More Info
KPOP Image Download
  • Top University
  • Top Anime
  • Home Design
  • Top Legend



  1. ENSIKLOPEDIA
  2. Tionghoa Padang - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tionghoa Padang - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tionghoa Padang

  • Jawa
  • Minangkabau
Sunting pranala
  • Halaman
  • Pembicaraan
  • Baca
  • Lihat sumber
  • Lihat riwayat
Perkakas
Tindakan
  • Baca
  • Lihat sumber
  • Lihat riwayat
Umum
  • Pranala balik
  • Perubahan terkait
  • Pranala permanen
  • Informasi halaman
  • Kutip halaman ini
  • Lihat URL pendek
  • Unduh kode QR
Cetak/ekspor
  • Buat buku
  • Unduh versi PDF
  • Versi cetak
Dalam proyek lain
  • Butir di Wikidata
Tampilan
Ini adalah artikel bagus. Klik untuk informasi lebih lanjut.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tionghoa Padang
China Padang
Kelenteng See Hien Kiong.
Jumlah populasi
9.498 (Sensus 2010)[1]
±12.000 (2016)[2]
Daerah dengan populasi signifikan
Kecamatan Padang Selatan
Bahasa
Bahasa Minang Pondok
Agama
Agama tradisional Tionghoa, Kristen, Islam

Tionghoa Padang atau China Padang adalah masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Tionghoa Padang merupakan salah satu dari berbagai etnis yang menghuni Padang selain orang Minangkabau, Jawa, Batak, Nias, Melayu, Sunda, dan Mentawai.[1] Mereka setidaknya telah tinggal selama delapan generasi.[3] Kebanyakan mereka bekerja sebagai pedagang. Permukiman orang Tionghoa Padang terkonsentrasi di daerah Pondok dan sekitarnya di Kecamatan Padang Selatan yang dikenal sebagai Kampuang Cino (bahasa Indonesia: Kampung Cina).[4][5]

Tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba ke Padang. Diperkirakan orang Tionghoa mulai datang sejak perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad ke-17.[6][7] Pada 2000, populasi orang Tionghoa Padang pernah menjadi nomor tiga terbesar sesudah Minang dan Jawa dengan persentase 1,90% dari populasi kota. Namun, sesudah gempa bumi pada 2009, banyak dari mereka yang meninggalkan Padang dan pindah ke luar wilayah Sumatera Barat.[8] Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010, persentase orang Tionghoa Padang tinggal 1,1% dari populasi kota atau sebanyak 9.498 jiwa, nomor empat sesudah Minang, Jawa, dan Batak.[1] Pada 2016, populasi Tionghoa Padang berjumlah sekitar 12.000 orang.[2]

Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan budaya Minangkabau. Bahkan, generasi orang Tionghoa Padang kini banyak yang tidak bisa bercakap dalam rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau. Bahasa yang mereka pertuturkan dikenal sebagai bahasa Minang Pondok.[9] Meskipun demikian, mereka tidak meninggalkan adat dan tradisi mereka. Lewat perkumpulan sosial, budaya, dan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT) yang sudah berdiri sejak abad ke-19, eksistensi adat serta tradisi orang Tionghoa tetap terjaga dan tetap dilestarikan di tengah masyarakat Kota Padang hingga kini.[10][11][12]

Sejarah

Kedatangan awal

Seperti di daerah lainnya di Nusantara, keberadaan orang Tionghoa di Padang tidak lepas dari fenomena diaspora atau keluarnya orang Tionghoa dari tanah kelahiran mereka untuk tujuan perdagangan. Walaupun tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba di Padang, mereka diperkirakan telah tiba di pantai barat Sumatra pada abad ke-17, mendahului kedatangan bangsa Belanda dan Inggris. Mereka datang dari Banten, yang kala itu menjadi pusat perdagangan di Nusantara.[13] Pada 1630-an, diketahui telah banyak bersandar kapal-kapal Tionghoa di sekitar perairan pantai barat Sumatra. Di antara kota yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal Tionghoa adalah Pariaman. Di daerah tersebut, orang Tionghoa menjual kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama garam. Namun, kebanyakan mereka hanyalah agen dari pedagang Tionghoa yang ada di Banten.[14] Pada 1633, dilaporkan telah ada orang Tionghoa yang menetap di Pariaman.[15]

Pada 1664, Belanda melalui VOC menjadikan Padang sebagai markas besar mereka untuk wilayah pantai barat Sumatra yang ditandai dengan didirikannya sebuah benteng.[16] Belanda mencoba mengalihkan aktivitas perdagangan dari Pariaman ke Padang. Melihat kondisi tersebut, orang Tionghoa mulai berdatangan dan menetap di Padang untuk dapat ikut serta dalam aktivitas perdagangan.[17]

Orang Tionghoa di Padang diperkirakan merupakan mereka yang sebelumnya menetap di Pariaman. Pada 1673, ada laporan tentang "Nakhoda Banten" Tionghoa yang memiliki rumah di Padang bersama beberapa orang Tionghoa lainnya.[7] Rumah yang mereka punya lebih bagus dibandingkan dengan rumah penduduk setempat.[18] Permukiman mereka mengelompok di kawasan di sekitar pinggir Batang Arau. Mereka dapat membeli tanah dari penguasa lokal yang bergelar "panglima raja". Pada 1682, seiring banyaknya jumlah orang Tionghoa di Padang, seorang "Letnan Cina" diangkat untuk mengatur dan mengontrol sesama orang Tionghoa.[19]

Orang Tionghoa di Masa Perang Padri

Orang Tionghoa mulai memasuki dan aktif beraktivitas di kawasan Pantai Barat Sumatra pada akhir abad ke-16. Mereka datang dari Banten, dan kedatangan mereka erat kaitannya dengan pesatnya perkembangan perdagangan dan pelayaran yang sedang berlangsung di wilayah barat Sumatra pada saat itu. Mereka datang menggunakan kapal-kapal milik mereka sendiri dengan tujuan utama untuk mencari lada yang merupakan komoditas penting. Pada awal dekade keempat abad ke-17, mereka mulai menetap di kota Pariaman, yang menjadi pemukiman pertama bagi komunitas Tionghoa di wilayah ini. Selanjutnya, pada paruh ketiga abad ke-17, ketika Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menjadikan kota Padang sebagai pusat kegiatan politik dan ekonomi mereka, orang-orang Tionghoa turut menjadikan Padang sebagai pusat pemukiman serta aktivitas perdagangan mereka. Pada abad ke-18, orang Tionghoa sudah tersebar dan aktif di berbagai kota dagang di sepanjang Pantai Barat Sumatra, menjadikan mereka salah satu komunitas penting dalam dunia perdagangan yang berkembang pesat di kawasan tersebut.[20]

Padang dan Pariaman merupakan dua kota utama yang menjadi pusat konsentrasi pemukiman serta kegiatan sosial dan ekonomi bagi masyarakat Tionghoa, termasuk para saudagar Tionghoa, di wilayah Sumatra Barat. Kedua kota ini memainkan peran yang sangat penting sebagai tempat di mana komunitas Tionghoa tidak hanya bermukim, tetapi juga menjalankan berbagai aktivitas perdagangan yang mendukung perkembangan ekonomi di kawasan tersebut. Sebagai pusat perdagangan dan pemukiman, Padang dan Pariaman menjadi tempat berkumpulnya orang-orang Tionghoa yang terlibat dalam perdagangan barang-barang komoditas, termasuk lada, yang sangat bernilai pada masa itu. Seiring berjalannya waktu, kedua kota ini berkembang pesat dan menjadi saksi tumbuhnya peran penting komunitas Tionghoa dalam perekonomian Sumatra Barat.[20]

Tidak ada data yang jelas dan pasti mengenai jumlah orang Tionghoa yang tinggal di Sumatra Barat sebelum terjadinya Perang Padri. Meskipun demikian, menurut catatan yang disampaikan oleh E. Francis, pada tahun 1683 di Padang telah disetujui penunjukan seorang Letnan Cina, yang menandakan adanya keberadaan komunitas Tionghoa yang cukup besar di kota tersebut. Selain itu, E. Netscher juga mencatat bahwa pada tahun 1781, di Padang sudah terdapat seorang Kapten Cina bernama Louw Tjoanko. Keberadaan posisi Letnan dan Kapten Cina ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa di Padang terdapat konsentrasi pemukiman orang Tionghoa dalam jumlah yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, orang Tionghoa sudah mulai memainkan peran yang cukup besar dalam kehidupan sosial dan pemerintahan di kota Padang, yang seiring waktu berkembang menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan di Sumatra Barat.[20]

Hierarki jabatan 'kepala' kelompok masyarakat pada masa penjajahan tidak hanya mencerminkan posisi seseorang dalam struktur sosial, tetapi juga menggambarkan jumlah kelompok masyarakat yang bersangkutan. Setiap kali jumlah penduduk dari suatu kelompok bertambah, proses pengangkatan kepala kelompok yang baru selalu dilakukan, di mana pengangkatan tersebut harus diakui oleh pemerintah kolonial. Pada awalnya, ketika jumlah orang Tionghoa relatif masih sedikit, pemerintah kolonial hanya menetapkan jabatan ‘kepala’ setingkat Letnan. Namun, seiring dengan semakin banyaknya jumlah penduduk Tionghoa yang tinggal di kawasan tersebut, jabatan kepala pun ditingkatkan menjadi Kapten, yang mencerminkan adanya jumlah yang cukup signifikan dalam komunitas tersebut. Ketika jumlah orang Tionghoa semakin berkembang pesat, jabatan 'kepala' dapat ditingkatkan lagi menjadi Mayor. Namun, hingga akhir abad ke-18, jabatan tertinggi yang disandang oleh seorang kepala kelompok Tionghoa di Padang masih setingkat Kapten. Jabatan Mayor baru tercapai pada paruh kedua abad ke-19, seiring dengan semakin berkembangnya komunitas Tionghoa di kawasan tersebut serta pentingnya peran mereka dalam perekonomian dan kehidupan sosial Padang.[20]

Tidak hanya jumlahnya yang terus berkembang, tetapi orang Tionghoa juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun politik, di wilayah yang berada di bawah kekuasaan kolonial. Dalam struktur politik kolonial yang diterapkan oleh Belanda, orang Tionghoa ditempatkan pada posisi kedua setelah orang Belanda dalam hierarki masyarakat jajahan. Posisi ini sangat jelas terlihat dalam pengaturan tata kota Padang pada masa itu. Pemukiman orang Tionghoa terletak pada ‘lapisan kedua’ dalam struktur ruang kota, yang berarti pemukiman mereka berbatasan langsung dengan kawasan pemukiman orang Belanda (Eropa) yang terletak di pusat kota. Keberadaan pemukiman orang Tionghoa yang berdekatan dengan pemukiman Belanda ini mencerminkan status sosial mereka yang cukup tinggi, yang sekaligus menunjukkan peran penting mereka dalam berbagai sektor kehidupan kota Padang. Dengan kedekatannya dengan pusat-pusat kekuasaan kolonial, orang Tionghoa di Padang tidak hanya menjadi bagian penting dalam perekonomian, tetapi juga memiliki kedudukan yang strategis dalam tatanan sosial dan politik di bawah pemerintahan Belanda.[20]

