Abdoel Madjid Usman
![]() | Gaya atau nada penulisan artikel ini tidak mengikuti gaya dan nada penulisan ensiklopedis yang diberlakukan di Wikipedia. |
![]() ![]() | |
Biografi | |
---|---|
Kelahiran | 26 Mei 1907 ![]() Padang ![]() |
Kematian | 25 Mei 1955 ![]() Jakarta ![]() |
Tempat pemakaman | Jakarta ![]() |
Data pribadi | |
Kelompok etnik | Orang Minangkabau ![]() |
Pendidikan | Universitas Meiji - ekonomi ![]() |
Kegiatan | |
Pekerjaan | jurnalis ![]() |
Keluarga | |
Ayah | Oesman Panduko Rajo ![]() |
Saudara | Siti Maimunah, Zainoel Arifin Usman dan Siti Zaura Usman ![]() |
Abdoel Madjid Usman (26 Mei 1907 – 25 Mei 1955 adalah wartawan Indonesia yang pernah menjabat Wali Kota Padang periode 1942–1943 pada masa pendudukan Jepang.
Kehidupan awal dan keluarga
Abdoel Madjid Usman berasal dari keluarga terkemuka. Ayahnya, Oesman Pandoeko Rajo, adalah Hoofddjaksa (jaksa kepala) di Padang pada tahun 1920-an, keturunan Kerajaan Pagaruyung di Tanah Datar. Ibunya, Siti Ralian, merupakan keturunan bangsawan yang memiliki tanah yang luas di Sungai Barameh, Kota Padang. Istrinya adalah Hiroko Osada, seorang wanita bangsawan samurai Jepang yang ditemuinya saat mereka kuliah. Madjid kuliah di Universitas Meiji, Tokyo pada awal Januari 1933 dan Hiroko belajar di Nihon Joshi Daigaku (Universitas Wanita Jepang) di kota yang sama. Pernikahan tersebut membawa Hiroko ke Indonesia dan kemudian mendapat nama Minangkabau 'Siti Aminah Usman'. Mereka dikaruniai empat orang anak, yaitu Harun El Rasyid Madjid Usman, Salmyah Madjid Usman, Phirman Madjid Usman, dan Dahlia Madjid Usman.[1]
Pendidikan dan karier
Madjid adalah putra seorang pejabat tinggi Hindia Belanda, sehingga ia mendapat hak istimewa untuk bersekolah di sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pejabat tinggi pribumi. Pendidikannya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) dan MULO (SMP) Padang. Setelah itu ia melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS, setingkat sekolah menengah atas Belanda) di Batavia hingga lulus pada tahun 1927.[2]
Setelah menyelesaikan pendidikan AMS, ia kembali ke Padang, Abdoel Madjid Usman bekerja sebagai griffier (panitera) di Landraad (Pengadilan Negeri) Padang. Saat itu, ia sudah memiliki Harley Davidson, sepeda motor besar yang hanya dimiliki segelintir orang Belanda dan penduduk asli yang kaya di Padang.[2]
Tidak lama setelah ayahnya meninggal tahun 1932, ia berhenti sebagai pegawai Belanda. Ia kemudian berangkat ke Jakarta dan mulai terlibat dengan kaum pergerakan. Kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1904 dan perkenalannya dengan Ichiiro Saadachi, pegawai konsulat Jepang di Batavia, mendorong Madjid untuak menuntut ilmu ke negeri matahari terbit itu. Atas sokongan biaya dari keluarganya, Abdoel Madjid Usman berangkat ka Jepang akhir tahun 1932 dan sampai di Japang awal Januari 1933. Kedatangannya ke Japang untuk melanjutan studi menarik perhatian wartawan di sana. Berita kedatangannya bersama Gaus Mahyuddin sebagai pribumi Hindia Belanda pertama di Jepang, bahkan diberitakan secara khusus oleh surat kabar Kobe Shimbun. Abdoel Madjid Usman memgambil kuliah ekonomi dan politik di Universitas Meiji. Selama kuliah, ia tercatat mendirikan Serikat Indonesia, organisasi mahasiswa dan pelajar Indonesia di Jepang (1933). Selain itu, ia juga aktif berceramah dan mengikuti berbagai forum mahasiswa asing di Tokyo untuk mempromosikan cita-cita Indonesia merdeka. Beberapa kali ia manjadi wakil Indonesia dalam forum antarbangsa. Bukan hanya di Jepang, tetapi juga sampai ke Manchuria, wilayah Tiongkok yang waktu itu diduduki Jepang. Ia memiliki pergaulan luas di kalangan elite politik Jepang.[2]
Kembali dari Jepang, Madjid menjadi penasihat gubernur Jepang merangkap jabatan Wali Kota Padang. Selanjutnya sebagai wartawan, ia menerima kedudukan sebagai pemimpin redaksi surat kabar Padang Nippo. Madjid dan istrinya menggagas berbagai badan yang menghimpun para tokoh Minangkabau dengan tujuan persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia membentuk Balai Penyelidikan Masyarakat Minangkabau sebagai lembaga yang menghimpun para intelektual Minangkabau, serta mendirikan Kerukunan Minangkabau yang berfungsi sebagai penasihat gubernur Jepang. Mereka berdua pula yang menggagas dan mendesak Japang agar mendirikan Giyugun, barisan sukarela yang kelak setelah Indonesia merdeka para perwira didikan Jepang itu menjadi inti kekuatan TNI di Sumatra.[2]
