More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Suran Tutup Ngisor - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suran Tutup Ngisor - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suran Tutup Ngisor

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suran Tutup Ngisor adalah tradisi ritual tahunan yang dilaksanakan oleh warga Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ritual ini digelar setiap tanggal 13–15 bulan Suro dalam kalender Jawa, puncaknya saat bulan purnama, sebagai bentuk syukur, ruwatan, dan penolak bala di lereng Gunung Merapi. Tradisi ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kemdikbud pada tahun 2019.[1]

Asal-usul

[sunting | sunting sumber]

Tradisi Suran di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, berakar dari kebiasaan masyarakat Jawa yang merayakan tahun baru Jawa dan Islam secara bersamaan pada bulan Suro. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1937 oleh Romo Yoso Soedarmo, seorang tokoh budaya lokal sekaligus pendiri Padepokan Tjipta Boedaja.[2] Ia menggagas pelaksanaan ritual tahunan untuk menyambut bulan Suro, yang dipercaya sebagai bulan sakral penuh berkah.

Romo Yoso menciptakan sebuah pementasan sakral sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dan pertanian, mengingat mayoritas masyarakat setempat adalah petani. Pementasan tersebut meliputi Tari Kembar Mayang dan wayang orang "Lumbung Tugu Mas", yang mengisahkan perjalanan mencari Dewi Sri, dewi kesuburan dalam kepercayaan Jawa. Pertunjukan ini dianggap sebagai doa simbolik untuk memohon kesuburan tanah dan hasil pertanian yang melimpah.

Seiring waktu, unsur-unsur keislaman mulai masuk ke dalam rangkaian acara. Pada tahun 1980-an, atas saran putra-putra Romo Yoso, ritual ini mengalami akulturasi dengan ajaran Islam.[2] Unsur baru seperti pembacaan Yasin, kenduri, dan doa-doa Islam ditambahkan tanpa menghilangkan unsur adat. Hal ini mencerminkan keterbukaan masyarakat terhadap integrasi budaya lokal dan agama, menjadikan tradisi Suran sebagai wujud sinkretisme budaya Jawa dan Islam.

Setelah wafatnya Romo Yoso pada tahun 1990, dilakukan ziarah ke makam beliau menjelang pelaksanaan tradisi. Prosesi ziarah ini dikenal dengan sebutan Uyon-uyon Candi, yaitu iringan gamelan menuju makam, sebagai penghormatan dan permohonan restu agar pelaksanaan tradisi berjalan lancar. Tradisi Suran Tutup Ngisor tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga simbol keberlangsungan budaya, spiritualitas, serta identitas kolektif masyarakat lereng Merapi.

Pelaksanaan Tradisi

[sunting | sunting sumber]

Tradisi Suran di Dusun Tutup Ngisor dilaksanakan setiap tanggal 1 Suro dalam penanggalan Jawa, bertepatan dengan Tahun Baru Islam (1 Muharam). Rangkaian kegiatan dimulai sejak malam 1 Suro dan berlangsung hingga keesokan harinya, dengan melibatkan seluruh warga dusun serta para seniman yang tergabung dalam Padepokan Tjipta Boedaja. Pelaksanaan tradisi ini berlangsung secara turun-temurun dan menjadi kalender budaya tetap bagi masyarakat setempat.[2]

Prosesi diawali dengan ziarah ke makam Romo Yoso Soedarmo, pendiri tradisi ini. Ziarah dilakukan oleh para sesepuh dan seniman dengan diiringi lantunan gamelan dalam acara yang disebut Uyon-uyon Candi.[2] Setelah ziarah, masyarakat mengadakan kenduri bersama, berupa makan bersama di rumah-rumah warga sebagai simbol kebersamaan, sedekah bumi, dan doa untuk keselamatan serta kesuburan tanah.

