More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Pembantaian Bengawan Solo 1825 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pembantaian Bengawan Solo 1825 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pembantaian Bengawan Solo 1825

Tambah pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pembantaian Bengawan Solo 1825
Bagian dari Perang Diponegoro
LokasiBengawan Solo, Ngawi
Tanggal23 September 1825; 199 tahun lalu (1825-09-23)
SasaranOrang Tionghoa
Jenis serangan
Pembantaian
Korban tewas
100+
PelakuPasukan yang dipimpin oleh Raden Ayu Yudokusumo
MotifSentimen anti-Tionghoa
  • l
  • b
  • s
Perang Diponegoro
  • Tegalrejo
  • Benteng Vredeburg
  • Yogyakarta
  • Selarong
  • Ngawi
  • Pleret
  • Lengkong
  • Kejiwan
  • Delanggu
  • Gawok
  • Kotagede
  • Rembang
  • Kroya
  • Nanggulan
  • Siluk
  • Gunung Kelir

Pembantaian Bengawan Solo 1825 atau Pembantaian Ngawi adalah sebuah pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa yang terjadi di Bengawan Solo, Ngawi pada 23 September 1825.[1] Pembantaian tersebut didalangi oleh Raden Ayu Yudokusumo.[2] Sekitar seratus orang Tionghoa tewas dalam pembantaian tersebut[3] dan terdiri dari para bandar beras, pedagang kecil, kuli, tukang, dan lain-lain.[4]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Pemerintah Hindia Belanda membangun ekonomi kolonial yang membuka peluang bagi warga keturunan Tionghoa untuk menjadi bagian dari sistem ekonomi tersebut, di antaranya sebagai perantara pemerintah atau kesultanan, termasuk sebagai perantara pemberdayaan lahan-lahan pertanian kepada warga setempat, melalui sewa-menyewa atau bagi hasil atas lahan yang dimiliki oleh kesultanan atau pemerintah Hindia Belanda. Mereka juga dijadikan sebagai pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, dermaga, pasar dan tempat-tempat lainnya.[5]

Namun, hubungan sosial yang harmonis tersebut mulai rusak karena perilaku sejumlah oknum warga Tionghoa yang bertindak sewenang-wenang kepada warga pribumi maupun kepada sesama warga Tionghoa sendiri, karena mendapatkan perlindungan hukum dari Sultan atau pemerintah Belanda. Tidak sedikit dari mereka yang membayar lebih kepada para Sultan atau pemerintah Belanda, guna memperoleh jabatan yang dianggap 'basah' tersebut.[6] Sistem fiskal yang dibentuk oleh Belanda, memungkinkan sebagian orang Tionghoa memeras rakyat, hingga memicu tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa yang menjaga gerbang cukai.[7] Dalam beberapa kasus di daerah, termasuk di Ngawi, para bandar pajak tersebut membentuk pasukan pengawal khusus dan bertindak selayaknya pejabat.[8]

Pembantaian

[sunting | sunting sumber]

Kebencian atas diskriminasi sosial tersebut memuncak pada bulan-bulan awal dalam peristiwa Perang Jawa dengan serangan pasukan kavaleri yang dipimpin oleh Raden Ayu Yudokusumo, menyerang pemukiman warga Tionghoa di tepi Sungai Sala (kini Bengawan Solo) pada 23 September 1825. Tidak pandang bulu, serdadu Jawa yang menjadi bagian dari pasukan tersebut, menyerang siapa saja termasuk wanita dan anak-anak.[8] Serangan ini terus meluas tidak hanya di wilayah Ngawi, tetapi hingga Jawa Tengah di sepanjang aliran Sungai Sala. Bagi mereka yang selamat dari pembataian, warga Tionghoa terpaksa melarikan diri hingga ke pesisir utara yang dianggap relatif lebih aman atau ke benteng-benteng yang dikuasai oleh Belanda, termasuk evakuasi terhadap warga Tionghoa di Bagelen Timur.[9]

Kesudahan

[sunting | sunting sumber]

Pembantaian tersebut menimbulkan kekecewaan dan prasangka orang-orang Tionghoa terhadap orang Jawa. Hal ini juga membuat Pangeran Diponegoro bersikap sama,[10] meskipun pada dasarnya, Diponegoro tidak memiliki kebencian pribadi dengan orang-orang Tionghoa selain orang-orang Belanda, tetapi hal ini berubah sejak kekalahannya dalam Pertempuran Gawok, hingga ia melarang para komandannya untuk menjalin hubungan dekat dengan orang-orang Tionghoa.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
Catatan kaki
  1. ^ Setiono 2008, hlm. 173.
  2. ^ Lombard 1996.
  3. ^ Lombard 1996, hlm. 359.
  4. ^ Nurhadiantomo 2004, hlm. 152.
  5. ^ Setiono 2008, hlm. 175-176.
  6. ^ Setiono 2008, hlm. 176.
  7. ^ a b Ardanareswari, Indira (25 Januari 2020). "Pangeran Diponegoro dan Sentimen Anti-Tionghoa dalam Perang Jawa". Tirto.id. Diakses tanggal 17 Juli 2025.
  8. ^ a b N. Raditya, Iswara (31 Maret 2018). "Kisah Kelam Pembantaian di Tepi Sungai Bengawan Solo". Tirto.id. Diakses tanggal 17 Juli 2025.
  9. ^ Carey 1994, hlm. 1-2.
  10. ^ Setiono 2008, hlm. 179.
Daftar pustaka
  • Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka. ISBN 978-979-96887-4-3.
  • Lombard, Denys (1996). Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia. ISBN 978-979-605-452-7. ;
  • Nurhadiantomo (2004). Hukum reintegrasi sosial: konflik-konflik sosial pri-non pri dan hukum keadilan sosial. Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta. ;
  • Carey, Peter (1994). "Changing Javanese Perceptions of The Chinese Communities in Central Java, 1755-1825". Jurnal Indonesia. ;
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pembantaian_Bengawan_Solo_1825&oldid=27562634"
Kategori:
  • Sejarah Indonesia
  • Perang Diponegoro
  • Konflik dalam tahun 1825
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Galat CS1: nilai parameter tidak valid
  • Galat CS1: parameter kosong tidak dikenal
  • Galat CS1: periode hilang

Best Rank
More Recommended Articles