Suku Badui
![]() |
Urang Kanékés | |
---|---|
![]() Kelompok suku Badui luar | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Banten | ca 26.000 jiwa |
Bahasa | |
Bahasa Sunda Badui | |
Agama | |
• 80% ![]() • 20% ![]() | |
Kelompok etnik terkait | |
Sunda Banten • Sunda Priangan |
Suku Badui alias Sunda Badui (Bahasa Badui: Urang Kanékés, Urang Cibéo,[a] atau kadang hanya sering disebut Badui, terkadang ditulis secara tidak baku sebagai Baduy)[1] merupakan sekelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Populasi berjumlah 9.558 orang pada tahun 2023.mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Badui Dalam.
Suku Badui termasuk sub-suku dari suku Sunda, mereka dianggap sebagai masyarakat Sunda yang belum terpengaruh modernisasi atau kelompok yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar.
Masyarakat Badui menolak istilah "wisata" atau "pariwisata" untuk mendeskripsikan kampung-kampung mereka. Sejak 2007, untuk mendeskripsikan wilayah mereka serta untuk menjaga kesakralan wilayah tersebut, masyarakat Badui memperkenalkan istilah "Saba Budaya Badui", yang bermakna "Silaturahmi Kebudayaan Badui".[2]
Etimologi
Sebutan "Badui" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Badui dan Gunung Badui yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yang tepat adalah "Badui", bukan "Baduy".[1]
Wilayah

Suku ini bermukim di wilayah di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Permukimannya terpusat di daerah aliran sungai Ci Ujung dan Cikanekes yang berlokasi di sekitar lereng Gunung Kendeng dengan jarak sekitar 65 km sebelah selatan Serang yang merupakan Ibu Kota Banten dan 172 km sebelah barat Jakarta.[3]Secara geografis, desa ini terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” lintang selatan dan 108°3’9” – 106°4’55” bujur timur dengan luas 5.101,85 hektar.[4] Desa ini berada di ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) dengan topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Suhu rata-rata pada angka 20 °C.[5]
Wilayah ini juga terbagi menjadi dua bagian dengan luas wilayah Baduy Dalam sebesar 2.749 hektare, sementara wilayah Baduy Luar sedikit lebih kecil, yaitu 2.387 hektare.[6] Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Lebak pada tahun 2017, jumlah penduduknya adalah 11.699 jiwa atau 3.413 keluarga.[7] Namun, pada tahun 2023, jumlah itu telah menurun menjadi hanya 9.558 jiwa.[8]
Baduy Dalam
Tiga permukiman utama Baduy Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Area ini merupakan kawasan lindung yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah Lebak Nomor 2 Tahun 2014. Wilayah ini memiliki topografi berbukit dengan ketinggian yang bervariasi, mulai dari 325 meter di atas permukaan laut (dpl) di bagian utara hingga 900 meter dpl di bagian selatan, tempat titik tertinggi ditemukan. Secara geologi, area ini sebagian besar terbentuk dari endapan vulkanik kuarter, khususnya formasi Baduy dan Cimapag, bersama dengan batuan vulkanik dari Gunung Endut, tanah liat, dan tuf Citorek. Formasi-formasi ini membentuk Pegunungan Bayah, yang umumnya tersusun dari pasir, lanau, lumpur, dan sisa-sisa tanaman. Jenis tanah yang dominan adalah latosol.[6]
Iklim di desa tradisional Baduy memiliki suhu rata-rata tahunan 26,5 °C, dengan fluktuasi musiman yang minimal; suhu biasanya berkisar dari minimum 26,1 °C pada bulan Februari hingga maksimum 26,8 °C pada bulan Mei, September, dan Oktober. Curah hujan bulanan rata-rata adalah 171,1 mm, yang dikategorikan sebagai sedang. Curah hujan ini berkontribusi pada kelembaban relatif rata-rata 81% dengan tingkat terendah (76%) terjadi pada bulan Agustus dan September dan tertinggi (85%) pada bulan Februari. Area ini terletak di dalam daerah aliran sungai (DAS) Ci ujung, dengan Sungai Ciujung melintasi wilayah dari hulu yang berhutan di bagian selatan hingga hilir di bagian utara. Penggunaan lahan di Baduy Dalam bervariasi, terdiri dari tujuh kategori yang berbeda: kampung (permukiman), leuit (lumbung padi), huma (lahan kering), jami (kebun campuran), reuma (hutan sekunder tua), leuweung lembur (kebun pekarangan), dan leuweung kolot (hutan lindung).[6]
Baduy Luar
Wilayah Baduy Luar terdiri dari total 55 desa, meliputi: Cigoel (Kaduketug 3), Cipondok (Kaduketug 2), Kaduketug 1, Kadukaso, Cihulu, Balingbing, Marengo, Gajeboh, Kadujangkung, Babakan Karakal (Kadugede), Karakal, Kaduketer 1, Kaduketer 2, Cikopeng, Cibongkok, Ciwaringin, Binglugemok (Cibitung), Batara, Sorokokod, Panyerangan, Cigula, Cicatang, Cicatang 2, Kadukohak, Cisaban, Babakan Cisaban, Cijanar, Leuwihandam, Cicangkudu, Cisagu Landeuh, Cijengkol, Cikadu 1, Cikadu 2, Cipiit 1, Cilingsuh, Cisagu Pasir, Cipiit 2, Ciranji, Babakan Eurih, Cisadane (Leuwigede), Cibagelut, Batubeulah, Cibogo, Pamoean, Cipaler, Cicakal Muara, Cicakal Tarikolot, Cicakal Girang, Cicakal Girang 2, Cicakal Girang 3 (Leuwibuleud), Cijangkar, Ciranca Kondang, Kanengai, dan Cikulingseng.[5]
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dialek Badui. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Namun masyarakat Kanekes memiliki caranya sendiri untuk belajar serta mengembangkan wawasan mereka hingga sepadan dengan masyarakat di luar suku Badui.