Orang Tionghoa yang tinggal di Padang dan Pariaman, khususnya, sangat aktif dalam dunia perdagangan dan niaga, dan mereka memainkan peran penting sebagai mitra bisnis utama bagi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di wilayah tersebut. Di Padang, orang Tionghoa memiliki peranan yang sangat strategis, salah satunya sebagai pemegang hak untuk menarik pajak pelabuhan, yang merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, mereka juga terlibat dalam perdagangan berbagai komoditas yang sangat bernilai, seperti lada, yang menjadi salah satu produk utama yang diperdagangkan di kawasan ini. Hak-hak tersebut diperoleh oleh orang Tionghoa melalui proses lelang yang diadakan oleh pihak VOC, di mana mereka berhasil memenangkan lelang dan memperoleh hak eksklusif untuk mengelola penarikan pajak serta perdagangan sejumlah komoditas tertentu. Dengan demikian, orang Tionghoa tidak hanya menjadi pedagang yang aktif, tetapi juga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam mengelola aspek ekonomi yang menguntungkan bagi pihak VOC di Padang dan Pariaman.[20]

Orang Tionghoa di Padang juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam ranah politik, di samping peran mereka dalam ekonomi dan perdagangan. Salah satu contoh peran politik yang dimainkan oleh komunitas Tionghoa di Padang tercatat dalam tulisan E. Netscher. Ketika Padang hendak diserang oleh pasukan Inggris pada tahun 1781, Kapten Cina yang memimpin komunitas Tionghoa di kota itu mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Dalam surat tersebut, Kapten Cina meminta agar Gubernur Jenderal mengirimkan sebuah kapal ke Padang untuk mengevakuasi warga Eropa dan Tionghoa yang ada di kota itu menuju Batavia, demi menghindari bahaya yang akan timbul akibat serangan Inggris. Sayangnya, permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh pihak Batavia, sehingga pada akhirnya, orang Eropa, Tionghoa, serta seluruh warga kota Padang harus menyerah dan takluk kepada Inggris. Meskipun demikian, peran politik orang Tionghoa di Padang tetap sangat terlihat dalam upaya mempertahankan kota tersebut. Bersama-sama dengan orang Eropa, mereka berjuang keras untuk mempertahankan Padang dari serangan pasukan Inggris, menunjukkan bahwa mereka tidak hanya berperan dalam sektor perdagangan, tetapi juga memiliki peran yang signifikan dalam mempertahankan kedaulatan wilayah dari ancaman kekuatan asing.[20]

Pada masa pemerintahan pendudukan Inggris (1781) hingga Belanda kembali berkuasa pada tahun 1819, orang Tionghoa di Padang mengalami penurunan peran yang signifikan dalam aspek sosial, politik, dan ekonomi. Selama periode ini, mereka tidak lagi memainkan peran penting dalam kehidupan kota, baik dalam kegiatan perdagangan maupun dalam hubungan kekuasaan. Keadaan ini semakin memburuk ketika François Le Mėme, seorang bajak laut asal Perancis, berhasil menguasai Padang untuk beberapa hari. Dalam masa kekuasaan Le Mėme, orang Tionghoa menjadi salah satu kelompok masyarakat yang paling menderita. Harta kekayaan mereka, yang bernilai sekitar 25.000 rijksdaalders (setara dengan ringgit), dirampas habis oleh para penyerang. Selain itu, banyak dari mereka yang terpaksa melarikan diri menuju daerah pedalaman, mencari tempat yang lebih aman dari serangan dan kekerasan yang terjadi di kota. Rumah-rumah orang Tionghoa yang ditinggalkan banyak yang dibakar, dan situasi ini menggambarkan betapa parahnya perlakuan yang diterima oleh komunitas Tionghoa pada masa itu. Tragisnya, beberapa orang Tionghoa bahkan kehilangan nyawa mereka. Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan adalah pembunuhan seorang 'pembantu' Kapten Cina, yang dihukum mati dengan cara digantung di pintu rumah sang Kapten, yang semakin menunjukkan kekejaman yang dihadapi oleh orang Tionghoa pada saat itu.[20]

Seiring dengan kembalinya Belanda menguasai wilayah Sumatra Barat pada tahun 1819, informasi tentang keberadaan orang Tionghoa di Padang, khususnya, dan di Sumatra Barat pada umumnya mulai kembali tercatat. Pada masa ini, data mengenai jumlah orang Tionghoa mulai tersedia, memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai komposisi penduduk di kota Padang. Menurut catatan yang disampaikan oleh Stuers, pada hari-hari pertama setelah Belanda kembali berkuasa, jumlah orang Tionghoa di Padang tercatat sebanyak 200 orang. Sebagai perbandingan, jumlah orang Eropa di Padang pada waktu itu tercatat sebanyak 150 orang, yang terdiri dari berbagai kelompok, termasuk pegawai dan tentara Belanda, mantan pegawai VOC, orang Inggris, serta orang ‘Indo’ hasil perkawinan antara perempuan pribumi dengan orang Eropa. Selain itu, terdapat juga 200 orang India yang berasal dari Bengalezen, sekitar 7.000 orang Melayu (terutama dari suku Minangkabau), serta 1.500 orang Nias yang turut memperkaya keragaman etnis dan kelompok masyarakat yang ada di Padang pada saat itu. Dengan adanya data ini, semakin terlihat bagaimana struktur demografis di Padang terdiri dari berbagai kelompok etnis yang memiliki peran masing-masing dalam kehidupan sosial dan ekonomi kota tersebut.[20]

Dikatakan pula bahwa pemukiman orang Tionghoa di Padang terletak di pinggir sungai Batang Arau, yang letaknya cukup strategis dan dekat dengan rumah-rumah serta gedung-gedung utama pemerintahan pada masa itu. Komunitas Tionghoa di Padang memiliki rumah dan tanah yang cukup luas, mencerminkan status ekonomi mereka yang relatif lebih baik dibandingkan dengan sebagian besar penduduk lainnya. Meskipun demikian, rumah-rumah mereka tergolong ‘sederhana’ dalam arti tertentu. Penyederhanaan tersebut mencerminkan kondisi sosial dan budaya yang ada di kawasan tersebut pada masa itu. Seperti yang disampaikan oleh Nahuijs, seorang pengunjung yang datang ke Padang pada tahun 1824, ia mencatat bahwa tidak ada satupun rumah yang dapat dikatakan bagus di kota itu. Bahkan, bukan hanya rumah-rumah penduduk biasa yang berada dalam kondisi yang kurang memadai, tetapi rumah-rumah dan kantor-kantor milik pemerintah juga terlihat dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun orang Tionghoa di Padang memiliki properti yang cukup luas, kondisi bangunan dan infrastruktur di kota itu pada umumnya masih sangat jauh dari yang ideal dan menggambarkan realitas ekonomi serta perkembangan kota yang terbatas pada masa penjajahan Belanda.[20]

Sejak pertama kali hadir di kota Padang pada pertengahan abad ke-17, orang Tionghoa telah memperoleh tanah yang digunakan untuk membangun rumah mereka. Tanah-tanah tersebut umumnya mereka peroleh dari pihak yang dikenal dengan sebutan ‘Panglima Padang’ atau Urang Kaya Kecil, yang memiliki hak atas tanah di kawasan tersebut. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Kielstra, sebagian besar tanah yang dimiliki oleh orang Tionghoa ini tidak tercatat secara resmi atau tidak terdaftar dalam register tanah. Bukti kepemilikan yang dimiliki oleh pemilik tanah hanya berupa ‘surat jual beli’ yang dikeluarkan oleh pemilik tanah sebelumnya. Meskipun begitu, hampir seluruh tanah yang dimiliki oleh orang Tionghoa ini tetap mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda, meskipun secara administratif tanah tersebut tidak memiliki status legal yang lengkap. Karena itu, ketika pajak bangunan diperkenalkan oleh pemerintah kolonial, rumah-rumah milik orang Tionghoa menjadi salah satu objek pajak yang memberikan kontribusi pendapatan yang cukup signifikan bagi pemerintah. Inilah yang menjadikan orang Tionghoa sebagai salah satu kelompok masyarakat yang relatif lebih awal dikenakan pajak di Sumatra Barat. Dengan posisi mereka yang berada di pusat pemerintahan, orang Tionghoa tidak bisa menghindar dari kewajiban membayar pajak, karena kedekatan mereka dengan pusat kekuasaan dan kegiatan ekonomi menjadikan mereka bagian penting dari sistem perpajakan yang berlaku di wilayah tersebut.[20]

Di kota Padang, terdapat sebuah Sekolah Melayu yang didirikan oleh seorang pendeta dari Ordo Lancaster berkebangsaan Inggris. Tujuan utama pendirian sekolah ini adalah untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak Melayu, anak-anak Indo, dan anak-anak Tionghoa. Sekolah ini menjadi tempat yang memungkinkan anak-anak dari berbagai kelompok etnis tersebut memperoleh ilmu pengetahuan. Namun, laporan menunjukkan bahwa anak-anak Tionghoa adalah yang paling rajin dan tekun bersekolah dibandingkan dengan anak-anak dari kelompok lainnya. Sementara itu, anak-anak Melayu dan anak-anak Indo cenderung tidak serius dalam menjalani pendidikan mereka. Secara keseluruhan, kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak Tionghoa di sekolah tersebut jauh lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak Kristen (anak-anak Indo) dan anak-anak Melayu. Hal ini mencerminkan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab yang tinggi dalam komunitas Tionghoa terhadap pendidikan, serta kemampuan mereka untuk memanfaatkan kesempatan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Kemajuan dalam bidang pendidikan ini memberikan keuntungan tersendiri bagi anak-anak Tionghoa, yang pada akhirnya memperkuat posisi mereka dalam masyarakat sebagai kelompok yang memiliki kemampuan intelektual dan keahlian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.[20]

Dalam bukunya yang mengungkapkan tata kota, lingkungan sosial, serta dunia niaga dan politik kota Padang pada tahun 1824, Nahuijs mencatat adanya sejumlah saudagar Tionghoa yang cukup berpengaruh di kota tersebut. Nahuijs menyebutkan bahwa banyak dari mereka yang terlibat dalam perdagangan candu, dengan sebagian besar berperan sebagai pachter candu, sekaligus aktif dalam dunia niaga yang berkembang pesat di sepanjang Pantai Barat Sumatra, termasuk dalam perdagangan dengan Batavia. Kegiatan perdagangan ini memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian kota Padang pada masa itu. Selain itu, seperti yang dicatat oleh Kielstra, orang Tionghoa juga diberikan kepercayaan oleh pemerintah kolonial untuk mengelola berbagai jenis pajak, seperti pajak bangunan, pajak pasar, pajak sarang burung, serta bea pelabuhan. Peran mereka dalam pengelolaan pajak ini menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada komunitas Tionghoa, yang memiliki posisi strategis dalam sistem ekonomi dan administrasi kota. Salah satu saudagar besar Tionghoa yang sangat berpengaruh di Padang pada waktu itu adalah Lau Tiang King, yang selain dikenal sebagai seorang saudagar sukses, juga menjabat sebagai Kapten Cina. Posisi Kapten Cina ini menegaskan kedudukan penting Lau Tiang King dalam struktur sosial dan politik di Padang, yang mencerminkan pengaruh besar komunitas Tionghoa dalam kehidupan kota tersebut.[20]

