Gereja Santo Servatius, Kampung Sawah
Gereja Santo Servatius | |
---|---|
Gereja Santo Servatius, Paroki Kampung Sawah | |
![]() Tampak depan Gereja Santo Servatius di Kampung Sawah pada Agustus 2025 | |
![]() |
|
Lokasi | Jalan Raya Kampung Sawah Nomor 75, Jatimelati, Pondokmelati, Bekasi 17446 |
Negara | Indonesia |
Denominasi | Gereja Katolik Roma |
Situs web | www |
Sejarah | |
Relikui | Santo Servatius |
Arsitektur | |
Status | Paroki |
Status fungsional | Aktif |
Gaya | Arsitektur Betawi |
Administrasi | |
Paroki | Kampung Sawah |
Dekenat | Bekasi |
Keuskupan Agung | Jakarta |
Provinsi | Jakarta |
Klerus | |
Uskup Agung | Ignatius Kardinal Suharyo |
![]() | |
Gereja Santo Servatius, Kampung Sawah adalah sebuah gereja paroki Katolik yang sebagian besar beranggotakan warga Katolik Betawi di wilayah Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat.[1][2] Budaya Betawi masih ditunjukkan oleh para anggota gereja tersebut melalui penggunaan bahasa dan kosakata Betawi yang merupakan turunan dari bahasa Melayu.[3][4] Di Kampung Sawah sendiri budaya Betawi tetap bertahan sekalipun beberapa bagian di antaranya telah punah.[5] Salah satu ritual budaya Betawi yang masih bertahan, walaupun mengalami perubahan, adalah bebaritan atau yang saat ini dikenal dengan nama sedekah bumi.[5] Uniknya, ritual tersebut pada masa kini dilakukan di Paroki Santo Servatius Kampung Sawah. Gereja ini berada dalam reksa pastoral tarekat Serikat Yesus (S.J).[5]
Sejarah
Terbentuknya umat pertama
Pada akhir abad ke-19, sebagian besar warga Kampung Sawah telah menganut agama Islam.[2] Walaupun demikian ritual-ritual animisme masih sering mereka lakukan, terutama bila mereka memasuki tempat-tempat yang dianggap angker.[2] Wilayah Kampung Sawah saat itu masih seperti hutan belantara yang gelap.[2] Mayoritas penghuninya adalah orang-orang Betawi yang berbahasa Melayu dan terdiri dari percampuran berbagai macam kebudayaan dan keturunan.[2][3][4]
Perpaduan antara budaya Betawi dengan kekristenan sebenarnya sudah terjadi sebelum masuknya Katolik ke Kampung Sawah.[2][6][7] Meester Anthing adalah orang Protestan pertama yang berhasil masuk ke dalam budaya Betawi.[7] Ia berhasil mendirikan jemaat di Kampung Sawah dan berhasil memadukan ritus-ritus budaya dengan kekristenan yang menitikberatkan pada ngelmu dan hal-hal mistik lainnya.[2][7] Sayangnya hal tersebut dianggap sinkretisme dan semakin lama praktik-praktik tersebut mulai memudar.[2][7] Saat ini masih tersisa beberapa anggota jemaat yang menggunakan Doa Bapa Kami dalam bahasa Betawi untuk melindungi mereka di tempat-tempat angker.[2]

Paroki Santo Servatius Kampung Sawah sendiri merupakan sempalan dari Gereja Protestan Kampung Sawah yang dirintis oleh Meester Anthing.[1] Pada tahun 1895 jemaat Protestan Kampung Sawah terpecah menjadi tiga fraksi yang saling bermusuhan.[1][2] Fraksi pertama adalah kelompok guru Laban yang bermarkas di Kampung Sawah barat, fraksi kedua adalah kelompok Yoseh yang mengadakan kebaktian di Kampung Sawah timur dan fraksi ketiga adalah kelompok guru Nathanael yang memilih Katolik Roma untuk masuk ke Kampung Sawah.[2] Guru Nathanael sendiri melakukan hal tersebut setelah ia dipecat dari jabatan guru pembantu di Gereja Protestan Kampung Sawah.[1][2] Ia kemudian mencari bantuan ke Gereja Katedral Jakarta yang berada di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.[1][2][7] Pada 22 Juni 1896 Guru Nathanael dibaptis. Pada 6 Oktober 1896 Pastor Bernardus Schweitz, seorang imam Yesuit, membaptis 18 anak, yang dianggap sebagai hari lahir umat Katolik Kampung Sawah.[2]
Pendirian bangunan gereja pertama