Perjalanan hidup
Ketika Perang Dunia II meletus dan Jepang memperluas wilayahnya di Asia, Abdoel Madjid Usman tetap menyerukan kemerdekaan dan karena ia menikah dengan wanita Jepang, ia diawasi ketat oleh polisi rahasia Belanda. Jepang mengebom pangkalan Amerika di Honolulu (Hawaii) dan Manila (Filipina) pada tanggal 7 Desember 1941, yang mengakibatkan penangkapan Abdoel Madjid Usman dan istrinya oleh Belanda. Awalnya mereka ditahan di Batusangkar bersama sejumlah warga Jepang dari berbagai wilayah Sumatera. Dua minggu kemudian Abdoel Madjid Usman beserta istri dan kedua anaknya yang masih kecil dikirim dan ditahan di penjara Garut, Jawa Barat. Selama lebih dari tiga bulan dia ditahan di sana, bersama dengan Chairul Saleh, Dasaad, dan Rahman Tamin.[2]
Abdoel Madjid Usman dan sekitar 1.000 tahanan lainnya baru dibebaskan begitu saja setelah Jepang memasuki Indonesia dan Belanda melarikan diri pada bulan Maret 1942. Meskipun dibebaskan dari tahanan Belanda, Madjid tidak pernah diizinkan oleh Jepang untuk kembali ke Padang. Ia baru diizinkan pulang melalui Medan pada bulan Juni 1942, dengan kapal yang disediakan khusus untuk Madjid, keluarga, dan rombongan. Rupanya kepulangan Madjid ke Padang baru diperbolehkan setelah adanya kesepakatan antara Divisi Angkatan Darat ke-16 yang menguasai Jawa dan Divisi ke-25 yang menguasai Sumatera. Perjanjian tersebut berupa pertukaran (barter) antara Soekarno yang tersesat di Minangkabau dengan Madjid yang berada di Jawa. Kedudukan Madjid sebagai pemimpin Indonesia dianggap oleh Jepang setara dengan kedudukan Soekarno. Di Padang, Madjid bekerja membantu Jepang dan sekaligus menjadi wali kota Padang. Kemudian sebagai wartawan, ia mendapat jabatan sebagai pemimpin redaksi surat kabar Padang Nippo.[3]
Pada akhir tahun 1943 Abdoel Madjid Usman bersama istri dan kedua anaknya berangkat ke Jepang dengan tujuan menyampaikan protes kepada pemerintahan militer pusat Jepang di Tokyo. Ia melakukan protes karena melihat praktik pendudukan Jepang di Indonesia, khususnya Sumatera, telah menyimpang dari janji semula. Faktanya, pendudukan Jepang membuat rakyat sangat miskin. Alih-alih protesnya diterima, Abdoel Madjid Usman ditawari untuk memimpin pemerintahan sementara Jepang di Sumatera. Namun dia menolak permintaan tersebut. Itulah sebabnya Abdoel Madjid Usman dan keluarganya tidak diizinkan kembali ke Sumatera. Sebaliknya, ia dikurung di Hotel Imperial, Tokyo, selama enam bulan berikutnya. Jepang mengalami kekalahan karena bom atom oleh Amerika Serikat, hal ini membuat Madjid dan istrinya tidak dapat kembali ke Indonesia dan harus mengungsi ke desa istrinya di kota Kofu. Jepang, yang akhirnya menyerah kepada Sekutu, menjadikan Madjid sebagai tawanan kota oleh pemerintahan militer pendudukan Amerika. Padahal, setelah mengetahui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Abdoel Madjid Usman sangat berhasrat untuk kembali ke tanah air.[3]
Dua tahun menjadi tahanan kota membuat Madjid dibebaskan tetapi tidak diizinkan kembali ke Indonesia. Dengan dukungan ayah mertuanya, Tuan Osada, ia mulai membangun bisnis di Jepang, awalnya mendirikan dan memimpin pabrik rajut sutra, kemudian mendirikan perusahaan ekspor-impor Indonesia Trading Company (Indotra) di Tokyo. Bisnisnya cukup sukses dan mampu membantu pelajar Indonesia yang kesulitan dengan biaya hidup di Jepang. Abdoel Madjid Usman juga turut berjasa dalam pembukaan Perwakilan Republik Indonesia di Tokyo pada tahun 1950. Selain menyediakan gedung, ia juga menyumbangkan sebuah mobil untuk operasional duta besar. Abdoel Madjid Usman baru diizinkan kembali ke Indonesia setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950. Di Indonesia Madjid kemudian aktif menerbitkan dan memimpin surat kabar Perantaraan Kita yang terbit dua kali seminggu di Jakarta.[3]
Penghargaan
Penghargaan yang berhasil diterima karena perjuangan Abdoel Madjid Usman diberikan oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Barat pada tahun 1989 dengan menganugerahi Piagam Pejuang Perintis Kemerdekaan.[2]
Rujukan
- ^ Dr. Suryadi. "Menantu Jepang". Padang Ekspres, 25-02-2018. Diakses tanggal 31-12-2023.
- ^ a b c d e f Hasril Chaniago (2010). 101 Orang Minang di Pentas Sejarah. Yayasan Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-347-819-5.
- ^ a b c "Abdoel Madjid Usman, Wartawan dan Pejuang Kemerdekaan Didikan Jepang". Diakses tanggal 8 Mar 2025.