Pedagang Tionghoa memegang peranan yang sangat penting dalam dunia niaga di Pantai Barat Sumatra pada masa itu. Peran mereka terlihat jelas dalam berbagai aspek perdagangan, mulai dari perdagangan antarkota di sepanjang pantai, perdagangan antara kota-kota pantai dengan pulau-pulau di lepas pantai seperti Kepulauan Banyak, Pulau Batu, dan Nias, hingga hubungan dagang antara Padang dan Batavia. Meskipun tidak dilakukan secara rutin, mereka juga menjalin kontak dagang dengan wilayah lain di Tanah Semenanjung, seperti Pulau Penang. Keberhasilan mereka dalam menjalankan perdagangan ini sangat dipengaruhi oleh kepemilikan armada niaga yang cukup besar, berupa kapal-kapal dagang yang memungkinkan mereka untuk melakukan pelayaran jarak jauh.[20]

Menurut informasi yang tercatat dalam Regeering Almanaak tahun 1831, 1832, dan 1833, sejumlah saudagar Tionghoa di Padang tercatat sebagai pemilik kapal dagang yang beroperasi di kota itu. Data tersebut tidak hanya mencantumkan nama-nama saudagar Tionghoa, tetapi juga menyebutkan nama kapal-kapal mereka beserta tonase kapal tersebut. Beberapa di antara pemilik kapal dagang tersebut adalah Lim Piet, yang memiliki kapal jenis wankang bernama ‘Kim Banan’ dengan tonase 35 ton, Lim Tjioen dengan kapal jenis wankang bernama ‘Sen Singhang’ yang memiliki tonase 128 ton, Kim Wattjouw dengan kapal jenis wankang bernama ‘Lim Bin’ berkapasitas 30 ton, dan Kim Phokthaij yang juga memiliki kapal jenis wankang bernama ‘Lim Leksoeli’ dengan tonase 14 ton. Kapal-kapal dagang ini memungkinkan mereka untuk menjalin hubungan perdagangan yang jauh lebih luas dan memperkuat posisi mereka dalam perekonomian daerah, menjadikan komunitas Tionghoa sebagai pemain utama dalam dunia niaga di Pantai Barat Sumatra pada masa itu.[20]

Selain kapal-kapal besar yang dimiliki oleh saudagar Tionghoa, laporan tahunan yang dibuat oleh Stuers serta berbagai tulisan mengenai Sumatra Barat pada masa Perang Padri juga mencatat keberadaan sejumlah perahu kecil yang dimiliki oleh orang Tionghoa di daerah tersebut. Perahu-perahu ini, meskipun ukurannya lebih kecil dibandingkan kapal dagang besar, tetap memainkan peranan penting dalam kegiatan perdagangan yang melibatkan berbagai wilayah. Perahu-perahu tersebut biasanya digunakan untuk melakukan pelayaran dagang ke sejumlah negeri yang terletak di utara Padang, seperti Pariaman, Tiku, Katiagan, dan Air Bangis. Di sisi lain, perahu-perahu ini juga digunakan untuk menjalin hubungan perdagangan dengan negeri-negeri di selatan Padang, termasuk Salido, Pulau Cingkuak, Air Haji, dan Indrapura. Tak hanya itu, kapal-kapal ini juga digunakan untuk berdagang ke pulau-pulau yang terletak di lepas pantai, seperti Kepulauan Mentawai, Pulau Banyak, Pulau Batu, dan Pulau Nias, yang semakin memperluas jaringan niaga mereka. Dengan adanya perahu-perahu ini, orang Tionghoa dapat mencakup wilayah yang lebih luas, baik di sepanjang pantai Sumatra maupun ke pulau-pulau sekitar, menjadikan mereka semakin dominan dalam dunia perdagangan di kawasan tersebut.[20]

Kesempatan untuk menjadi penarik pajak pasar merupakan sebuah momen historis yang sangat penting dan memiliki dampak signifikan bagi perluasan wilayah pengaruh serta aktivitas orang Tionghoa di Sumatra Barat. Peran sebagai penarik pajak pasar memberi mereka akses yang lebih luas ke daerah-daerah pedalaman yang sebelumnya belum terjamah oleh kelompok ini. Pasar-pasar yang menjadi objek pajak umumnya terletak di daerah pedalaman, yang merupakan wilayah yang jarang dijangkau oleh orang Tionghoa sebelum terjadinya Perang Padri. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, wilayah pedalaman pada masa sebelum perang hampir tidak pernah dikunjungi oleh orang Tionghoa, yang lebih banyak berfokus pada kota-kota pesisir. Dengan mendapatkan wewenang untuk menarik pajak pasar, orang Tionghoa mampu memperluas jejak mereka ke wilayah-wilayah yang sebelumnya asing bagi mereka, memperkenalkan mereka pada dinamika sosial dan ekonomi baru. Hal ini tidak hanya memperluas cakupan perdagangan mereka, tetapi juga meningkatkan keterlibatan mereka dalam sistem administrasi pajak yang lebih luas, memberikan mereka pengaruh yang lebih besar dalam kehidupan ekonomi dan sosial di Sumatra Barat.[20]

Masuknya orang Tionghoa ke daerah pedalaman tidak hanya dilakukan oleh kalangan sipil, seperti para penarik pajak, tetapi juga oleh kalangan militer. Boelhouwer mencatat bahwa terdapat sejumlah opsir Tionghoa yang tergabung dalam pasukan tentara Belanda dan ikut bertempur melawan kaum Padri di daerah darek (pedalaman Sumatra Barat). Informasi yang disampaikan oleh Boelhouwer ini sangat penting, karena hingga saat ini, hampir tidak ada tulisan atau penelitian yang mengungkapkan keterlibatan orang Tionghoa dalam kesatuan militer Belanda selama Perang Padri. Keterlibatan mereka dalam militer Belanda menunjukkan peran yang lebih aktif dan signifikan dari komunitas Tionghoa dalam peristiwa sejarah besar tersebut, yang sebelumnya kurang diketahui. Hal ini juga mencerminkan tingkat integrasi dan kepercayaan yang diberikan oleh Belanda kepada orang Tionghoa, bukan hanya dalam sektor ekonomi dan perdagangan, tetapi juga dalam konteks kekuatan militer yang berperan dalam mempertahankan kekuasaan kolonial di Sumatra Barat pada masa itu.[20]

Selain adanya sejumlah opsir yang menunjukkan keterlibatan orang Tionghoa dalam aksi militer melawan kaum Padri, pada waktu itu juga terdapat sejumlah orang Tionghoa yang terlibat dalam korps keamanan. Sejak awal kekuasaannya di Sumatra Barat, Belanda yang kekurangan sumber daya manusia di sektor keamanan selalu berusaha melibatkan warga setempat untuk ikut serta dalam menciptakan rust en orde, yaitu ketertiban dan keamanan di wilayah tersebut. Pada awal tahun 1820-an, misalnya, orang Tionghoa mulai dilibatkan dalam Burgerwacht, yang merupakan satuan pengamanan kota yang bertugas menjaga ketertiban di Padang. Keterlibatan ini semakin formal pada tahun 1833, ketika orang Tionghoa diikutsertakan dalam Korp Pengaman Kota yang khusus disebut sebagai 'Korp Cina'.[20]

Kesatuan ini terdiri dari sejumlah warga Tionghoa yang dipilih karena memiliki tubuh yang tegap dan sehat, serta dipersenjatai dengan senjata mereka sendiri. Di bawah pimpinan komandan mereka, Korp Cina bertugas untuk menjaga ketertiban di dalam kota, mencegah terjadinya kerusuhan, menengahi perselisihan atau perkelahian antarwarga, serta menjaga dan memadamkan kebakaran yang terjadi. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab atas keamanan kampung atau daerah tempat tinggal mereka sendiri. Tugas mereka tidak hanya terbatas pada keamanan sehari-hari, tetapi juga mencakup perlindungan selama acara sosial-keagamaan yang diadakan oleh komunitas Tionghoa di Padang, menjadikan mereka penjaga yang sangat penting dalam menjaga stabilitas dan kesejahteraan komunitas Tionghoa di kota tersebut. Keikutsertaan orang Tionghoa dalam korps ini menandakan peran penting mereka dalam struktur sosial dan keamanan di Padang pada masa itu.[20]

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada masa Perang Padri, pimpinan tertinggi orang Tionghoa di Padang masih setingkat Kapten, yang tidak jauh berbeda dengan kondisi pada era VOC. Salah satu Kapten Cina yang paling dikenal dan memiliki hubungan dekat dengan pejabat Belanda pada masa itu adalah Lau Tiang King. Sebagai seorang Kapten, Lau Tiang King memainkan peran yang cukup penting dalam hubungan antara komunitas Tionghoa dan pemerintah kolonial Belanda. Dia sering diundang untuk hadir dalam berbagai acara yang diselenggarakan oleh pejabat Belanda, termasuk Residen di Padang. Kehadirannya dalam acara-acara tersebut menunjukkan posisi dan pengaruh yang dimilikinya dalam masyarakat serta kedekatannya dengan kekuasaan kolonial. Lau Tiang King, dengan perannya yang strategis, tidak hanya menjadi figur penting dalam komunitas Tionghoa, tetapi juga berperan sebagai penghubung antara orang Tionghoa dan pemerintahan Belanda di Padang.[20]

Orang Tionghoa di Padang tidak hanya menjalin hubungan dekat dengan pejabat sipil maupun militer Belanda, tetapi mereka juga membangun hubungan yang erat dengan NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij), sebuah perusahaan dagang Belanda yang mendapatkan banyak kemudahan dari pemerintah kolonial dalam menjalankan usahanya. Setelah beberapa tahun membuka keagenannya di Padang pada tahun 1826, NHM segera menjalin kemitraan yang kuat dengan saudagar Tionghoa di daerah tersebut. Perusahaan ini mengandalkan para saudagar Tionghoa sebagai mitra bisnis utama dalam berbagai transaksi perdagangan. Barang-barang yang diimpor oleh NHM ke Padang sebagian besar dibeli oleh saudagar Tionghoa untuk kemudian didistribusikan ke wilayah lain. Sebaliknya, beberapa barang yang akan diekspor oleh NHM juga berasal dari para saudagar Tionghoa, yang menjadi pemasok utama bagi perusahaan tersebut.[20]