Pastor Bernardus Schweitz, S.J., berinisiatif mendirikan gereja di Kampung Sawah dengan membeli sebuah rumah desa dari tuan tanah keturunan Tionghoa di Pondok Gede, yang sebagian ditata untuk keperluan ibadat. Pada tahun 1897 berdirilah sebuah gereja sederhana yang mampu menampung sekitar 50 umat, dengan Engku Nathanael sebagai ketua stasi sekaligus guru agama. Pastor Schweitz yang jatuh sakit dan kembali ke Belanda pada tahun 1898, digantikan oleh Pastor A. Kortenhorst, S.J.[8]
Pada awal abad ke-20, perkembangan umat Katolik di Kampung Sawah sempat terhambat akibat penolakan pemerintah kolonial, termasuk larangan pelayanan antara tahun 1902–1904. Situasi ini diperburuk dengan berpindahnya banyak umat ke Gereja Metodis pada 1906, termasuk Engku Nathanael. Pada 1917, hanya tersisa satu keluarga Katolik, sementara bangunan gereja telah dibongkar. Pastor A. Mathijsen, S.J., yang ditugaskan untuk menghidupkan kembali misi, melaporkan hampir tidak ada umat yang dapat dilayani.[8]
Kebangkitan kembali dimulai pada 1920, ketika Pastor Yoanes van der Loo, S.J., mengambil alih pembinaan umat dan mengorganisir petisi berisi 150 tanda tangan agar pelayanan dilanjutkan. Pada 1921, umat yang sebelumnya beribadah dalam Gereja Metodis kembali ke Gereja Katolik Roma, sehingga jumlah umat meningkat dari 20 menjadi 150 orang. Setahun kemudian, Pastor van der Loo memimpin pembangunan gereja kedua yang dilengkapi sebuah menara di atas tanah persawahan di lokasi gereja saat ini. Engku Benyamin Kadiman, tokoh Protestan yang kemudian dibaptis pada 1923, diangkat menjadi pemimpin umat.[8]
Pastor Y. van Driel, S.J., menggantikan Pastor van der Loo dan dikenal dengan pelayanannya ke Kampung Sawah menggunakan sepeda. Pada tahun 1930, tanggung jawab pengelolaan dan pelayanan di Kampung Sawah diserahkan dari Serikat Yesus kepada Ordo Fransiskan.[8]
Pembentukan paroki
Pastor Oscar Cremers, O.F.M., menjadi imam pertama yang menetap di Kampung Sawah pada Mei 1935. Ia memimpin pembangunan gereja permanen yang diberkati pada 23 September 1937. Ia juga mengembangkan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah misi. Pada tahun yang sama, Klinik Melania didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.[9] Inkulturasi budaya Betawi mulai diterapkan dalam liturgi, termasuk melalui tradisi Sedekah Bumi.[10] Pada tahun 1936 Kampung Sawah resmi diangkat menjadi paroki dengan nama Santo Antonius dari Padua, dan pengesahan formal diberikan melalui surat tanggal 12 Maret 1941, sehinga menjadikannya salah satu paroki tertua di Vikariat Apostolik Batavia.[11]

Selama pendudukan Jepang (1942–1945), banyak imam Belanda ditahan di kamp interniran, dan pelayanan paroki dijalankan oleh awam seperti Poesposoepadma dan Benyamin Kadiman. Setelah proklamasi kemerdekaan, pada Oktober 1945 gereja mengalami penjarahan dan pembakaran oleh kelompok bersenjata, yang dikenal sebagai gedoran. Peristiwa ini memaksa umat mengungsi ke Jakarta dan beberapa wilayah sekitar.[12][13] Bangunan gereja sebagian rusak, tetapi dapat dipulihkan. Pastor H. Voogdt memimpin upaya pemulihan pascaperang dengan membuka kembali sekolah pertama pada 1946. Pastor Fransiscus Soerjomoerdjito, Pr, yang menjabat sejak 1949, merenovasi pastoran, membentuk Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) pertama pada 1950, dan memimpin misa pertama di Bekasi pada 20 Juni 1950, yang menandai awal perkembangan Katolik di wilayah tersebut.[14]
Pada 1950-an hingga awal 1960-an, pelayanan paroki dipegang para imam Serikat Yesus, termasuk Pastor Leonardus Daroewenda, S.J., Pastor Suitbertus Bratasoeganda, S.J., dan Pastor Robertus Bakker, S.J. Pastor Bakker mengembangkan karya sosial dengan membangun kembali Klinik Melania, memperluas jaringan sekolah Strada, serta merintis koperasi bebek untuk meningkatkan taraf hidup umat. SMP Strada Kampung Sawah dibuka resmi pada 1 Agustus 1965, yang diikuti dengan pendirian SMP Strada Nawar dan sekolah di Cakung Payangan. Program sosial-ekonomi diperluas dengan koperasi kredit dan proyek peketan lintas agama.[15]
