diamati di lingkungan seseorang.
- Kepuasan pencapaian. Para peburung lazim membuat catatan lapangan setiap kali melakukan pengamatan burung. Baik mengenai jenis-jenis yang teramati, kondisi habitatnya, perilakunya, jumlah yang dijumpai, dan lain-lain. Para peburung juga biasa membuat catatan mengenai banyaknya jenis yang pernah mereka jumpai, dari semua daerah yang pernah mereka kunjungi; daftar yang disebut life list (daftar seumur hidup) ini memuat nama-nama semua jenis burung yang pernah mereka amati, dan terutama untuk jenis-jenis yang istimewa, beserta lokasi dan tanggal perjumpaannya. Daftar ini, bagi kebanyakan peburung yang serius, merupakan bagian dari kepuasan diri dan juga kebanggaan karena mencerminkan pencapaian pada aspek ini.
- Perlombaan. Pengamatan burung sering pula diperlombakan dengan melibatkan kelompok-kelompok peburung, atau juga perorangan; dalam hal ini peserta berlomba untuk mengamati dan mencatat sebanyak mungkin jenis burung, pada suatu area tertentu dan dalam batas waktu yang tertentu, dengan aturan-aturan tertentu yang ditetapkan panitia. Bagi penyelenggara, perlombaan ini dapat memberikan informasi yang cukup lengkap mengenai jenis-jenis burung yang ada di lokasi yang diperlombakan. Bagi peserta, ini adalah kesempatan untuk melatih kemampuan dan melengkapi daftar seumur hidup mereka.
- Pemantauan lingkungan. Burung sering dianggap sebagai indikator lingkungan yang handal. Kehadiran jenis-jenis burung serta komunitas yang dibentuknya, sangat terkait dengan kondisi habitat serta situasi lingkungan seumumnya. Oleh sebab itu pengamatan burung sering dimasukkan sebagai bagian dari kajian lingkungan dan pemantauannya.
- Sains khalayak. Lebih jauh, kegiatan pengamatan burung, khususnya yang melibatkan banyak orang termasuk masyarakat umum, sering pula dikondisikan dengan pendekatan sains khalayak (citizen science), sebagaimana dijelaskan di bawah.
Sains khalayak

Meningkatnya minat dan ketrampilan warga masyarakat umum dalam pengamatan burung dan identifikasinya, bukan hanya menggembirakan, namun juga memberikan kontribusi yang berharga dalam pengembangan pengetahuan dan ilmu perburungan. Data dan informasi yang diperoleh dan dikumpulkan oleh individu serta kelompok pengamat burung amatir, dari berbagai kondisi ekosistem dan wilayah ini, belakangan juga dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga atau organisasi ilmiah untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Inilah yang disebut sebagai sains khalayak (citizen science).[43][44]
Beberapa contohnya, di antaranya, Asian Waterbird Census (Sensus Burung Air Asia) dari Wetlands International;[45] Raptor Migratory Watch (Pemantauan Migrasi Burung Pemangsa) dari Burung Indonesia atau lembaga lain;[46][42] Monitoring Burung Pantai Indonesia (Indonesian Shorebirds Monitoring);[43][47] dan lain-lain. Juga pelbagai lomba pengamatan burung di alam (bird race) yang diselenggarakan di berbagai daerah oleh berbagai organisasi, biasa dimanfaatkan untuk mengumpulkan data terbaru mengenai burung-burung di lokasi lomba.[48] [49] [50] Kegiatan "Sensus Burung Air Indonesia" tahun 2017 telah melibatkan tidak kurang dari 300 orang pengamat dan sukarelawan dari 47 organisasi pemerintahan, non-pemerintahan, kelompok pengamat burung dan perseorangan. Dari sensus yang dilakukan pada Januari 2017 itu telah terkumpul 157 data penghitungan dari 146 lokasi, yang berada di 22 provinsi di pulau-pulau besar di Indonesia, serta ditambah beberapa lokasi di Timor Leste.[51]
Selain berbasis acara yang diselenggarakan secara khusus seperti di atas, urun daya pengamatan burung juga dilakukan melalui penggunaan aplikasi komputer atau gawai telepon seluler. Misalnya melalui aplikasi eBird yang khusus dibuat untuk mencatat pengamatan burung, atau iNaturalist yang mencakup semua pengamatan spesies biota. Pengamatan-pengamatan yang dilaporkan pada iNaturalist, setelah melalui semacam proses verifikasi sejawat yang disediakan dalam platform iNaturalist, dapat dimanfaatkan selanjutnya untuk kepentingan riset yang lebih mendalam, atau diintegrasikan ke dalam pangkalan data ragamhayati daring yang lebih luas semisal GBIF (Global Biodiversity Information Facility).[52] Di Indonesia, aplikasi yang serupa adalah Burungnesia, yang dikembangkan oleh BirdPacker, suatu biro perjalanan wisata pengamatan burung.[53]
Referensi
- ^ a b Dunne, Pete (2003). Pete Dunne on Bird Watching. Boston: Houghton Mifflin. ISBN 0-395-90686-5. OCLC 50228297.