Seiring berjalannya waktu, sejumlah saudagar Tionghoa tercatat sebagai nasabah tetap NHM, terutama setelah perusahaan ini memperluas layanannya dengan berperan juga sebagai lembaga perbankan. Mereka menerima modal atau pinjaman dari NHM untuk memperlancar usaha perdagangan mereka. Namun, meskipun hubungan bisnis ini memberi banyak kesempatan bagi saudagar Tionghoa, tidak sedikit dari mereka yang gagal membayar utang mereka, yang akhirnya menyebabkan masalah bagi operasional NHM di kawasan tersebut. Gagalnya beberapa saudagar Tionghoa untuk melunasi hutang mereka mempengaruhi hubungan antara NHM dan komunitas Tionghoa, serta memberikan tantangan bagi kelangsungan operasi perusahaan tersebut di Sumatra Barat.[20]

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, orang Tionghoa tidak hanya bermukim dan beraktivitas di kota Padang, tetapi juga di daerah lain seperti Pariaman. Boelhouwer mencatat adanya Kampung Cina di Pariaman, yang dihuni oleh orang-orang Tionghoa yang dikenal rajin dalam menjalankan kegiatan sehari-hari mereka. Meskipun tidak disebutkan secara jelas mengenai peran spesifik yang mereka mainkan dalam masyarakat setempat, namun dari beberapa aktivitas yang mereka lakukan, seperti "menjemur kopi di atas tikar di halaman rumahnya agar cepat kering," dapat disimpulkan bahwa mereka terlibat dalam dunia perdagangan dan pengumpulan kopi. Aktivitas ini menunjukkan bahwa mereka kemungkinan besar berperan sebagai saudagar kopi, yang mengumpulkan hasil panen kopi dari daerah sekitar untuk kemudian dipasarkan. Dengan demikian, orang Tionghoa di Pariaman tidak hanya menjadi bagian dari komunitas yang rajin bekerja, tetapi juga memainkan peran penting dalam sektor perdagangan komoditas lokal, seperti kopi, yang merupakan salah satu hasil utama dari daerah tersebut pada masa itu.[20]

Jumlah orang Tionghoa di Pariaman, sebuah kota yang terletak di bagian utara Padang, tidak diketahui dengan pasti. Namun, pada tahun 1836, tercatat bahwa di sana telah ada seorang Letnan Cina yang menunjukkan adanya struktur kepemimpinan yang diakui bagi komunitas Tionghoa di wilayah tersebut. Ini mengindikasikan bahwa meskipun informasi mengenai jumlah mereka terbatas, orang Tionghoa di Pariaman memiliki pengaruh tertentu dalam masyarakat setempat.[20]

Selain itu, terdapat juga informasi mengenai kedekatan hubungan antara orang Tionghoa di Padang dan Pariaman dengan orang Nias. Stuers mencatat bahwa beberapa saudagar Tionghoa memiliki budak yang berasal dari Nias, yang menandakan adanya interaksi sosial dan ekonomi antara kedua kelompok tersebut. Selain itu, salah satu laporan pejabat NHM juga menyebutkan bahwa ada orang Tionghoa yang memperistri orang Nias, yang menunjukkan hubungan lebih dekat antara kedua komunitas tersebut. Kedekatan ini mungkin mencerminkan adanya aliansi sosial maupun ekonomi yang saling menguntungkan antara orang Tionghoa dan orang Nias di kawasan tersebut, baik dalam hal perdagangan, pernikahan, maupun dalam hubungan kerja yang lebih luas.[20]

Terdapat perbedaan signifikan dalam respons masyarakat Minang terhadap keberadaan orang Tionghoa, tergantung pada apakah mereka bermukim di daerah pesisir atau di pedalaman. Orang Minang yang tinggal di pesisir, terutama di kota-kota seperti Padang dan Pariaman, tampaknya memiliki pandangan yang lebih terbuka dan tidak mempermasalahkan keberadaan orang Tionghoa, serta peran sosial, politik, dan ekonomi yang mereka mainkan dalam masyarakat. Bahkan, mereka tidak mempermasalahkan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Tionghoa, seperti hak untuk menjadi pachter (penarik pajak) atau peran mereka dalam perdagangan candu. Interaksi yang sudah berlangsung lama antara kedua kelompok ini telah membentuk hubungan yang lebih cair dan harmonis, di mana orang Tionghoa dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial dan ekonomi sehari-hari.[20]

Berbeda dengan itu, orang Minang yang tinggal di pedalaman cenderung memiliki sikap yang lebih hati-hati dan mungkin tidak begitu menerima kehadiran orang Tionghoa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan interaksi mereka dengan komunitas Tionghoa dan juga perbedaan dalam tradisi dan cara hidup yang lebih terisolasi di daerah pedalaman. Oleh karena itu, respons masyarakat Minang terhadap orang Tionghoa sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak kontak dan interaksi yang terjadi antara kedua kelompok tersebut, dengan daerah pesisir yang lebih terbuka terhadap pengaruh luar dan daerah pedalaman yang lebih konservatif dan terjaga keasliannya.[20]

Relatif tidak adanya respon negatif dari orang Minang yang tinggal di Padang atau Pariaman terhadap orang Tionghoa dapat dipahami dari beberapa faktor yang saling mendukung. Salah satu faktor utama adalah kuatnya posisi sosial, politik, dan ekonomi yang dimiliki oleh orang Tionghoa di kota-kota pesisir tersebut. Keberadaan orang Tionghoa di Padang dan Pariaman sangat terintegrasi dalam tatanan sosial dan ekonomi, sehingga mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kota-kota tersebut. Selain itu, persatuan di antara komunitas Tionghoa sendiri juga sangat solid, yang memperkuat posisi mereka dan membuat mereka lebih mampu melindungi diri dari potensi gangguan.[20]

Salah satu faktor yang juga berperan penting dalam hal ini adalah keberadaan 'Burgerwacht' dan 'Korp Cina'. Kedua satuan ini memainkan peran vital dalam melindungi komunitas Tionghoa dari gangguan atau ancaman yang mungkin datang dari kelompok masyarakat lain. Dengan dukungan dari unit keamanan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial, komunitas Tionghoa merasa lebih aman dan terlindungi, yang pada gilirannya berkontribusi pada minimnya konflik antara mereka dan orang Minang di daerah pesisir.[20]

Selain itu, adanya keberpihakan dari pemerintah kolonial Belanda terhadap orang Tionghoa semakin memperkuat posisi mereka. Pembukaan Raad van Justitie (Pengadilan) di Padang pada tahun 1833 menjadi langkah konkret yang diambil oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada komunitas Tionghoa, India, dan Eropa yang mengalami ketidakadilan atau kesulitan, baik dalam urusan pidana maupun perdata. Dengan adanya pengakuan dan perlindungan hukum ini, orang Tionghoa merasa lebih dihargai dan diakui oleh pemerintah, yang membuat hubungan mereka dengan orang Minang di Padang dan Pariaman relatif harmonis dan minim konflik.[20]

Berbeda dengan respons orang Minang yang tinggal di daerah pesisir, masyarakat Urang Awak di pedalaman menunjukkan sikap yang lebih negatif terhadap kehadiran orang Tionghoa di daerah mereka. Hal ini terlihat dari beberapa insiden yang tercatat, di mana penarik pajak (terutama yang bertugas di pasar) yang berasal dari komunitas Tionghoa sering kali menjadi sasaran serangan dari warga pedalaman. Dalam banyak kasus, para penarik pajak Tionghoa ini bahkan diburu dan dipaksa melarikan diri untuk menyelamatkan diri, seringkali menuju rumah penghulu yang juga merupakan kaki tangan Belanda, sebagai tempat perlindungan. Ketegangan ini semakin meningkat dengan adanya laporan mengenai perampokan yang dilakukan terhadap orang Tionghoa, di mana mereka menjadi korban kekerasan dan perampasan harta benda saat menjalankan tugas mereka di daerah pedalaman.[20]

Sikap negatif masyarakat pedalaman terhadap orang Tionghoa ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketidaknyamanan dengan peran orang Tionghoa sebagai penarik pajak, yang dianggap sebagai representasi dari kekuasaan kolonial Belanda. Perbedaan dalam latar belakang budaya dan tradisi antara orang Tionghoa dan masyarakat pedalaman juga dapat memperburuk ketegangan ini, sehingga memperkuat rasa permusuhan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang jelas dalam sikap dan penerimaan antara masyarakat Minang di daerah pesisir, yang telah lama berinteraksi dengan orang Tionghoa, dan masyarakat Minang di pedalaman, yang lebih terisolasi dan mungkin merasa terganggu dengan kehadiran mereka.[20]

Respon negatif yang ditunjukkan oleh orang Minang di daerah pedalaman terhadap orang Tionghoa bisa dilihat dari dua perspektif yang saling terkait. Pertama, serangan terhadap orang Tionghoa lebih merupakan bentuk protes terhadap pajak yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Orang Tionghoa, yang berperan sebagai pengumpul pajak, menjadi sasaran kemarahan orang Minang, yang tidak sepakat dengan kebijakan kolonial tersebut. Dalam hal ini, orang Tionghoa hanya menjadi perantara atau tumbal dari ketidakpuasan orang Minang terhadap sistem pemerintahan Belanda, yang dianggap menindas. Ketegangan ini mencerminkan protes terhadap kekuasaan kolonial, di mana orang Tionghoa, sebagai wakil pemerintah, turut menjadi sasaran.[20]

Kedua, ketidaksukaan orang Minang terhadap orang Tionghoa juga muncul karena peran mereka yang dianggap mendukung kekuasaan Belanda. Orang Tionghoa yang berperan sebagai penarik pajak seringkali dipandang sebagai kaki tangan Belanda yang memperburuk keadaan masyarakat Minang. Lebih jauh lagi, keterlibatan orang Tionghoa dalam perdagangan candu menambah ketegangan ini. Candu, yang sangat ditentang oleh kelompok Padri, menjadi simbol perusakan moral yang semakin memperburuk pandangan orang Minang terhadap mereka. Orang Minang merasa bahwa orang Tionghoa berperan dalam menyebarkan kebiasaan yang merusak, dan karena itu mereka merasa berhak untuk menyerang setiap orang Tionghoa yang mereka anggap sebagai perwakilan dari penjajahan Belanda maupun praktik perdagangan candu yang merugikan masyarakat mereka.[20]

Seiring berjalannya waktu, respon negatif dari orang Minang di pedalaman terhadap orang Tionghoa mulai berkurang, meskipun perlahan. Laporan dari pemerintah kolonial dan NHM menunjukkan adanya perubahan dalam hubungan antara pedagang pedalaman dan saudagar Tionghoa di Padang. Sejumlah pedagang dari daerah pedalaman kini mulai bekerja sama dengan saudagar Tionghoa di Padang. Mereka mulai melakukan transaksi dengan membeli barang-barang dari saudagar Tionghoa, yang kemudian mereka jual kembali. Fenomena ini menunjukkan adanya perubahan dalam pola interaksi ekonomi, di mana pedagang dari pedalaman, meskipun sebelumnya menentang keberadaan orang Tionghoa, kini mulai bergantung pada mereka untuk mendapatkan barang dagangan. Kerja sama ini semakin berkembang, terutama pada tahun-tahun terakhir Perang Padri, ketika ketegangan mulai mereda. Di Padang sendiri, hubungan antara saudagar Urang Awak dan saudagar Tionghoa juga semakin erat, dengan mereka saling bekerja sama dalam dunia perdagangan. Hal ini menggambarkan bahwa meskipun ada perbedaan pendapat dan ketegangan di masa lalu, interaksi ekonomi akhirnya berhasil menciptakan hubungan yang lebih saling menguntungkan antara kedua kelompok tersebut.[20]

Menjadi mitra datang Belanda

Sejak kedatangan Belanda di bawah bendera VOC, Padang makin berkembang menjadi pelabuhan yang ramai.