Katekis Marius Mariatmadja, yang telah berkarya sejak awal 1950-an, ditahbiskan menjadi imam diosesan pada 12 September 1971 pada usia 60 tahun, sehingga menjadikannya sebagai imam pertama asli Kampung Sawah. Pastor Mario dikenal luas karena keberanian dan dedikasinya melayani umat dalam situasi sulit. Pastor Mario meninggal dunia pada tahun 1972.[16] Pelayanan paroki kemudian diambil alih para imam Yesuit dari Cililitan. Pastor C. Looymans, S.J., memimpin perluasan gereja pada tahun 1974–1977, diikuti oleh Pastor Martinus Oei Goan Tjiang, S.J. yang mengembangkan kegiatan pemuda, memperkuat pendidikan, dan membentuk program P3K (Pertanian, Perikanan, Peternakan).[17]
Perkembangan gereja


Pada tahun 1988, R.D. Aloysius Yus Noron, putra asli Kampung Sawah, ditahbiskan sebagai imam diosesan Keuskupan Agung Jakarta. Pastor Alex Dirdjasusanta, S.J., mulai menetap di Kampung Sawah pada awal 1990-an dan memimpin renovasi besar dengan membangun berbagai fasilitas, termasuk pendopo, Saung Maria, dan sakristi. Pastor Rudolf Kurris, S.J., diangkat sebagai pastor kepala pada 1 Juni 1993. Ia dikenal dengan kunjungan rutin ke seluruh lingkungan umat dan memimpin proses revitalisasi pastoral paroki. Pada tahun 1995, pelindung paroki diganti dari Santo Antonius Padua menjadi Santo Servatius. Adapun Santo Antonius Padua telah menjadi pelindung paroki di Bidara Cina, Jakarta Timur.[18]
Pembangunan gereja baru dimulai dengan rancangan arsitek Gregorius Sidharta bergaya Romanesque. Peletakan batu pertama gereja berlangsung pada 12 Agustus 1995. Adapun tiga tokoh yang meletakkan batu-batu awal gedung gereja ini adalah Nuncio Apostolik untuk Indonesia Pietro Sambi, Pastor Paroki Kampung Sawah R.P. Rudolphus Kurris, S.J., dan oleh Ketua Panitia Pembangunan Yos Mutis. Gereja tersebut diberkati pada tahun 1996 dengan menara tujuh lantai, kaca patri yang menggambarkan riwayat Santo Servatius, serta ornamen liturgis karya seniman nasional. Misa dengan gaya Betawi mulai diperkenalkan, sehingga menjadikan Paroki Kampung Sawah sebagai pusat inkulturasi budaya Betawi dalam liturgi Gereja Katolik.[19]
Ritual Bebaritan dan Sedekah Bumi

Bebaritan adalah ritual animisme yang dilakukan oleh warga Kampung Sawah untuk memohon keselamatan kepada denghaeng, dedemit, ataupun penunggu dari suatu daerah yang dianggap angker.[2][5] Seluruh warga membawa makanan yang diolah dari hasil bumi mereka masing-masing dan berkumpul di tempat angker tersebut.[5] Semua makanan yang telah dibawa oleh tiap-tiap warga dicampur dan disusun di atas daun pisang yang lebar sebagai alasnya.[5] Warga kemudian mengambil tempat dan berbaris sejajar dengan makanan yang sudah disusunnya.[5] Kemudian pemimpin ritual membacakan rapal-rapal (mantra-mantra) dari ujung barisan.[5] Setelah pembacaan rapal, seluruh warga menyantap makanan yang telah mereka susun di atas daun pisang tadi.[5] Ungkapan syukur warga melalui pembacaan rapalan dan acara makan bersama biasanya diisi pula dengan tari-tarian dan musik tradisional Betawi.[2][5]
Saat ini ritual bebaritan dalam bentuk yang asli sudah tidak ada lagi.[5] Ritual bebaritan terakhir kali dilakukan pada tahun 1963/1964 dan dilangsungkan dalam bentuk yang lebih modern, yaitu dengan dangdutan.[5] Pada tahun 1936, untuk pertama kalinya diadakan upacara sedekah bumi di antara anggota Paroki Santo Servatius Kampung Sawah.[2][5] Ketika itu Pastor Oscar Cremers, O.F.M. memberkati panen padi sebagai bentuk pengucapan syukur dari warga Kampung Sawah.[2][5] Peristiwa tersebut menjadi cikal-bakal ritual sedekah bumi di Paroki Santo Servatius.[5] Ritual sedekah bumi hingga kini dilaksanakan setiap tanggal 13 Mei.[2][5]