Pada malam harinya, diadakan pementasan seni di halaman rumah peninggalan Romo Yoso. Kegiatan ini menjadi inti dari pelaksanaan tradisi, dengan menampilkan Tari Kembar Mayang dan wayang orang "Lumbung Tugu Mas", dua karya seni yang diciptakan oleh Romo Yoso. Pertunjukan ini bersifat sakral dan menyampaikan pesan-pesan moral, spiritual, serta agraris melalui simbol-simbol gerak dan cerita. Dalam pementasan tersebut, Dewi Sri sebagai lambang kesuburan menjadi tokoh sentral, menggambarkan harapan masyarakat agar hasil panen melimpah dan kehidupan tetap harmonis.[2]

Pelaksanaan tradisi ditutup dengan pembacaan doa-doa Islam, khususnya Surah Yasin dan tahlil, yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Unsur keislaman dalam tradisi ini mencerminkan akulturasi budaya yang telah terjadi sejak 1980-an, menjadikan pelaksanaan tradisi tidak hanya sebagai peristiwa budaya tetapi juga ritual keagamaan yang inklusif dan menyatukan seluruh elemen masyarakat. Dengan keterlibatan lintas generasi dan kolaborasi antara seni, budaya, dan agama, Tradisi Suran Tutup Ngisor menjadi contoh pelestarian budaya lokal yang hidup dan terus relevan di tengah perubahan zaman.

Makna dan perkembangan

[sunting | sunting sumber]

Suran memiliki makna kultural dan spiritual yang mendalam, yaitu sebagai ungkapan syukur atas kesuburan lahan sekitar Gunung Merapi dan upaya penolak bala terhadap berbagai gangguan.[3] Ritual ini juga memperkuat gotong-royong dan solidaritas antarwarga, serta mengukuhkan hubungan antara desa dan padepokan melalui musik, tarian, wayang, dan kirab keagamaan. Selain itu, tradisi ini menyatukan elemen Jawa–Islam yang kental dalam tata ritual, manifestasi kebudayaan akulturatif yang bertahan sejak awal berdirinya.

Suran masih digelar rutin, sekitar 85–89 kali sejak 1935, dilaksanakan oleh keluarga besar Padepokan Tjipto Boedojo.[4] Pelaksanaannya meliputi rangkaian selama tiga malam, dimulai dengan Uyon‑uyon candi (gamelan malam), yasinan, kenduri, pemasangan sesaji (apem, ketupat kering, kepala kambing, kembar mayang), pagelaran tari Kembar Mayang, wayang sakral “Lumbung Tugu Mas”, hingga kirab Jathilan dan pesta kesenian rakyat. Pada 2020, ritual juga dimaknai sebagai penolak bala Pandemi Covid‑19.[5] Penetapannya sebagai WBTB pada 2019 juga telah membuka ruang dukungan formal, seperti dokumentasi, fasilitasi kegiatan, dan pendampingan teknis dari pemerintah daerah dan Dinas Kebudayaan.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Home; Terkini; News, Top; Terpopuler; Nusantara; Nasional; Tengah, Jawa; Peristiwa; Ekonomi (2020-09-02). "Tradisi "Suran Tutup Ngisor" lereng Merapi untuk tolak bala pandemi". Antara Jateng. Diakses tanggal 2025-06-15.
  2. ^ a b c d e Aisyiyah, Fitra P. N. (2008). Skripsi: Tradisi Suran di Dusun Tutup Ngisor, Desa. Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang (PDF). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  3. ^ antaranews.com (2011-11-29). ""Suran tutup ngisor" ungkapan syukur petani Merapi". Antara News. Diakses tanggal 2025-06-15.
  4. ^ "Tradisi Suran Tutup Ngisor di Lereng Merapi Berawal dari Peristiwa Misterius Tahun 1935". Koranjuri.com. 2024-07-27. Diakses tanggal 2025-06-15.
  5. ^ antaranews.com (2020-09-02). "Tradisi "Suran Tutup Ngisor" lereng Merapi untuk tolak bala pandemi". Antara News. Diakses tanggal 2025-06-15.
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suran_Tutup_Ngisor&oldid=27411085"
Kategori:
  • Warisan budaya takbenda Indonesia
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Galat CS1: nama generik
  • Pemeliharaan CS1: Status URL

Best Rank
More Recommended Articles