Seiring waktu, orang Tionghoa mulai memegang pengaruh dalam perniagaan di Padang. Mereka menjalin hubungan kerja sama dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda. Hubungan mereka kian lama kian erat karena adanya keuntungan yang sama-sama diperoleh. VOC yang tidak memiliki banyak pegawai di Padang memberi hak kepada pihak swasta untuk memungut pajak impor dan ekspor. Banyak di antara pihak swasta yang mendapat hak ini adalah orang Tionghoa. Pada 1785, seorang Kapitan Cina bernama Lau Ch'uan-ko memegang hak memungut pajak di Padang.[21] Ketika perniagaan emas di Minangkabau makin merosot, pemerintah kolonial Belanda pada 1790 menyetujui untuk menerima mata uang orang Tionghoa sebagai pembayar persentase tertentu (dalam hal penjualan kain) untuk Belando. Sementara itu, orang Minangkabau masih bergantung pada emas sebagai alat tukar. Diterimanya mata uang Tionghoa sabagai alat tukar membuat orang Tionghoa makin diuntungkan.[22]

Pada awal abad ke-19, orang Tionghoa di Padang telah melibatkan diri dalam perniagaan luar negeri, terutama dengan kawasan selat seperti Penang, Malaka, dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Gubernur Pantai Barat Sumatra Andreas Victor Michiels yang mendorong orang asing untuk lebih banyak tiba ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pedagang Tionghoa yang dianggap mampu memajukan perekonomian.[23] Salah satunya adolah pinjaman uang untuk modal dari Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), yang menggantikan fungsi VOC yang bangkrut pada 1799.[24][25] Dengan dukungan modal serta jaringan regional dan internasional, pedagang Tionghoa dapat menjadi agen bagi perniagaan barang-barang impor, seperti kain dan porselen.[26] Akibatnya, banyak pedagang Minangkabau bergantung ke pedagang Tionghoa .[27] Pada 1829, disebutkan ada empat orang pialang Tionghoa terkenal, yaitu Lie Heng (atau Lie Gieng), Lie Ma-ch’ao (Lie Matjiaw), Lie Sing, dan Hu A-chiao (Hoi Atjouw).[28] Pada 1833, ada sekitar 700 orang Tionghoa di Padang, kebanyakan mereka adalah "orang kaya".[29]

Tidak hanya menguasai perniagaan barang impor yang dibutuhkan oleh masyarakat Minangkabau di darek, pedagang Tionghoa mulai menggarap perniagaan komoditas ekspor yang berasal dari kawasan darek atau pedalaman Minangkabau. Pada 1847, seorang Tionghoa bernama Lie Saay mendapat kontrak pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi, komoditas ekspor Minangkabau yang terkenal masa itu. Lie Saay melalui perusahaan ekspedisi yang ia punya mengangkut kopi dari Padang Panjang ke Kayu Tanam serta mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan pulang.[30] Waktu itu, sarana transportasi hanya didukung oleh jalan setapak yang menghubungkan kampung-kampung darek ke pesisir barat dan ke sungai-sungai yang mengalir ke timur ke Selat Malaka.[31] Angkutan transportasi yang digunakan Lie Saay berupa pedati yang ditarik oleh kuda. Dalam perjalanan, Lie Saay didampingi kakaknya, Lie Maa Toon yang ahli bela diri kungfu sebagai pengawal. Sesudah sarana transportasi seperti jalan darat dan jalur kereta api dibangun, Lie Saay pindah ke Padang dan diangkat menjadi Kapitan Cina pada 1860.[32][33]

Mendirikan permukiman, kelenteng, dan pasar

Kelenteng See Hien Kiong sekitar 1870.

Seiring kemahsyuran Padang sebagai pusat perdagangan VOC untuk Pulau Sumatra, perusahaan-perusahaan Balanda tumbuh bak cendawan. Hal ini membuat bangsa asing semakin banyak berdatangan, termasuk orang Tionghoa. Dalam Encyclopaedia Britannica edisi ke-9, Padang pada pertengahan abad ke-19 digambarkan sebagai kota yang memiliki 2.000 rumah dengan penduduk sebanyak 15.000, sudah termasuk di dalamnya permukiman orang Tionghoa.[34] Peneliti sejarah orang Tionghoa di Sumatera Barat, Erniwati menulis orang Tionghoa di Padang semula tinggal mengelompok di salah satu sisi tepi Batang Arau arah ke muara yang kini bernama Pondok. Dinamakan "Pondok" karena banyak orang Tionghoa di sana mendirikan rumah dan tempat berdagang yang berbentuk pondok.

Pada 1852, orang Tionghoa di Padang sudah berjumlah 1.140 orang.[35][36] Jumlah ini meningkat menjadi 1.564 pada 1858.[37] Mulai banyaknya pendatang Tionghoa yang tinggal di Padang mengakibatkan kebutuhan akan adanya kelenteng. Pada awalnya, orang Tionghoa di Padang tidak punya kelenteng sama sekali. Sekelompok pendatang berinisiatif untuk mendirikan kelenteng pada pertengahan abad ke-19. Kelenteng ini dinamakan Kelenteng Kwan Im (Kwan Im Teng). Saat pertama kali berdiri, Kwan Im Teng hanya berupa bangunan kayu beratap rumbia. Namun, pada 1861, lantaran kelalaian pendeta Sae Kong, Kwan Im Teng terbakar hingga menjadi abu. Semasa Kapitan Cina dijabat oleh Lie Goan Hoat pada 1893, didampingi oleh Letnan Liem Soen Mo dan Letnan Lie Bian Ek, orang Tionghoa Padang bermufakat untuk membangun kembali Kelenteng Kwan Im. Kelenteng yang baru berdiri dinamakan Kelenteng See Hien Kiong. Pembangunannya selasai pada 1893.[38]

Orang Tionghoa di Padang tidak hanya menjadikan kelenteng sebagai tempat sembahyang atau ibadah, melainkan juga sebagai tempat tinggal semantara bagi pendatang Tionghoa yang tidak punya keluarga. Dari sini, mereka bisa berkenalan dengan orang Tionghoa lainnya sehingga menjadi penghubung bagi mereka untuk merintis usaha. Di sekitar kelenteng, mereka mendirikan kos-kios dari buluh bambu sebagai tempat berjualan. Sesudah kelenteng mengalmi kebakaran pada 1861, kios-kios ini disewakan, dan hasil keuntungannya digunakan untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan kelenteng. Lama-kelamaan, kios-kios di sekitar kelenteng berkembang menjadi pasar yang kini dikenal sebagai Pasar Tanah Kongsi.[39] Pasar ini menjadi ramai sehingga dalam waktu relatif singkat mampu menyaingi Pasar Mudik yang sebelumnya telah berdiri dan letaknya berdekatan.[40]

Akhir pemerintahan kolonial Belanda

Kemajuan Padang yang semula hanya kampung nelayan menjadi pusat perniagaan dan pemerintahan di Sumatra menyebabkan daerah ini ramai dikunjungi para pendatang, termasuk orang Tionghoa.

Pada 1865, jumlah orang Tionghoa di Padang adalah 2.973 orang. Pada 1874, 10% dari populasi penduduk Padang yang ketika itu berjumlah sekitar 25.000 orang adalah orang Tionghoa.[16] Pada 1878, jumlah orang Tionghoa di Padang adalah 2.640 orang. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan 1865. Pada 1880, jumlah orang Tionghoa di Padang kembali meningkat menjadi 3.468 orang.[35][36]

Melihat jumlah orang Tionghoa di Padang yang cenderung bertambah, pemerintahan kolonial Belanda mengambil kebijakan untuk menata permukiman di Padang. Penataan ini mengikui kebijakan Besluit No. 758 yang ditandatangani oleh Gubernur Pantai Barat Sumatra tanggal 30 Oktober 1884 tentang Penetapan Wilayah untuk Orang Tionghoa di Kota Padang. Lantaran populasi orang Tionghoa terus meningkat, begitu pula orang asing lainnya, peraturan 1884 ini diperbarui dengan Beslit No. 34 tanggal 3 Februari 1891. Dalam peraturan baru, wilayah orang Tionghoa diperluas sampai memasuki daerah Balakang Tangsi.[41][42][43] Di sini, seorang pedagang Tionghoa bernama Gho Lam San membuka sebuah pasar berseberangan dengan bekas pasar milik perusahaan orang Minangkabau Badu Ata & Co. yang terbakar pada 1882.[44][45]

Pada 1900, pemerintahan kolonial Belanda melonggarkan izin masuk orang Tionghoa di Hindia Belanda. Kebijakan ini berpengaruh terhadap jumlah orang Tionghoa di Padang.[46][47] Jumlah orang Tionghoa pada 1905 adalah sebanyak 5.000 orang, lalu meningkat menjadi 6.765 orang pada 1920, dan meningkat lagi menjadi 8.516 orang pada 1930 (14% dari populasi kota).[35][36][48] Peningkatan jumlah orang Tionghoa Padang dari 1905 sampai 1930 sejalan dengan gelombang migrasi massal yang dilakukan oleh orang Tionghoa.[49]

Sesudah kemerdekaan Indonesia

Perjuangan kemerdekaan Indonesia

Spanduk yang diusung oleh orang Tionghoa Padang yang berbunyi Hidup "Para Pemburu", yakni batalion Belanda bagian dari U-Brigade yang melakukan operasi militer di Padang pada 1948

Sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sikap orang Tionghoa Padang terbagi ke dalam tiga kelompok. Ada yang memberi dukungan terhadap Balanda, ada yang ikut serta membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan ada yang bersikap netral.[50] Keragaman orientasi orang Tionghoa Padang semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menyebabkan masyarakat umum sulit mengenali sikap mereka.[51] Walaupun begitu, Johnny Anwar dalam buku Api Perjuangan Kemerdekaan di Kota Padang menulis, banyak orang Tionghoa Padang tidak memasang bendera Merah Putih di rumah dan toko mereka pada masa awal kemerdekaan Indonesia, padahal sudah ada imbauan dari Pemerintah Kota Padang.[52]

Orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada Belanda berharap Belanda berkuasa kembali di Indonesia. Di antara mereka tersebut nama Nyo Hok Seng. Ia kerap membocorkan informasi ke Balanda tentang perkembangan situasi Padang, termasuk lokasi persembunyian para pejuang kemerdekaan.[53] Ada pula orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada Belanda untuk memperkaya diri. Mereka memanfaatkan kemampuan menembus blokade Belanda untuk meraup keuntungan. Umumnya mereka adalah pedagang bahan makanan.[54]

