Muhammad dari Banjar
Muhammad محمد | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Ratu Anom Seri Sultan | |||||||||
Sultan Banjar | |||||||||
Berkuasa | 3 Agustus 1759 – 16 Januari 1761 | ||||||||
Pendahulu | Tamjidillah I | ||||||||
Penerus | Tahmidullah II | ||||||||
Kelahiran | ca 1730 Kayu Tangi, Kesultanan Banjar | ||||||||
Kematian | 16 Januari 1761 Martapura, Kesultanan Banjar | (umur 30–31)||||||||
Pasangan |
| ||||||||
Keturunan |
| ||||||||
| |||||||||
Wangsa | Tutus Tuha | ||||||||
Ayah | Hamidullah dari Banjar | ||||||||
Agama | Islam Sunni |
Muhammad (ca 1730 – 16 Januari 1759), bergelar secara lengkap sebagai Muhammad Aliuddin Aminullah adalah Sultan Banjar yang memerintah 1759 hingga kematiannya pada tahun 1761.[4] Ia memerintah setelah melakukan kudeta terhadap mertuanya, Tamjidillah I, yang merupakan ahli waris takhta sementara.[5][6]
Kehidupan awal
Putra Mahkota
Pangeran Muhammad kemungkinan dilahirkan pada 1730 atau sedikit lebih tua dari itu. Sebagai putra tertua dari Sultan yang berkuasa, Muhammad secara alami memegang jabatan sebagai Putra Mahkota. Namun, pada 1734, ayah Muhammad, Sultan Hamidullah meninggal dunia secara mendadak. Karena usianya belum genap 18 tahun, bahkan belum mencapai 5 tahun, maka Muhammad tidak dapat diangkat menjadi Sultan. Kematian mendadak Hamidullah menimbulkan pertentangan kepentingan perebutan kekuasaan sebab putra mahkotanya belum dewasa pada saat Sultan mangkat. Sesuai dengan tradisi, maka paman Muhammad atau adik Hamidullah yaitu Tamjidillah I dilantik sebagai Wali Sultan, sehingga kelak jika Muhammad telah dewasa, barulah takhta akan diserahkan kepada Muhammad.
Meskipun begitu, ternyata Pangeran Tamjidillah I sebagai wali penguasa mempunyai siasat yang lebih jauh, yaitu ia ingin menjadikan hak kekuasaan Sultan berada dalam garis keturunannya. Untuk itu, ia menikahkan salah satu putrinya kepada Muhammad yang telah beranjak dewasa. Dengan pernikahan tersebut, putra mahkota tentunya tidak sampai hati meminta bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya, yang sama seperti ayahnya sendiri. Pernikahan ini menyebabkan Muhammad tidak begitu bernafsu untuk meminta kembali hak atas tahta Kesultanan. Oleh sebab itu, Tamjidillah I dapat berkuasa selama 25 tahun dan mengangkat dirinya menjadi Sultan, sementara Muhammad mempertahankan statusnya sebagai Putra Mahkota.[7]
Selama menjadi Putra Mahkota, Pangeran Muhammad diketahui pernah ikut andil dalam Kontrak 18 Mei 1747 yang dibuat antara VOC dengan Kesultanan Banjar yang ditandatangani oleh Sultan Tamjidillah I. Dalam perjanjian tersebut, Putra Mahkota memberikan tanda tangan dengan nama "Ratu Anom".[8][9][10] Perjanjian ini kelak menjadi dasar bagi VOC untuk mengadakan hubungan dagang dan politik dengan Kesultanan Banjar sampai tahun 1787.[7]
Meninggalkan ibu kota
Meskipun tidak begitu bernafsu terhadap takhta, namun Muhammad tetap memiliki ambisi takhta, karena ia adalah Putra Mahkota. Hal ini disadari oleh Sultan Tamjidillah I, yang sebenarnya menginginkan agar hanya garis keturunan langsungnya yang mewarisi posisi sultan. Sehingga, Tamjidillah I berusaha keras untuk menjaga Muhammad agar berada tetap di dekatnya, demi bisa mengawasinya.
