More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Syarif Hamid II dari Pontianak - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Syarif Hamid II dari Pontianak - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Syarif Hamid II dari Pontianak

  • العربية
  • English
  • Italiano
  • Jawa
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Sunting
  • Sunting sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Wikimedia Commons
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sultan Hamid II
Syarif Abdul Hamid Alkadrie
Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat berseragam Mayor Jenderal KNIL
Sultan Pontianak ke-7
Berkuasa1945–1950
PendahuluSultan Syarif Thaha
PenerusSultan Syarif Abubakar
Kelahiran(1913-07-12)12 Juli 1913
Pontianak, Kesultanan Pontianak, Hindia Belanda
Kematian30 Maret 1978(1978-03-30) (umur 64)
Jakarta, Indonesia
PasanganDidie van Delden
Keturunan2
WangsaWangsa Alkadrie
AyahSultan Syarif Muhammad
IbuSyecha Jamilah Syarwani
AgamaSunni

Sultan Hamid II (lahir Syarif Abdul Hamid Alkadrie; 12 Juli 1913 – 30 Maret 1978) adalah Sultan ke-7 Pontianak dan satu-satunya Presiden Negara Bagian Kalimantan Barat dari tahun 1946 hingga pembubarannya pada tahun 1950. Ia adalah putra sulung Sultan Syarif Muhammad Alkadrie.[1] Ia memiliki keturunan campuran Melayu-Arab dan dibesarkan oleh dua warga negara Inggris — Salome Catherine Fox dan Edith Maud Curteis.

Istrinya, Didie van Delden, adalah seorang wanita muda Belanda yang melahirkan dua anak baginya – keduanya tinggal di Belanda. Selama Revolusi Nasional Indonesia, ia bersimpati terhadap Belanda yang kembali dan upaya mereka untuk menerapkan Republik Indonesia Serikat yang federal, memandang negara kesatuan Republik Indonesia sebagai perpanjangan dari dominasi Jawa. Ia juga seorang kolonel di Tentara Kerajaan Hindia Belanda dan merancang lambang nasional Indonesia—Garuda Pancasila.

Kehidupan awal

[sunting | sunting sumber]

Syarif Abdul Hamid al-Qadri, lahir pada tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak dari pasangan Syarif Muhammad al-Qadri dan Syecha Jamilah Syarwani.[2] Ia merupakan anak sulung keenam mereka.[3] Sampai usia 12 tahun, Hamid dibesarkan oleh ibu angkat asal Skotlandia Salome Catherine Fox dan rekan ekspatriatnya asal Inggris Edith Maud Curteis.[4] Salome Fox adalah adik dari kepala sebuah firma perdagangan Inggris yang berbasis di Singapura. Di bawah asuhan mereka, Hamid menjadi fasih berbahasa Inggris. Pada tahun 1933, Salome Fox meninggal namun Hamid masih tetap berhubungan dengan rekannya Curteis.[4]

Syarif Abdul Hamid menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Dalam buku A Prince in A Republic karya John Monfries, ia dijuluki sebagai "A congenial youngman of outstanding conduct", yang berarti seorang pemuda yang ramah dengan prilaku yang luar biasa.[5]

Setelah lulus pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karier militernya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa.[2][6]

Masa Pendudukan Jepang

[sunting | sunting sumber]

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Pangkat itu bisa dikatakan sebagai pangkat tertinggi yang saat itu diberikan kepada putera Indonesia. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Jelas pengangkatannya ini adalah kemauan sebagian besar rakyat Kalbar yang tak ingin adanya kekosongan jabatan dalam pemerintahan kesultanan.[7]

Sebagai anggota BFO, Sultan Hamid II adalah pendukung konsep Federalisme dan penentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diperjuangkan Presiden Sukarno.[8] [9][10]

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan Konferensi Meja Bundar di Indonesia dan Belanda.

KMB merupakan momen penting dalam sejarah Indonesia. Dalam perundingan itu, tanggal 27 Desember 1949, kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara diakui oleh masyarakat internasional. Perundingan KMB dilakukan oleh tiga pihak, yaitu Belanda, dipimpin oleh J.H. Van Maarseveen; BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid II; dan Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta.[11]

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden ("Ajudan dalam Pelayanan Luar Biasa kepada Paduka Ratu Belanda"), yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda. Sebagai seorang kolonel, Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang memperoleh posisi milter penting dalam tentara penjajahan.

