Masjid Pathok Negara Dongkelan
Masjid Pathok Negara Dongkelan | |
---|---|
ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦥꦛꦺꦴꦏ꧀ꦤꦒꦫꦝꦺꦴꦁꦏꦺꦭ꧀ꦭꦤ꧀ | |
![]() Tampak perspektif Masjid Pathok Negara Dongkelan | |
Agama | |
Afiliasi | Islam |
Provinsi | Daerah Istimewa Yogyakarta |
Kepemilikan | Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat |
Lokasi | |
Lokasi | Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul |
Negara | Indonesia |
Koordinat | 7°49′25″S 110°21′03″E / 7.823741°S 110.3508713°E |
Arsitektur | |
Tipe | Masjid |
Gaya arsitektur | Tradisional Jawa |
Dibangun oleh | Kiai Syihabuddin |
Rampung | 1775 |
Spesifikasi | |
Arah fasad | Kiblat |
Kubah | 1 (mustaka) |
Jenis | Bangunan |
Ditetapkan | 31 Desember 2018 |
No. SK | 604/2018 |
Tingkat | Kabupaten |
Masjid Pathok Negara Dongkelan, juga dikenal sebagai Masjid Nurul Huda, adalah Masjid Pathok Negara sisi selatan; terletak di Tirtonirmolo, Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini berstatus sebagai aset milik Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Kagungan Dalem). Masjid ini dibangun pada tahun 1775 pada masa Sultan Hamengkubuwana I sebagai balas jasa terhadap Kiai Syihabuddin yang telah membantu Sultan mengalahkan Raden Mas Said. Di belakang masjid tersebut, terdapat sebuah kompleks pemakaman, yang di situ dimakamkan pendiri masjid ini, Kiai Syihabuddin, Kiai Ali Maksum, Kiai Munawwir dan anaknya Ahmad Warson, dan Gus Kelik.
Sejarah
Pembangunan
Dongkelan, yang terletak di sebelah barat daya area Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, merupakan hadiah dari Hamengkubuwana I kepada Kiai Syihabuddin karena berhasil mengalahkan menantunya sendiri, Raden Mas Said (Mangkunegara I).[1] Konflik tersebut terjadi karena Hamengkubuwana I merasa terganggu dengan pengukuhan Raden Mas Said sebagai Adipati Mangkunegaran yang pertama. Hamengkubuwana I memilih untuk mengalahkan Raden Mas Said tanpa melukai sedikit pun, dengan meminta bantuan kepada Syihabuddin.[2]
Setelah berhasil mengalahkan Raden Mas Said, Hamengkubuwana I awalnya akan mengangkat Syihabuddin sebagai patih. Namun, jabatan tersebut telah dialihkan kepada Tumenggung Yudhanegara. Hamengkubuwana tampaknya menilai Syihabuddin mempunyai keahlian dalam bidang fikih (sehingga disebut fakih). Akhirnya, ia mengangkat Syihabuddin sebagai penghulu Pathok Negara untuk wilayah selatan Kuthanagara. Untuk menetapkan lokasi pembangunan, Sultan Hamengkubuwana I menetapkan aturan, bahwa Pathok Negara tidak boleh dibangun sejajar dengan area Keraton, sehingga Syihabuddin membangun kawasan tersebut di sebelah barat Kali Winongo.[2]
Masjid Pathok Negara Dongkelan dibangun pada 1775. Di samping mendirikan masjid, Kiai Syihabuddin, bersama masyarakat sekitar, juga membangun perkampungan muslim (Kauman) serta pemakaman.[3]
Perkembangan masjid

Pada saat perang Diponegoro, masjid ini dibakar habis oleh Belanda sehingga yang tersisa tinggal ompak batunya saja.[4] Namun, dengan semangat menghidupkan nilai-nilai ke-Islaman di kampung tersebut, masjid ini kembali dibangun ulang dengan material seadanya: atap ijuk dan mustaka tanah liat. Bangunan ini akhirnya dirombak total pada 1901 agar bentuknya diseragamkan dengan Masjid-Masjid Pathok Negara yang lain. Pada tahun ini dibuat beduk yang sampai sekarang masih terawat dengan rapi.[2]
Tahun 1948, masjid ini kembali dipugar oleh Keraton. Angka tahun pemugaran tersebut diguratkan pada soko guru yang terbuat dari kayu jati.[4] Setelah proses pemugaran yang diresmikan oleh Prabuningrat tersebut, kepengurusan masjid ini akhirnya dilaksanakan oleh masyarakat setempat.[5] Masjid ini akhirnya mendapat nama baru, Nurul Huda. Renovasi kemudian dilaksanakan lagi pada 1972, 1985, dan 2002.[6]
Deskripsi bangunan
Halaman Masjid Pathok Negara Dongkelan awalnya luas, tetapi bagian depannya dialihfungsikan sebagai jalan warga. Sementara itu, di sebelah barat masjid ini terdapat kompleks pemakaman. Masjid ini awalnya memiliki pagar keliling sebagaimana masjid-masjid Kagungan Dalem lainnya, tetapi banyak bagiannya yang menghilang.[7]