Ada pula orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada pejuang kemerdekaan. Mereka memberi pertolongan dalam bentuk pasokan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan.[55] Sho Bun Seng adalah di antara orang Tionghoa di Padang yang dikenang jasanya dalam memasok senjata untuk pejuang kemerdekaan.[56][52] Adapun orang Tionghoa Padang yang netral adalah mereka yang tidak menentukan sikap. Mereka hanya menunggu perang usai dan keadaan stabil sehingga mereka bisa melakuan aktivitas perniagaan seperti sedia kala.[57]

Ketika perang makin berkecamuk pada pengujung 1945, dilaporkan terjadi pembakaran rumah-rumah orang Tionghoa di Padang. Lantaran banyaknya orang Tionghoa yang menjadi kaki tangan Belanda, mereka menjadi sasaran penyerangan oleh penduduk. Sederetan rumah orang Tionghoa Padang di Blok Eng Djoe Bie di Balai Baru, Kampung Jao diserang. Di sini, terdapat toko yang menjadi pemasok kebutuhan tentara NICA seperti makanan dan obat-obatan. Penyerangan ini membuat mereka mengungsi dan pindah ke Kampung Cina di Pondok. Rumah Ang Eng Hoat, seorang Letnan Cino di Jalan Hiligoo, diobrak-abrik hingga "tinggal dindingnya saja".[58]

Pengakuan kedaulatan Indonesia

Seiring dengan pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 1949, kondisi politik dan keamanan Kota Padang berangsur pulih. Pemerintah mulai menata kembali kehidupan masyarakat dari berbagai aspek, termasuk persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia yang belum tuntas. Presiden Soekarno mengumumkan tentang keharusan orang Tionghoa di Indonesia untuk memilih status kewarganegaraan mereka. Mereka diberi tiga pilihan. Pertama menjadi warga negara Belanda, kedua menjadi warga negara Indonesia, atau ketiga menjadi warga negara Republik Rakyat Tiongkok. Di Padang, adanya pilihan status kewarganegaraan ini membuat sebuah keluarga bisa memiliki status kewarganegaraan yang berbeda sehingga menyebabkan mereka terpisah. Menurut Erniwati, perbedaan pilihan status kewarganegaraan terjadi akibat berbedanya orientasi dan kepentingan di antara orang Tionghoa Padang.[59]

Selain mengatur persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa, pemerintah Indonesia menghentikan masuknya imigran dari Tionghoa. Walaupun demikian, masih ada peningkatan jumlah orang Tionghoa di Padang. Peningkatan ini diperkirakan merupakan akibat kedatangan imigran dari Medan dan Pekanbaru serta perpindahan orang Tionghoa dari beberapa daerah di Sumatera Barat untuk mencari perlindungan ketika meletusnya pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958 dan Gerakan 30 September pada 1965.[60]

Sejak 1966 sampai sekarang

Makam korban gempa 2009 dari orang Tionghoa Padang di Bungus

Pada 1966, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 yang isinya mengharuskan orang Tionghoa di Indonesia mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Di Padang, hampir 8.000 orang Tionghoa melakukannya.[61] Kebijakan khusus untuk orang Tionghoa di Indonesia dibuat pula oleh rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang dikenal dengan kebijakan asimilasi. Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang isinya membatasi aktivitas agama, adat, dan tradisi Tionghoa di muka umum. Orang Tionghoa Padang menuruti kebijakan tersebut. Namun begitu, pemerintah dan masyarakat Kota Padang memberi kelonggaran terhadap mereka.[62] Mereka tetap dapat melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) maupun perkumpulan sosial, budaya, dan kematian.[63]

Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, saat orang Tionghoa di banyak tempat di Indonesia mendapat perlakukan tidak baik, tidak pernah ada laporan adanya tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan Orang Tionghoa sebagai sasaran di Padang.[64] Pada 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Sejak itu, orang Tionghoa Padang dapat bebas kembali melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka.[65]

Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang Sumatera Barat pada 30 September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi ke luar kota. Hal tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. Hingga beberapa bulan pasca-gempa, orang-orang Tionghoa yang eksodus belum seluruhnya kembali ke Padang. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa banyak yang memutuskan pindah ke luar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi.[8][66] Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada 2010, persentase orang Tionghoa Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa.[1]

Dampak paling terasa dari gempa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelenggarakan ibadahnya di bangunan sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng.[38][67] Pada Desember 2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru. Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan biaya sekitar Rp5 miliar.[68]

Sosial dan kemasyarakatan

Atraksi barongsai di Padang

Orang Tionghoa Padang berasal dari berbagai marga. Sistem marga dalam keluarga etnis Tionghoa didasarkan pada asal keturunan dari leluhur yang sama. Keberadaan sebuah marga biasanya ditandai dengan rumah marga. Aktivitas utama rumah marga adalah menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa yang mereka yakini. Selain itu, anggota rumah marga saling membantu dan memperhatikan antarsesama.[69] Namun, karena beberapa marga jumlahnya tidak banyak, hanya ada tujuh marga di Padang yang memiliki rumah marga sendiri, yakni marga Tan, marga Oei, marga Ong, marga Choa, marga Lie & Kwee, marga Gho, dan marga Lim.[70]

Agama

Agama orang Tionghoa Padang meliputi agama tradisional Tionghoa, Katolik, Protestan, dan Islam. Saat ini, mayoritas orang Tionghoa Padang menganut Katolik. Hal ini disebabkan banyaknya anak-anak Tionghoa yang belajar di sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik pada masa kolonial Belanda di Padang.[2]

Pada 1978, pemerintah Soeharto menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Akibatnya, penganut agama Konghucu dan Tao banyak yang pindah ke agama Buddha, Katolik, Protestan, bahkan Islam.[71]

Pada 1993, Muslim Tionghoa Padang membentuk cabang Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).[72] Pada 2016, terdapat sekitar 300 Muslim Tionghoa di Padang, tetapi mereka sulit diidentifikasi karena cenderung menyembunyikan status mualaf mereka dari keluarga dan kerabat. Muslim Tionghoa biasanya mendapatkan diskriminasi atau dikucilkan dari lingkungan keluarga dan kerabatnya.[73][2]

Kampung China

Kampung China Padang pada masa kolonial Belanda.
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Kampung Cina Padang.

Orang Tionghoa di Padang tinggal mengelompok dan membentuk permukiman yang dikenal sebagai Kampung China.[4] Letak kawasan tersebut berada di sisi utara dekat muara Batang Arau, Kecamatan Padang Selatan. Dulunya, orang Tionghoa memilih tinggal dekat muara karena dekat dengan akses transportasi laut yang kala itu merupakan sarana utama dalam perdagangan ekspor dan impor. Mengelompoknya tempat tinggal orang Tionghoa tidak lepas pula dari adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem sentralisasi permukiman pada satu kawasan bagi penduduk pendatang. Oleh Belanda, permukiman orang Tionghoa Padang dikonsentrasikan pada satu kawasan, yakni di daerah Pondok dan sekitarnya sehingga lama-kelamaan daerah itu menjadi permanen sebagai permukiman orang Tionghoa Padang sampai saat ini.[5]

Di Kampung China, terdapat sebuah kelenteng yang bernama Kelenteng See Hien Kiong. Letaknya berada dekat tepi Batang Arau, menghadap ke Bukit Gado-Gado di Subarang Palinggam. Meskipun tahun pambangunannya tidak diketahui pasti, kelenteng ini diperkirakan berdiri pada sekitar pertangahan abad ke-19, berdasarkan tinggalan berupa lonceng (genta) yang ada di dalam kelenteng yang bertarikh 1841.[38] Kelenteng See Hien Kiong menjadi tempat sembahyang orang Tionghoa terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah. Peruntukan kelenteng ini adalah untuk orang Tionghoa di Padang pada umumnya. Keberadaan kelenteng di Kampung China yang hanya satu menunjukkan bahwa mayoritas orang Tionghoa Padang mempunyai leluhur yang sama. Hal ini membuatnya berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya orang Tionghoa di Jakarta dan Semarang yang punya banyak kelenteng masing-masing berdasarkan leluhur dan dewa yang disembah.[74] Kelenteng See Hien Kiong bahkan menjadi kelenteng satu-satunya di Sumatera Barat.[75]

Hubungan antaretnis

Suasana perayaan Imlek pada 2018 di Padang yang turut dihadiri Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah

Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, tidak pernah ada laporan mengenai tindak kekerasan dan kriminal di Padang yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sasaran.[64] Pemerintah Kota Padang tidak memberi pembatasan dan pelarangan bagi orang Tionghoa Padang untuk melaksanakan kegiatan mereka baik itu bersifat keagamaan maupun tradisi. Sampai sekarang, Pemerintah Kota Padang terus melibatkan orang Tionghoa Padang untuk ikut serta dalam setiap perayaan ulang kota serta mendukung kegiatan yang menampilkan budaya Tionghoa Padang dan pembaurannya.[76][77]

Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mereka berada, salah satunya ditandai dengan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini berbeda dengan, sebagai contoh, orang Tionghoa di pantai Timur Sumatra.[78] Bahkan, mayoritas orang Tionghoa Padang tidak dapat lagi bercakap dalam bahasa asal mereka.[79] Bahasa Minang yang dipertuturkan oleh orang Tionghoa Padang dikenal sebagai bahasa Pondok atau bahasa Minang dialek Pondok, hasil percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang tapi memakai logat Mandarin.[9] Bahasa tersebut membuat mereka bisa berbaur dengan masyarakat Minangkabau.[80]

Dalam setiap perayaan Imlek, etnis Tionghoa Padang menampilkan sejumlah atraksi seperti barongsai, arak-arakan kio, dan sipasan.[81] Pada 2013, atraksi sipasan yang dibawakan oleh perkumpulan HTT tercatat sebagai rekor dunia di Guinness World Records sebagai atraksi mengarak tandu terpanjang, yakni dengan panjang arak-arakan 243 meter dan jarak tempuh 1,9 km. Pencapaian ini mengalahan rekor sebelumnya untuk atraksi serupa yang ditampilkan di Kinmen, Taiwan.[82][83] Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kalender wisata Kota Padang yang dikemas dalam Festival Multikultural.[84][85]

Pada 2019, untuk kali pertama diadakan Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo. Dalam kegiatan ini, sebanyak 10.000 bakcang ayam dan lamang baluo dibagikan kepada masyarakat secara gratis. Kedua kuliner tersebut memiliki kesamaan dalam bahan yang digunakan dan pembuatannya, yakni ketan dengan isian dan dibungkus dengan daun.[86] Selain pembagian makanan, Festival Bakcang Ayam dan Lamang Balio dimeriahkan pula dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa Padang dan Minang.[66]