Keterlibatan dengan Raymond Westerling

[sunting | sunting sumber]

Pada 26 Januari 1950, elemen dari KNIL terlibat dalam pemberontakan di Jakarta dan Bandung yang direncanakan oleh Raymond Westerling dan Sultan Hamid II. Pemberontakan ini gagal dan hanya mempercepat kehancuran dari Republik Indonesia Serikat.[12]

Karena dianggap memberontak maka pada 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap. Kemudian dengan adanya permintaan dari masyarakat Kalimantan Barat untuk bergabung dengan Republik Indonesia pada 22 April 1950, maka pada 15 Agustus 1950 Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan dan dua hari kemudian Republik Indonesia Serikat bubar dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.[13][14][15][16]

Menteri Negara Zonder Portofolio

[sunting | sunting sumber]
Sultan Hamid II (kanan) dan Ida Anak Agung Gde Agung, raja Gianyar (tahun 1949).

Pada tanggal 17 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat oleh Soekarno ke Kabinet RIS tetapi tanpa adanya portofolio.[17] Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan termasuk 11 anggota berhaluan Republik dan lima anggota berhaluan Federal. Pemerintahan federal ini berumur pendek karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang bertentangan antara golongan Unitaris dan Federalis serta berkembangnya dukungan rakyat untuk adanya negara kesatuan.[18]

Perumusan Lambang Negara (Garuda Pancasila)

[sunting | sunting sumber]

Saat Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama jabatan menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.[19]

Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.[20]

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini[21]

Adalah lambang yang dia buat, pada tahun 2016 telah sah diakui sebagai Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional pada 26 Agustus 2016. Penetapan tersebut ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendi dengan Surat Keputusan (SK) Nomor 204 Tahun 2016.[22] Namun pada hari Senin, 24 September 2018, Ketum Yayasan Sultan Hamid II, yakni Anshari Dimyati —yang diutus Max Jusuf Alkadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan SH II—, yang menerima plakat/sertifikat Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional untuk Lambang Negara karya Sultan Hamid II ini.[23] Penyerahan ini dilakukan oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Triana Wulandari, mewakili Mendikbud Muhadjir Effendy.[22][23]

Masa akhir

[sunting | sunting sumber]

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Istana Kadriyah, Pontianak.[24]

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (tahun 1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.[25]

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.[26]

Pencalonan sebagai pahlawan nasional

[sunting | sunting sumber]

Pada Juli 2016, Pembina Yayasan Sultan Hamid II Max Jusuf Alkadrie dan istri mengajukan berkas Sultan Hamid II untuk dicalonkan sebagai pahlawan nasional ke Kemensos. Usulan tersebut cukup kontroversial karena riwayat hidupnya diantara sebagai perancang lambang negara Indonesia dan pengkhianat yang bekerja untuk Raymond Westerling.[27] Awal Januari 2020, Kemensos menyatakan bahwa Hamid II tidak memenuhi syarat sebagai pahlawan karena dianggap ikut kudeta dan berencana membunuh Menteri Pertahanan sekaligus Sultan Yogyakarta Hamengkubuwana IX.[27] A.M. Hendropriyono menyatakan bahwa Hamid II tidak pantas menjadi pahlawan, menyebabkannya dilaporkan oleh pihak Kesultanan Pontianak di Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, menuduh Hendropriyono dengan dakwaan rasisme.[28]

Silsilah

[sunting | sunting sumber]
 
 
 
 
 
 
 
♂ Daeng Rilakka
(Rilèkké-ريلاك)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
♂ Habib Ahmad Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PANEMBAHAN MEMPAWAH I 1740–1761
Opu Daeng Menambon Pangeran Mas Surya Negara
 
 
 
 
 
 
 
 
 
♂ Habib Husin Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SRI PADUKA RATU SULTAN
♀ Utin Chandra Midi
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK I (1771-1808)
♂ Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
♀ Nyai Kusuma Sari
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PANEMBAHAN MEMPAWAH (27 Agustus 1787)
SULTAN PONTIANAK II 1808-1819
♂ Sultan Syarif Kasim Alkadrie
 
