Dewa Agung
Dewa Agung atau Dwagung merupakan gelar kebangsawanan yang disandang oleh raja-raja Klungkung, kerajaan yang menempati posisi tertinggi di antara sembilan kerajaan di Bali, Indonesia. Gelar ini juga digunakan oleh para bangsawan atau anggota keluarga kerajaan Klungkung yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan para Raja Klungkung. Dalam bahasa Sanskerta dan Bali, kata Dewa bermakna "Dewa" atau "Tuhan", yang juga menjadi gelar bagi kaum ksatria keturunan Sri Aji Kresna Kepakisan pada masa Kerajaan Gelgel. Sementara itu, Agung berarti "mulia", "tinggi", atau "agung". Secara harfiah, gelar ini dapat diartikan sebagai Dewa yang Agung atau Beliau yang di Agungkan.[1]
|  Lambang Puri Agung Klungkung Mahkota Raja Sri Aji Kresna Kepakisan dan Pelipis (Simbol Sri Aji Seganing Kepakisan), Sangku Tirta (Agama Tirta / Hindu Bali), Keris (Kesatria) , Daun Pakis (Kepakisan) | |
| Negara | Indonesia | 
|---|---|
| Wangsa asal | Wangsa Kepakisan-Gelgel | 
| Gelar-gelar | Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Sri Agung Putera kaping (...) Sesuhunan Bali lan Lombok Sane Jumeneng Agung ring Jagat Klungkung (Sejak 1790 - 1908) | 
| Style(s) | Ida Ratu Dwagung (sapaan) Ida Ratu Sesuhunan (kehormatan) | 
| Pendiri | Sri Aji Kresna Kepakisan | 
| Penguasa kini | Ida Ratu Dalem Smara Putra Soma Kepakisan | 
| Didirikan pada | 
 | 
| Cabang kadet | Wangsa Dalem Sukawati | 
| Etnis | Bali | 
Sejarah
Para penguasa Kerajaan Gelgel, yang berkuasa atas seluruh Bali dan wilayah sekitarnya hingga akhir abad ke-17 (1661), biasanya dikenal dengan gelar kerajaan Ida Dalem Sri Aji. Setelah tahun 1686, Ida I Dewa Agung Sri Agung Jambe I keturunan dari Wangsa Kepakisan-Gelgel berhasil mengalahkan Gusti Agung Maruti pada 31 Oktober 1686 dan mendirikan istana yang baru tinggal di Klungkung pada 1 November 1686 dan dinamakan Puri Agung Smarajaya (Singkatan until Semara Wijaya), beberapa kilometer di utara ibukota Gelgel.
Seiring berdirinya kerajaan Bali lainnya pada 1651 - 1771 maka otoritas langsung Kerajaan Klungkung mulai mengecil, dan berkuasa pulau terdekat Nusa Penida. Mereka diakui oleh penguasa Bali lainnya memiliki posisi ritual yang didahulukan, meskipun kemampuan Raja Klungkung untuk memaksakan kehendak mereka pada delapan raja lainnya terkadang terbatas.[2] Landasan penting dalam otoritas garis Dewa Agung adalah keturunan dan juga kepemilikan benda-benda pusaka yang diduga mengandung kemampuan magis serta kepemilikan dari Pura-Pura yang penting di Bali seperti Pura Agung Besakih.
Sebuah kontrak dengan Hindia Timur Belanda ditandatangani pada tahun 1843, dan menempatkan Klungkung di bawah perlindungan Belanda namun Batavia tidak dapat memerintah secara langsung. Kontrak dengan negara bagian Bali lainnya ditandatangani pada saat yang bersamaan. Kontroversi dan kesalahan pahaman seputar penafsiran kontrak pada tahun-tahun berikutnya menyebabkan tiga ekspedisi Belanda ke pulau itu pada tahun 1846, 1848 dan 1849. Ekspedisi 1849 mengalahkan Kerajaan Buleleng dan Karangasem dan kemudian menyerbu wilayah Klungkung. Tentara Belanda mengalami kesulitan ketika komandan jenderal Andreas Victor Michiels dibunuh oleh prajurit Klungkung. Sebuah perjanjian damai ditanda tangani di Kuta yang meninggalkan kerajaan Bali selatan otonom.[3] Setelah tahun 1900, kebijakan kolonial Belanda menjadi lebih aktif, dan bermaksud untuk menekan posisi independen yang selama ini dinikmati oleh kerajaan-kerajaan di sebagian besar Indonesia. Sebagai bagian dari ini, Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz mulai ikut campur dalam urusan Bali.