Muhammad yang merasa terkekang, ingin mengambil kembali hak atas tahta kerajaan sebagai ahli waris tetap yang sah dari Sultan Hamidullah. Ia kemudian menghubungi Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Batavia untuk meminta bantuan. Sebagai tanggapan, VOC menggelar perjanjian di Benteng Tatas pada 27 Oktober 1756, yang isinya antara lain adalah mengakui dan siap membantu Muhammad, dengan syarat agar Banjar menjadi protektorat Belanda. Selain itu, sebagai protektorat, Muhammad harus menyerahkan 1000 pikul lada hitam, 10 pikul lada putih, 11 karat batu intan, dan 100 real halus sebagai upeti kepada Belanda. Syarat ini disanggupi oleh Muhammad, tetapi ketidakjelasan kelangsungan perjanjian ini membuat Muhammad berpikir bahwa VOC tidak dapat diharapkan. Karena itu, mungkin antara awal 1757, dengan inisiatif sendiri, Muhammad melarikan diri dari ibu kota Kayu Tangi ketika Sultan lengah. Pangeran Muhammad melarikan diri ke Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan lada terpenting di selatan Kesultanan Banjar.[7][8]
Setelahnya, Muhammad bergabung dengan kelompok bajak laut, merampok kapal-kapal dagang dan mengumpulkan kekuatannya, sambil mengawasi keadaan dan menanti saat yang baik merebut kembali takhta dari pamannya. Tabanio, dijadikan sebagai basis utama kelompoknya, dan catatan dari seorang pedagang Barat bernama Ring Holm menyebut Tabanio sebagai pasar gelap terbesar di Kalimantan. Sementara itu, Sultan Tamjidillah I menjadi semakin dekat dengan VOC, dengan mengadakan perjanjian-perjanjian lain yang ditandatangani setelahnya.[7]
Berkuasa (1759–1761)
Kudeta
Muhammad bergabung dengan bajak laut hanya selama dua sampai tiga tahun, namun dalam waktu singkat ia telah memimpin satu armada bajak laut dan segera menjadi ancaman bagi pasukan Kesultanan. Meskipun Tamjidillah I telah mengirim sejumlah ekspedisi untuk menumpas mereka, bahkan bekerjasama dengan VOC, tetapi para bajak laut telah menjadi semakin kuat, sehingga bisa menghalau ekspedisi-ekspedisi mereka. Pada 1 Agustus 1759, Muhammad melihat peluang untuk merebut takhta dari Tamjidillah I, dan dengan segera mengomando armada bajak lautnya untuk memasuki Sungai Barito, menyusuri Sungai Martapura dan mengepung ibu kota Kayu Tangi. Tamjidillah I dan keluarga Kesultanan terkejut dengan kepungan mendadak ini, dan memerintahkan pasukan untuk menghadang para bajak laut, tetapi dengan mudah para bajak laut menumpas pasukan penghadang. Pertempuran besar terjadi di dalam kota pada 2 Agustus, tetapi pasukan Kesultanan kemudian dikalahkan dan Tamjidillah I menyatakan penyerahannya.[7]
Pada 3 Agustus, Muhammad memasuki kota diiringi oleh kru-kru armada bajak lautnya, sementara Sultan Tamjidillah I telah menunggu rombongan tersebut di dalam istananya bersama para pembesar dan Keluarga Kesultanan. Tamjidillah I setuju untuk mundur dari jabatannya, dengan dalih agar tidak terjadi pertumpahan darah antara sesama keluarga, apalagi Muhammad adalah menantunya sendiri. Dengan tenang, upacara penyerahan takhta dilangsungkan, menandai awal pemerintahan Sultan Muhammad.[7]
Gelar
Gelar yang dicatat dalam naskah-naskah Banjar kuno selama pemerintahannya adalah "Muhammad Aliuddin Aminullah" (محمد علي الدين امين الله). Menurut Anggraini Antemas (1971:54), Sultan Muhammad bergelar "Tahmidullah I", sedangkan Pangeran Nata bergelar Sultan "Tahmidullah II"[11] Dalam kitab Sabilal Muhtadin, Sultan Muhammad bergelar "Tamhidullah" (تمهيد الله).[12]
Dalam sumber-sumber Belanda awal, Sultan Muhammad juga disebut sebagai "Tamdjidillah II", mungkin karena dia merupakan pengganti dari Tamjidillah I, sedangkan penggantinya, Pangeran Nata disebut "Tamjidillah III".[13] Penamaan ini keliru karena baik Muhammad maupun Pangeran Nata tidak pernah menggunakan gelar "Tamjidillah" selama pemerintahan mereka.[14]
Hubungan dengan VOC
Meskipun tetap menerima hubungan dagang dengan VOC, namun Sultan Muhammad bersikap lebih tegas kepada VOC dibandingkan pedagang-pedagang luar lainnya. Mungkin karena memiliki pengalaman buruk terkait perjanjian di Benteng Tatas, maka Sultan Muhammad menjadi tidak mempercayai VOC. Selama pemerintahannya, VOC sangat berhati-hati karena orang-orang Banjar sangat memerhatikan sikap Sultan Muhammad terhadap para pedagang luar, dan ketika mereka melihat sang Sultan bersikap keras, mereka juga menjadi lebih sinis terhadap pedagang-pedagang Barat yang terafiliasi dengan VOC. Ini dibuktikan dengan laporan salah satu pedagang Barat kepada Residen Belanda, de Lile saat itu,[7]
Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai.