PANEMBAHAN MEMPAWAH
♂ Syarif Hussein Alkadrie
 
Syarif Muhammad Alwi Alkadrie (anak Ratoe Sarib Anom)
 
Syarifah Salmah Alkadrie (anak Ratoe Sarib Anom)
 
SULTAN PONTIANAK III (1819-1855)
♂ Sultan Syarif Osman Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
♂ Syarif Abu Bakar Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
♀ Syarifah Fatimah Alkadrie
 
SULTAN PONTIANAK IV(1855-1872)
♂ Sultan Syarif Abdul Hamid I Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK V (1872-1895)
♂ Sultan Syarif Yusuf Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
♀ Syarifah Thaha Alkadrie
↓(bersuami)
Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie SULTAN PONTIANAK V 1872-1895
 
Syarif Mahmud Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK VI (1895-1944)
♂ Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
♂ Syarif Usman Alkadrie
 
♀ Ratu Anom Negara Syarifah Fatimah Alkadrie binti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
 
 
 
Sultana Maharatu Mas Makhota[29]
 
SULTAN PONTIANAK VII
♂ Sultan Syarif Abdul Hamid II Alkadrie
 
♂ Pangeran Agung Syarif Mahmud Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PEMANGKU SULTAN PONTIANAK (1945)
♂ Syarif Thaha Alkadrie [30]
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK VIII (2004-2017)
♂ Sultan Syarif Abu Bakar Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
♂ H. Syarif Toto Thaha Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SULTAN PONTIANAK IX (2017-sekarang)
♂ Sultan Syarif Machmud Melvin Alkadrie
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kahin (1952), p. 454-56.
  2. ^ a b Andi, dan Rahman (2010), hlm. 21 – 22.
  3. ^ Kahin 1952, hlm. 454-56.
  4. ^ a b McDonald 1998, hlm. 150.
  5. ^ Monfries, John (2015). A Prince in A Republic : The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  6. ^ Persatuan Djaksa-djaksa Seluruh Indonesia 1955, hlm. 5-6.
  7. ^ tantraandi
  8. ^ McDonald halaman 150
  9. ^ Kahin 1952, hlm. 430-31.
  10. ^ Schiller, A. Arthur (1955). The Formation of Federal Indonesia 1945-1949. Den Haag: van Hoeve. hlm. 177.
  11. ^ "Bangka Bersejarah Sebagai Rumah Singgah | teraju.id". www.teraju.id (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2021-09-29.
  12. ^ Kahin, George McT. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1952. p452
  13. ^ Reid, Anthony J.S (1974), The Indonesian National Revolution, 1945-1950, Hawthorn, Victoria, Australia: Longman, hlm. 110, ISBN 0-582-71047-2
  14. ^ Ricklefs, M.C. (2001) [1981]. A History of Modern Indonesia Since c.1300 (Edisi 3rd). Palgrave. hlm. 373–374. ISBN 978-0-230-54685-1.
  15. ^ Kahin, George McTurnan (1952), Nationalism and Revolution in Indonesia, Cornell University Press, hlm. 455–456
  16. ^ Feith, Herbert (2008) [1962]. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Singapore: Equininox Publishing (Asia) Pte Ltd. hlm. 99. ISBN 978-979-3780-45-0.
  17. ^ Anwar, Rosihan (2010). Napak tilas ke Belanda: 60 tahun perjalanan wartawan KMB 1949. Penerbit Buku Kompas. hlm. 149–151. ISBN 9789797094904.
  18. ^ Kahin 1952, hlm. 448-49.
  19. ^ "Lambang Garuda Pancasila Dirancang Seorang Sultan". Tempo Interaktif. 27 Januari 2010. Diarsipkan dari asli tanggal 2011-08-21. Diakses tanggal 5 Februari 2010.
  20. ^ "Kepustakaan Presiden Republik Indonesia, Hamid II". Diarsipkan dari asli tanggal 2011-07-21. Diakses tanggal 2017-08-17.
  21. ^ "State Emblem". Indonesia.go.id. Diakses tanggal 23 Maret 2012.
  22. ^ a b Maulidi, Murni (25 September 2018). Hairiadi, Arman (ed.). "Tinggal Menunggu Penetapan Sultan Hamid II Sebagai Pahlawan Nasional". Equator. Diakses tanggal 26 September 2018.
  23. ^ a b Ody (25 September 2018). "Sah Jadi Cagar Budaya Nasional: Lambang Negara Karya Sultan Hamid II". Pontianak Post. Pontianak: PT Akcaya Utama Press. Hlm.1 & 7.
  24. ^ "Sejarah Garuda Pancasila Menapak dari Kesultanan Pontianak". seruji.co.id. 26 Mei 2017. Diakses tanggal 28 Mei 2017.
  25. ^ "Sultan Hamid Al-Qadri, Perancang Simbol Negara Burung Garuda". Go Muslim. 16 Agustus 2016. Diakses tanggal 22 Agustus 2016.
  26. ^ "Perjuangkan Sultan Hamid II Sebagai Pahlawan Nasional". Pontianak Post. 22 April 2016. Diarsipkan dari asli tanggal 2017-08-17. Diakses tanggal 25 April 2016.
  27. ^ a b "HUT RI: Pahlawan atau pengkhianat, apa peran Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin dalam sejarah Indonesia?". BBC News Indonesia. Diakses tanggal 2025-08-17.
  28. ^ detikcom, Tim. "Hendropriyono Sebut Sultan Hamid II Pengkhianat, Ini Penjelasannya". detiknews. Diakses tanggal 2025-08-17.
  29. ^ https://www.teraju.id/opini/istri-sultan-hamid-didi-van-delden-ternyata-juga-keturunan-raja-sulawesi-selatan-ada-tuang-la-wawo-13781/
  30. ^ Tempo. Vol. 11. Badan Usaha Jaya Press Jajasan Jaya Raya. 1981.