Raja Ida I Dewa Agung Jambe / Ida Dewa Agung Sri Agung Putra IV Dewa Agung ke-9 wafat dalam perang yang disebut Puputan Klungkung di Puri Agung Smarajaya pada tanggal 28 April 1908 selama intervensi Belanda di Bali (1908). Ini adalah serangan habis-habisan yang sarat akan kepercayaan dan kewibawaan kesatria di Bali. Raja dan rakyatnya bertempur melawan detasemen pasukan kolonial Belanda yang bersenjata lengkap setelah Kerajaan Klungkung menolak untuk berunding dengan Hindia Belanda.Pada akhirnya hampir dua ratus orang Bali terbunuh oleh peluru Belanda atau dengan tangan mereka sendiri.[4]
Setelah peristiwa itu, Klungkung ditempatkan di bawah kekuasaan langsung Belanda. Pada tahun 1929, keponakan penguasa terakhir, Ida I Dewa Agung Oka Geg, diangkat menjadi bupati oleh penguasa kolonial. Pada tahun 1938, statusnya dan tujuh bupati Bali lainnya diangkat menjadi zelfbestuurder atau raja. Setelah pembentukan negara kesatuan Indonesia pada tahun 1949-1950, kekuasaan raja dihapuskan di Bali dan di tempat lain. Ida I Dewa Agung Oka Geg wafat pada 1964 dan setelah itu penerusnya bergelar Dalem seperti jaman Gelgel.
Penggunaan
Dalam keluarga Kerajaan Klungkung terutama pada masa sebelum kolonial Hindia Belanda, gelar Dewa Agung tidak hanya disematkan kepada Raja Klungkung tetapi juga kepada Ratu Pemade, Pangeran Mahkota dan keluarga kerajaan lainnya.[5]
- Gelar Raja Klungkung
Menurut berbagai dokumen Kerajaan termasuk Pasobaya Astanegara Bali tahun 1837. Raja Klungkung secara spesifik bergelar :
Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Surawirya (nama) Susuhunan Bali dan Lombok
Kata Surawirya jika diterjemahkan sebagai Sri Agung dan sejak tahun 1790, secara turun temurun para Raja di Kerajaan Klungkung bergelar Putera. Sedangkan Sesuhunan Bali dan Lombok sebagai penanda bahwa Raja Klungkung merupakan junjungan para raja-raja dan masyarakat Bali di Pulau Bali maupun raja Bali di Pulau Lombok. [6]
- Ratu Pemade
Ratu pemade atau hamangkubumi adalah sebutan jabatan seorang Perdana Menteri di Kerajaan Klungkung, mereka yang ditunjuk sebagai Hamangkubumi biasanya adalah adik atau paman dari raja Klungkung. Gelar yang disematkan kepada Ratu Pemade adalah
Ida Dewa Agung Gde (nama)
Seperti pada tahun 1850, adik raja Klungkung yang bernama Anak Agung Gde Rai kemudian menjabat sebagai Hamangkubumi dan bergelar Ida Dewa Agung Gde Rai. [7]
- Pangeran Mahkota
Putra Raja Kerajaan Klungkung ketika dilantik sebagai Pangeran Mahkota akan bergelar sebagai
Ida Dewa Agung Gde (nama) atau Ida Dewa Agung Anom (nama).
Dalam beberapa catatan, pangeran mahkota juga disebutkan sebagai Ida Dewa Agung Gde Balemas, kata Balemas sendiri merupakan salah satu paviliun agung di Puri Agung Smarajaya yang dihuni khusus untuk Pangeran Mahkota, paviliun ini adalah yang terbesar kedua setelag paviliun Gedong Rum yang merupakan halaman privat Raja.
- Pangeran Lainnya
Gelar Dewa Agung juga disematkan kepada para putra raja yang lahir dari permaisuri, namun ketika saudaranya kemudian naik takhta maka gelar Dewa Agung tersebut akan diganti dengan gelar Ida Cokorda Gde.[8][9]
- Permaisuri Utama
Gelar Dewa Agung juga disematkan kepada permaisuri utama raja Klungkung, gelar yang disematkan kepada permaisuri adalah :
Ida Dewa Agung Istri Rajadani (Nama)
Dalam beberapa versi, Rajadani tersebut adalah singkatan untuk Rajapadmi yang berarti Ratu Permaisuri.[10]
- Permaisuri dan Putri Lainnya
Gelar Dewa Agung Istri juga diberikan kepada istri-istri raja yang berasal dari keturunan Bangsawan lainnya atau digunakan juga kepada para tuan putri yang lahir dari ibu seorang bangsawan.[11]
Daftar Nama Raja Dewa Agung

| Nama | Jangka hidup | Awal memerintah | Akhir memerintah | Keterangan | Keluarga | Gambar | 
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Sri Agung Jambe 
 | 1640 - 1722 (±82 tahun) | 31 Oktober 1686 | 11 November 1722 | Raja pertama dan Pendiri Kerajaan Klungkung | ||
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Surawirya 
 | 1670 - 1736 (±66 tahun) | 12 November 1722 | 6 April 1736 | Diangkat sebagai putra mahkota pada 15 Januari 1720 | ||