Kira-kira pada 17 Juni 1760, Sultan Muhammad memutuskan hubungannya dengan VOC dan secara penuh menentang pengaruh VOC di Banjar. Hal ini sebagaimana yang dicatat oleh Arsip Nasional Republik Indonesia.[15]
Kematian
Muhammad meninggal dunia pada 16 Januari 1761, setelah memerintah hanya kurang lebih selama satu tahun dan seratus enam puluh enam hari. Penyebab kematiannya masih misterius, teori konspirasi paling terkenal menyebut bahwa ia diracun oleh pendukung Tamjidillah I, atau bahkan atas perintah Tamjidillah I sendiri demi melanjutkan ambisi takhtanya.[16][17] Teori ini didasarkan pada laporan yang menyebutkan bahwa ketika iring-iringan Muhammad dan armada bajak lautnya memasuki Kayu Tangi, seorang bangsawan bertanya kepada Tamjidiilah I mengenai alasan ia bersedia menyerah, dikatakan bahwa Tamjidillah I menjawab, "Biarlah takhta direbut [oleh] Ratu Anom, sebentar lagi [ia] akan mati."[7] Ucapan ini dinilai sebagai niat licik Tamjidillah I untuk menyingkirkan Sultan Muhammad.
Beberapa literatur secara keliru menulis kematian Sultan Muhammad terjadi pada tahun 1780,[16][18] padahal Sultan Muhammad telah meninggal dunia sebelum kematian ahli waris tetapnya, Pangeran Abdullah pada tanggal 17 Maret 1776 karena diracun.
Keluarga
Sultan Muhammad adalah Putra Mahkota sekaligus ahli waris tetap dari Sultan Hamidullah. [19] Jalur silsilahnya yang merupakan garis keturunan Sultan Hamidullah disebut sebagai "Tutus Tuha" (terj. har. 'wangsa yang tua'). Menurut manuskrip Tutur Candi, isteri pertama Muhammad merupakan putri dari Sultan Tamjidillah I, yang dinikahkan dengan alasan politis, ia bergelar sebagai "Ratu Muhammad", yang nama aslinya tidak diketahui. Sedangkan istri keduanya merupakan seorang adik dari Arung Turawe, yang merupakan Raja Bugis di Paser.[6] Dengan demikian, ia juga merupakan saudara ipar dari Tahmidullah II,[20] meskipun dalam sejumlah sumber Belanda Muhammad malah disebut sebagai saudara tiri Tahmidullah II, alias juga merupakan salah satu putra Tamjidillah I.[21][22]
Dari kedua istrinya, Sultan Muhammad mendapatkan sejumlah anak, empat putra dan tiga putri:[23]
- Pangeran Tumenggung, nama aslinya tidak pasti: sejumlah sumber menyebut nama aslinya sebagai Muhammad atau Rahmad, sementara sumber lain menyebutnya Achmad. Ia tidak ditunjuk sebagai Putra Mahkota walaupun ia merupakan putra sulung Sultan Muhammad. Di pemakamannya namanya tertulis sebagai "Pangeran Ahmad". Ia dibunuh di daerah pegunungan di Pelaihari juga atas perintah Tahmidullah II.[24]
- Pangeran Abdullah merupakan putra kedua, ia menikah dengan Ratu Siti Air Mas, putra Tahmidullah II. Walaupun ia putra kedua, tetapi ia sudah ditunjuk sebagai ahli waris tetap atau Putra Mahkota dari Sultan Muhammad. Pangeran Abdullah meninggal dunia karena diracun atas perintah mertuanya sendiri pada 17 Maret 1776.