Saat itu ritual tersebut dilakukan secara sederhana, yaitu pemberkatan panen dan pembagian sebagian hasil panen tersebut kepada penderep.[5] Penderep adalah orang-orang yang membantu pemilik sawah untuk memetik hasil panennya.[5] Ritual tersebut kemudian juga dilakukan dalam bentuk penyerahan persembahan dari warga gereja yang hadir ketika ekaristi dilaksanakan.[5] Para anggota Gereja Santo Servatius menyerahkan hasil bumi berupa kelapa, durian, nangka, rambutan, singkong, padi, dan sebagainya, secara langsung dalam misa di gereja.[5]
Inkulturasi Budaya Betawi

Pada tanggal 13 Mei 1996, yaitu hari peringatan Santo Servatius, sebanyak enam pria dan enam wanita asli Betawi dilantik sebagai anggota perkerabatan Santo Servatius.[2] Perkerabatan Santo Servatius merupakan bentuk penghidupan kembali tradisi kuno dalam gereja Katolik yang mengungkapkan iman para anggotanya melalui bentuk-bentuk lahiriah untuk nilai-nilai spiritual (seperti fraternity atau conferia).[2] Perkerabatan tersebut bertujuan untuk melayani dan memperkenalkan devosi terhadap Santo Servatius yang relikwinya akan ditempatkan di dalam gereja tersebut.[2] Berbagai atribut pakaian khas Betawi pun digunakan oleh mereka, seperti peci hitam, celana komprang hitam, baju sadaria putih, sarung merah dan golok bagi para bapak, sedangkan bagi para ibu menggunakan kerudung putih, sarung batik dan kebaya putih.[2] Korps musik tanjidor untuk pertama kalinya tampil di tengah anggota jemaat.[2] Nyanyian jemaat pun digubah sesuai dengan nada lagu Betawi yang sebagian besar digubah oleh Marsianus Balita.[2][5] Upacara tersebut ditutup dengan makan bersama di halaman gereja dan di Warung Servas (singkatan dari Servatius) yang terletak di seberang gereja.[2][5] Pelantikan tersebut dilakukan bersamaan dengan ritual sedekah bumi yang menjadi ciri khas paroki Santo Servatius.[2]
Saat ini setiap tanggal 13 Mei, Gereja Santo Servatius selalu mengadakan ritual sedekah bumi dan pesta rakyat yang berlangsung selama misa dan setelah misa.[2] Selain berbagi hasil bumi berupa makanan khas Kampung Sawah seperti kue abug, singkong rebus, kacang rebus, dan lain-lain. Acara ini juga dimeriahkan dengan lagu-lagu Benyamin S.[5] Selain acara-acara tersebut, di dalam ritual sedekah bumi juga dilakukan pembuatan dodol (ngaduk dodol).[5] Dodol ini diolah sejak dini hari dan dilakukan selama tujuh jam.[5] Makna dari kegiatan ngaduk dodol ini tidak terlepas dari syarat-syarat dalam proses pembuatannya.[5] Syarat pertama adalah syarat kultural yang dibagi menjadi dua macam yaitu sugesti dan pengendalian.[5] Bentuk sugesti yang dilakukan adalah dengan menepuk kuali sebanyak tiga kali sambil mengajukan permintaan agar dodol jadi dalam waktu yang telah ditentukan, tetapi apabila tidak jadi sesuai dengan waktu yang ditentukan maka dodol tersebut akan dihanyutkan ke sungai yang mengalir.[5]
Bentuk pengendalian yang dilakukan selama pembuatan dodol adalah menjaga agar adonan tidak terlalu encer.[5] Orang yang boleh mencicipi kole (dodol setengah jadi) adalah orang yang dianggap paling tua.[5] Kayu yang digunakan untuk bahan bakar adalah kayu rambutan atau pelepah kelapa sebab tidak menimbulkan banyak abu.[2] Selain itu, api yang digunakan untuk memasak adonan dodol harus dijaga agar tetap kecil dan tidak padam.[2]
Relikui orang kudus

Sebulan sebelum Paroki Kampung Sawah merayakan seratus tahun kelahirannya, tepatnya pada 30 September 1996, paroki tersebut menerima sebuah relikui Santo Servatius dari Basilika Santo Servatius di Maastricht, Belanda. Pengiriman relikui ini diprakarsai oleh Pastor Kurris yang berasal dari Maastricht yang menjabat sebagai Pastor Kepala Paroki Kampung Sawah pada periode 1993–2001. Langkah tersebut dilakukan Pastor Kurris untuk merawat dan memperkenalkan kekayaan Gereja Katolik di Maastricht yang saat itu dinilai kurang mendapat perhatian, serta untuk memberikan inspirasi agar Gereja Santo Servatius Kampung Sawah memiliki semangat yang sama dengan gereja pelindungnya di Belanda.