- ^ a b Oddie, Bill (1980). Bill Oddie's Little Black Bird Book. Frome & London: Butler & Tanner Ltd. ISBN 0-413-47820-3. OCLC 8960462.
- ^ Moss, Stephen (2004). A Bird in the Bush: A Social History of Birdwatching. Aurum Press. ISBN 1-85410-993-6.
- ^ Barrow, Mark (1998). A Passion for Birds. Princeton University Press. hlm. 156–157. ISBN 978-0-691-04402-6.
- ^ Dean, Cornelia (November 28, 2011). "A Venerable Birding Club, at an Epicenter of All Things Feathered". The New York Times.
- ^ Illinois Audubon Society (1920). "The formative years of the Illinois Audubon Society". Illinois Audubon Bulletin (dalam bahasa Inggris). Illinois Audubon Society. hlm. 4–6. Diakses tanggal 5 September 2024.
- ^ Rines, G.E., ed. (1920). "Audubon Societies" . Encyclopedia Americana.
- ^ "BirdLife International". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 2020-09-19.
- ^ "Our History". BirdLife International. Diakses tanggal 2015-08-30.
- ^ "Observers of Birds" (PDF). The Times. 1 July 1933.
- ^ Aniger, A., S.Z. Hasyim, & N.A. Hafild (1985). "Lingkungan Hidup Pohon Beringin". Seri Pedoman Pengamatan di Lapang no 3: 1-66. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
- ^ a b Davie, F., M. Kappeler, & N.A. Hafild (1983). "Pengamatan kehidupan di alam bebas." Seri Pedoman Pengamatan di Lapang no 1: 1-48. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
- ^ Malaysia Forest Watch: Burung Indonesia. Diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ DKSHE IPB: Kelompok Pemerhati. Diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ Taufiqurrachman, I., I.P. Yuda, M. Untung, E.D. Atmaja, N.S. Budi (2015). Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Kutilang Indonesia. (Salinan pada laman ResearchGate)
- ^ Program Studi Biologi UNJ: KPB Nycticorax. Diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ Novitasari, L. (2020). Peran Profauna Malang dalam kampanye perlindungan hutan dan satwa liar (1994-2014). Diploma thesis, Universitas Negeri Malang. (abstrak).
- ^ ProFauna: The New Profauna. Artikel Daniel S. Stephanus pada Senin, 06/16/2014 - 11:02; diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ Eubanks, T. L. (2007). "Bare-naked birding" (PDF). Birding. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 19 November 2011. Diakses tanggal 22 December 2011.
- ^ MacKinnon, J., K. Phillipps, & Bas van Balen (2000). Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI dan BirdLife IP. ISBN 979-579-013-7
- ^ Xeno-Canto: Bird Sounds Of Indonesia; diakses tgl 09/vii/2025
- ^ Macaulay Library: Search; diakses tgl 09/vii/2025
- ^ a b Hoogerwerf, A. (1950). "De avifauna van Tjibodas en omgeving, inclusief het natuurmonument Tjibodas-Gn. Gede (West-Java)". Limosa, 23 (1) : 1-158 (1950).
- ^ Francis, C.M., B.E. Smythies, & C.A.M. Hughes (1984). Pocket guide to the birds of Borneo. Kota Kinabalu: The Sabah Society.
- ^ King, B., M. Woodcock, & E.C. Dickinson (1975). A field guide to the Birds of South-East Asia. London: Collins.
- ^ a b Lambert, F. (2017). "Birds of the Indonesian Archipelago: Greater Sundas and Wallacea". Reviews. Kukila 20, 2017.
- ^ Beehler, B.M., T.K. Pratt & D.A. Zimmerman (2001). Burung-burung di Kawasan Papua. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI.
- ^ Bird Ecology Study Group: Book Review: Birds of New Guinea. Artikel oleh YC Wee pada 27 November 2014; diakses tgl 2/vii/2025.
- ^ MacKinnon, J. (1993). Panduan lapangan pengenalan burung-burung di Jawa dan Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- ^ Jarulis, A. Salsabila, & A. Bakar (2005). "Fauna Burung Di Taman Kota Dan Jalur Hijau Kota Padang". Jurnal Gradien Vol. 1 No.2 Juli 2005 : 98-104. (Salinan pada Portal Garuda).
- ^ Hernowo, J.B. & L.B. Prasetyo (1989). "Konsepsi Ruang Terbuka Hijau di kota sebagai pendukung pelestarian burung." Media Konservasi, Vol. 2(4) Desember 1989: 61-71.