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Sri Agung Made 
 | 1690 - 1768 (±78 tahun) | 7 April 1736 | 1768 | Sempat terjadi konflik suksesi dengan Kakaknya yang kemudian meninggalkan Klungkung dan menjadi Raja di Taman Bali | ||
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Sri Agung Dalem Sakti 
 | 1730 - 1814 (±84 tahun) | 1768 | 1790 (De facto), 1814 (De jure) | Pada akhir masa pemerintahannya menjadi kurang waras dan pemerintahan diambil alih oleh adiknya, Hamangkubumi Ida Dewa Agung Gde Panji | ||
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Sri Surawirya Putra Kusanegara 
 | 1776 - 1809 (±33 Tahun) | 1790 | 1809 | Wafat setelah terjatuh dari jembatan sungai Blahpane | ||
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Sri Agung Putra II 
 | 1800 - 1850 (±50 tahun) | 1814 | 18 Agustus 1850 | Memerintah bersama saudarinya | ||
| Sri Paduka Maharaja Ida Dewa Agung Istri Sri Naranata Kanya 
 | 1799 - 1868 (±69 tahun) | 1821 | 1850 (De jure), 1868 (De facto) | |||
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dalem Dewa Agung Sri Agung Putra III 
 | 1830 - 1903 (±73 tahun) | 19 Agustus 1850 | 1903 | Putra Hamangkubumi Klungkung Ida Dewa Agung Gde Ketut Agung Sakti yang diangkat oleh Ida Dewa Agung Istri Kanya | ||
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Sri Agung Putra IV 
 | 1855 - 1908 (±53 tahun) | 1903 | 28 April 1908 | Wafat saat perang Puputan Klungkung melawan Hindia Belanda | ||
| Sri Paduka Maharaja Ida Bhatara Dewa Agung Gde Oka Geg 
 | 1897 - 1964 (±67 tahun) | 1929 sebagai Regent, 1938 sebagai Raja | 1955 (De jure), 1964 (De facto) | |||
| Ida Ratu Dalem Smara Putra Soma Kepakisan 
 | 10 Oktober 2010 | Raja Klungkung sekarang (De Jure) | Raja secara Adat Bali | 
Lihat juga
Referensi
- ^ M.J. Wiener (1995), Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago: University of Chicago Press, hlm. 22.
- ^ A. Vickers (1989), Bali; A paradise created. Ringwood: Penguin, hlm.58.
- ^ A. Vickers (1989), hlm.30-1.
- ^ M.J. Wiener (1995), hlm.3-4; H. Schulte Nordholt (1996), The spell of power; A history of Balinese politics 1650-1940. Leiden: KITLV Press, phlm.210-6.
- ^ Tjokorda Istri Agung Rai Sintha Devi, Dewa Made Alit, I Nyoman Bayu Pramartha. “Intervensi Pemerintah Hindia Belanda terhadap Kerajaan Klungkung tahun 1841-1849”. Jurnal Nirwasita: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sosial, Vol. 3 No. 2 (2022). https://ojs.mahadewa.ac.id/index.php/nirwasita/article/view/2240 Diakses pada 8 Oktober 2025.
- ^ Hartono, Hartono. *Puri Agung Klungkung*. Seri Pengenalan Budaya: Lingkungan Budaya Keraton. Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014. https://repositori.kemdikbud.go.id/30342/ Diakses pada 8 Oktober 2025.
- ^ “Kerajaan Klungkung”. SejarahBali.com. https://www.sejarahbali.com/read/kerajaan-klungkung Diakses pada 8 Oktober 2025.
- ^ “Sejarah Klungkung”. Pemerintah Kabupaten Klungkung. https://www.klungkungkab.go.id/halaman/detail/sejarah-klungkung Diakses pada 8 Oktober 2025.
- ^ Museum Klungkung. “Sejarah Klungkung”. E-Museum Dinas Kebudayaan Kabupaten Klungkung. https://e-museum.klungkungkab.go.id/id/2760-2/ Diakses pada 8 Oktober 2025.
- ^ “Kerajaan Klungkung: Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan”. Kompas.com. https://lipsus.kompas.com/pameranotomotifnasional2024/read/2021/11/23/130000779/kerajaan-klungkung--sejarah-raja-raja-dan-keruntuhan Diakses pada 8 Oktober 2025.
- ^ “Sejak pemerintahan Dalem Dimade hingga berdirinya Kerajaan Klungkung”. *Sejarah Citra Lekha*, Vol. 4 No. 1 (2019): 3-14. Universitas Diponegoro. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/download/19903/pdf Diakses pada 8 Oktober 2025.
Bacaan lebih lanjut
- H. Creese (1991), 'Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147, pp. 236–260.
- C. Geertz (1980), Negara; The theatre state in nineteenth-century Bali. Princeton: Princeton University Press.
- I Wayan Warna et al., ed. (1986) Babad Dalem; Teks dan terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.