- Pangeran Amir, ia merupakan putra ketiga dan kakek dari Pangeran Antasari, yang kelak akan memberontak terhadap Tahmidullah II, namun pemberontakannya gagal pada tahun 1785 untuk menuntut takhta sebagai pengganti almarhum Pangeran Abdullah dan ia ditangkap lalu diasingkan ke Ceylon (sekarang Sri Lanka).
- Ratu Rabiyah
- Gusti Kusin
- Putri Lawiyah, ia diperisteri oleh Tahmidullah II
Warisan
Pertarungan suksesi
Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah merupakan generasi ke-10 jika dihitung dari Sultan Suriansyah sebagai generasi ke-1, jalur silsilahnya disebut Wangsa Tutus Tuha. Sementara, jalur silsilah keluarga kesultanan dari Tamjidillah I disebut sebagai Wangsa Tutus Anum.
Selama bertahun-tahun setelah kematian Muhammad, Tamjidillah I dan putranya, Tahmidullah II berusaha untuk menegaskan legitimasi garis keturunan Tutus Anum sebagai penguasa Banjar. Pada 1776, Tahmidullah II meracuni Putra Mahkota Abdullah, putra Muhammad yang juga merupakan menantunya sendiri. Beberapa waktu kemudian, putra Muhammad yang lain, Pangeran Tumenggung, dibunuh di wilayah pegunungan di tempat yang sekarang disebut Tanah Laut.[25] Putra ketiga Muhammad, Pangeran Amir, menyadari apa yang terjadi kepada saudara-saudaranya dan bahwa ia adalah target berikutnya, meminta izin kepada Tahmidullah II untuk menunaikan haji ke Makkah. Setelah Sultan memberikan izin, Pangeran Amir justru membelokkan kapalnya menuju Paser, tempat di mana ia berkolusi dengan Raja Bugis di sana untuk membantunya merebut takhta dari pamannya. Sayangnya, pemberontakan ini gagal dan Pangeran Amir diasingkan ke Sri Lanka.[26][27]
Ketegangan antara Wangsa Tutus Tuha dan Tutus Anum berlanjut sepanjang pemerintahan Tahmidullah II. Ketegangan ini mulai mereda setelah Sultan Sulaiman, pewaris Tahmidullah II, memutuskan untuk menikahkan beberapa putrinya dengan orang-orang Wangsa Tutus Tuha. Dengan demikian, Sulaiman secara perlahan kembali menyatukan Tutus Tuha dan Tutus Anum menjadi satu Wangsa.
Dihapus dari daftar Sultan
Setelah kematian Sultan Muhammad, pihak Dinasti Tutus Anum, terutama selama pemerintahan Tamjidillan I dan Tahmidullah II, telah berulangkali berusaha menghapus nama Sultan Muhammad dan Hamidullah dari daftar Sultan Banjar. Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1864:315) menyebutkan:[28]
Asli | Terjemahan bahasa Melayu |
---|---|
„De 8ste sulthan van Bandjermasin, Tahhmid Illah I‚ liet bij zijn overlijden twee zonen na, de oudste genaamd sulthan Hhamid Illah of sulthan Koening, en de jongste genaamd pangeran Sepah. Hhamid Illah werd bij het overlijden zijns vaders sulthan, doch regeerde slechts zeer korten tijd en liet eenen minderjarigen zoon na, genaamd sulthan Mohamad Amin Ollah.