Proses kedatangan relikui sempat mengalami hambatan ketika tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Beredar kabar bahwa relikui tersebut merupakan potongan tubuh manusia, sehingga sempat tertahan selama beberapa jam di Bea Cukai. Relikui akhirnya dilepaskan setelah adanya jaminan dan penjelasan mengenai benda suci tersebut.[20]
Setibanya di Kampung Sawah, relikui Santo Servatius disambut dengan meriah oleh umat paroki yang berbaris di sepanjang jalan menuju gereja. Prosesi penjemputan melibatkan arak-arakan mobil terbuka, pengawalan oleh Perkerabatan Santo Servatius, paduan suara, tanjidor, gamelan, serta dentang lonceng gereja. Sejak saat itu, prosesi dan penghormatan relikui Santo Servatius menjadi tradisi tahunan Paroki Kampung Sawah.
Relikui tersebut kini terletak di dalam bangunan gereja, sebelah panti imam, yang ditandai dengan Patung Santo Servatius. Selain itu terdapat dua buah relikuarium di masing-masing sebelah kiri dan kanan patung tersebut. Relikuarium tersebut menyimpan setidaknya relikui dari:
Relikuarium I | Relikuarium II |
---|---|
Berada di sisi kanan patung Santo Servatius | Berada di sisi kiri patung Santo Servatius |
|
|
Bangunan
Eksterior
Dalam kompleks gereja, terdapat berbagai bangunan, yaitu bangunan gereja utama, menara gereja, pastoran, paseban gereja, Saung Maria Fatima, teater gereja, serta lapangan parkir terpisah di samping bangunan utama gereja. Bangunan utama gereja sendiri dibangun dalam gaya arsitektur Betawi dengan tembok berwarna dominan putih, hijau dan hitam. Adapun Saung Maria Fatima dipersembahkan dan diberkati pada Hari Raya Pentakosta dan pembukaan Perayaan 200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta pada tanggal 15 Mei 2005 oleh Uskup Agung Jakarta, Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J.[21]
-
Fasad samping depan bangunan utama gereja
-
Menara gereja dilihat dari belakang gereja
-
Saung Maria Fatima
-
Patung Bunda dari Fatima di Saung Maria Fatima
-
Teater gereja
-
Backdrop foto dan para maskot Yubileum 2025 yang terletak berseberangan dengan fasad gereja
Pada fasad gereja sendiri, terdapat panel jendela kaca patri besar, serta empat panel jendela di masing-masing sisi kanan dan kiri gereja. Terdapat tiga buah pintu, di mana pintu utama saat ini diberikan kanopi, serta pintu sebelah kanan saat ini difungsikan sebagai Porta Sancta dalam rangka Yubileum 2025.
-
Kaca patri pada pintu utama gereja yang menggambarkan Trinitas
-
Jendela kaca patri utama
-
Sisi luar Porta Sancta (Pintu Suci) dalam rangka Yubileum 2025
-
Sisi dalam Porta Sancta dalam rangka Yubileum 2025
-
Sisi dalam Porta Sancta dalam rangka Yubileum 2025
Terdapat pula ukiran Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila di depan bangunan utama gereja.