- ^ Hadinoto, L. Zalizar, J. Triwanto, & Ervayenri (2024). Keanekaragaman Jenis Burung di Kota Pekanbaru & Sekitarnya. Indramayu: Penerbit Adab.
- ^ Naim, M.A., M. Hadi, & K. Baskoro (2019). "Keanekaragaman Burung Daerah Terbuka Dan Tertutup Hutan Kota Tinjomoyo Dengan Hutan Kota Universitas Diponegoro Semarang." Jurnal Akademika Biologi, Vol. 8(2), Juli 2019: 24-29.
- ^ Mongabay: Burung Hantu dan Ruang Terbuka Hijau Jakarta. Artikel Falahi Mubarok pada 7 Jun 2025, diakses tgl 5/vii/2025.
- ^ Howes, J., D. Bakewell, & Y.R. Noor (2003). Panduan Studi Burung Pantai. Bogor: Wetlands International - Indonesia Programme.
- ^ Jumilawaty, E.; A. Mardiastuti; L.B Prasetyo; Y.A. Mulyani (2011). "Keanekaragaman Burung Air di Bagan Percut, Deli Serdang Sumatera Utara." Media Konservasi, Vol. 16 No. 3 (Desember 2011): 108–113.
- ^ Putra, C.A.; D. Hikmatullah; D.M. Prawiradilaga; & J.B.C. Harris (2015). "Surveys at Bagan Percut, Sumatra, reveal its international importance to migratory shorebirds and breeding herons." Kukila 18 (2) 2015: 46-59.
- ^ Sabrina, H.; A. Mardiastuti; & J.B. Hernowo (2019). "Keanekaragaman burung air di muara Bengawan Solo, Gresik, Jawa Timur." Media Konservasi, Vol. 24(1) April 2019: 103-108 (Salinan pada laman ResearchGate)
- ^ Jannatul F., P.A. (2015). Pola Persebaran Burung Pantai di Wonorejo Surabaya sebagai Kawasan Important Bird Area (IBA). Skripsi FMIPA ITS - Surabaya.
- ^ Purwanto, A.A. (2010). Laporan Hasil Pengamatan dan Pemantauan Migrasi Burung Pemangsa di Pulau Jawa dan Beberapa tempat Lain di luar P.Jawa. 07 Oktober‐12 November 2009. Raptor Indonesia. (tidak diterbitkan)
- ^ Putri, G.X.; B.A. Suripto; & A.A. Purwanto (2021). "Keanekaragaman dan Kemelimpahan Burung Pemangsa (Raptor) Migran yang Teramati dari Kawasan Bukit 76 Kaliurang, Yogyakarta." Biotropic, The Journal of Tropical Biology, Vol 5(1) Februari 2021: 1-8.
- ^ a b Biologi UNUD: Raptor Migration Watch in Mount Sega, Karangasem - Bali, artikel Minggu, 24 Oktober 2021; diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ a b Yuda, I.P. (2017). "Pendekatan Citizen Science untuk Meningkatkan Penelitian dan Konservasi Burung di Indonesia." Makalah pada Konferensi Pemerhati dan Peneliti Burung Indonesia III, Universitas Udayana, Denpasar 2-4 Februari 2017. (Salinan pada laman ResearchGate)
- ^ Yuda, I.P. (2017). "Kesenjangan Informasi Bio-ekologi Jenis Burung Prioritas Nasional dan Potensi Pendekatan Citizen Science di Indonesia." Makalah pada Konferensi Pemerhati dan Peneliti Burung Indonesia IV, Universitas Negeri Semarang, 8-10 Februari 2018. (Salinan pada laman ResearchGate)
- ^ Wetlands International: Asian Waterbird Census; diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ Burung Indonesia: Migrasi Raptor: Tradisi Tahunan Sang Pengembara Udara, artikel 25 Oktober 2022; diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ WMBD: Indonesia Shorebird Monitoring (MoBuPI); diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ ITS: Pecuk, Juara Satu Bird Race; artikel Dadang ITS pada 21 Juni 2006, 17:06. Diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ SwaraOwa: Petungkriyono Bird Race 2022; artikel 1 November 2022. Diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ IKN: Otorita IKN Selenggarakan Bird Race Pertama di Kalimantan untuk Perkenalkan Keanekaragaman Hayati IKN; berita Humas Otorita Ibu Kota Nusantara pada Minggu, 16 Februari 2025. Diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ WI Indonesia: Penghitungan Burung Air di Indonesia Bagian dari Kegiatan International Waterbird Census 50 dan Asian Waterbird Census 2017. Berita 8 April 2018. Diakses tgl. 04/vii/2025.