Catatan kaki

Rujukan

  1. ^ a b c d Riniwaty Makmur (2018), hlm. 16.
  2. ^ a b c d Rusli & Rois 2020.
  3. ^ Rahmat Irfan Denas 11 Februari 2021.
  4. ^ a b Mardanas Safwan (1987), hlm. 15.
  5. ^ a b Riniwaty Makmur, dkk (2018), hlm. 135.
  6. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 55a: "Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post."
  7. ^ a b Christine Dobbin (2016), hlm. 135a: "Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia."
  8. ^ a b Rahmi Surya Dewi (2018), hlm. 28.
  9. ^ a b Riniwaty Makmur, dkk (2018), hlm. 138-139.
  10. ^ Erniwati (2007), hlm. 190: "Kedua perkumpulan ini berperan besar dalam menjaga budaya dan adat istiadat leluhur meskipun untuk saat ini genrasi muda kehilangan maknanya. Namun keberadaan kedua perkumpulan ini juga seakan-akan membagi etnis Cina Padang atas dua kelompok."
  11. ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 56.
  12. ^ Kompas.com (5 Februari 2008).
  13. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "Before the Dutch and the English came to Sumatra for pepper, Chinese pepper traders had been visiting west Sumatra from their commercial base at Banten."
  14. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134–135: "Very few of these Chinese traded with their own capital, and they had meagre capital resources; they were generally agents for Banten Chinese, who in turn operated a commenda trade using money and goods supplied by merchants in China and, later on, by Europeans in Banten."
  15. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "In the 1630s their vessels were reported to be swarming to the coast in search of pepper, and it seems likely that there were Chinese settled at Pariaman to act as agents for their compatriots; certainly they were reported to be established there in 1663."
  16. ^ a b Freek Colombijn (1994), hlm. 134: "In 1666 the Dutch made Padang their headquarters on Sumatra's west coast and built a fortress."
  17. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 55: "Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post."
  18. ^ Steven Adriaan Buddingh (1861), hlm. 161.
  19. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 135b: "In that year several Chinese bought land from the panglima raja to establish a brickworks, and by 1682 there were so meny Chinese at the entrepôt that a Lieuteyangt Chinese had to be appointed to regulate matters concerning them."
  20. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj Asnan, Gusti (2023). 200 tahun Perang Padri: historiografi dan re-rekonstruksi lanskap baru sejarah Minangkabau. Tanda Baca. ISBN 978-623-5869-17-9.
  21. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 136a: "In 1785 the farm for collecting import and export duties at Padang was sold to the Captain Chinese, Lau Ch'uan-ko."
  22. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 136b: "With the decline of the gold trade, it was agreed by the Batavia government in 1790 to accept specie for a certain percentage of the company's cloth sales at Padang, so that the cloth trade would not be totally paralysed by the absence of gold. This too benefited the Padang Chinese, who were the only group at the port with access to specie, and enabled them now to act as brokers in the company's cloth trade, bypassing the Minangkabau brokerage system which relied on exchanging gold for cloth."
  23. ^ Erniwati (2007), hlm. 46a: "Gubernur Michiels mendorong orang asing untuk lebih banyak datang ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan, sehingga Padang menjadi pelabuhan yang ramai dan dinamis. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pendatang, terutama kepada pedagang Cina yang dianggap mampu memajukan perekonomian."
  24. ^ Gusti Asnan (2003), hlm. 59.
  25. ^ Erniwati (2007), hlm. 79: "Bahkan NHM memberikan uang muka kepada pialang Tionghoa sebagai modal untuk mengumpulkan hasil produksi dari daerah pedalaman."
  26. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 158: "They imported Chinese goods such as cloth and porcelain for domestic use from Batavia, Penang and later Singapore,..."
  27. ^ Erniwati (2007), hlm. 67: "Orang Cina yang waktu itu memiliki mata uang akhirnya menduduki posisi penting, bahkan mereka berhasil menjadi pialang dan mampu menggeser kelompok pialang tradisional Minangkabau hingga memasuki daerah pedalaman. Akibatnya orang Minangkabau sangat tergantung terhadap barang-barang pokok yang diperoleh melalui pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional, sedangkan pedagang pengecer juga tergantung kepada pedagang monopoli Belanda dan Cina."
  28. ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 159: "The four leading Chinese brokers in Padang in 1829, just as the American coffee boom was passing, were Li Heng, Li Ma-ch'iao, Li Sing and Hu A-chiao."
  29. ^ Millies 1850, hlm. 35.
  30. ^ Erniwati (2007), hlm. 46b: "'Untuk pertama kalinya pada 1847 Lie Saay berhasil membuat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi dari Padang Panjang ke Kayutanam dan mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan baliknya. ."
  31. ^ Jeffrey Hadler 2010, hlm. 40-41.
  32. ^ Erniwati (2007), hlm. 46c: "Perusahaan ekspedisi Lie Saay membawa hasil bumi mengunakan pedati (gerobak) kuda melewati lereng Lembah Anai di bawah pengawalan kakaknya Lie Maa Toon yang bisa bela diri kungfu. Perusahaan ekspedisi ini berkembang hingga dibangun jalan darat dan jalur kereta api."
  33. ^ Rusli Amran (1988), hlm. 31.
  34. ^ Thomas Spencer Baynes (1887), hlm. 639, Volume 22: "Padang is a town of some 2,000 houses and 15,000 inhabitants, with a Chinese settlement and a European quarter. It is the chief market in Sumatra for gold."
  35. ^ a b c Elizabeth E. Graves (2007), hlm. 92-93.
  36. ^ a b c Erniwati (2007), hlm. 38.
  37. ^ Erniwati (2007), hlm. 72.
  38. ^ a b c Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat (8 Juni 2017).
  39. ^ Erniwati (2007), hlm. 55a: "Untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan klenteng setelah mengalami kebakaran di 1861, kios-kios bambu tersebut disewakan kepada para pedagang. Lama kelamaan kios-kios bambu berkembang menjadi pasar yang dikenal dengan nama pasar Tanah Kongsi."
  40. ^ Erniwati (2007), hlm. 93a: "Walaupun letak Pasar Tanah Kongsi berdampingan dengan Pasar Mudik yang sebelumnya sudah didirikan oleh pedagang Minangkabau, namun dalam waktu yang relatif singkat, Pasar Tanah Kongsi berkembang dengan cepat dan mampu menyaingi Pasar Mudik."
  41. ^ Erniwati (2007), hlm. 68: "Lama-kelamaan lokasi perkampungan Tionghoa semakin berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah orang Tionghoa yang bermukim. Di Padang, perluasan permukiman Tionghoa ini sampai ke daerah Belakang Tangsi..."
  42. ^ Padangkita.com (23 Oktober 2017).
  43. ^ Mardanas Safwan (1987), hlm. 101.
  44. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 235: "Badu Ata & Co. started their second market-place in the Belakang Tangsi area, further north. It was successful until destroyed by fire in 1882. Immediately afterwards the Chinese Gho Lam San opened a new market next to the charred remains of Badu Ata & Co."
  45. ^ Rusli Amran (1988), hlm. 23.
  46. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 55b: "Chinese have come to Indonesia in several waves of migration, the last one after the Dutch government's relaxation on Chinese entry after 1900."
  47. ^ Erniwati (2007), hlm. 62: "Imigran Cina yang datang menjelang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (1930-an) merupakan migrasi yang dilakukan secara massal."
  48. ^ Mestika Zed 2009.
  49. ^ Erniwati (2007), hlm. 40: "Pada 1930 ditemukan 51% perantauan Cina berasal dari keturunan ke tiga yang terdiri dari 80% Hokkian, 15% Kwongfu, 2% Hakka, dan 3% dari suku lainnya. Dari perkiraan penduduk 1930 terlihat bahwa penduduk Cina Padang mayoritas berasal dari kelompok bahasa Hokkian yang tergolong ke dalam pedagang yang berasal dari Amoy."
  50. ^ Erniwati (2007), hlm. 85a: "Sebagai akibat peristiwa yang terjadi pada masa revolusi, etnis Cina Padang kemudian dapat dibagi atas tiga kelompok orientasi, yaitu pro Republik, pro Belanda, dan kelompok netral."
  51. ^ Erniwati (2007), hlm. 86b: "Keragaman orientasi kelompok etnis Cina ini menyebabkan masyarakat umumpun sulit mengenali mereka. Ketidakjelasan sikap etnis Cina tersebut menyebabkan masyarakat umum akhirnya menyamakan penilaian terhadap etnis Cina sebagai kelompok yang hanya mengambil keuntungan di negara Indonesia."
  52. ^ a b Mulyadi Mintaraga (1986), hlm. 100.
  53. ^ Erniwati (2007), hlm. 86a: "Nyok Hok Seng selalu memberi informasi kepada Belanda tentang perkembangan situasi Padang dan menjadi penunjuk jalan kemungkinan di mana posisi pejuang kemerdekaan. Dengan sombong, setiap sore Nyo Hok Seng berkeliling kampung Pondok dan kota Padang dengan tentara Sekutu dan Belanda mengunakan mobil Jeep. Sikap Nyo Hok Seng menyebabkan etnis Cina lainnya sering mendapat masalah dan digeneralisasikan sebagai antek-antek Belanda dan diangap hanya mengambil keuntungan saja oleh masyarakarakat umum."
  54. ^ Erniwati (2007), hlm. 84-85: "Sebagian kecil dari kelompok ini juga ada orang-orang yang berusaha memperkaya diri sendiri dengan mengadakan penyelundupan dan menerobos blokade Belanda."
  55. ^ Erniwati (2007), hlm. 85b: "Kemampuan etnis Cina Padang dalam menyelundupkan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan menjadikan mereka memiliki kedekatan dengan perwira militer yang sangat mempengaruhi hubungan mereka di masa selanjutnya."
  56. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 135b: "Regardless of these forced changes, the Chinese in Padang were well assimilated. It seems that one Chinese, Oei Ho Tjong, who had provided the Republic with weapons, even became member of the LKAAM."
  57. ^ Erniwati (2007), hlm. 85-86: "Sikap yang tidak jelas disebabkan karena kurangnya posisi mereka dalam bidang ekonomi menyebabkan kelompok ini tidak berani menentukan sikap. Kelompok ini hanya akan menunggu siapapun sebagai pemenang perang. Namun karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan pada masa kekuasaan kolonial Belanda, maka harapan mereka hanyalah kembalinya keamanan pribadi dan keadaan ekonomi yang relatif stabil."
  58. ^ Mulyadi Mintaraga (1986), hlm. 101.
  59. ^ Erniwati (2007), hlm. 89: "Dengan adanya tiga pilihan status kewarganegaraan tersebut, beberapa keluarga memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Perbedaan pilihan status kewarganegaraan ini terjadi sebagai akibat perbedaan orientasi dan kepentingan. Konsekuensi dari pilihan yang berbeda menyebabkan banyak keluarga-keluarga dari etnis Cina di Indonesia termasuk yang tinggal di Padang terpisah-pisah."
  60. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 134: "After 1949 the immigration of Chinese to Indonesia was virtually called to a halt by the Indonesian government, but there was still an increase in absolute numbers in Padang. Chinese who lived dispersed over the area fled to Padang after 1945 and 1965 for protection and the army started to move Chinese from the countryside to cities in 1959."
  61. ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 135a: "The presidential decree No. 127 of 1966 compelled them to change their names to autochthonous ones; nearly eight thousand Chinese in Padang did so."
  62. ^ Erniwati (2007), hlm. 4-5: "Kelonggaran ini tidak saja diberikan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat kota Padang. Bahkan di saat perayaan ulang tahun Kota Padang, pemerintah juga mengundang barongsai dan sipasan untuk beratraksi melalui dua perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman dan Himpunan Bersatu Teguh."
  63. ^ Erniwati (2007), hlm. 4: "Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Cina Padang tetap bisa melaksanakan budaya dan adat istiadat leluhur di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) dan perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT), serta Himpunan Bersatu Teguh (HBT)."
  64. ^ a b Erniwati (2007), hlm. 7a: "Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang."
  65. ^ Erniwati (2007), hlm. 3-4: "Perubahan terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Cina untuk merayakan hari besar dan adat istiadat serta tradisi mereka."
  66. ^ a b Kompas.id (8 Juni 2019).
  67. ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat (2018), hlm. 13.
  68. ^ Padang.go.id (23 September 2018).
  69. ^ Erniwati (2007), hlm. 63: "Rumah marga atau yang disebut kongsi oleh Cina Padang mengayomi etnis Cina berdasarkan suku yang sama, sehingga aktivitas utama rumah marga adalah membantu sesama anggota, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung. Selain itu, rumah marga juga berperan dalam melestarikan kebudayaan dan tradisi leluhur, termasuk menyelenggarakan upacara-upacara yang bersifat kekeluargaan, seperti pesta perkawiyang, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung, serta prosesi pemakaman secara tradisional."
  70. ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 147.
  71. ^ Erniwati & Hardi, Etmi. (2018). Kelenteng See Hin Kiong: Perubahan Fungsi Pada Masa Orde Baru. 73-88. 10.24036/diakronika/vol0-iss0/39.
  72. ^ Doni & Arki 2019.
  73. ^ Nunu & Dodi 2020.
  74. ^ Erniwati (2007), hlm. 53: "Klenteng See Hien Kiong merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah menunjukkan bahwa mayoritas etnis China Padang memiliki leluhur yang sama. Berbeda halnya dengan etnis China yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Jakarta dan Semarang ditemukan banyak klenteng yang masing-masing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula."
  75. ^ Erniwati (2007), hlm. 52: "Klenteng See Hien Kiong merupakan satu-satunya yang terdapat di Sumatera Barat."
  76. ^ Republika.co.id (10 Januari 2020).
  77. ^ Nerosti (2002), hlm. 73.
  78. ^ Kantor Waligereja Indonesia 1974, hlm. 118.
  79. ^ Rahmi Surya Dewi (2018), hlm. 29.
  80. ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 277.
  81. ^ Kompas.com (10 Pebruari 2009).
  82. ^ Tempo.co (25 Agustus 2013).
  83. ^ Taiwan Today (16 Mei 2011).
  84. ^ Harian Haluan (10 Pebruari 2020).
  85. ^ Posmetro Padang (7 Pebruari 2019).
  86. ^ Antara (6 Juni 2019).