-
Ukiran Garuda Pancasila di fasad gereja
Interior
Pada bagian dalam gereja, dapat terlihat dengan jelas perpaduan arsitektur Betawi dengan gaya kolonial Belanda yang teramati dari pilar-pilar dalam gereja. Interior gereja ini sendiri terdiri dari lantai utama yang digunakan sebagai panti umat, panti imam, panti paduan suara, bilik pengakuan dosa, tempat relikuarium serta sakristi.
-
Interior dan panti umat dilihat dari pintu utama
-
Panti umat dilihat dari balkon
-
Keseluruhan panti imam
-
Panti imam
-
Altar
-
Panti paduan suara dan organ gereja
-
Umat berdoa jelang Misa
Terdapat sebuah tangga melingkar di kedua sisi gereja yang menuju ke balkon gereja. Lantai atas pada balkon tersebut digunakan sebagai panti umat tambahan.
-
Keseluruhan panti umat dilihat dari balkon gereja
-
Panti imam dilihat dari balkon gereja
-
Tampak panti imam dari balkon gereja
-
Panti umat di balkon gereja
Di sebelah sisi kanan dan kiri panti imam utama gereja, terdapat Patung Hati Kudus Yesus dengan bejana pembaptisan serta Patung Bunda Maria serta Patung Pieta.
-
Patung Hati Kudus Yesus dengan bejana pembaptisan
-
Patung Hati Kudus Yesus dengan bejana pembaptisan
-
Patung Bunda Maria
-
Patung Bunda Maria Fatima
-
Patung pieta
Galeri
Eksterior
-
Fasad pada 2022
-
Tampak keseluruhan bangunan gereja dari jauh pada 2023
-
Fasad gereja pada tahun 2025
-
Fasad gereja pada tahun 2025
Interior
-
Interior menghadap Altar dan panti imam pada 2023
-
Panti umat pada 2021
-
Panti umat pada 2023
-
Interior dan panti umat dilihat dari pintu utama
-
Panti imam dilihat dari balkon gereja
-
Altar
Fasilitas lainnya
-
Saung Maria Fatima pada 2021
-
Saung Maria Fatima
-
Patung Bunda dari Fatima di Saung Maria Fatima
-
Taman gereja pada 2023
-
Teater gereja pada 2023
Referensi
- ^ a b c d e A. Heuken. 2003. Gereja-gereja Tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. hlm. 185-186.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad R. Kurris. 1996. Terpencil di Pinggiran Jakarta: Satu Abad Umat Katolik Betawi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 1-192.
- ^ a b Muhadjir. 2000. Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 60-61.
- ^ a b Ridwan Saidi. 1997. Profil Orang Betawi: Asal-muasal, Kebudayaan dan Adat-istiadatnya. Jakarta: Gunara Kata. hlm. 90-91.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad "Salinan arsip". Diarsipkan dari asli tanggal 2023-06-02. Diakses tanggal 2011-04-15.
- ^ Th. van den End dan J. Witjens. 1999. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an-Sekarang. hlm. 219.
- ^ a b c d e M.P.M. Muskens. 1974. Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Agung Jakarta dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 3: Wilayah-wilayah Keuskupan dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia Abad ke 20. hlm. 745-749.
- ^ a b c d "Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (1)". Gema Eklesia. 17 Desember 2011. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (4)". Gema Eklesia. 21 Desember 2011. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (3)". Gema Eklesia. 21 Desember 2011. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (2)". Gema Eklesia. 18 Desember 2011. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (5)". Gema Eklesia. 1 Januari 2012. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (6)". Gema Eklesia. 2 Januari 2012. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (7)". Gema Eklesia. 4 Januari 2012. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (8)". Gema Eklesia. 6 Januari 2012. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Paroki St. Servatius (Kampung Sawah)". Gereja Trinitas Paroki Cengkareng. 14 Agustus 2009. Diakses tanggal 7 September 2025.
- ^ "Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (9)". Gema Eklesia. 10 Januari 2012. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (10)". Gema Eklesia. 13 Januari 2012. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (11)". Gema Eklesia. 18 Januari 2012. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ Yanuari Marwanto (20 Januari 2013). "Gereja Kampung Sawah Punya Puluhan Relikui Orang Kudus". Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
- ^ "Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (12)". Gema Eklesia. 21 Januari 2012. Diakses tanggal 7 September 2025.[butuh sumber yang lebih baik]
Lihat pula
Pranala luar

- Situs web resmi
- Gereja Santo Servatius, Kampung Sawah di Instagram
- "THE ART OF CHURCH - Gereja Katolik St. Servatius, Kampung Sawah". 21 Januari 2023 – via Youtube.