„Gedurende de minderjarigheid van dezen laatste werd pangeran Sepah waarnemend sulthan, onder den naam van sulthan Tamdjid Illah I. „Sulthan Mohamad Amin Ollah, meerderjarig geworden zijnde, nam zelf de teugels van het bewind in handen en Tamdjid Illah trad als waarnemend sulthan af; het volk bleef hem echter steeds sulthan Sepah of den ouden sulthan noemen. „Nadat sulthan Mohamad Amin Ollah 7 jaren over Bandjerrnasin geregeerd had, stierf ook hij, drie zonen achterlatende (pangeran Rahhmat, pangeran Abdoellah en pangeran Amir), waarvan de oudste nog te jeugdig was om zelf te regeren. „Tamdjid- Illah I trad toen wederom als waarnemend sulthan op, en nadat de beide pangerans Rahhmat en Abdoellah op zijnen last vergiftigd en geworgd waren, verhief hij zich tot werkelijk sulthan, zijnde inmiddels pangeran Amir gevlugt, en later door kracht van wapenen, en met behulp der O. I.compagnie gevangen genomen en naar Ceylon verbannen. „Ofschoon Hhamid Illah en Mohamad Amin Ollah (hiervoren genoemd), de wettige troonsopvolgers, eenigen tijd over Bandjermasin hebben geregeerd, werden zij echter nimmer in de rij der vorsten opgenomen, en Tamdjid Illah I dus als de 9de sulthan van Bandjermasin besehouwd. „Na zijnen dood in 1175 volgde zijn zoon Tahhmid lllah II hem als 10de sulthan op. |
"Sulthan Bandjermasin ke-8, Tahhmid Illah I, meninggalkan dua putra setelah kematiannya, sulthan tertua bernama Hhamid Illah atau sulthan Koening, dan yang termuda bernama pangeran Sepah. Hhamid Illah menjadi sulthan setelah kematian ayahnya, tetapi ia memerintah hanya untuk waktu yang sangat singkat, dan meninggalkan seorang putra di bawah umur bernama sulthan Mohamad Amin Ollah.[28]
"Selama di bawah umur yang terakhir, pangeran Sepah menjadi bertindak sulthan, dengan nama sulthan Tamdjid Illah I.[28] "Sulthan Mohamad Amin Ollah, yang telah mencapai usia mayoritas, mengambil kendali pemerintah sendiri dan Tamdjid Illah mengundurkan diri sebagai penjabat sulthan; Namun, orang-orang terus memanggilnya Sulthan Sepah atau Sulthan tua.[28] “Setelah Sulthan Mohamad Amin Ollah memerintah Bandjerrnasin selama 7 tahun, ia juga meninggal, meninggalkan tiga putra (Pangeran Rahhmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir), yang tertua di antaranya masih terlalu muda untuk memerintah.[28] "Tamdjid-Illah I sekali lagi bertindak sebagai sulthan, dan setelah dua pangeran Rahhmat dan Abdullah telah diracuni dan memastikan atas tanggung jawabnya, ia naik ke sulthan nyata, sekarang dikepalai oleh pangeran Amir, dan kemudian dengan baju besi, dan ditangkap dengan bantuan perusahaan OI dan dibuang ke Ceylon.[28] “Meskipun Hhamid Illah dan Mohamad Amin Ollah (yang disebutkan di atas), penerus takhta, telah memerintah Bandjermasin selama beberapa waktu, mereka tidak pernah dimasukkan dalam garis pangeran, dan dengan demikian Tamdjid Illah I dianggap sebagai sulthan ke-9 dari Bandjermasin.[28] "Setelah kematiannya pada tahun 1175 Hijriyah, putranya, Tahhmid lllah II menggantikannya sebagai sulthan ke 10. |
Referensi
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari asli tanggal 2024-02-14. Diakses tanggal 2024-02-14.
- ^ (Belanda) J. M. C. E. Le Rutte, Episode uit den Banjermasingschen oorlog, A.W. Sythoff, 1863
- ^ (Indonesia) Kartodirdjo, Sartono (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru, 1500-1900: Dari emporium sampai imperium. Vol. 1. Gramedia. hlm. 256. ISBN 9794031291.ISBN 978-979-403-129-2
- ^ "Rulers in Asia (1683 – 1811): attachment to the Database of Diplomatic letters" (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia. hlm. 48. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2022-03-13. Diakses tanggal 2018-09-23.
- ^ Gordon, Bruce R. (2018-01-11). "Southeast Asia: the Islands". CoreComm Internet - Start. Diarsipkan dari asli tanggal 2018-01-11. Diakses tanggal 2018-09-23.
