Janengan Cilacap
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Juni 2025) |
Janengan Cilacap (juga dikenal sebagai salawat Janengan atau Jamjaneng) adalah bentuk kesenian tradisional Islam–Jawa dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kesenian ini berupa nyanyian shalawat yang diiringi gendang dan secara rutin dibawakan dalam ritual slametan, Maulid Nabi, ataupun peringatan hari besar Islam. Janengan termasuk dalam domain pengetahuan dan kebiasaan tentang alam dan semesta, serta telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) tingkat nasional tahun 2023 melalui SK Kemdikbudristek No 315/M/2023.[1]
Sejarah
Janengan Cilacap berkembang di Desa Kesugihan, kemudian menyebar ke wilayah Cilacap dan sekitarnya. Kesenian ini muncul dari asimilasi budaya Islam—terutama praktik shalawat—dengan elemen tradisi musik Jawa, seperti penggunaan gendang rebana dan syair dalam dialek Jawa. Penelitian menunjukkan bahwa Janengan mengakar pada tradisi slametan Islam-Jawa yang berkembang sejak masa Kerajaan Demak, dan didokumentasikan sejak abad ke-7 hingga kini.[2]
Pada perkembangannya, Janengan diasosiasikan dengan Kyai Zamzani, pelopor kesenian Jamjaneng di Kebumen, yang kemudian mempengaruhi praktik similar di Cilacap. Kesenian ini berfungsi sebagai media dakwah dan penguatan nilai keislaman dalam komunitas, dengan syair shalawat yang mengandung ajaran aqidah dan tasawuf.[2]
Pelaksanaan
Praktik Janengan biasanya diselenggarakan pada acara slametan, Maulid Nabi, atau perayaan hari raya Islam, baik di rumah penduduk, masjid, maupun pondok pesantren. Para pelantun—yang terdiri dari generasi tua dan generasi muda—membawa gendang rebana secara bergantian sambil melantunkan syair dan singir shalawat dalam bahasa Jawa. Irama lagu dinamis dengan dinamika naik-turun, mencerminkan suasana spiritual sekaligus emosional dari para penampil.[butuh rujukan]
Kegiatan ini umumnya diikuti oleh warga setempat untuk memperkuat ikatan sosial dan meningkatkan kesadaran agama.[3] Sajen atau sesaji dalam bentuk makanan tradisional dan bunga sering disertakan sebagai bagian dari ritual slametan sebelum atau sesudah pentas Janengan.[butuh rujukan]
Upaya pelestarian
Setelah dicanangkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2023, Janengan mendapatkan berbagai inisiatif pelestarian. Pemerintah provinsi dan kabupaten bersama Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) terus mendokumentasikan praktik dan syair serta mengangkat Janengan ke dalam program pelatihan budaya.[1] Media massa lokal dan nasional juga aktif meliput dan mempublikasikan Janengan sebagai identitas budaya Cilacap.[butuh rujukan]
Komunitas budaya setempat, termasuk pemuka pesantren dan sesepuh, giat menyelenggarakan pagelaran Janengan pada berbagai acara publik untuk menjaring generasi muda dan menghindari kepunahan tradisi. Pemanfaatan media digital—seperti video YouTube dan situs daerah—mendukung penyebaran pengetahuan serta meningkatkan ketertarikan publik terhadap kesenian ini.[butuh rujukan]
Pengakuan WBTb juga menetapkan kewajiban pelestarian dan evaluasi rutin. Pemerintah daerah diminta untuk melaporkan kondisi keberlanjutan Janengan tiap tahun; apabila terjadi pengabaian, status WBTb dapat ditinjau ulang. Hal ini memberikan kerangka formal bagi upaya pelestarian sistematis.[butuh rujukan]
Referensi
- ^ a b Home; Terkini; News, Top; Terpopuler; Nusantara; Nasional; Tengah, Jawa; Peristiwa; Ekonomi (2023-11-03). "16 budaya Jateng ditetapkan WBTB nasional 2023". Antara Jateng. Diakses tanggal 2025-06-16.
- ^ a b Kebumen, Pemerintah Kabupaten. "Post - Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kebumen". Post - Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kebumen. Diakses tanggal 2025-06-16.
- ^ Lestari, Rizki (2022). "Nilai Pendidikan Islam dalam Kesenian Janengan di Desa Jatisari, Cilacap". UIN Sunan Ampel Surabaya.