Dewa Agung
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
![]() |
Garis waktu |
![]() |
Dewa Agung atau Dwagung adalah gelar raja-raja Klungkung, yang paling terkemuka di antara sembilan kerajaan Bali, Indonesia. Gelar ini juga diberikan kepada anggota dinasti berpangkat tinggi lainnya yang memiliki kedekatan dengan Raja - Raja Klungkung. Istilah Dewa berarti "dewa" dan juga merupakan sebutan umum untuk anggota wangsa ksatria. Agung diterjemahkan sebagai "tinggi" atau "hebat". Secara harafiah, gelar itu berarti Tuhan yang Agung.[1]

Sejarah
Para penguasa Gelgel, yang berkuasa atas seluruh Bali dan wilayah sekitarnya hingga akhir abad ke-17, biasanya dikenal dengan gelar kerajaan Dalem, secara harfiah berarti "orang di dalam" atau "Jero". Setelah tahun 1686, Ida I Dewa Agung Jambe I keturunan dari Dinasti Gelgel lama berhasil mengalahkan Gusti Agung Maruti dan mendirikan istana yang baru tinggal di Klungkung dan dinamakan Puri Agung Smarajaya, beberapa kilometer di utara Gelgel. Seiring berdirinya kerajaan Bali lainnya otoritas langsung Kerajaan Klungkung mulai mengecil, dan berkuasa pulau terdekat Nusa Penida. Mereka diakui oleh penguasa Bali lainnya memiliki posisi ritual yang didahulukan, meskipun kemampuan Raja Klungkung untuk memaksakan kehendak mereka pada delapan raja lainnya terkadang terbatas.[2] Landasan penting dalam otoritas garis Dewa Agung adalah kepemilikan benda-benda pusaka yang diduga mengandung kemampuan magis serta kepemilikan dari Pura-Pura yang penting di Bali.
Sebuah kontrak dengan Hindia Timur Belanda ditandatangani pada tahun 1843, dan menempatkan Klungkung di bawah perlindungan Belanda namun Batavia tidak dapat memerintah secara langsung. Kontrak dengan negara bagian Bali lainnya ditandatangani pada saat yang bersamaan. Kontroversi dan kesalahan pahaman seputar penafsiran kontrak pada tahun-tahun berikutnya menyebabkan tiga ekspedisi Belanda ke pulau itu pada tahun 1846, 1848 dan 1849. Ekspedisi 1849 mengalahkan Kerajaan Buleleng dan Karangasem dan kemudian menyerbu wilayah Klungkung. Tentara Belanda mengalami kesulitan ketika komandan jenderal Andreas Victor Michiels dibunuh oleh prajurit Klungkung. Sebuah perjanjian damai diikuti yang meninggalkan kerajaan Bali selatan otonom di bawah perlindungan Belanda.[3] Setelah tahun 1900, kebijakan kolonial Belanda menjadi lebih aktif, dan bermaksud untuk menekan posisi independen yang selama ini dinikmati oleh kerajaan-kerajaan di sebagian besar Indonesia. Sebagai bagian dari ini, Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz mulai ikut campur dalam urusan Bali.

Raja Ida I Dewa Agung Jambe Dewa Agung terakhir kehilangan nyawanya dalam perang yang disebut puputan di Puri Agung Smarajaya pada tanggal 28 April 1908 selama intervensi Belanda di Bali (1908). Ini adalah serangan habis-habisan yang sarat akan kepercayaan Bali. Raja dan pengikutnya bertempur melawan detasemen pasukan kolonial Belanda yang bersenjata lengkap setelah Kerajaan Klungkung menolak untuk berunding dengan Hindia Belanda.Pada akhirnya hampir dua ratus orang Bali terbunuh oleh peluru Belanda atau dengan tangan mereka sendiri.[4]
Setelah peristiwa itu, Klungkung ditempatkan di bawah kekuasaan langsung Belanda. Pada tahun 1929, keponakan penguasa terakhir, Ida I Dewa Agung Oka Geg, diangkat menjadi bupati oleh penguasa kolonial. Pada tahun 1938, statusnya dan tujuh bupati Bali lainnya diangkat menjadi zelfbestuurder atau raja. Setelah pembentukan negara kesatuan Indonesia pada tahun 1949-1950, kekuasaan raja dihapuskan di Bali dan di tempat lain. Gelar Dewa Agung hilang dengan kematian Ida I Dewa Agung Oka Geg pada tahun 1964. Anggota keluarganya sejak itu secara berkala memerintah Klungkung sebagai bupati.
Daftar Nama Raja Dewa Agung

Penguasa Kerajaan Klungkung yang bergelar Dewa Agung
- Ida I Dewa Agung Jambe I 1686-c. 1722 (keturunan dari dinasti Gelgel Wangsa Kepakisan)
- Ida I Dewa Agung Gede atau Surawirya Putra c. 1722-1736 (putra)
- Ida I Dewa Agung Dimadya 1736 - 1760 (putra)
- Ida I Dewa Agung Sakti atau Dalem Çakti akhir abad ke- 18, 1760 - 1790 (putra)
- Ida I Dewa Agung Putra I atau Surawirya Putra I akhir abad 18, 1790 -1809 (putra)
- Ida I Dewa Agung Putra II atau Surawirya Putra II 1814-1850 (putra)
- Ida I Dewa Agung Istri Kania atau Dwagung Istri Balemas (bertindak sebagai raja muda 1821 - 1850: wafat 1860) (saudari raja)
- Ida I Dewa Agung Putra III atau Bhatara Dalem 1851-1903 (kemenakan)
- Ida I Dewa Agung Jambe II atau Ida I Dewa Agung Putra IV atau Surawirya Putra IV 1903-1908 (putra)
- Ida I Dewa Agung Oka Geg 1929-1950 (kemenakan)
Lihat juga
Referensi
- ^ M.J. Wiener (1995), Visible and invisible realms; Power, magic, and colonial conquest in Bali. Chicago: University of Chicago Press, hlm.22.
- ^ A. Vickers (1989), Bali; A paradise created. Ringwood: Penguin, hlm.58.
- ^ A. Vickers (1989), hlm.30-1.
- ^ M.J. Wiener (1995), hlm.3-4; H. Schulte Nordholt (1996), The spell of power; A history of Balinese politics 1650-1940. Leiden: KITLV Press, phlm.210-6.
Bacaan lebih lanjut
- H. Creese (1991), 'Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147, pp. 236–260.
- C. Geertz (1980), Negara; The theatre state in nineteenth-century Bali. Princeton: Princeton University Press.
- I Wayan Warna et al., ed. (1986) Babad Dalem; Teks dan terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.