Subkelompok

Suku ini terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Sub-kelompok pertama biasanya disebut Tangtu[6], Jero[7], atau Kejeroan[9] atau Baduy Dalam. Namun, subkelompok ini lebih suka disebut berdasarkan tempat asal mereka, seperti Urang Kanekes dengan makna Orang Kanekes, dari nama desa mereka; Urang Girang (secara harfiah, "Orang Hulu") sesuai dengan tempat tinggal mereka di dekat hulu sungai dan Urang Rawayan, diambil dari nama sungai Ci Rawayan, sungai yang mengalir di wilayah tempat tinggal Baduy Dalam. Selain itu, mereka disebut "Urang Tangtu Tilu" (secara harfiah, "Orang Tiga Desa Dalam"), yang mengidentifikasi tiga desa utama mereka.[10]
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Badui Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh Orang Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Badui Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum).
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
- Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
- Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Asal-usul
Mitologi dan kepercayaan
Mitos penciptaan suku Baduy menceritakan bahwa Bumi berasal dari sebuah zat kental dan transparan yang mereka sebut ngenclong. Awalnya, zat ini hanya sebesar sebutir nasi, lalu mengeras dan membesar hingga membentuk Sasaka Domas, sebuah struktur megalitikum yang mereka yakini sebagai inti dan pusat Bumi, serta titik awal dari semua kehidupan. Mereka juga percaya bahwa inilah tempat manusia pertama diturunkan ke Bumi, yang kemudian menjadi leluhur bagi seluruh umat manusia.[11] Suku Baduy juga meyakini bahwa ngenclong terpisah menjadi beberapa bagian. Bagian yang naik ke atas membentuk langit disebut Buana Nyungcung, dan bagian yang turun ke bawah dikenal sebagai Buana Larang, yang berfungsi sebagai neraka. Di antara kedua alam tersebut, terletak Buana Tengah, tempat tinggal manusia, pohon, dan hewan serta Buana Suci Alam Padang, tempat bersemayamnya para dewi padi.[12] Buana Suci Alam Padang terdiri dari 18 lapisan. Lapisan tertinggi disebut Bumi Suci Alam Kahiyangan atau Mandala Hiyang, tempat Nyi Pohaci Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu tinggal.[13] Menurut sistem kepercayaan mereka, suku Baduy menganggap diri mereka sebagai keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke Bumi.[14]

Sejarah
Suku Baduy meyakini bahwa mereka telah mendiami wilayah tersebut sejak penciptaan umat manusia,[15]berbeda dengan pandangan para sejarawan. Beberapa sejarawan, termasuk Carl Ludwig Blume dan Cornelis Marinus Pleyte, percaya bahwa suku Baduy adalah keturunan bangsawan dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang melarikan diri dari serangan Kesultanan Banten pada tahun 1579, karena penguasa mereka, Prabu Siliwangi, menolak untuk masuk Islam.[7]Hipotesis lain menyatakan bahwa suku ini berasal dari orang-orang di Banten yang melarikan diri dari penyebaran Islam setelah jatuhnya Kerajaan Sunda. Para pengungsi ini diperkirakan pada awalnya menetap di sepanjang Sungai Cibaduy, yang diyakini sebagai asal nama mereka. Meskipun C.A. Kruseman telah mengusulkan bahwa Baduy adalah penduduk asli wilayah Banten, ia juga memperkirakan bahwa mereka pindah lebih dalam ke hutan setelah 1579 M.[7] Orang Baduy sendiri telah menolak klaim bahwa mereka adalah keturunan dari "Pajajaran", karena dalam budaya mereka, kata "Pajajaran"juga merujuk pada arwah jahat, yang mereka usir dengan mantra spesifik.[16]