Bangunan masjid merupakan fokus utama dari kompleks masjid ini, yang terdiri dari bangunan utama dan serambi. Awalnya, di depan serambi masjid, terdapat kolam yang berfungsi untuk membasuh kaki ketika hendak masuk masjid. Namun, kolam tersebut akhirnya ditutup lantai konblok. Serambi masjid ini awalnya terbuka seperti Masjid Kagungan Dalem lainnya, tetapi akhirnya diubah menjadi serambi tertutup dengan dinding bata dan jendela kaca. Sisi selatan dan utara masjid terdapat padasan untuk berwudu.[7] Tepat di depan bekas kolam masjid ini berdiri TK Aisyiyah Bustanul Athfal.[5]
Di pemakaman yang berlokasi di barat masjid, dimakamkan beberapa ulama, antara lain:[8]
- Kiai Haji Syihabuddin, pendiri masjid dan perkampungan
- Kiai Haji Muhammad Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir
- Kiai Haji Ali Maksum, pendiri Pondok Pesantren Ali Maksum
- Kiai Haji Tolchah Mansoer, pendiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama[9]
- Kiai Haji Ahmad Warson Munawwir, penulis kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, putra dari Muhammad Munawwir[10]
- Kiai Haji Muhammad Rifqi (Gus Kelik), pendiri Bil Musthofa[11]
Kehidupan sekitar masjid

Area Masjid Pathok Negara Dongkelan berstatus sebagai tanah dan bangunan milik Kesultanan (Kagungan Dalem). Masyarakat sekitar masjid menganggap tabu bagi setiap orang yang membangun rumah dengan lantai lebih dari satu di dekat area masjid. Karena masjid ini hanya memiliki satu lantai, masyarakat menganggap bahwa melakukan kegiatan di lantai dua dianggap "melakukan kegiatan" di atas orang yang mendirikan salat, sehingga tidak pantas dilakukan. Tambahannya lagi, masyarakat juga melarang setiap bangunan permanen di halaman masjid, termasuk taman. Hal ini bertujuan agar masjid menjadi salah satu pusat interaksi sosial. Halaman masjid tersebut, digunakan untuk latihan pencak silat, upacara bendera, hajatan, dan parkir peziarah.[12]
Berbeda dengan lingkungan Masjid Pathok Negara lainnya yang ada pesantren di sekitarnya, kawasan Dongkelan berlokasi agak jauh di sebelah barat dari dua pondok pesantren. Dua pondok pesantren yang cukup menonjol adalah Pondok Pesantren Al-Munawwir dan Pondok Pesantren Ali Maksum. Keduanya berlokasi di Krapyak, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Pendiri kedua pondok pesantren tersebut dimakamkan di barat masjid ini.[5]
Lihat pula
Referensi
- ^ Muhsin, Latifah & Sodiqin 2008, hlm. 11.
- ^ a b c "Ini Sejarah Berdirinya Masjid Pathok Negoro Dongkelan". Tribunjogja.com. Diakses tanggal 2025-05-02.
- ^ Setianingrum, Sudaryono & Roychansyah 2018, hlm. 1.
- ^ a b Muhsin, Latifah & Sodiqin 2008, hlm. 12.
- ^ a b c Muhsin, Latifah & Sodiqin 2008, hlm. 13.
- ^ Setyowati et al. 2017, hlm. 116.
- ^ a b Setyowati et al. 2017, hlm. 123.
- ^ "JOGJACAGAR | Sistem Informasi Cagar Budaya". jogjacagar.jogjaprov.go.id. Diakses tanggal 2025-05-02.
- ^ "Prof. Dr. KH. Moh. Tolchah Mansoer, S.H." Ponpes Sunni Darussalam. Diakses tanggal 2025-05-02.
- ^ "Alasan Mbah Munawwir Krapyak Dimakamkan di Dongkelan". NU Online. Diakses tanggal 2025-05-02.
- ^ "Gus Kelik Pendiri Bil Musthofa Dekat dengan Jama'ah". NU Online. Diakses tanggal 2025-05-02.
- ^ Setianingrum, Sudaryono & Roychansyah 2018, hlm. 3-4.
Daftar pustaka
- Muhsin, I.; Latifah, Z.; Sodiqin, A. (2008). Sejarah Islam Lokal (PDF). Yogyakarta: Bidang Akademik, UIN Sunan Kalijaga. ISBN 9799781159.
- Setianingrum, Lutfi; Sudaryono; Roychansyah, Muhammad Sani (2018-08-20). "NILAI RUANG SEBAGAI PEMBENTUK LAPISAN-LAPISAN RUANG DI KAWASAN PATHOK NEGARA DONGKELAN, YOGYAKARTA". Jurnal Planoearth. 3 (2): 83–90. doi:10.31764/jpe.v3i2.634. ISSN 2615-4226.
- Setyowati, E.; Hardiman, G.; Murtini, T.W.; Surya, V.R.V. (2017). Mengenal Lebih Jauh Masjid Islam Jawa dalam Arsitektur Masjid Pathok Negoro. Yogyakarta: GalangPress. ISBN 9786028620628.