- ^ a b (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh; Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1986
- ^ a b c d e f g h Gazali Usman, Ahmad (1994). Kerajaan Banjar:Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam. Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press.
- ^ a b Hindia-Belanda (1965). Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia-Belanda 1635-1860 (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat. hlm. 70. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2023-04-08. Diakses tanggal 2019-01-09.
- ^ Arsip Nasional Republik Indonesia (1986). Inventaris arsip Borneo Westerafdeeling, 1609-1890 dan Borneo Zuid en Oosterafdeeling, 1664-1890. Arsip Nasional Republik Indonesia.
- ^ Arsip Nasional Republik Indonesia (1986). Daftar persesuaian nomor pewataan arsip Borneo Zuid en Oosterafdeeling. Arsip Nasional Republik Indonesia.
- ^ Antemas, Anggraini (54). Orang-Orang Terkemuka dalam Sejarah Kalimantan (Edisi 5). Kalimantan Selatan: Ananda Nusantara. Pemeliharaan CS1: Tahun (link)
- ^ Kiai Bondan, Amir Hasan (1953). Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar.
- ^ De Indische gids (dalam bahasa Belanda). Vol. 23. J. H. de Bussy. 1901. hlm. 926.
- ^ Departemen Penerangan RI (1959). Republik Indonesia: Propinsi Kalimantan. Indonesia: Departemen Penerangan RI. hlm. 365.
- ^ "Mencari Surat-Surat :: Sejarah Nusantara". Arsip Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2018-09-23. Diakses tanggal 2018-09-23.
- ^ a b "Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie͏̈" (dalam bahasa Belanda). 51. Lands-Drukkerij. 1861: 220. ;
- ^ (Indonesia)A. Kardiyat Wiharyanto; Sejarah Indonesia madya abad XVI-XIX, Universitas Sanata Dharma, 2006
- ^ "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde" (dalam bahasa Belanda). 9. Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1860: 98.
- ^ Cornelis Noorlander, Johannes (1935). Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw (dalam bahasa Belanda). M. Dubbeldeman. hlm. 43.
- ^ Abdul Rahman Hj. Abdullah (2016). "Sejarah, Tamadun, Islam, Masihi, Nusantara". Biografi Agung Syeikh Arsyad Al-Banjari (dalam bahasa Melayu). Malaysia: Karya Bestari. hlm. 100. ISBN 9678605945. ISBN 9789678605946
- ^ Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia). (1864). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (dalam bahasa Belanda). Vol. 14. Lange. hlm. 384.
- ^ Luis de Estrada (1863). La India Neerlandesa, sus posesiones y establecimientos en el archipielago de Asia (dalam bahasa Spanyol) (Edisi 2). Rivadeneyra. hlm. 290.
- ^ Hakim, Abdurrahman. Sejarah Kotabaru. Bandung: Rekayasa Sains. ISBN 978-979-3784-46-5.
- ^ J. J. Meijer (Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia).) (1864). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (dalam bahasa Belanda). Vol. 14. Lange. hlm. 383. Diarsipkan dari asli tanggal 2023-03-10. Diakses tanggal 2019-01-09.
- ^ (Indonesia) Abdul Qadir Djaelani, Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, 1999
- ^ (Indonesia) Rachman, M. Fadjroel (2007). Bulan jingga dalam kepala: novel. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 41. ISBN 9792228764.ISBN 9789792228762
- ^ (Inggris) Soekmono, Soekmono (1981). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 3. Kanisius,. ISBN 9794132918. Diarsipkan dari asli tanggal 2015-01-19. Diakses tanggal 2010-08-18. ; Pemeliharaan CS1: Tanda baca tambahan (link)ISBN 978-979-413-291-3 Diarsipkan 2015-01-19 di Wayback Machine.
- ^ a b c d e f g Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1864). "Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappenn" (dalam bahasa Belanda). 1. Lange & Company: 315.
Muhammad dari Banjar Lahir: 1730 Meninggal: 1761
| ||
Didahului oleh: Tamjidillah I dari Banjar |
Sultan Banjar 1759 – 1761 |
Diteruskan oleh: Tahmidullah II dari Banjar |
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Pangeran Hamidullah |
Putra Mahkota 1730 – 1759 |
Diteruskan oleh: Pangeran Abdullah |