Teori lain mengemukakan bahwa sebelum kesultanan berdiri, ujung barat Jawa memegang peranan penting bagi Kerajaan Sunda, dengan Banten sebagai pelabuhan niaga utamanya. Beragam jenis perahu masuk ke Sungai Ciujung, yang mayoritas dipakai untuk mengangkut hasil bumi dari daerah pedalaman. Maka dari itu, penguasa setempat, Pangeran Pucuk Umun, meyakini bahwa keberlangsungan sungai harus dipertahankan. Sepasukan prajurit kerajaan yang terlatih diperintahkan untuk menjaga dan mengelola area hutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng, yang diduga menjadi asal usul Suku Baduy. Teori tersebut dikuatkan oleh tradisi turun-temurun yang disebut seba puun, yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang kepala desa (puun) yang menghadap raja di ibu kota untuk melaporkan keadaan desanya. Kebiasaan ini masih berlanjut sampai sekarang yang sekarang dilaporkan kepada Bupati Lebak.[15]

Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian dari ajaran Islam.
Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
- Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung (panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes sering kali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Mata pencaharian dan pemenuhan pangan
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani Padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Bertani merupakan pekerjaan utama masyarakat Badui dan padi adalah tanaman utama yang dibudidayakan. Orang Badui menanam padi ladang atau ngahuma. Mereka pantang menanam di sawah, sehingga tidak pernah menggunakan cangkul untuk mengolah tanah. Alat pertanian yang digunakan yaitu parang dan tunggak untuk memasukkan benih. Di ladang, orang Baduy akan menanam padi satu kali dalam setahun dengan benih lokal. Masa tanam hingga panen membutuhkan waktu selama lima bulan.[17]
Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui Bupati Lebak di Kecamatan Rangkasbitung. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun, sampo atau sikat gigi dengan pasta gigi di sungai, tidak boleh membuang sampah sembarangan. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Catatan
- ^ Tergantung wilayah yang mereka tinggali.
Rujukan
- ^ a b "Hasil Pencarian - KBBI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id.
- ^ Cahya, Kahfi Dirga, ed. (2020-07-20). "Saba Budaya Baduy Gantikan Wisata Baduy, Apakah Itu?". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-08-07.
- ^ Triko, Galung; Hapsari, Dwi Retno; Matindas, Krishnarini (2022-07-23). "Digital Media information Literacy on Custom Community in The Internet of Things (IoT) era: Case Study of Outer Baduy Custom in Kanekes Village, Leuwidamar, Lebak Regency, Banten Province". Jurnal Komunikasi Pembangunan. 20 (02): 125–139. doi:10.46937/20202241086. ISSN 2442-4102.
- ^ Permana, Raden; Nasution, Isman; Gunawijaya, Jajang (2011). "Kearifan Lokal tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy". Makara Human Behavior Studies in Asia. 15 (1): 67–76. doi:10.7454/mssh.v15i1.954. ISSN 2406-9183.
- ^ a b Arifiani, Kirana Nurul; Wijaya, Covenant Koinonio Widi; Irfan, An; Septiasari, Anisa; Iskandar, Johan; Iskandar, Budiawati S.; Partasasmita, Ruhyat; Setyawan, Ahmad Dwi (2019-11-23). "Review: Local wisdom of Baduy people (South Banten, Indonesia) in environmental conservation". Asian Journal of Ethnobiology (dalam bahasa Inggris). 2 (2). doi:10.13057/asianjethnobiol/y020204. ISSN 2580-4510.
- ^ a b c d Septini, Khairani Rizki; Pramukanto, Qodarian (2022-10-01). "Place-Based Approach to Landscape Planning for Conservation of the Baduy Dalam Cultural Landscape". IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 1092 (1): 012027. doi:10.1088/1755-1315/1092/1/012027. ISSN 1755-1307.
- ^ a b c d Gunawan, Aditia (2025-04-30). "Children of Patanjala; Revisiting the problem of Baduy origins using Old Sundanese and Old Javanese sources". Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia. 26 (2). doi:10.17510/wacana.v26i2.1801. ISSN 2407-6899.
- ^ Kecamatan Leuwidamar Dalam Angka 2024. Banten: Badan Pusat Statistik Lebak. 2024. hlm. 23. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- ^ Okorella, G. A. (1999). Mengenal masyarakat Baduy dan adat istiadatnya. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 1.