Daftar pustaka

Buku
  • Dobbin, Christine (2016) [Terbit pertama kali pada 1983]. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London: Routledge. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • Colombijn, Freek (1994). Patches of Padang: The History of an Indonesian Town in the Twentieth Century and the Use of Urban Space. Belanda: Research School CNWS. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
  • Safwan, Mardanas (1987). Sejarah Kota Padang (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 25 September 2020. ;
  • Makmur, Riniwaty (2018). Orang Padang Tionghoa – Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang. Jakarta: Kompas. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • Adriaan Buddingh, Steven (1861). Neerlands Oost-Indië Reizen (1852–1857). Rotterdam: M. Wijt & Zonen. ;
  • Hadler (2010). Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau. Freedom Institute. ISBN 978-979-19466-5-0. OCLC 971526815.
  • Zed (2009). Kota Padang Tempo Doeloe (Zaman Kolonial) (PDF). Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Padang (UNP): Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi (PKSBE).
  • Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Kantor Waligereja Indonesia. 1974.
Ensiklopedia
  • Asnan, Gusti (2003). Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. Diakses tanggal 1 April 2020.
  • Thomas Spencer Baynes, ed. (1887). Encyclopædia Britannica. Vol. 22 (Edisi 9). New York: Werner Co. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
  • Millies, Henricus Christiaan (1850). De Chinezen in Nederlandsch Oost-Indië en het Christendom: Eene Schets. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
Jurnal
  • Rahmi Surya Dewi (2018). "Hidup di Dunia Multikultural: Potret Sosial Budaya Kerukunan Etnis Minang dan Tionghoa di Kota Padang". Jurnal Lugas. 2 (1). Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Diakses tanggal 25 September 2020. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
  • Nerosti (2002). "Pertunjukan Barongsai dalam Etnis Tionghoa di Kota Padang" (PDF). Jurnal Humanuis. 5 (1). Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang. Diakses tanggal 25 September 2020. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
  • Riniwaty Makmur; Engkus Kuswarno; Evi Novianti; Nuryah Asri Syafirah (2018). "Bahasa Minang Pondok dalam Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Tionghoa Kota Padang". Jurnal Kajian Komunikasi. 6 (2). Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Diakses tanggal 25 September 2020.

  • Rusli Hanura; Rois Leonard Arios (2020). "Interaksi Etnis Tionghoa Muslim dan Non-Muslim Di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat". Pangadereng. 6 (2): 159–171. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-08-15. Diakses tanggal 2021-08-15.
  • Dodi Pasilaputra (2020). "Social, Political, and Religious Roles of Chinese Muslims in Indonesia: Experiences of West Sumatran PITI". Hamdard Islamicus. 43 (Special Issue). ;
  • Doni Nofra; Arki Auliahadi (2019-06-24). "Organisasi PITI dalam Mempercepat Pembauran Etnis Tionghoa Muslim di Kota Padang". Khazanah: 41–50.
Situs web
  • Rahmat Irfan Denas (11 Februari 2021). "Jejak Panjang Tionghoa Padang: Sejak Abad ke-17 Berasimilasi hingga Sekarang Tetap Harmonis". Padangkita.com. Diakses tanggal 12 Februari 2021.
  • Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat (2018). "Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang Provinsi Sumatera Barat" (PDF). Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2019-02-21. Diakses tanggal 25 September 2020. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
  • Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat (2018). "Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang Provinsi Sumatera Barat" (PDF). Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2019-02-21. Diakses tanggal 25 September 2020. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
  • "Ada "Lipan" Terpanjang di Perayaan Cap Go Meh". Kompas.com. 10 Februari 2009. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • "Pesona Kelenteng See Hin Kiong Padang". Padang.go.id. Diskominfo Kota Padang. 23 September 2018. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • "Imlek, Prosesi Pernikahan China Peranakan Hanya Bertahan di Tiga Kota". Kompas.com. 5 Februari 2008. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • Yola Sastra (8 Juni 2019). "Bakcang Ayam dan Lamang Baluo Yang Mempersatukan". Kompas.id. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • "Digelar 19 Februari 2019, Cap Go Meh Bakal Dihadiri Menteri Pariwisata". Posmetro Padang. 7 Februari 2019. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-03-29. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • "Cap Go Meh 2020 Sukses, Perayaan Multi Etnik harus Berlanjut". Harian Haluan. 10 Februari 2020. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • "Pawai Budaya Multikultur di Padang". Tempo.co. 25 Agustus 2013. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • "Kinmen Sets Guinness World Record for Pedestal Carrying". Taiwan Today. 16 Mei 2011. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • "Pasar Malam Sincia, Potret Keberagaman dan Toleransi Padang". Republika.co.id. 10 Januari 2020. Diakses tanggal 25 September 2020.
  • Nugroho, Joko (6 Juni 2020). "Bakcang dan Lamang Baluo satukan Minang dan Tionghoa". ANTARA News. Diakses tanggal 25 September 2020.

  • l
  • b
  • s
Topik tentang Tionghoa-Indonesia
Daerah persebaran
  • Aceh
  • Babel
  • Sumatera Barat (Bukittinggi
  • Padang)
  • Sumatera Utara (Medan)
  • Sumatera Selatan (Palembang)
  • Banten (Benteng)
  • Jakarta
  • Jawa Tengah (Tionghoa Jawa
  • Lasem)
  • Bali
  • Jawa Timur (Madura)
  • Sulawesi Utara (Manado)
  • Papua
  • Kalimantan Selatan (Parit)
  • Maluku
Bahasa
  • Daftar bahasa Tionghoa
  • Bahasa Pecinan Surabaya
  • Bahasa Tionghoa Peranakan
  • Bahasa Hakka Kalbar
  • Medan Hokkien
  • Bagan Hokkien
  • Daftar kata serapan
Budaya dan kesenian
  • Sastra Tionghoa-Indonesia
  • Sastra Jawa-Tionghoa
  • Hidangan
  • Wayang Gantung
  • Gambang keromong
  • Potehi
  • Lamkoan
  • Sincia
  • Kuntau
  • Barongsai
Arsitektur
  • Kelenteng
  • Ruko
  • Makam
Agama dan kepercayaan
  • Tatung (Lok Thung)
  • Thai Pak Kung
  • Sanshan Guowang
  • Matakin
  • Ritual Bakar Tongkang
Media
  • Keng Po
  • Sin Po
  • Metro Xin Wen
  • Guoji Ribao
  • Qiandao Ribao
  • Harian Indonesia
Studi Tionghoa-Indonesia
  • Demografi
    • Tokoh Tionghoa
    • Diskriminasi
  • Sejarah
  • Orang Peranakan
  • Republik Lanfang
  • Kongsi Timah Bangka-Belitung
  • Geger Pacinan
  • Tionghoa Udik
Organisasi
  • Tiong Hoa Hwee Koan
  • PGTI
  • Hollandsche Chineesche School
  • PSMTI
  • Partai Tionghoa Indonesia
  • PITI
  • Himpunan Bersatu Teguh
Ekonomi
  • Oei Tiong Ham Concern
Hari Raya
  • Tahun Baru Imlek
  • Cap Go Meh
  • Ceng Beng
  • Peh Cun
  • Tiong Ciu

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tionghoa_Padang&oldid=27265152"
Kategori:
  • Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan
  • Galat CS1: tanpa nama
  • Kota Padang
  • Tionghoa-Padang
Kategori tersembunyi:
  • Pages using the JsonConfig extension
  • Halaman dengan argumen ganda di pemanggilan templat
  • Pranala kategori Commons ditentukan secara lokal
  • Galat CS1: parameter tidak didukung
  • Galat CS1: periode diabaikan
  • Galat CS1: tanggal akses tanpa URL
  • Galat CS1: parameter berlebih
  • Artikel bagus
  • Artikel bagus biasa
  • Semua artikel bagus

Best Rank
More Recommended Articles