18. ^Surat Sultan Hamid II kepada Solichin Tahun 1967 tentang Lambang Negara Metrum (26 Februari 2020): Surat Sultan Hamid II kepada Solichin Tahun 1967 tentang Lambang Negara

19. ^Aju-Independen (16 Juni 2020): Tiga Tokoh Dayak Rancang Lambang Negara [1]

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Andi, Tantra Nur; Rahman, Rifai (2010). Pemerintahan Kota Pontianak dari Sultan Sampai Wali kota. Pontianak: Lentera Community. ISBN 978-979-19404-2-9. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  • Kahin, George McTurnan (1952), Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8.
  • McDonald, Lachie (1998), Bylines: Memoirs of a War Correspondent, East Roseville, N.S.W: Kangaroo Press, ISBN 978-0-86417-955-5.
  • Persatuan Djaksa-djaksa Seluruh Indonesia (1955). Proces Peristiwa Sultan Hamid II. Jakarta: Fasco. OCLC 3632708.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  • "Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie". Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 26 September 2018.
  • "Sultan Hamid II, Pencipta Burung Garuda". Liputan6.com. 17 Agustus 2005. Diarsipkan dari asli tanggal 23 Juli 2018.
Didahului oleh:
Syarif Thaha Alkadrie
Sultan Pontianak
1945—1978
Diteruskan oleh:
Syarif Abubakar Alkadrie
Basis data pengawasan otoritas Sunting di Wikidata
Internasional
  • ISNI
  • VIAF
  • WorldCat
Nasional
  • Belanda
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Syarif_Hamid_II_dari_Pontianak&oldid=28169572"
Kategori:
  • Kelahiran 1913
  • Kematian 1978
  • Meninggal usia 64
  • Galat CS1: tanggal ISBN
  • Politikus Indonesia
  • Arab-Indonesia
  • Tokoh Melayu Indonesia
  • Menteri Kabinet Republik Indonesia Serikat
  • Sultan Pontianak
  • Tokoh dari Pontianak
Kategori tersembunyi:
  • Pemeliharaan CS1: Status URL
  • CS1 sumber berbahasa American English (en-us)
  • Galat CS1: parameter tidak didukung
  • Semua orang yang sudah meninggal
  • Tanggal kelahiran 12 Juli
  • Tanggal kematian 30 Maret
  • Artikel dengan templat lahirmati
  • Semua artikel biografi
  • Artikel biografi Oktober 2025
  • Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list
  • Galat CS1: nilai parameter tidak valid
  • Tokoh yang tahun kelahirannya tidak diketahui (orang hidup)

Best Rank
More Recommended Articles