- ^ Bowser, A., Wiggins, A., Shanley, L., Preece, J., & Henderson, S. (2014). "Sharing data while protecting privacy in citizen science" (PDF). Interactions. 21 (1): 70–73. doi:10.1145/2540032. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2014-12-28. Diakses tanggal 2019-10-24. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
- ^ BirdPacker: FAQ Burungnesia. Diakses tgl. 04/vii/2025.
Referensi lanjutan
- Edmund Selous (1901). Bird Watching. London: JM Dent & co.
- Florence A. Merriam (1889). Birds through an Opera Glass. Cleveland: The Chautauqua Press.
- Thomas Nuttall (1832). A Manual of the Ornithology of the United States and of Canada. Cambridge: Hilliard & Brown.
- Mark Cocker (2002). Birders:Tales of a tribe. Grove Press. ISBN 0-87113-844-1
- Scott Weidensaul (2007). Of a Feather: A Brief History of Birding. Harcourt, Orlando.
- Daniel Lewis (2012). The Feathery Tribe: Robert Ridgway and the Modern Study of Birds. Yale University Press. ISBN 0-300-17552-3
Panduan lapangan burung Indonesia
- Andries Hoogerwerf (1950). "De avifauna van Tjibodas en omgeving, inclusief het natuurmonument Tjibodas-Gn. Gede (West-Java)". Limosa, 23 (1) : 1 - 158.
- Andries Hoogerwerf (1950). "De avifauna van de Plantentuin te Buitenzorg (Java)". Limosa, 23 (1) : 159 - 280.
- John MacKinnon (1990). Field Guide to the Birds of Java and Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Terjemahan Indonesia: J. MacKinnon (1993). Panduan lapangan pengenalan burung-burung di Jawa dan Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 979-420-150-2
- John MacKinnon & Karen Phillipps (1993). A Field Guide to the Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali. Oxford University Press.
- Terjemahan Indonesia: J. MacKinnon, K. Phillipps, & Bas van Balen (2000). Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI dan BirdLife IP. ISBN 979-579-013-7
- Bertram E. Smythies (1960). Birds of Borneo. London: Oliver and Boyd. (Lembar gambar oleh Commander A.M. Hughes)
- Charles M. Francis, Bertram E. Smythies, & C.A.M. Hughes (1984). Pocket guide to the birds of Borneo. Kota Kinabalu: The Sabah Society.
- Edisi baru: Bertram E. Smythies, revised by Geoffrey W.H. Davison (1999). The Birds of Borneo, 4th ed.—Natural History Publications (Borneo), Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. xii 1 853 pp., 57 color plates. ISBN 983-812-028-6
- Myers, S. (2009). A Field Guide to the Birds of Borneo. Singapore: Talisman Publishing
- Quentin Phillipps & Karen Phillipps (2009). Phillipps’ Field Guide to the Birds of Borneo. Oxford (UK): Beaufoy Books.
- Brian J. Coates & K. David Bishop (1997). A Guide to the Birds of Wallacea. Alderley (Queensland): Dove Publications.
- Terjemahan Indonesia: B.J. Coates, K.D. Bishop & D. Gardner (2000). Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea. Birdlife International IP - Dove Publication.
- Bruce M. Beehler, Thane K. Pratt & Dale A. Zimmerman (1986). Birds of New Guinea. Princeton (New Jersey): Princeton University Press. ISBN 0-691-02394-8
- Terjemahan Indonesia: B.M. Beehler, T.K. Pratt & D.A. Zimmerman (2001). Burung-burung di Kawasan Papua. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI.
- Edisi baru: T.K. Pratt & B.M. Beehler (2014). Birds of New Guinea. Princeton (New Jersey): Princeton University Press. Second Edition.
- James A. Eaton, Bas van Balen, Nick W. Brickle, & Frank E. Rheindt (2016). Birds of the Indonesian Archipelago: Greater Sundas and Wallacea. Barcelona: Lynx Editions.
- Terjemahan Indonesia: J.A. Eaton, B. van Balen, N.W. Brickle, & F.E. Rheindt (2022). Burung-burung pulau paparan Sunda dan Wallacea di Kepulauan Indonesia. Barcelona: Lynx Edicions.
Pranala luar



- Birding di Curlie (dari DMOZ)
- All About Birds - Cornell Lab of Ornithology
- Birders, Banders, & Binoculars Video produced by Idaho Public Television
- A six-part History of Birding magazine, covering the period 1968–2006, appeared in Birding magazine in 2006:
- 1968–74 Diarsipkan 2010-06-25 di Wayback Machine., 1975–80 Diarsipkan 2012-05-21 di Wayback Machine., 1981–87 Diarsipkan 2010-06-25 di Wayback Machine., 1988–93 Diarsipkan 2010-06-25 di Wayback Machine., 1994–2000 Diarsipkan 2010-06-25 di Wayback Machine., 2001–06 Diarsipkan 2010-06-25 di Wayback Machine.