- ^ Okorella, G. A. (1999). Mengenal masyarakat Baduy dan adat istiadatnya. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 1.
- ^ Hakim, Nurul (2006). Cultural and Spiritual Values of Forests in Baduy Region, Banten, Indonesia (Master thesis). Universitas Wageningen. Diakses tanggal 13 Agustus 2025.
- ^ Hudjolly (2010). Nalar dan Destinasi [Reason and Destination]. Yogyakarta: Re-Kreasi. hlm. 92–93.
- ^ Miharja, Deni (2015). "Sistem kepercayaan awal Masyarakat Sunda" [Early belief system of Sundanese society]. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama. 10 (1): 19–36 – via Neliti.
- ^ Reimar Schefold, P. Nas & Gaudenz Domenig, ed. (2008). Indonesian Houses: Survey of vernacular architecture in western Indonesia. KITLV Press. hlm. 555. ISBN 978-90-671-8305-5.
- ^ a b Adimihardja, Kusnaka (2000). "Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai". Antropologi Indonesia. 0 (61). doi:10.7454/ai.v0i61.3383. ISSN 1693-6086.
- ^ Wessing, Robert; Barendregt, Bart (2005-12-01). "Tending the Spirit's Shrine: Kanekes and Pajajaran in West Java". Moussons. Recherche en sciences humaines sur l’Asie du Sud-Est (dalam bahasa Inggris) (8): 3–26. doi:10.4000/moussons.2199. ISSN 1620-3224.
- ^ Arif, Ahmad (2021). Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 251. ISBN 9786024814809. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
Bacaan lebih lanjut
- Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
- Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
- Iskandar, J. (1991). An evaluation of the shifting cultivation systems of the Baduy society in West Java using system modelling, Thesis Abstract of AGS Students, [1][pranala nonaktif permanen].
- Makmur, A. (2001). Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif kekerabatan, [2].
- Nugraheni, E. & Winata, A. (2003). Konservasi lingkungan dan plasma Nutfah menurut kearifan tradisional masyarakat kasepuhan Gunung Halimun, Jurnal Studi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, September 2003, halaman 126-143.
- Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
- Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net, [3]
- Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian Arheology on the Net, [4]
- Ascher, Robert, 1971 Analogy in Archaeological Interpretation, dalam James Deetz (ed.) Mans Imprint from the Past. Boston: Little Brown. Hal: 262271.
- Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda,., 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Sundanologi.
- Ekadjati, Edi S., 1995 Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.
- Garna, Judhistira, 1988 Perubahan Sosial Budaya Baduy dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata Prosindo.
- 1993 Masyarakat Baduy di Banten, dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia . Hal. 120-152)
- Hoevell, W.R. van, 1845 Bijdrage tot de kennis der Badoeinen in het zuiden der residentie Bantam. TNI, VII: 335-430.
- Iskandar, Johan, 1992 Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
- Jacobs, J. and J.J. Meijer, 1891 De Badoejs. s-Grahenhage: Martinus Nijhoff.
- Koorders, D., 1869 Losse Aantekeningeng tijdens het bezoek bij de Badois, BKI, LVI: 335-341.
- Kramer, C., 1979 Etnoarchaeology: Implication of Ethnography for Archaeology. New York: Columbia University Press.
- Mundardjito., 1981 Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia, dalam Majalah Arkeologi 1-2, IV:17-29
- Permana, R. Cecep Eka, 1996 Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
- Pleyte, C.M., 1909 Artja Domas, het zielenland der Badoejs. Tijdschrift voor Indishe Taal, land en Volkenkunde. LI:Afl. 6: 494-526.
- Sucipto, Toto (Drs.); Limbeng, Julianus, S.Sn., M.Si. (2007). Dra. Siti Maria (ed.). Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten. Seri pengungkapan nilai-nilai kepercayaan komunitas adat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
- Tricht, B. van, 1929 Levende Antiquiteiten in West-Java. Djawa IX: 43-120.
- Rahardjo, D.M.; Rahayu (2002). Urang kanekes di Banten Kidul. Jakarta: Badan pengembangan kebudayaan dan pariwisata. OCLC 993742641. ; Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
Pranala luar
![]() | |
---|---|
Klik pranala guna melihat gambar | |
![]() |
Arca Domas |
- Zanten, W. van. Aspects of Baduy Music Diarsipkan 2010-08-21 di Wayback Machine..
- Arca Domas Baduy Diarsipkan 2011-03-16 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Bersama suku Baduy yang unik
- (Inggris) The Baduy People
- (Indonesia) Bersinergi Dengan Alam di Tanah Baduy